162“Menyusahkan saja kamu, Al. Kenapa harus berangkat pagi-pagi tanpa sarapan? Ah, aku jadi ikut-ikutan tidak sarapan. Untung mama membuatkan kita bekal.” Pemuda yang baru datang, mengomel seraya berjalan mendekat. Dua orang yang duduk berhadapan, saling menjauhkan tangan mereka, sebelum sama-sama menunduk. Alister bahkan mengepalkan tangan di bawah meja. Kenapa Raka harus datang di saat seperti ini? Padahal dirinya sedang melalukan pendekatan dengan Kirana. Susah payah ia menciptakan suasana yang kondusif agar bisa lebih dekat dengan gadis itu, dan Raka mengacaukannya dalam sekejap mata. Sementara Raka yang merasa tidak melakukan kesalahan apa pun, berjalan santai menghampiri mereka, kemudian duduk di antaranya. Menyodorkan kotak bekal untuk Alister, juga mengeluarkan kotak bekal miliknya yang mempunyai bentuk sama persis, hanya berbeda warna saja. “Ayo sarapan! Kenapa diam? Nanti kau masuk angin, dan meminta mama mengerok punggungmu!” Raka mengangkat dagunya.Sementara rona mer
163Alister pulang dengan dada sesak menahan amarah. Bagaimana bisa Raka mencuri start, padahal dirinya yang sudah bersusah payah membangun jalan untuk mendekati Kirana. Apakah Raka menjilat ludah sendiri? Bukankah ia sudah menolak perjodohan itu? Lalu sekarang, kenapa ia seolah ingin kembali bersaing? Alister memukul hendel setir. Hingga klaksonnya terdengar nyaring dan memekakkan telinga. Membuat pengemudi di depannya tidak nyaman. Lampu merah baru saja menyala, dan Alister sudah membunyikan klakson. Si pengemudi di depan pun melonggokkan kepala di jendela yang terbuka. Melihat ke arah mobil Alister, dan memaki dengan kasar. Alister yang sedang terbakar amarah pun semakin panas. Ia berniat keluar untuk meladeni pengemudi itu, tetapi lampu yang sudah menyala hijau membuat ia mengurungkan niat. Membuat perhitungan dengan Raka adalah tujuannya saat ini. Alister langsung melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, hingga mercedes-benz hitam itu melesat bagai anak panah lepas dari b
164Alister masuk ke kamar tamu setelah pelayan yang membawa makanan membukakan pintu. Pemuda itu langsung bergerak mendekati tempat tidur, di mana gadis berwajah pucat memaksakan senyum melihat kedatangannya.“Kau sakit?” tanya Alister setelah menarik sebuah kursi ke dekat ranjang dan duduk di sana. “Hanya sedikit pusing.” Kirana menjawab dengan suara seraknya. “Kenapa tidak bilang padaku? Bukankah kita tadi berkirim pesan?”“Aku tak ingin merepotkan Kakak.”“Bukan karena ingin diantar pulang Kak Raka?” “Maksud Kakak?” Kening pucat Kirana berkerut. “Kau lebih suka merepotkan Kak Raka daripada merepotkanku? Padahal aku sudah berjanji akan mengantarmu pulang.”“Aku juga berusaha tidak merepotkan Kak Raka. Tapi Om Alex memaksa agar aku diantar ke sini. Besok siang aku pulang naik taxi. Maaf kalau aku merepotkan keluarga di sini.” Kirana menunduk dengan raut sedih. Sungguh ia tak ingin merepotkan orang lain. Tadi Alexander yang memaksa agar ia diantar ke sini. Padahal ia mau pulang k
165Hari-hari berlalu. Terhitung sudah seminggu Kirana menginap di rumah keluarga Alexander. Kondisinya semakin membaik, ia bahkan sudah kembali bekerja. Awalnya hanya menginap, tetapi lama-kelamaan, Alexander dan Aira melarang Kirana untuk kembali ke tempat kos. Dengan alasan kesehatan Kirana, dan tanggung jawab Alexander kepada Farhan, mereka meminta agar gadis itu tinggal di sana seterusnya. Toh, rumah mereka besar. Ada banyak kamar kosong di sana. Kirana juga sudah seperti keluarga sendiri. Jadilah gadis itu menjadi bagian keluarga Alexander. Kalau ada yang paling bahagia dengan menetapnya Kirana di sana, orang itu tiada lain adalah Alister. Jalannya untuk menaklukkan gadis itu semakin terbuka lebar. Kedua orang tuanya seakan sengaja membuka jalan untuknya memuluskan usaha. Alister bertingkah sangat posesif. Seolah dia seorang suami. Kirana hanya boleh berangkat dan pulang bekerja bersamanya. Bahkan bila Alexander yang menawari tumpangan, ia gegas melarang. Apalagi Raka, tak di
Raka berjalan menuju kamarnya untuk bersiap berangkat ke kantor. Ia baru selesai berolahraga ringan di halaman belakang. Sesuatu yang sudah menjadi kebiasaannya sejak dulu. Tubuhnya akan pegal-pegal bila tidak olahraga dulu karena di kantor ia akak duduk seharian. Tadi, saat melewati dapur, ia tak sengaja melihat Aira tengah memasak. Awalnya ia ingin mengisengi sang ibu dengan mengagetkannya dan minta mencicipi masakan dalam wajan. Namun, niat itu diurungkan karena dari sebelah Aira tiba-tiba muncul gadis yang menyodorkan sesuatu. Raka menarik lagi dirinya, dan kemudian hanya berdiri di pintu pembatas dapur, memperhatikan interaksi antara sang ibu dengan gadis yang rajin membantunya memasak. Ada sesuatu yang terasa hangat menjalar di hatinya. Sesuatu yang entah apa namanya. Sejak dulu Raka bercita-cita, kalau menikah nanti, ia ingin wanita yang menjadi istrinya bisa dekat dengan Aira. Layaknya ibu dan anak kandung. Ia ingin istrinya nanti menghormati dan menyayangi Aira seperti kep
167“Pergilah, Alister menunggumu!” Raka berkata pelan. Kirana melepas pegangannya perlahan. Diliriknya sekilas wajah Raka. Dan Raka dapat menangkap kekecewaan di sepasang bola mata bundar itu. Gadis itu berjalan menunduk menuju mobil Alister, di mana pemiliknya sudah berdiri di samping pintu mobil. “Maaf, Kak. Aku mau menumpang motor Kak Raka. Aku butuh sampai cepat di kantor.” Alister lupa kalau Kirana gadis yang berani mengemukakan pendapat. “Apa? Butuh datang lebih cepat? Kenapa tidak bicara dari tadi? Kita bisa berangkat lebih pagi.”“Aku tidak mau merepotkan, Kakak.”Alister mendengkus. “Kau selalu bilang tidak mau merepotkanku tapi ingin merepotkan orang lain.”Kirana diam tak menjawab. Alister benar, ia memang hanya mencari alasan. Selain harus datang lebih pagi, Kirana juga sangat ingin merasakan berboncengan dengan Raka. Selama ini ia selalu berangkat dan pulang naik mobil dengan Alister. Selama perjalanan akan membicarakan hal itu-itu saja. Sangat membosankan. Kirana in
168“Apa kamu sudah yakin, Al?” Dengan air mata berlinang, Aira yang tidak rela akan ditinggal Alister ke luar negeri menyentuh pundak anak susunya itu. Hatinya sakit mengetahui sang anak susu yang sejak bayi tak bisa jauh darinya, kini akan pergi jauh, terpisah jarak dan waktu. “Sangat yakin, Ma.” Alister menggenggam punggung tangan Aira yang berada di pundaknya. “Jangan menangis terus, Ma. Relakan aku pergi. Terus doakan agar aku menemukan apa yang aku cari dalam hidup ini.” Sungguh Alister pun tak yakin bisa hidup berjauhan dengan sang ibu susu. Secara sejak bayi ia tak bisa lepas dari Aira. Ia akan sakit bila berjatuhan sebentar saja dengan wanita yang sudah seperti ibu kandungnya itu. Dalam lubuk hati terdalamnya, ia tak ingin berjauhan dengan keluarga, apalagi Aira. Namun, keadaan yang memaksanya. Ia tak mungkin terus di sana, sementara gadis yang membuat hidupnya merasa tak berarti akan dijumpainya setiap waktu. “Apa sebenarnya yang kau cari, Nak? Apa yang belum kau dapatka
169“Aku tidak akan ikut ke Surabaya!” tukas Aira tegas. Alexander mengangkat tangan sebagai tanda keheranan. “Besok anakku akan berangkat keluar negeri. Aku tak ingin melewatkan detik-detik melepasnya!”Alexander tertegun beberapa waktu, sebelum membuang napas kasar. “Kita akan pulang pergi dalam satu malam, Sayang. Sebelum Alister berangkat, kita sudah kembali. Kita hanya mengantar Kirana sekalian menjenguk Farhan.”“Itu kalau keadaan Farhan baik-baik saja, Pa.”“Maksud kamu apa, Ma?” Kening Alexander berkerut. Aira membuang napas kasar seraya mengalihkan pandangan. Ia memperhitungkan, bagaimana kalau Farhan kondisinya memburuk, atau lebih dari itu sampai meninggal. Tentu mereka tak bisa secepatnya kembali ke Jakarta. Bukan mendoakan buruk, hanya memperhitungkan segala kemungkinan. “Aku tidak akan ikut, Pa!”“Papa tak mungkin hanya berangkat berdua Kirana.”“Apakah ada kewajiban, Papa yang harus mengantar?”“Maksud kamu?”“Papa bisa menyuruh orang untuk mengantar anak itu. Dan
Extra partKepanikannya semakin menjadi saat nomor Aira tak kunjung diangkat. Sementara Anyelir menjerit-jerit merasakan rasa mulas di perutnya yang seolah diperas.Wanita paruh baya asisten rumah tangga mereka yang melihat kepanikan itu gegas menyuruh Aldo membawa Anyelir ke rumah sakit. Sebagai wanita yang sudah berpengalaman melahirkan, ia tahu jika Anyelir akan segera melahirkan.Tanpa pikir panjang, Aldo mengangkat tubuh Anyelir yang beratnya sudah mencapai dua kali lipat dari berat normalnya karena kehamilan ini. Terlebih ada dua bayi kembar dalam perutnya. Untunglah rumah mereka kini bukan apartemen bertingkat. Hingga ia dengan mudah mengevakuasi sang istri.Berdua saja, Aldo membawa Anyelir ke rumah sakit yang sudah mereka tunjuk untuk tempat bersalin. Sang asisten ia minta untuk terus menghubungi kelurganya, dan menyusul ke rumah sakit setelah urusan di rumah selesai.Selama perjalanan, Anyelir terus mencengkeram lengan Aldo karena merasakan mulas tak terkira. Belum lagi sese
Extra part“Kenapa, sayang?” Aldo yang baru memasuki rumah, menatap sang istri yang bibirnya maju.Anyelir tidak menjawab. Ia meraih tangan sang suami dan menciumnya takzim. Walaupun usia Aldo lebih muda, tetapi posisinya tetap kepala keluarga. Anyelir tetap menghormati dan memperlakukan bagaimana seharusnya memperlakukan suami.Aldo menarik tubuh sang istri tetapi dengan hati-hati agar tak mengganggu perut besarnya. Sebuah kecupan mendarat di kening berpoles bedak tipis. Kemudian beralih kedua pipi dan terakhir menghisap bibir majunya dengan gemas hingga si empunya bibir meronta minta dilepaskan.“Kau membuatku sesak napas.” Anyelir mendorong dada Aldo. “Ciuman macam apa itu?” lanjutnya dengan bibir semakin maju, ditambah tangan yang dilipat di dada.“Itu ciuman penawar marah. Juga penawar rasa lelah di kantor.”Anyelir menoleh. Ia tahu Aldo lelah bekerja seharian di kantor tetapi pulang langsung disuguhi sikap manja dan sensitifnya yang semakin menjadi sejak hamil. Namun, ia tak dap
528 “Tetaplah di sisiku sampai salah satu di antara kita menutup mata. Aku bahkan ingin kebersamaan ini berlanjut hingga kehidupan kekal kita kelak. Jangan pernah tinggalkan aku. Terus dampingi dan bantu aku dalam memperbaiki diri agar menjadi suami yang bisa membimbingmu dan anak-anak kita menjalani kehidupan ini dalam koridor yang lurus. Aku ingin menjadi imam dambaanmu, sayang.” Anyelir mendongak. Hatinya trenyuh. Sejak kejadian itu, Aldo memang banyak berubah. Ia membuktikan dirinya layak mendapatkan maaf dan kesempatan kedua. Anyelir sendiri membuktikan memaafkan dengan tidak pernah membahas masalah yang sama. Jika Aldo mulai mellow, meminta maaf dan terindikasi membahas hal sama, Anyelir sendiri yang mengingatkan dan mengajak melupakan semuanya dengan menatap ke depan. Ia sadar dirinya pun bukan manusia tanpa dosa. Ia bahkan bersikap kekanakan dalam menghadapi masalah ini. Saling memaafkan, saling sadar dan terus berbenah diri, itu yang mereka lakukan saat ini. Terlebih sebent
527Semua orang terdiam mendengar ucapan Sandra. Semua orang tahu jika Gita dirawat di RSJ karena saat ditahan sering mengamuk dan beberapa kali mencoba bunuh diri lagi, bahkan bayi dalam kandungannya sampai gugur karena perilakunya sendiri. Gita akhirnya dirawat di RSJ.Keluarga Aldo menganggap semua telah selesai, karena akhirnya Gita dinyatakan bersalah. Semua bukti dan saksi menunjukkan jika Aldo tidak bersalah. Andika dan istrinya kembali ke Kalimantan. Gita tidak menuntut apa pun kepada Andika, mungkin karena melihat kondisi laki-laki itu yang mengenaskan.Justru perseteruan dengan Aldo yang ia pertahankan walaupun pada akhirnya Gita harus merasakan kehidupan di balik jeruji besi dalam kondisi hamil.Publik juga sudah mulai melupakan kasus ini, hingga Aldo dan keluarga bebas bergerak tanpa banyak yang memperhatikan.Semua sudah berjalan normal dan baik-baik saja. Aldo dan Anyelir menjalani pernikahan dengan bahagia. Terlebih mereka akan memiliki anak. Hubungan mereka bahkan sema
526 “Aku mau poliandri, apa kau setuju?” Anyelir menatap serius. Hening. Binar penuh harap di mata Aldo seketika pudar dan meredup. Senyum yang tadi sempat tersungging, raib dalam waktu singkat. Dada pemuda itu mendadak sesak. Diteguknya ludah dengan susah payah karena kerongkongan yang mendadak kemarau. Napasnya tersengal seolah telah berlari puluhan kilo meter. Bibirnya bergetar. “Mana ada seperti itu, sayang?” tanyanya dengan senyum miris. Anyelir tersenyum. “Ada, ini bukan sungguhan. Jadi, aku hanya pura-pura saja.” “Maksudnya?” Mata Aldo memicing. Anyelir menarik napas panjang. “Begini, orang tua Haris menuntutnya untuk segera menikah. Sementara ia belum menemukan wanita yang cocok. Tapi ia menolak jika harus dijodohkan dengan gadis pilihan orang tuanya. Jadi, ia memintaku untuk berpura-pura menjadi….” “Tidak!” Dengan napas yang semakin tersengal dan dada makin sesak, Aldo memotong ucapan Anyelir. “Apa kau sudah gila, sayang?” “Kenapa?” Anyelir memiringkan kepala. Tawan
525“Makanya jangan petakilan. Sudah mau jadi ayah kelakukan masih bocah.” Anyelir berkata ketus seraya melipat tangan di dada. Sementara Aldo terus meringis merasakan sakit di pinggangnya. Terpaksa harus dipijat lagi. Harus menahan lagi sakit yang lebih dari sebelumnya. Namun, di balik itu semua hatinya bahagia tiada tara. Sang istri sudah kembali seperti dulu. Hanya ketus karena kesal. Baginya tak apa diberi wajah ketus seperti itu, daripada harus mendapati wajah dingin yang membuatnya putus asa.Kini, bahkan Anyelir tengah menyuapinya. Ia yang untuk sementara hanya bisa tengkurap dengan kepala hanya bisa mendongak, kesulitan untuk sekadar menyuap. Praktis makan pun harus disuapi. Anyelir geleng-geleng kepala. Ini piring ketiga yang Aldo tandaskan. Pemuda itu seperti kelaparan. Memakan apa pun yang Anyelir suapkan dengan sangat rakus. Bahkan saat piring ketiga tandas pun, lelaki itu masih meminta tambah.“Berapa hari kau tidak makan?” tanya Anyelir heran saat menyuapi dari piring k
524“Sakit ….” Aldo merengek manja dengan wajah menengadah. Tangannya memeluk erat pinggang Anyelir yang pangkuannya ia jadikan bantal.Wajah lelaki itu terlihat berkeringat. Ringisan masih sesekali menghiasi wajahnya. Pemuda itu baru saja berteriak-teriak merasakan sakit akibat pijatan bapak tua penjaga villa.Akibat terlalu bersemangat dan terlampau bahagia karena melihat wanita yang dirindukannya selama ini ada di depan mata, ia berlari hingga tak memperhatikan apa pun lagi. Tangannya menyenggol keranjang buah di atas meja, hingga isinya jatuh ke lantai dan terinjak. Aldo terpeleset karena menginjak buah apel yang jatuh menggelinding, hingga tak terelakkan tubuhnya melayang jatuh. Namun, sebelumnya pinggangnya terbentur tepian meja hingga sakitnya menjadi berlipat-lipat.Beruntunglah bapak penjaga villa bisa memijat urat keseleo. Hingga ia langsung mendapat penanganan.Anyelir yang tengah memasak dibantu istri penjaga villa, kaget karena suara benturan keras. Wanita itu langsung me
524Aldo mengeratkan pelukan demi mendengar nasihat Aira. Kalau boleh memilih, ia ingin pernikahannya lanjut. Tak ingin tercerai berai karena anak yang akan menjadi korban. Kalau boleh ia ingin bertemu Anyelir dulu agar bisa bicara dari hati ke hati. Sayangnya, bahkan di mana keberadaan wanita itu, ia tidak tahu. “Jika Tuhan masih memberimu kesempatan, ingat gunakan sebaik-baiknya. Namun, jika semuanya hanya sampai di sini karena manusia hanya punya keinginan dan usaha, kau tetap harus bisa mengambil hikmahnya, Nak. Mungkin ini takdir kalian. Takdirmu. Jangan menyalahkan Tuhan. Apa yang terjadi sudah digariskan. Jika kalian harus bercerai, itu pasti takdir karena kau sudah berusaha memperbaiki semuanya. Yakin akan ada pelangi setelah hujan, Nak. Jika Tuhan memberi ujian ini, pasti disertai jalan keluar dan hikmah di baliknya.”Aldo hanya diam meresapi setiap kalimat sang ibu. Sungguh, ia tidak sanggup jika harus berpisah dengan Anyelir. Namun, jika wanita itu tetap memaksa, ia bisa
523“Anye, kamu di mana?” Aldo duduk lesu di lobi hotel. Kepalanya menunduk dalam. Tangannya meremas rambut dengan kuat. Berkali-kali mengembus napas kasar. Beban di dadanya terasa ingin meledak. Setelah menunggu berminggu-minggu dengan setumpuk rindu dan penyesalan, kini hanya mendapati Anyelir yang sudah tidak berada di tempat.Aldo menyandar lemah seraya merogoh ponsel dalam saku. Mencoba keberuntungan. Menghubungi lagi Anyelir. Namun hingga berkali-kali dilakukannya, tetap hanya dijawab operator.Pemuda itu memejam sebelum bangkit dan berjalan keluar. Para pengawal berwajah datar sigap mengiringi.“Putari kota ini, Pak. Siapa tahu aku melihat keberadaan istriku,” titahnya kepada sopir setelah duduk di dalam mobil. Sang sopir hanya mengangguk sebelum menjalankan mobil dengan kecepatan sedang. Mengitari kota Surabaya seperti perintah sang majikan.Hampir seharian Aldo dan rombongan berputar-putar di sana. Semua jalan disusuri bahkan hingga jalan-jalan kecil hanya agar mendapat keber