"I-ibu pengganti?"
Kaki kecil Harsha mundur selangkah dengan bola mata membeliak. Jantungnya seakan berhenti berdetak, ketika dengan lugasnya Bela melontarkan tawaran yang terdengar sangat serius. "Benar. Aku akan membiayai operasi ibumu dan biaya lain-lain selama beliau dirawat di rumah sakit. Tapi kau tahu kan kalau di dunia ini tidak ada yang gratis, Sha," tukas Bela memotong, ia membalas tatapan Harsha yang tertuju padanya dengan penuh kelicikan. "T-tapi saya masih perawan, Nyonya." Harsha mulai panik dan gelisah. "Mana mungkin saya bisa hamil kalo saya bahkan belum menikah." "Jangan khawatir, Sha. Sekarang tekhnologi semakin canggih. Kamu bisa tetap perawan meskipun sudah melahirkan anakku. Bukankah definisi perawan artinya belum pernah berhubungan badan dengan pria?" "T-tapi--" "Kamu ingin ibumu sembuh, kan?" tukas Bela cepat sembari menunjuk tas berisi uang ratusan juta di dalam tas koper kecil miliknya. "Pilihan ada di tanganmu. Silahkan kamu tandatangani surat perjanjian jika kamu setuju." Bagai buah simalakama, Harsha bingung apa yang harus ia putuskan. Di satu sisi, ia ingin ibunya sembuh dan hidup lebih lama lagi. Namun, disisi lain, ia tak rela jika harus menggadaikan kehormatannya. "Ingat, resikonya akan berkali lipat lebih buruk jika sampai kamu menolak tawaranku. Kamu sudah merusak bunga langka kesayanganku, kamu terancam dipecat dan ibumu bisa saja meninggal kapanpun. Bukankah aku sangat berbaik hati karena mau menolongmu sampai sejauh ini?" Bela mengangkat dagunya lebih tinggi untuk menegaskan kemurahan hati yang baru saja ia ucapkan. "Baik, Nyonya. Saya akan melakukan apapun syarat itu asalkan ibu saya bisa tetap hidup," janji Harsha bersungguh-sungguh. Sambil tersenyum samar, Bela lantas mengangsurkan selembar map yang sudah ia siapkan. "Bacalah dulu, lalu tandatangan." Bela memerintah setelah Harsha menerima map itu dengan tangan gemetaran. Dengan ragu, Harsha membuka map berwarna biru itu dan membaca judul dengan huruf besar yang bercetak tebal. Perjanjian Surrogate Mother. Netra indah Harsha mulai berkaca-kaca ketika ia membaca poin demi poin perjanjian yang harus ia sepakati, suka atau tidak suka. Sesekali, Harsha melirik Bela yang tetap tenang dengan gaya anggunnya. "Kamu masih muda, kamu juga sehat dan cantik. Kamu sangat pontensial dan berkualitas. Harusnya aku menawarkan ini sejak lama padamu." Bagai mendengar gemuruh petir di siang bolong, Harsha menganga tak percaya dengan penuturan wanita super kaya itu. Jadi, selama ini dia memang sudah menjadi target Bela untuk dijadikan ibu pengganti? Demi apapun itu, Harsha merasa semakin terpojok dan serba salah. Keadaan membuatnya tak punya pilihan lain selain meraih bolpoin di samping lembaran surat perjanjian itu dan membubuhkan tandatangannya di atas materai. Rasa takut kehilangan ibunya lebih besar daripada harga diri yang akan ia gadaikan pada keluarga Birnandi. "Bagus! Kamu sudah memilih keputusan yang tepat." Bela tersenyum puas sembari menutup lembaran map itu dan menyimpan berkas perjanjian mereka di dalam tas. "Apa saya boleh meminta satu hal, Nyonya?" ucap Harsha ragu. Bela mengangguk dan mempersilahkan Harsha melanjutkan perkataannya. "Tolong rahasiakan perjanjian ini dari siapapun, bahkan ibu saya sekalipun," pinta Harsha dengan mimik wajah resah. "Saya tidak mau nantinya ibu saya jadi malu karena keputusan yang saya ambil. Tolong rahasiakan ini dari siapapun." "Tidak masalah!" Bela melipat kedua tangannya di dada dan mengangguk setuju. "Lagian setelah melahirkan anak kami, kamu tidak seharusnya berada di lingkungan kami lagi. Kamu harus pergi sejauh mungkin dan jangan pernah lagi kembali ke kota ini." Gerimis kecil di sore yang sendu itu pada akhirnya membuat hati Harsha semakin mendung. Ia sempat membaca beberapa poin perjanjian yang tertulis di lembaran kertas tadi, hanya saja Harsha tak terlalu menyimak dengan teliti. "Kembalilah bekerja. Aku akan menghubungimu lagi setelah aku berdiskusi dengan suamiku," usir Bela sembari menunjuk ke arah tamannya. Di antara hujan yang turun semakin deras, air mata Harsha luruh dan membaur bersama air hujan. Ia tak tahu mana yang lebih perih, apakah membohongi ibunya atau menjual dirinya pada keluarga Birnandi? Sejak kecil, Harsha dididik untuk menjadi gadis yang cerdas dan kuat. Hanya memiliki ibunya di dunia ini, tentu saja membuat Harsha memusatkan segalanya pada wanita yang telah melahirkannya itu. "Nggak apapa, Sha. Kamu sudah memutuskan yang terbaik," bisik Harsha untuk menguatkan dirinya sendiri. "Semua demi ibu." Keesokan hari, dengan membawa sejumlah uang untuk biaya operasi ibunya, Harsha datang ke rumah sakit. Ia menyerahkan uang itu dengan perasaan campur aduk. Lega, bahagia, tapi juga sedih dan kecewa pada dirinya sendiri. "Sha, dari mana kamu dapat duit buat biaya operasi Ibu?" Ranti membelai rambut putrinya, sesaat sebelum ia masuk ke ruang operasi. Keduanya kini berada di ruang tunggu karena ruangan operasi masih dipersiapkan. "Harsha punya tabungan, Bu. Sisanya dapat dari pinjam ke temen." "Devan?" tebak Ranti dengan lugu dan Harsha mengangguk lemah tanpa berani beradu tatap dengan sang ibu. "Syukurlah. Nanti setelah Ibu sembuh, Ibu akan kembali bekerja di Mansion biar kita bisa sama-sama mencicil uang Devan, ya?" "Nggak usah! Ibu jangan kerja lagi. Biar Harsha aja yang kerja. Ibu harus fokus jaga kesehatan," tolak Harsha tak setuju. "Lagian, setelah aku lulus kuliah, aku bisa kerja di dua tempat. Jadi Ibu nggak udah khawatirin soal duit lagi, ya?" Dengan berat hati, Ranti mengangguk dan tersenyum hangat pada sang putri. Ia bersyukur memiliki Harsha yang sangat menyayanginya. "Terimakasih ya, Nak. Terimakasih karena kamu sudah banyak berjuang untuk Ibu. Ibu banyak nyusahin kamu setahun belakangan ini." "Ibu, jangan ngomong begitu. Aku jadi sedih, nih!" protes Harsha tak suka, ia memeluk tubuh ringkih sang bunda dengan hati terluka. "Ibu pokoknya harus sembuh. Aku nggak mau tahu gimanapun caranya, Ibu harus sembuh dan harus tetap temenin aku sampai aku nikah, sampai aku punya anak dan..." Air mata yang tiba-tiba menetes ketika Harsha menyebut kata 'anak' membuatnya seketika menangis tersedu-sedu. Ia jadi teringat pada perjanjian yang ia lakukan bersama Bela. Ranti tak tahu jika tangisan Harsha luruh karena merasa bersalah padanya. Wanita berusia 50 tahunan itu hanya tahu jika putrinya adalah gadis baik-baik yang akan selalu menjaga kehormatannya sampai kapanpun. "Ibu Ranti sudah siap? Kita akan mulai operasinya sekarang.""Ibu pengganti?" "Iya, benar, Honey. Bukankah kamu ingin kita segera punya anak?" Bela membantu suaminya, Ron Kyle, melepas jas kerja yang menempel di tubuhnya yang atletis. "Aku maunya kamu yang hamil. Bukan ibu pengganti, Honey." Ron berbalik dan menangkap tubuh molek istrinya dengan gesit. "Keturunan Bernandi hanya akan dilahirkan oleh wanita sepertimu." "Oh, c'mon Ron! Kita sudah membahas hal ini ratusan kali.""But, why? Kenapa memangnya dengan perubahan hormon dan membesarnya bentuk tubuhmu? Aku mencintaimu apa adanya, Bela."Bela mendengus dan menepis pelukan suaminya dengan jengkel. "Kalo begitu suruh keluargamu berhenti membahas tentang anak dan keturunan! Aku bosan mendengarnya setiap kali mereka datang ke mansion ini!" "Oke, Honey. Jangan pikirkan hal itu. Aku minta maaf atas nama keluargaku." Ron mendekat dan kembali memeluk Bela dengan erat. Aroma rose dan peony yang menguar dari ceruk leher istrinya, membuat hasrat Ron mulai terpancing. Ia membubuhkan ciuman di area
Silent treatment adalah jurus andalan yang dilakukan Bela setiap kali ia dan Ron bertengkar. Ia betah berhari-hari bahkan seminggu lebih mendiamkan Ron dan menganggap suaminya itu tak ada. Seperti yang Bela lakukan sekarang, ia tak sekalipun menggubris Ron dan memilih untuk tidur di kamar tamu karena kesal permintaannya tak dikabulkan. Pulang ke rumah di saat sedang ada masalah merupakan pilihan terakhir yang Ron lakukan. Ia menyibukkan diri dengan pekerjaan dan baru pulang saat malam sudah larut. Selama sembilan tahun berumahtangga, ia selalu dihukum dan didiamkan tanpa pernah mendapat penjelasan dan menyelesaian dari Bela, setiap kali mereka berdua ada masalah. Pada akhirnya, selalu Ron yang meminta maaf meskipun kesalahan tak sepenuhnya berada di pihaknya. Anak adalah sumber masalah yang selalu menjadi topik pertengkaran. Bela yang dulu memutuskan untuk child free, perlahan-lahan mulai luluh dan berkenan untuk memiliki anak bersama Ron. Namun, syaratnya adalah bukan dia yang hami
Setelah berkonsultasi dengan Dokter Spesialis Endokrinologi Reproduksi dan Infertilitas, yakni dokter Hendri, akhirnya diputuskan bila Ron dan Bela harus lebih dahulu dicek kesuburan sebelum nantinya diambil sperma dan sel telur. Sementara Harsha, harus mengkonsumsi obat-obatan yang mengandung hormon untuk mempersiapkan kondisi rahimnya. Setelah melalui hari-hari yang panjang dan proses yang melelahkan bagi Harsha, akhirnya tiba saatnya ia dibawa ke ruangan khusus di mana dokter akan menyuntikkan embrio Ron dan Bela. Karena harus bolak-balik ke kota, sementara keadaan ibunya belum stabil, Harsha terpaksa meminta bantuan pada perawat di rumah sakit untuk mengawasi ibunya selama ia tak ada. "Sudah siap?" Dokter Hendri memperhatikan pasiennya yang nampak sangat pasrah di ranjang pasien. "Siap, Dokter." Harsha menjawab dengan dada berdebar was-was. "Dokter, apakah setelah proses ini saya bukan lagi gadis perawan?"Dokter Hendri meletakkan jarum suntik di tangannya dan mendekat di kep
Selama hampir seminggu lebih pasca penyuntikan embrio itu, kondisi Harsha terus dipantau oleh Bela. Dilarang naik motor, dilarang naik turun tangga, dilarang berlari dan terlalu lelah, adalah peraturan mutlak yang wajib dipatuhi oleh Harsha. Berbagai macam vitamin juga harus diminum setiap hari, pun susu dan makanan yang bergizi. Bela benar-benar menjaga calon bayinya dengan sangat protektif. "Kapan Ibu boleh pulang, Sha?" Ranti, ibu Harsha, memperhatikan putrinya yang sibuk berkutat dengan laptop di meja. "Ibu sudah jenuh di rumah sakit terus. Ibu kangen rumah.""Dokter bilang kondisi Ibu masih harus terus dipantau." Harsha beralasan demikian karena ia khawatir kondisi ibunya drop lagi jika terlampau lelah, apalagi Harsha masih sibuk wira-wiri untuk proses inseminasi itu."Tapi Ibu, kan, sudah sehat. Perawat juga bilang kondisi jantung Ibu sudah semakin membaik.""Bu..." Harsha menutup laptopnya dan bangkit, ia lalu menghampiri ranjang ibunya dan duduk di tepian ranjang pasien itu.
"Mba Harsha, kondisi Ibu drop dan sekarang dipindah ke ICU." Bagai tersengat listrik ribuan volt, Harsha merasa tubuhnya membeku seketika. Ponsel milik Bela perlahan jatuh dari tangannya, seiring dengan air mata yang menetes deras. "Ibu!!" Ditemani oleh Bela dan supir, Harsha akhirnya diantar menuju rumah sakit. Kondisinya psikisnya yang drop, membuat Bela khawatir jika membiarkan Harsha berangkat seorang diri. Dan yang paling penting, Bela tak mau calon bayinya juga terkena dampak. Di rumah sakit, karena dilarang berlari atau berjalan cepat, akhirnya Harsha harus menahan diri untuk tidak banyak bergerak. Sampai di depan ruang ICU dengan jendela kaca yang membatasi ruangan itu, Harsha menatap ibunya dari luar dengan pilu. "Ibu, jangan tinggalin Harsha, Bu," tangis Harsha sedih sembari mengusap kaca itu seakan membelai wajah ibunya. "Maafin Harsha, jangan pergi dulu, Bu." "Sha, bu Ranti pasti segera pulih," hibur Bela. "Saya banyak dosa sama ibu saya, Nyonya. Saya ba
"Honey, apa aku boleh ijin untuk menginap di rumah papa hari ini?" Ron melirik istrinya sekilas dengan mulut penuh remahan roti. Ia menunggu Bela melanjutkan perkataannya. "Nanti malam ada acara reuni SMA-ku, sudah dua kali aku absen ikut reuni, bolehkah reuni kali ini aku datang?" rayu Bela memohon. "Boleh. Aku akan ikut denganmu.""Tidak, tidak perlu! Aku tidak mau teman-temanku bertemu dan berkenalan dengan suamiku!" Ron menghembuskan napasnya dengan malas. Alasan itu selalu menjadi penghalang bagi Ron untuk kenal lebih dekat dengan lingkungan istrinya. Bela tidak suka teman-temannya yang genit bertemu dengan suaminya. "Boleh kan, Honey? Please ..." Bela mengatupkan kedua tangannya di dada sembari memasang wajah sok imut, berharap Ron akan mengijinkan dia datang. "Baiklah. Jam berapa kamu berangkat?" Ron bertanya sembari meraih gelas kopinya yang masih mengepulkan asap. "Siang ini, karena aku masih mau ke salon dan membeli baju. Besok pagi aku sudah pulang kok!" Ron mengang
Tak pernah terpikirkan sebelumnya, hari penuh kesialan ini akan terjadi. Sejak pagi, Harsha yang sudah bersiap untuk sidang seminar mendadak batal karena dosennya kecelakaan. Pun ketika ia hendak membeli makan siang di kantin, rupanya dompetnya ketinggalan di laci rumah sakit. Alhasil, Harsha harus menahan lapar dan terpaksa pulang ke rumah sakit. Namun, baru saja turun dari motor bututnya, suara dering ponsel lantas membuat langkah Harsha terhenti. Gadis berambut panjang itu merogoh isi tasnya dan meraih gawai pipih berwarna putih itu. Ia membaca barisan nama yang muncul di layar dengan kening berkerut. Nyonya Bela? Tumben dia menelepon siang-siang begini, Harsha membatin sembari bersiap untuk mengangkat telepon itu."Halo, Nyonya.""Harsha, apa hari ini kamu sibuk?" Pertanyaan Bela membuat Harsha berpikir sejenak. Sudah lama sekali ia tak bertemu dengan Bela setelah kegagalan kehamilan terakhir. Dan, telepon kali ini membuatnya sedikit trauma, mungkinkah Bela akan memintanya mela
"Sha, kok melamun." Harsha tersentak dan menoleh cepat ke arah sang ibu yang sedang duduk mengawasinya. "Beberapa hari ini Ibu lihat kamu sering melamun. Apa ada sesuatu yang sedang kamu pikirkan?" "Nggak ada, Bu. Harsha cuma lagi mikirin jadwal seminar yang nggak ada kabar. Padahal semua sudah siap.""Sabar, Nak. Kamu pasti lulus, Ibu pasti bisa dateng ke acara wisuda kamu," hibur Ranti dengan senyuman khasnya, memamerkan barisan giginya yang rapi. "Oh iya, aku baru ingat, minggu depan Ibu sudah boleh pulang. Ibu seneng, kan?" Senyuman Ranti mendadak pudar setelah putrinya mengucapkan kalimat yang harusnya membahagiakan itu. Ia kembali teringat pada penjelasan suster Silvi yang selalu menjaganya saat Harsha sedang sibuk. Nominal yang harus dibayar sangatlah besar, bahkan harga rumah mereka saja tak sebanding dengan biaya yang harus dibayarkan Harsha ke rumah sakit. "Kok Ibu malah sedih, Ibu masih ingin di sini, ya?" tanya Harsha sembari mendekat ke ranjang dan duduk di tepianny
"Berlibur?" Ron mengernyit heran setelah mendengar permintaan Harsha yang tak biasa sore ini. Ia baru saja menyerahkan sebotol stok Asi untuk bayinya ke ruang NICU, dan Harsha mendadak mengajaknya liburan seakan mereka tak direpotkan oleh seorang bayi yang sedang berjuang untuk tetap hidup. "Iya. Liburan. Kapan terakhir kamu liburan?" Harsha bangkit dan menggandeng lengan suaminya yang masih mematung di samping pintu. Ron menerawang sejenak, alisnya terangkat untuk mencoba mengingat-ingat kapan terakhir kali ia pergi berlibur. Sepertinya sudah sangat lama, hingga Ron lupa kapan persisnya. "Entahlah, aku lupa.""Kalo begitu ayo kita pergi liburan!" putus Harsha riang tanpa beban. "Lalu Brisya? Kamu akan meninggalkannya di sini?" Ron memandang istrinya dengan heran. "Bagaimana bisa kita bersenang-senang sementara anak kita sedang berjuang di dalam sana, Harsha?" "Kita hanya pergi dua hari, bukan pergi selamanya! Jangan berlebihan." Harsha meninggikan suaranya karena tersinggung d
Ron akhirnya menyerah pada keangkuhannya. Ia setuju pada ide nama yang diberikan oleh Harsha untuk putri mereka. Ron menekan egonya demi kebaikan. Ia ingin menjadi ayah dan suami yang sempurna untuk keluarga kecilnya yang baru. Ron berharap bisa mengimbangi kebaikan dan ketulusan Harsha pelan-pelan. "Brisya Nora Birnandi." Ron tersenyum ketika membaca nama bayi kecilnya yang kini terpampang di papan kecil --yang ditempel di inkubator. Sejak seminggu yang lalu, papan nama itu sudah tertempel di situ. Kini, hanya tinggal dua bayi yang masih dirawat di ruangan steril dengan berbagai macam alat bantu kesehatan itu. "Selamat pagi, Pak." Lamunan Ron seketika itu buyar setelah mendengar suara sapaan khas yang selalu menyapanya di jam sembilan pagi. Ron menarik napasnya singkat sebelum akhirnya berbalik badan. "Selamat pagi, Vick. Apa ada berita terbaru hari ini?" tanya Ron seraya berlalu dari jendela NICU dan beringsut duduk di kursi besi di dekat sana. Vick membuntutinya di
Bela sangat pencemburu. Dia tidak suka melihat Ron terlalu akrab dengan lawan jenis. Jangankan ketahuan mengobrol dengan perempuan, ketahuan melirik atau memperhatikan perempuan lain saja pasti jadi masalah besar bagi Bela. Itulah mengapa sejak menikah dengan Bela, Ron benar-benar memutuskan komunikasi dengan Kalina. Ia pun mengganti beberapa manajer perempuan di kantornya untuk meminimalisir pertemuan dengan mereka di saat meeting. Sejak menikah, Ron benar-benar menjaga hati dan dirinya hanya untuk Bela seorang. "Aku bertemu tante Brigitta kemarin di mall. Beliau sebenarnya sudah lupa denganku, katanya wajahku sudah banyak berubah. Benarkah begitu, Ron? Apakah aku tampak lebih muda dari usiaku?" Kalina terkekeh sembari menyentuh pipinya yang memerah. Harsha dan Ron hanya saling melirik dengan keki ketika melihat gelagat Kalina yang tersipu setelah memuji dirinya sendiri. "Jadi kamu bertemu mami?" "Nah, iya! Beliau cerita kalo istrimu baru melahirkan. Makanya akhirnya aku datan
Sudah hampir satu jam berlalu sejak Ron kembali ke kamar VVIP yang ditempati Harsha, tetapi pria itu tak sekalipun membuka mulut atau sekedar memperhatikan sang istri yang sedang memompa ASI. Biasanya, Ron akan duduk dengan wajah berbinar dan menemani Harsha, setiap kali melihat wanita muda melakukan rutinitas pumping untuk bayi mereka. Setiap tetes air susu untuk putri mereka yang sedang berjuang di ruang NICU itu, selalu membuat Ron takjub. Walaupun sesekali, Ron akan menggoda Brisya dengan sesekali memberikan belaian lembut di gundukan menggiurkan itu.Namun, sudah satu jam berlalu dan Ron masih betah memandangi layar laptopnya tanpa sekalipun terdistraksi oleh gerak-gerik Harsha. Entah mengapa moodnya memburuk pasca bertemu Victor. "Kamu marah sama aku?" Suara lembut itu membuat jemari Ron membeku diatas keyboard laptopnya. Ia melirik sekilas ke arah Harsha yang sedang duduk di sebelah jendela, memompa asi sambil menikmati pemandangan adalah kegiatan favoritnya. "Tidak." Ron m
"Jadi dia belum ditangkap?" Ron menggretakan giginya dengan keras. "Lalu apa kerjaan polisi-polisi itu semingguan ini, huh!?" "Maaf, Pak. Tapi keberadaan nyonya Bela benar-benar tidak bisa di lacak. Nomornya tidak aktif sejak kejadian itu dan posisi terakhirnya tak memberikan petunjuk apapun," terang Vick dengan serius. "Di mana posisi terakhirnya?" "Di supermarket, Pak. Saya sudah mengecek CCTV di sana tapi sayangnya koneksi internet pada hari itu jelek, sehingga kualitas gambarnya buruk dan menyusahkan tim kepolisian mencermati setiap pengunjung di sana," jelas Vick sembari mengangsurkan ponselnya, yang sedang memutar video copy CCTV di supermarket itu. "Sialan!" maki Ron sembari mengepalkan tangan. "Selama dia belum ditemukan, keselamatan bayiku dan Harsha sedang terancam." Ron terkesiap setelah ia mengucapkan kalimatnya barusan. Ia baru ingat, tadi dia meninggalkan Harsha bersama Victor yang notebene adalah kekasih Bela. "Vick, apa kamu sudah mengecek kediaman Mr. Simon?" Ro
Sudah seminggu sejak Harsha melahirkan, hanya dua kali ia diijinkan melihat dan menggendong bayinya di ruang NICU. Bukan tanpa alasan, semua demi menjaga kestabilan emosi Harsha yang selalu goyah tiap kali usai menjenguk putri kecilnya. Melihat selang kecil di mulut mungilnya, juga selang ventilator yang tak pernah lepas membantu pernafasannya, selalu membuat tangis Harsha pecah detik itu juga. Akhirnya, dokter hanya mengijinkan Harsha melihat dari jauh tanpa boleh mendekat agar kondisi psikisnya terjaga. Meskipun berat, tapi perlahan-lahan Harsha mulai menerima keadaan bayinya yang bermasalah dengan kesehatannya. Ia mulai sanggup mengelola emosinya, menata hatinya, menguatkan batinnya. Bersama Ron, suaminya, Harsha belajar untuk ikhlas pada takdir mereka. Sebenarnya, Harsha sudah diperbolehkan pulang tiga hari pasca cesar, hanya saja ia tak ingin jauh-jauh dari bayinya, alhasil Ron akhirnya menyewa dan menganggap rumah sakit itu selayaknya hotel. Mereka berdua selalu mengunjungi b
Dingin. Aroma obat yang sangat menyengat menguar dan terhirup oleh indra penciuman Harsha yang baru saja membuka mata. Efek obat bius itu secara perlahan mulai mereda dan membuat kesadarannya kembali. Dengan gerakan lemah, Harsha meraba perutnya yang telah rata. Jadi, bayinya sudah lahir? "Kamu sudah bangun?" Suara berat nan serak itu membuat Harsha menoleh ke sisi kanan tubuhnya. Seorang pria tersenyum menatapnya. Ron Kyle. "Jam berapa sekarang? Di mana bayi kita?" Harsha memperhatikan seisi kamar berwarna biru muda yang menjadi ruangan VVIP tempatnya menginap. "Jam tujuh malam. Kamu baru jam tiga sore tadi dipindah dari ruang pemulihan. Kamu tidak ingat?" tanya Ron seraya bangkit dari sofa, mendekat ke ranjang istrinya lantas duduk di tepian ranjang itu. Masih dengan gerakan lemah, Harsha menggeleng. Ingatan terakhirnya adalah ketika dokter mulai menyuntikkan sesuatu ke selang infusnya, lalu setelah itu semuanya gelap dan Harsha tiba-tiba sudah berada di ruangan ini. "Yah, sa
"Operasi berjalan lancar, dan istri anda masih harus dipantau selama dua jam ke depan di ruang pemulihan, Pak." Dokter Eka melipat masker yang sejak tadi menutupi wajahnya dan memandang Ron dengan tatapan tak terbaca. "La-lalu bayi kami?" "Tim Neonatologist sedang berupaya keras untuk memeriksa kondisi bayi anda. Saat ini bayi anda sudah dibawa ke NICU.""Bayi saya pasti sehat 'kan, Dokter?" Ron menghadang langkah dokter Eka yang hendak berlalu. "Tolong selamatkan bayi saya, Dokter! Saya akan bayar berapapun asal bayi saya mendapatkan perawatan yang terbaik!" "Ronney." Brigitta menarik lengan putranya agar tidak menghalangi dokter Eka yang hendak kembali ke ruangannya. "Kita akan berusaha semaksimal mungkin, Pak. Kami akan terus update perkembangan ibu dan bayi. Do'akan saja yang terbaik." Dokter Eka menepuk pundak Ron Kyle untuk berbagi kekuatan pada pria itu, sebelum akhirnya berpamitan untuk kembali ke ruangan prakteknya. "Aku akan membunuhnya dengan tanganku sendiri seandainy
Setelah mengurusi beberapa keperluan Harsha terkait administrasi, Ron akhirnya diperbolehkan mengunjungi istrinya itu di ruang UGD. Sembari menunggu jam operasi, Ron ingin menemani Harsha meskipun hanya sebentar. "Aku takut," rengek Harsha di antara isak tangisnya yang pecah ketika melihat Ron datang. "Bagaimana kalo aku mati? Bagaimana kalo bayinya nggak bisa diselamatkan?""Sttt, jangan bicara seperti itu. Kamu dan bayi kita pasti akan baik-baik saja. Dokter Eka adalah dokter terbaik di kota ini," hibur Ron sembari menggenggam erat jemari Harsha yang dingin. "Sebentar lagi kita bisa bertemu bayi kita, anak kita." Ron mengusap kening wanita yang sangat ia cintai itu dengan lembut dan melayangkan ciuman di sana. "Kalo aku mati, apa kamu akan menikah lagi?" tanya Harsha masih dengan linangan air mata itu. Ron tergemap, ia menarik kepalanya dari kening Harsha dan menatap sang istri dengan heran."Kamu akan baik-baik saja, Harsha. Kamu tidak akan mati.""Tapi rasanya pasti sakit bange