"Tapi hari Kamis kita ada jadwal ke Italia, Ron! Sabtu acara pernikahan mamaku!" Seketika itu Ron lupa jika saja ia tak melihat tiga buah koper yang sudah dipersiapkan Bela. Padahal, dia sudah berjanji akan datang di acara wisuda Harsha dan hendak ijin pada Bela. "Bagaimana bisa kamu melupakan acara sepenting ini!" keluh Bela dengan kecewa. "Apa mamaku tidak sepenting itu di matamu?" "No, Honey! Maafkan aku. Aku benar-benar lupa. Apalagi ini pernikahan kesekian yang kita datangi, jadi--""Jadi maksudmu tidak masalah meskipun kita tidak hadir di acara pernikahan mamaku yang kesekian kali!?" "Tidak. Dengarkan dulu penjelasanku, Bela. Please!" Ron menarik tangan istrinya dan membimbingnya menuju sofa. Saat keduanya sudah duduk berdampingan, Ron membelai rambut wanita yang sangat ia cintai itu dengan lembut. "Baiklah. Kita akan berangkat. Aku minta maaf," ucap Ron berat hati. "Tapi setelah acara pernikahan mama, aku ijin pulang lebih dulu untuk menghadiri acara wisuda Harsha. Apa bo
[Jadwal hari ini : jam 10 fitting baju kebaya di butik Miss Valentine. Jam 13 try on make up di studio Miss Adeline] Harsha meletakkan ponselnya disertai dengan hembusan napas panjang. Beginikah rasanya jadi orang kaya? Segala sesuatu sudah ada yang mengatur dan kita tinggal datang tanpa perlu repot-repot membuat janji dll. Hanya demi acara wisuda, Ron sudah menyiapkan segala sesuatunya untuk Harsha. Berhubung jam 10 Harsha sudah harus sampai di butik di mall besar yang hanya ada di kota, akhirnya Harsha sudah harus bersiap sedari pagi. Tepat jam 8, Harsha sudah rapi dan menyelesaikan sarapannya. "Nyonya, ada teman Nyonya di depan." Bik Sumi datang sembari sesekali memperhatikan ruang tamu. "Teman siapa, Bik?" "Itu loh, temen cowok yang dulu pernah nganter Nyonya pulang."Harsha sontak membeliakkan mata sembari melangkah cepat menuju ruang tamu"Devan!" serunya tertahan ketika dilihatnya sang sahabat sudah berdiri di pintu. Pria berjaket biru itu menoleh dengan santai sembari me
Masih ada satu jadwal yang harus Harsha selesaikan sebelum pulang, jadi ia tetap melanjutkan urusannya meskipun Ron memutuskan untuk ikut atau pria itu akan memaksanya pulang bersamanya. Tak ada pilihan yang lebih bagus untuk saat ini selain membiarkan dua pria itu membuntuti Harsha menuju Studio Make Up milik Miss Adeline, make up artis langganan keluarga Ron. Ketika Harsha tiba di studio keren yang didominasi oleh warna Pink Fanta dan Hitam, ia segera diarahkan menuju ruangan khusus di mana ia akan mencoba dirias sesuai dengan permintaan. Nantinya hasil riasan hari ini akan dipoles lagi untuk acara wisuda. Selama menunggu, Ron dan Devan lebih banyak diam dan sibuk dengan ponsel masing-masing. Keduanya duduk berjauhan dan saling memunggungi. Tak ada interaksi, tak ada komunikasi. Sekitar dua jam kemudian, Harsha pun keluar dari dalam ruangan dan mendapati dua pria itu sudah menatapnya tanpa berkedip. Mendapati tatapan penuh kekaguman itu, sesuatu di dalam dada Harsha mulai bergemu
"Tuan mau menginap di sini?" Harsha terbelalak ketika Ron dengan cueknya melangkah menuju kamar kosong di sebelah kamar Harsha. "Memangnya tidak boleh?" sahut Ron acuh sambil tetap melenggang memasuki kamar yang sama luasnya dengan kamar milik istri keduanya. Pertanyaan itu membuat Harsha sontak menggaruk keningnya dengan ragu, mau bagaimanapun rumah ini adalah rumah pemberian Ron. Status Harsha hanya sebagai pemilik sementara. "Bukan nggak boleh, tapi gimana kalo nyonya Bela marah?" "Tidak akan." Ron menyalakan sakelar lampu dan kamar pun terang benderang seketika. "Biarkan aku menginap di sini malam ini.""Terus besok ngantornya gimana? Tuan, kan, nggak bawa baju!?""Vick akan membawakannya untukku," sahut Ron singkat. Ketika langkah pria itu terhenti, Harsha serta merta membentur punggung bidang itu karena jaraknya terlalu dekat membuntuti Ron. Dengan gugup, Harsha buru-buru mundur dan menjaga jarak. "Boleh aku tanya satu hal?" tanya Ron ragu ketika dilihatnya gerak-gerik Har
"Nyonya?" Entah sudah berapa kali bik Sumi memanggil sang majikan, tetapi perempuan muda itu masih saja mematung dengan pandangan kosong ke arah air mancur kecil di taman. "Nyonya?" Sekali lagi bik Sumi memanggil, tapi kali ini dengan sedikit menyentuh pundak Harsha. Ketika akhirnya perempuan itu tersentak dan bergerak dengan gelisah, bik Sumi pun reflek mundur menjauh. Setelah kesadarannya utuh kembali dan menyadari jika seseorang sedang berdiri di sebelahnya, Harsha pun menoleh dengan bingung. "Ngapain Bibik di sini?" tanyanya heran. "Anu, barusan Tuan telepon." Bik Sumi menyodorkan ponsel milik Harsha yang sudah dalam keadaan mati. "Tuan panik takut Nyonya kabur!" Kabur? Harsha mendengus cepat. Perlahan tangannya bergerak menyentuh bibirnya yang kembali basah oleh saliva-nya sendiri. Teringat jelas momen beberapa saat lalu yang terjadi. .."Baiklah, aku akan menghukummu!" Seakan mendengar vonis mati dari hakim agung, Harsha perlahan bergerak mundur dengan takut. Apalagi,
Hari yang dinanti-nantikan akhirnya tiba. Sejak subuh, Harsha sudah di dirias oleh tim Make up Artis dari Studio yang tempo hari ia kunjungi. Harsha tak suka make up yang terlalu tebal, ia request agar hasil akhirnya nanti tak terlalu merubah wajah aslinya. Jika Harsha sedang berkutat dengan bedak dan lipstik, lain pula dengan Ron yang menghabiskan paginya dengan bersantai di taman sambil minum secangkir kopi. Hari libur adalah anugerah baginya. "Bik, tolong bawakan sarapan Harsha ke kamarnya. Dia tidak akan sempat sarapan kalo tidak dipaksa."Perintah Ron pada seorang pelayan yang sedang menyapu taman. Dengan patuh, pelayan itu meletakkan sapu di tangannya dan bergegas masuk ke dalam rumah untuk memberi tahu bik Sumi. Saat sedang terbuai dalam lamunan, Ron tiba-tiba teringat pada istrinya yang saat ini masih berada di Italia. Jika sesuai jadwal, maka Bela akan pulang pada hari Rabu pekan depan. Itu berarti Ron harus berhadapan lagi dengan sikap konservatif istrinya yang tak pandan
Matahari yang perlahan merangkak turun ke peraduannya, membuat suasana di sore itu semakin syahdu. Langit perlahan berubah jingga, menyelimuti bumi yang bersiap untuk mengendurkan aktifitasnya. Di taman, di kursi kayu yang menghadap ke kolam air mancur kecil, Harsha duduk santai sembari menggeser layar ponselnya perlahan. Ia sedang mengamati kembali foto-foto wisudanya yang berlangsung tadi pagi. Momen ketika Ron dan Devan berebut untuk berfoto bersama Harsha membuat tawa perempuan muda itu kembali mencuat. Di sebelahnya, Ron melirik dengan penasaran. "Kamu pasti menertawakan kejadian tadi siang!" gerutu Ron dongkol. Saking serunya berebut foto, Vick --yang memegang kamera, akhirnya kesal sendiri dan mengajak Harsha pergi tanpa mempedulikan dua pria yang masih saja berdebat itu. Baik Ron dan Devan tak sadar jika perempuan yang mereka perebutkan malah asyik berfoto dengan jajaran dekan dan dosen."Awas saja besok. Aku akan menghukum Vick!" "Ck, bukannya aku sudah bilang kalo nggak
"Fiuh!" Ron menghela napas panjang ketika kaca jendela mobilnya telah menutup dengan sempurna. Ia baru saja melambaikan tangan pada perempuan muda yang beberapa bulan terakhir seakan ditakdirkan untuk menjadi istrinya. Ron masih merasakan jantungnya berdegup kencang, bahkan semakin menggila dan sedikit nyeri ketika ia meninggalkan rumah itu beserta Harsha. Kejadian demi kejadian yang terjadi seminggu terakhir bersama istri mudanya itu, melintas dan menyunggingkan senyuman samar di wajah kaku Ron Kyle. Harusnya Ron menepati janjinya pada Bela untuk tidak tergoda pada Harsha, tetapi pada akhirnya Ron hanyalah manusia biasa. Meskipun ia masih bisa menjaga nafsu dan kemaluannya, tetapi Ron tak bisa mengelak jika hatinya mulai terbagi. Perasaan aneh ini membuatnya tak nyaman, Ron merasa berdosa sekaligus bahagia. "Pak." Ron tersentak dan kepalanya sontak menoleh pada seseorang yang sudah berdiri di sebelahnya. "Mr. Simon meminta pertemuannya di jadwalkan ulang. Apakah anda mau menemui