168“Apa kamu sudah yakin, Al?” Dengan air mata berlinang, Aira yang tidak rela akan ditinggal Alister ke luar negeri menyentuh pundak anak susunya itu. Hatinya sakit mengetahui sang anak susu yang sejak bayi tak bisa jauh darinya, kini akan pergi jauh, terpisah jarak dan waktu. “Sangat yakin, Ma.” Alister menggenggam punggung tangan Aira yang berada di pundaknya. “Jangan menangis terus, Ma. Relakan aku pergi. Terus doakan agar aku menemukan apa yang aku cari dalam hidup ini.” Sungguh Alister pun tak yakin bisa hidup berjauhan dengan sang ibu susu. Secara sejak bayi ia tak bisa lepas dari Aira. Ia akan sakit bila berjatuhan sebentar saja dengan wanita yang sudah seperti ibu kandungnya itu. Dalam lubuk hati terdalamnya, ia tak ingin berjauhan dengan keluarga, apalagi Aira. Namun, keadaan yang memaksanya. Ia tak mungkin terus di sana, sementara gadis yang membuat hidupnya merasa tak berarti akan dijumpainya setiap waktu. “Apa sebenarnya yang kau cari, Nak? Apa yang belum kau dapatka
169“Aku tidak akan ikut ke Surabaya!” tukas Aira tegas. Alexander mengangkat tangan sebagai tanda keheranan. “Besok anakku akan berangkat keluar negeri. Aku tak ingin melewatkan detik-detik melepasnya!”Alexander tertegun beberapa waktu, sebelum membuang napas kasar. “Kita akan pulang pergi dalam satu malam, Sayang. Sebelum Alister berangkat, kita sudah kembali. Kita hanya mengantar Kirana sekalian menjenguk Farhan.”“Itu kalau keadaan Farhan baik-baik saja, Pa.”“Maksud kamu apa, Ma?” Kening Alexander berkerut. Aira membuang napas kasar seraya mengalihkan pandangan. Ia memperhitungkan, bagaimana kalau Farhan kondisinya memburuk, atau lebih dari itu sampai meninggal. Tentu mereka tak bisa secepatnya kembali ke Jakarta. Bukan mendoakan buruk, hanya memperhitungkan segala kemungkinan. “Aku tidak akan ikut, Pa!”“Papa tak mungkin hanya berangkat berdua Kirana.”“Apakah ada kewajiban, Papa yang harus mengantar?”“Maksud kamu?”“Papa bisa menyuruh orang untuk mengantar anak itu. Dan
169Aira memeluk lama Alister sebelum benar-benar melepasnya. Tubuh yang jauh lebih tinggi darinya itu sampai membungkuk lama karena pelukan yang lama dan erat. Alister bahkan merasakan tengkuknya basah dan hangat. Ia tahu air mata ibu susunya itu menetes di sana. Pemuda itu menghapus air mata Aira setelah berhasil melerai pelukan sang ibu. Masih dengan tidak rela karena bayi kecilnya akan pergi, Aira terpaksa melepasnya. Alister memeluk Alexandra dan Aldo bergantian setelah berhasil melepaskan pelukan sang ibu. “Jaga Mama, ya. Kalian jadilah anak-anak yang hebat kebanggaan Papa.” Alister berucap pelan di hadapan kedua adiknya, sebelum melangkah pergi. Namun, langkahnya kembali tertahan karena lagi-lagi Aira kembali memeluknya. Alister memejamkan mata. Ia tahu Aira begitu berat melepasnya. Namun, setelah sejauh ini, ia tak mungkin membatalkan semua. Ia tetap harus pergi. “Aku akan menelepon Mama begitu sampai di sana,” hibur Alister akhirnya agar Aira tak berlarut-larut menangisi
171Ruang keluarga rumah Alexander itu terasa sepi, padahal ada enam nyawa terjaga di sana. Mereka duduk melingkar di atas sofa yang menghadap satu meja kaca besar. Hanya bunyi detak jarum dari jam dinding antik dan berukuran besar di sudut ruangan yang terdengar. Alexander didampingi Aira duduk di sofa yang muat untuk dua orang. Sementara anak-anaknya duduk tersebar di sofa di hadapan mereka. Kirana sendiri duduk di samping Sandra. Semua diam, tak ada yang berani bertanya kenapa sang kepala keluarga mengumpulkan mereka di sana. Hingga Alexander sendiri yang membuka suara, setelah sebuah deheman pelan. “Maaf, mengganggu waktu kalian sebentar. Ada yang ingin Papa sampaikan kepada kalian.” Lelaki yang masih menampakkan ketampanan di usia tak muda lagi, mulai bicara. Lima pasang mata tertuju padanya. “Seperti yang telah kita ketahui bersama, kalau ayah Kirana telah berpulang untuk selamanya beberapa hari lalu.” Alexander mengedarkan pandangan kepada empat orang yang duduk melingkar d
172Raka melangkah pelan mendekati wanita yang tengah duduk menatap lampu-lampu kota malam ini. Mungkin wanita itu tidak menyadari kedatangannya di balkon kamarnya ini. Karena fokusnya hanya ke depan sana. Atau mungkin sukmanya tidak berada di sini, tetapi jauh di belahan dunia sana, bersama anak kesayangannya. Raka menarik napas panjang sebelum menyapa sang ibu, setelah berdiri di sebelah kursi santainya. “Selamat malam, Ma,” sapanya pelan seraya melirik sang ibu yang mengerjap dan membuang napas kasar. “Kamu di sini, Kak?” Aira melirik sebentar sebelum kembali menatap ke depan. “Mama sedang memikirkan apa?” tanya Raka lagi dengan senyum satir. Tak ada jawaban. Aira diam saja. “Sedang memikirkan nasibku, atau ... nasib anak kesayangan Mama?”“Kak?” Aira menoleh cepat. Kalimat itu terucap dengan suara bergetar dari mulut Raka. Aira berdiri, menarik pundak Raka agar pemuda yang lebih tinggi darinya itu menghadapnya. “Raka?” Aira menatap nanar sang anak sulung. Anak yang sudah dib
173Akhirnya pernikahan itu terjadi juga. Walaupun tak ada perayaan mewah. Hanya acara sederhana sesuai permintaan Kirana. Selain karena masih dalam suasana berduka, Kirana cukup tahu diri sudah banyak merepotkan keluarga Alexander. Ia hanya meminta acara syukuran sederhana. Selama persiapan pernikahan pun, antara Raka dan Kirana tidak banyak interaksi. Tidak seperti pasangan yang akan menikah pada umumnya. Jangankan kencan atau jalan berdua. Bicara di dalam rumah pun selalu ditemani anggota keluarga yang lain.Pernikahan aneh dan sangat kentara dipaksakan. Namun, lagi-lagi Kirana cukup tahu diri. Raka menikahinya bukan karena menginginkannya. Melainkan hanya sebagai baktinya kepada Alexander. Lalu dirinya, kenapa tidak berusaha menolak permintaan Alexander itu? Apa karena ia menyukai pemuda itu sejak awal? Sebenarnya, bukan karena itu. Rasa tahu diri saja yang membuat ia mau memenuhi permintaan Alexander. Kirana merasa sudah terlalu banyak merepotkan sahabat ayahnya itu. Ia tak
174Kirana menarik napas sepanjang mungkin sebelum membuka pintu kamar mandi. Hampir satu jam ia berada di sana. Selain membersihkan diri, mengeringkan rambut yang basah, lalu mematut diri di depan cermin besar di kamar mandi Raka. Selebihnya, ia hanya melamun di depan cermin besar itu. Rasanya percuma keluar kamar mandi. Toh, tidak akan ada malam pengantin romantis antara dirinya dan Raka layaknya pengantin pada umumnya. Karena itu ia hanya memakai gaun tidur panjang yang menutupi hingga mata kaki. Gaun tidur two pcs berbahan satin berenda yang terlihat sopan karena panjang lengannya saja sampai siku. Bagian leher tidak terlalu terbuka, dan menutup betis hingga mata kaki. Padahal bila saja gaun luarnya itu ditanggalkan, hanya akan meninggalkan dalaman gaun tipis yang panjangnya jauh di atas lutut, dan seutas tali kecil di pundaknya. Kirana memutuskan tak menggunakan gaun tidur yang terbuka karena ia takut akan dipandang rendah oleh Raka, yang walaupun sudah menjadi suaminya, tetapi
175“Maaf.” Raka berucap lirih hampir tak terdengar. Tak ada jawaban. Tubuh itu masih berguncang walaupun tidak sehebat tadi. Raka semakin mengeratkan pelukan. Ditariknya pelan kepala itu agar bersandar di dadanya. Perasaan bersalah semakin menyeruak. Raka tidak tahu harus berbuat apa. Ini untuk pertama kali ia melihat wanita menangis. Mirisnya, wanita itu adalah istrinya dan menangis di hari pernikahan mereka. Ini, untuk pertama kali juga ia memeluk seorang gadis secara intim. Bukan tidak pernah mengenal wanita sama sekali. Raka pernah beberapa kali menjalin hubungan dengan teman kuliah atau rekan kerja. Namun tidak pernah sampai sejauh ini. Mereka hanya berpacaran biasa. Jalan ke mall, nonton, atau makan di restoran. Sentuhan hanya sebatas berpegangan tangan. Saat kata putus terucap pun, tak ada drama dan air mata. Rata-rata ia berpacaran juga tidak lama. Si wanita selalu yang minta putus lebih dulu. Entah kenapa. Hanya saja seorang di antaranya pernah berkata bosan dengan gaya p
Extra partKepanikannya semakin menjadi saat nomor Aira tak kunjung diangkat. Sementara Anyelir menjerit-jerit merasakan rasa mulas di perutnya yang seolah diperas.Wanita paruh baya asisten rumah tangga mereka yang melihat kepanikan itu gegas menyuruh Aldo membawa Anyelir ke rumah sakit. Sebagai wanita yang sudah berpengalaman melahirkan, ia tahu jika Anyelir akan segera melahirkan.Tanpa pikir panjang, Aldo mengangkat tubuh Anyelir yang beratnya sudah mencapai dua kali lipat dari berat normalnya karena kehamilan ini. Terlebih ada dua bayi kembar dalam perutnya. Untunglah rumah mereka kini bukan apartemen bertingkat. Hingga ia dengan mudah mengevakuasi sang istri.Berdua saja, Aldo membawa Anyelir ke rumah sakit yang sudah mereka tunjuk untuk tempat bersalin. Sang asisten ia minta untuk terus menghubungi kelurganya, dan menyusul ke rumah sakit setelah urusan di rumah selesai.Selama perjalanan, Anyelir terus mencengkeram lengan Aldo karena merasakan mulas tak terkira. Belum lagi sese
Extra part“Kenapa, sayang?” Aldo yang baru memasuki rumah, menatap sang istri yang bibirnya maju.Anyelir tidak menjawab. Ia meraih tangan sang suami dan menciumnya takzim. Walaupun usia Aldo lebih muda, tetapi posisinya tetap kepala keluarga. Anyelir tetap menghormati dan memperlakukan bagaimana seharusnya memperlakukan suami.Aldo menarik tubuh sang istri tetapi dengan hati-hati agar tak mengganggu perut besarnya. Sebuah kecupan mendarat di kening berpoles bedak tipis. Kemudian beralih kedua pipi dan terakhir menghisap bibir majunya dengan gemas hingga si empunya bibir meronta minta dilepaskan.“Kau membuatku sesak napas.” Anyelir mendorong dada Aldo. “Ciuman macam apa itu?” lanjutnya dengan bibir semakin maju, ditambah tangan yang dilipat di dada.“Itu ciuman penawar marah. Juga penawar rasa lelah di kantor.”Anyelir menoleh. Ia tahu Aldo lelah bekerja seharian di kantor tetapi pulang langsung disuguhi sikap manja dan sensitifnya yang semakin menjadi sejak hamil. Namun, ia tak dap
528 “Tetaplah di sisiku sampai salah satu di antara kita menutup mata. Aku bahkan ingin kebersamaan ini berlanjut hingga kehidupan kekal kita kelak. Jangan pernah tinggalkan aku. Terus dampingi dan bantu aku dalam memperbaiki diri agar menjadi suami yang bisa membimbingmu dan anak-anak kita menjalani kehidupan ini dalam koridor yang lurus. Aku ingin menjadi imam dambaanmu, sayang.” Anyelir mendongak. Hatinya trenyuh. Sejak kejadian itu, Aldo memang banyak berubah. Ia membuktikan dirinya layak mendapatkan maaf dan kesempatan kedua. Anyelir sendiri membuktikan memaafkan dengan tidak pernah membahas masalah yang sama. Jika Aldo mulai mellow, meminta maaf dan terindikasi membahas hal sama, Anyelir sendiri yang mengingatkan dan mengajak melupakan semuanya dengan menatap ke depan. Ia sadar dirinya pun bukan manusia tanpa dosa. Ia bahkan bersikap kekanakan dalam menghadapi masalah ini. Saling memaafkan, saling sadar dan terus berbenah diri, itu yang mereka lakukan saat ini. Terlebih sebent
527Semua orang terdiam mendengar ucapan Sandra. Semua orang tahu jika Gita dirawat di RSJ karena saat ditahan sering mengamuk dan beberapa kali mencoba bunuh diri lagi, bahkan bayi dalam kandungannya sampai gugur karena perilakunya sendiri. Gita akhirnya dirawat di RSJ.Keluarga Aldo menganggap semua telah selesai, karena akhirnya Gita dinyatakan bersalah. Semua bukti dan saksi menunjukkan jika Aldo tidak bersalah. Andika dan istrinya kembali ke Kalimantan. Gita tidak menuntut apa pun kepada Andika, mungkin karena melihat kondisi laki-laki itu yang mengenaskan.Justru perseteruan dengan Aldo yang ia pertahankan walaupun pada akhirnya Gita harus merasakan kehidupan di balik jeruji besi dalam kondisi hamil.Publik juga sudah mulai melupakan kasus ini, hingga Aldo dan keluarga bebas bergerak tanpa banyak yang memperhatikan.Semua sudah berjalan normal dan baik-baik saja. Aldo dan Anyelir menjalani pernikahan dengan bahagia. Terlebih mereka akan memiliki anak. Hubungan mereka bahkan sema
526 “Aku mau poliandri, apa kau setuju?” Anyelir menatap serius. Hening. Binar penuh harap di mata Aldo seketika pudar dan meredup. Senyum yang tadi sempat tersungging, raib dalam waktu singkat. Dada pemuda itu mendadak sesak. Diteguknya ludah dengan susah payah karena kerongkongan yang mendadak kemarau. Napasnya tersengal seolah telah berlari puluhan kilo meter. Bibirnya bergetar. “Mana ada seperti itu, sayang?” tanyanya dengan senyum miris. Anyelir tersenyum. “Ada, ini bukan sungguhan. Jadi, aku hanya pura-pura saja.” “Maksudnya?” Mata Aldo memicing. Anyelir menarik napas panjang. “Begini, orang tua Haris menuntutnya untuk segera menikah. Sementara ia belum menemukan wanita yang cocok. Tapi ia menolak jika harus dijodohkan dengan gadis pilihan orang tuanya. Jadi, ia memintaku untuk berpura-pura menjadi….” “Tidak!” Dengan napas yang semakin tersengal dan dada makin sesak, Aldo memotong ucapan Anyelir. “Apa kau sudah gila, sayang?” “Kenapa?” Anyelir memiringkan kepala. Tawan
525“Makanya jangan petakilan. Sudah mau jadi ayah kelakukan masih bocah.” Anyelir berkata ketus seraya melipat tangan di dada. Sementara Aldo terus meringis merasakan sakit di pinggangnya. Terpaksa harus dipijat lagi. Harus menahan lagi sakit yang lebih dari sebelumnya. Namun, di balik itu semua hatinya bahagia tiada tara. Sang istri sudah kembali seperti dulu. Hanya ketus karena kesal. Baginya tak apa diberi wajah ketus seperti itu, daripada harus mendapati wajah dingin yang membuatnya putus asa.Kini, bahkan Anyelir tengah menyuapinya. Ia yang untuk sementara hanya bisa tengkurap dengan kepala hanya bisa mendongak, kesulitan untuk sekadar menyuap. Praktis makan pun harus disuapi. Anyelir geleng-geleng kepala. Ini piring ketiga yang Aldo tandaskan. Pemuda itu seperti kelaparan. Memakan apa pun yang Anyelir suapkan dengan sangat rakus. Bahkan saat piring ketiga tandas pun, lelaki itu masih meminta tambah.“Berapa hari kau tidak makan?” tanya Anyelir heran saat menyuapi dari piring k
524“Sakit ….” Aldo merengek manja dengan wajah menengadah. Tangannya memeluk erat pinggang Anyelir yang pangkuannya ia jadikan bantal.Wajah lelaki itu terlihat berkeringat. Ringisan masih sesekali menghiasi wajahnya. Pemuda itu baru saja berteriak-teriak merasakan sakit akibat pijatan bapak tua penjaga villa.Akibat terlalu bersemangat dan terlampau bahagia karena melihat wanita yang dirindukannya selama ini ada di depan mata, ia berlari hingga tak memperhatikan apa pun lagi. Tangannya menyenggol keranjang buah di atas meja, hingga isinya jatuh ke lantai dan terinjak. Aldo terpeleset karena menginjak buah apel yang jatuh menggelinding, hingga tak terelakkan tubuhnya melayang jatuh. Namun, sebelumnya pinggangnya terbentur tepian meja hingga sakitnya menjadi berlipat-lipat.Beruntunglah bapak penjaga villa bisa memijat urat keseleo. Hingga ia langsung mendapat penanganan.Anyelir yang tengah memasak dibantu istri penjaga villa, kaget karena suara benturan keras. Wanita itu langsung me
524Aldo mengeratkan pelukan demi mendengar nasihat Aira. Kalau boleh memilih, ia ingin pernikahannya lanjut. Tak ingin tercerai berai karena anak yang akan menjadi korban. Kalau boleh ia ingin bertemu Anyelir dulu agar bisa bicara dari hati ke hati. Sayangnya, bahkan di mana keberadaan wanita itu, ia tidak tahu. “Jika Tuhan masih memberimu kesempatan, ingat gunakan sebaik-baiknya. Namun, jika semuanya hanya sampai di sini karena manusia hanya punya keinginan dan usaha, kau tetap harus bisa mengambil hikmahnya, Nak. Mungkin ini takdir kalian. Takdirmu. Jangan menyalahkan Tuhan. Apa yang terjadi sudah digariskan. Jika kalian harus bercerai, itu pasti takdir karena kau sudah berusaha memperbaiki semuanya. Yakin akan ada pelangi setelah hujan, Nak. Jika Tuhan memberi ujian ini, pasti disertai jalan keluar dan hikmah di baliknya.”Aldo hanya diam meresapi setiap kalimat sang ibu. Sungguh, ia tidak sanggup jika harus berpisah dengan Anyelir. Namun, jika wanita itu tetap memaksa, ia bisa
523“Anye, kamu di mana?” Aldo duduk lesu di lobi hotel. Kepalanya menunduk dalam. Tangannya meremas rambut dengan kuat. Berkali-kali mengembus napas kasar. Beban di dadanya terasa ingin meledak. Setelah menunggu berminggu-minggu dengan setumpuk rindu dan penyesalan, kini hanya mendapati Anyelir yang sudah tidak berada di tempat.Aldo menyandar lemah seraya merogoh ponsel dalam saku. Mencoba keberuntungan. Menghubungi lagi Anyelir. Namun hingga berkali-kali dilakukannya, tetap hanya dijawab operator.Pemuda itu memejam sebelum bangkit dan berjalan keluar. Para pengawal berwajah datar sigap mengiringi.“Putari kota ini, Pak. Siapa tahu aku melihat keberadaan istriku,” titahnya kepada sopir setelah duduk di dalam mobil. Sang sopir hanya mengangguk sebelum menjalankan mobil dengan kecepatan sedang. Mengitari kota Surabaya seperti perintah sang majikan.Hampir seharian Aldo dan rombongan berputar-putar di sana. Semua jalan disusuri bahkan hingga jalan-jalan kecil hanya agar mendapat keber