Lyra menggerutu sepanjang perjalanan pulang. Ia memang masih sangat kesal dengan Vincent. Padahal ia sudah susah payah membujuk Dokter Collins agar bisa membawa pria itu ke acara pesta dansa yang diadakan salah satu orang tua teman sekolahnya dulu esok lusa. Namun, karena insiden tak terduga, kemungkinan ia akan gagal.
"Hah... aku pasti akan dipermalukan lagi oleh mereka," lirih Lyra. Meskipun perasaannya kacau balau, ia masih tetap fokus mengendarai mobilnya.Lyra memang merupakan gadis yang ceria, tapi ia tak begitu beruntung sebab tak ada satu pun teman yang mau bersahabat dekat dengannya. Entah mengapa hal itu bisa terjadi, padahal ia selalu saja berusaha agar disukai. Kemungkinan teman-temannya itu iri padanya sebab meskipun tak melakukan apa-apa, ia bisa hidup dengan enak. Bahkan sampai terdengar julukan 'Putri Beban' untuknya. Padahal Lyra sendiri adalah anak yang cerdas dan memiliki potensi, hanya saja dengan caranya sendiri."Katanya dulunya dia bos mafia, tapi bisa-bisanya melakukan hal bodoh dengan tangannya," oceh Lyra lagi.Tak terasa sekitar dua puluh menit Lyra telah sampai di rumahnya. Begitu sampai sudah ada beberapa pelayan yang menyambut serta mengantarkannya ke dalam. Adegan itu sudah biasa ia lalui setiap hari sehingga ia tak merasa heran."Nona Lyra, ayah Anda sudah menunggu di ruang tengah sedari tadi. Beliau ingin berbicara dengan Anda," ujar Pak Edo yang tiba-tiba muncul dari balik pintu masuk utama.Lyra hanya menghela napas lirih seraya masuk ke kediamannya yang mirip dengan istana. Sebagai putri tunggal keluarga Darien, memang seharusnya ia tak perlu repot-repot bekerja. Cukup dengan menikahi pria kaya raya yang bisa mengelola bisnis sang ayah, ia bisa hidup enak sampai mati. Namun, Lyra memiliki tujuannya tersendiri.Tampak Tuan Gilbert sedang duduk sambil membaca surat kabar. Matanya benar-benar fokus melihat ke arah kumpulan huruf yang bersatu menjadi banyak kalimat dengan informasi di dalamnya."Ada apa Ayah menungguku? Jangan bahas hal konyol lagi karena aku sangat lelah," ucap Lyra dengan wajah tanpa minat.Tuan Gilbert melirik ke arah putri semata wayangnya sembari menurunkan sedikit kacamata bacanya. Ia lalu melipat dan menaruh surat kabar yang baru saja dibacanya di meja."Ayah sudah memutuskan," ujar Tuan Gilbert."Memutuskan apa?" Dahi Lyra berkerut dalam sebab ia yakin akan mendengar hal yang tidak diinginkan."Ayah dengar pria itu sudah selesai menjalankan operasi plastik. Ayah harap kau melepaskan dia dan jangan lagi berhubungan dengannya. Ayah sudah berbaik hati memberikan identitas padanya. Setelah dia sudah benar-benar pulih, dia akan Ayah kirim ke London," papar Tuan Gilbert.Lyra menggebrak meja hingga membuat Tuan Gilbert mengelus dada karena kaget. Putrinya itu terlihat sangat marah dan memelototinya. Jantungnya yang memang lemah seketika saja berpacu lebih cepat."Kau mau buat Ayah cepat mati ya? Kenapa kau kasar sekali padahal kau seorang gadis?" protes Tuan Gilbert."Itu karena aku tak setuju dengan usulan Ayah! Bagaimana bisa Kak Gavin hidup jauh dari kita? Lagipula aku tak akan semudah itu melepaskannya. Aku tidak mau jika mahakarya yang aku buat dimiliki oleh orang lain nantinya," tegas Lyra yang menolak tegas perintah sang ayah."Kalau begitu, kurung saja dia di dalam sangkar!" bentak Tuan Gilbert yang cukup kesal dengan putrinya."Aha, itu adalah ide yang bagus. Aku akan membuat sangkar yang sangat besar untuknya," sahut Lyra.Tuan Gilbert memijit pelipisnya. Ia sungguh pusing menghadapi sifat keras kepala putrinya itu. Pada akhirnya ia tidak memiliki pilihan lain lagi, ia menyetujui apapun yang akan dilakukan oleh Lyra."Kau bisa lakukan semaumu, tapi harus hati-hati dan tanggung risikonya sendiri," pesan Tuan Gilbert.Wajah Lyra yang tadi diselimuti oleh awan mendung pun seketika cerah. Ia sangat bahagia karena sang ayah sudah memberikan kebebasan padanya. Dengan sangat cepat ia pun menghambur dan memeluk ayahnya erat."Terima kasih, Ayah! Aku tahu kalau Ayah adalah yang paling terbaik di dunia ini," puji Lyra sembari mencium pipi Tuan Gilbert."Ya Tuhan ... coba lihat anak ini. Dia sangat manis jika keinginannya dituruti," decak Tuan Gilbert.Lyra tak begitu mendengar gerutuan ayahnya. Yang jelas saat ini moodnya sedikit membaik karena tak harus dipusingkan dengan sang ayah mengenai masalah Vincent.***Hari di mana Lyra akan menghadiri pesta dansa pun tiba. Saat itu pula Vincent meminta Dokter Collins untuk membuka perban di hidungnya. Menurut sang dokter pembengkakan akibat operasi tidak akan begitu parah sebab hanya dilakukan perbaikan sedikit pada bagian yang rusak."Apa penampilanku tidak terlihat aneh?" tanya Vincent."Anda sangat tampan, Tuan. Memang hidung Anda masih sedikit bengkak, tapi tidak terlalu kentara," jawab Dokter Collins."Hmm ... kau pernah bilang jika aku harus di sini selama seminggu untuk pemantauan. Benar 'kan?" Vincent mencoba memastikan apa yang ia dengar tempo hari."Benar sekali, Tuan."Vincent sejenak berpikir mengenai ucapan Lyra yang akan mengajaknya ke pesta dansa hari ini. Apa mungkin gadis itu akan berlaku seenaknya jika tidak ada insiden hidung bengkok yang dialaminya? Namun, pesta dansa sepertinya tidak buruk sebab ia juga sudah bosan di dalam laboratorium ini. Selain itu, pasti akan ada hal menarik di acara pesta dansa kalangan atas."Apa malam ini aku boleh keluar?" tanya Vincent. Ia tahu jika pesta dansa pasti akan diadakan malam hari."Anda mau ke mana, Tuan?""Aku ingin menghadiri pesta dansa bersama dengan Lyra. Bagaimana menurutmu?" Vincent memandang wajah Dokter Collins seolah meminta pendapat.***Waktu menunjukkan pukul tujuh malam, tampak Lyra sudah sangat cantik mengenakan off shoulder dress warna peach yang menunjukkan bahu mulus putihnya. Rambutnya ditata sedikit bergelombang dan dibiarkan terurai begitu saja. Namun, kecantikan penampilannya tak serta merta membuatnya senang sebab ia hanya akan datang seorang diri tanpa pasangan."Apa aku tak usah datang saja ya?" gumam Lyra dengan wajah murung.Gadis cantik berwajah mungil itu sejenak berpikir keras tentang akibat jika ia tidak hadir. Pastinya ia akan menjadi bahan gosip yang menyenangkan bagi para teman-temannya. Ia pasti tidak akan nyaman jika ada pesta-pesta berikutnya. Lebih buruknya, mungkin saja saat ia mengadakan pesta, tidak akan ada teman-temannya yang datang. Oh, sungguh tidak dapat ia bayangkan."Oke, Lyra! Kau harus kuat menahan terpaan masalah ini. Kau tidak boleh lari," gumam Lyra penuh semangat.Tiba-tiba indra penciumannya merasakan wangi parfum musk yang cukup kuat dan enak, diiringi dengan suara bariton terdengar menyapanya."Ternyata kau sudah siap."Orang yang hadir itu ternyata adalah Vincent. Penampilannya sangat rapi menggunakan setelan jas berwarna navy, sungguh membuat siapa saja yang melihatnya akan terpana."Ba-bagaimana bisa kau muncul di sini?" Lyra seakan tak percaya dengan kehadiran Vincent. Ia sampai membekap mulutnya sendiri saking terkejutnya.Vincent meraih jari jemari Lyra lalu menciumnya. Ia berlaku seperti seseorang yang sangat romantis malam itu."Mana mungkin aku mengecewakan dewi penolongku yang cantik ini," ujar Vincent sesaat setelah mencium jari jemari Lyra yang lentik.Wajah Lyra seketika bersemu merah. Ia tersipu sekaligus terharu karena tak jadi berangkat ke pesta dansa sendirian. Setidaknya ia bisa menyombongkan diri karena mengajak Vincent bersamanya."Apa kita bisa berangkat sekarang?" tanya Vincent. "Ah, tunggu dulu! Aku akan cepat kembali." Lyra kembali masuk ke rumah dengan setengah berlari. Sepertinya ada yang ingin diambil oleh gadis berusia 23 tahun itu. Vincent hanya bisa terdiam di tempatnya sambil menunggu Lyra kembali. Sekilas ia mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kediaman Keluarga Darien yang begitu luas. Ia memang baru pertama kali datang ke tempat ini sebab sejak diselamatkan satu tahun lalu, ia hanya ditempatkan di laboratorium. "Aku belum pernah bertemu dengan Tuan Gilbert secara langsung. Kira-kira seperti apa ya orangnya?" gumam Vincent penuh tanda tanya. Dulu saat masih menjabat sebagai bos mafia, ia cukup sering melakukan transaksi obat yang dijadikan racun dengan bawahan Tuan Gilbert. Namun, ia sama sekali belum pernah melihat sosok pria yang sudah memberinya identitas baru itu. "Ho, pantas saja putriku tidak mau melepaskanmu. Rupanya wajah barumu memang sangat tampan."Seperti pucuk dicinta ulam pun
Begitu baru saja sampai di aula pesta, kehadiran Vincent dan Lyra langsung menjadi pusat perhatian. Tentu saja hal itu terjadi sebab baru kali ini putri tunggal keluarga Darien membawa seorang pendamping pria. Sebelumnya, Lyra tak pernah bisa membawa pasangan hingga ia selalu dikucilkan. "Wah ... wah ... rupanya anak itu benar-benar datang dengan membawa seorang pria. Terlebih lagi pria yang dibawanya itu sangat tampan bukan main," komentar salah satu tamu undangan pesta bernama Sella. "Rupanya dia sudah mulai menunjukkan taringnya ya? Apa kita mulai dekati saja dia? Lagipula kita tidak akan rugi," timpal gadis lain yang bernama Voni. "Aku dengar pria itu adalah sepupunya. Entah dari mana asal pria itu, tapi dia sangat tampan. Namun, banyak yang bilang sepupu Lyra itu adalah pewaris asli aset keluarga Darien. Katanya dia sudah hilang sejak berusia sepuluh tahun dan baru diketemukan setahun lalu. Pria itu merupakan anak tunggal dari kakak ayah Lyra yang telah meninggal karena kecela
Kombinasi antara Vincent dan Lyra saat berdansa terlihat begitu apik di mata para tamu yang lain, tak terkecuali Karina yang sedang berdansa dengan Axel. Ternyata Karina merasa jika Vincent memandangnya sedari tadi. 'Siapa pria itu? Mengapa dia melihatku seperti hendak melubangi tubuhku?' batin Karina resah. Kegelisahan Karina ternyata diketahui oleh Axel. Pria dengan kumis tipis dan rambut agak ikal itu merasa khawatir dengan kekasih hatinya itu. "Apa ada yang mengganggumu, Sayang?" tanya Axel. "Ah, ti-tidak ada kok," jawab Karina. Ia langsung terkejut begitu Axel bertanya padanya. Dahi Axel berkerut samar. Ia yakin jika wanitanya sedang merasa tidak nyaman. Ia lantas berpikir, apa mungkin Karina gugup sebab ini adalah pertama kalinya mereka datang ke pesta para konglomerat. "Kalau kau merasa tidak nyaman, kita bisa berhenti berdansa," tawar Axel. "Tidak, aku akan melakukannya sampai akhir. Topik utama pesta ini adalah dansa 'kan? Aku tidak mau dipandang remeh jika berhenti di
Kekacauan masih terjadi di aula pesta. Dari titik buta, Vincent mengawasi beberapa orang bertopeng bersenjata yang menyerang. Saat ini ia tidak dapat melakukan apa-apa sebab tak memegang senjata sama sekali. Beberapa tamu yang bergerak pun langsung ditembak mati sehingga para tamu undangan yang tersisa duduk berjongkok tanpa melakukan perlawanan. "Mereka masih berulah lagi rupanya," gumam Vincent. Dari model topeng anjing yang digunakan para pembunuh sadis itu, Vincent dapat mengetahui jika mereka adalah kelompok pembunuh bayaran Happy Kill. Mereka terkenal sadis serta tak kenal ampun jika sedang membantai target. Jika ada yang tidak sesuai dengan keinginan mereka, maka nyawa taruhannya. "Aku sebaiknya tidak gegabah. Saat ini aku hanya warga sipil biasa yang tak bersenjata. Sebaiknya aku tunggu saja sampai mereka pergi," gumam Vincent yang matanya masih mengawasi gerak-gerik sekitar sepuluh orang pembunuh bayaran itu. Di saat Vincent sedang mengawasi dari sisi lain, Lyra masih ber
Karina tampak merebahkan tubuhnya di atas kasur empuk kamarnya. Sejak Axel resmi menjadi pemimpin Foxbite, ia tinggal bersama dengan kekasihnya itu. Axel juga semakin sibuk semenjak menggantikan posisi Vincent sehingga jarang memperhatikannya. Mata hazel Karina menerawang di atas langit-langit kamar tidurnya yang didominasi oleh warna putih. Pikirannya masih tertuju pada Vincent yang dibalut sempurna dalam sosok Gavin. Sejak pertemuannya tadi, ia tak bisa tak bisa melupakan pria itu. "Apa yang sedang kau pikirkan?" Terdengar suara bariton Axel yang langsung membuat Karina tersadar dari lamunannya. Ia sedikit salah tingkah karena kenyataannya ia sedang memikirkan pria lain. "Aku tidak sedang memikirkan apa-apa. Hanya saja aku kepikiran soal kejadian di pesta tadi," dalih Karina yang kini sudah bangun dari posisi tidurnya. "Ya, kejadian itu sangat tiba-tiba. Aku juga tak menyangka akan terjadi kekacauan seperti itu di hari pertama kita menghadiri pesta," tanggap Axel. "Kau tidak ma
Akibat berteriak terlalu kencang, rahang Vincent bergeser hingga perlu dilakukan operasi ulang. Memang operasi itu hampir mengubah semua yang ada di wajahnya, termasuk struktur tulang rahang. Maka dari itu ia seharusnya bisa menjaga dengan baik, dan tidak boleh bersikap berlebihan. Selama satu minggu Vincent berbaring tak berdaya dengan sisi wajahnya yang diperban memutar agar posisi rahangnya tidak bergeser lagi. Sebab hal itu, masa rawatnya makin bertambah. 'Sialan! Bagaimana bisa aku membalas dendam kalau seperti ini? Tahu akan menderita seperti ini, aku lebih baik mati saja,' gerutu Vincent dalam hati. Ia jadi memikirkan tentang perkataan Tuan Gilbert tempo hari. Pantas saja pria tua bangka itu terlihat enteng mengejeknya. Sedang sibuk mengumpat di dalam pikirannya, muncullah Tuan Gilbert bersama Dokter Collins. Kedua pria itu datang menghampiri Vincent dengan membawa catatan medis. Sepertinya mereka sedang berdiskusi mengenai nasib pria yang merupakan mantan bos mafia itu. Vin
"Sedang apa Kakak di sini?" tanya Lyra dengan mata terbelalak. Ia menurunkan tongkat bisbol yang dibawanya seraya menarik Vincent untuk masuk ke kamarnya. "Aw, kau bisa sedikit lembut 'kan? Otot-ototku terasa sangat nyeri," ringis Vincent. Lyra tampaknya memahami yang dimaksud oleh Vincent. Ia dengan segera melepaskan cengkeraman tangannya di pergelangan tangan pria itu. "Kau bisa jalan sendiri 'kan?" tanya Lyra. Vincent hanya menganggukan kepalanya pelan. Sejenak ia tertegun memandang Lyra. Padahal tadi Tuan Gilbert mengatakan jika gadis itu tidak mau makan dan masih sangat trauma dengan kejadian pembunuhan saat di pesta. Namun, yang ia lihat justru Lyra sangat sehat bahkan tangannya saja luar biasa bertenaga. "Apa dia berbohong ya?" gumam Vincent. "Apa? Kenapa kau bicara seperti sedang kumur-kumur begitu?" telisik Lyra sambil mendekatkan wajahnya ke wajah Vincent. Sontak Vincent pun langsung menjauhkan wajahnya karena merasa tak nyaman berdekatan dengan Lyra. "Aku tidak bica
"Lebih baik kau mati saja, Vincent! Salahmu sendiri terlalu memercayaiku." Seorang pria menyeringai sambil menodongkan pistol ke sahabat sekaligus atasannya yang berada di pinggir jurang. Lokasi itu berada di salah satu pulau kecil di British Columbia, Kanada yang langsung berbatasan dengan Samudra Pasifik."Cih! Kau sudah kuanggap saudara, tapi kau malah menghianatiku. Kau memang brengsek, Axel!" Pria dengan banyak bekas luka di sekujur tubuhnya itu meludah. Matanya menyorot tajam ke arah pria berparas tampan dengan kumis tipis yang sedang mengancamnya dengan senjata api. Tubuhnya lemas karena sebelum mengalami ini, ia sudah diberi racun yang membuat persendiannya lemas.Pria itu adalah Vincent Cadmael. Dia adalah ketua kelompok mafia Foxbite yang tersohor dan paling ditakuti. Namun, saat ini dia harus menelan pil pahit karena sahabat sekaligus orang kepercayaannya malah berkhianat dan ingin membunuhnya.Pengkhianatan itu karena kekuasaan dan juga cinta. Axel Kent mencintai kekasih d
"Sedang apa Kakak di sini?" tanya Lyra dengan mata terbelalak. Ia menurunkan tongkat bisbol yang dibawanya seraya menarik Vincent untuk masuk ke kamarnya. "Aw, kau bisa sedikit lembut 'kan? Otot-ototku terasa sangat nyeri," ringis Vincent. Lyra tampaknya memahami yang dimaksud oleh Vincent. Ia dengan segera melepaskan cengkeraman tangannya di pergelangan tangan pria itu. "Kau bisa jalan sendiri 'kan?" tanya Lyra. Vincent hanya menganggukan kepalanya pelan. Sejenak ia tertegun memandang Lyra. Padahal tadi Tuan Gilbert mengatakan jika gadis itu tidak mau makan dan masih sangat trauma dengan kejadian pembunuhan saat di pesta. Namun, yang ia lihat justru Lyra sangat sehat bahkan tangannya saja luar biasa bertenaga. "Apa dia berbohong ya?" gumam Vincent. "Apa? Kenapa kau bicara seperti sedang kumur-kumur begitu?" telisik Lyra sambil mendekatkan wajahnya ke wajah Vincent. Sontak Vincent pun langsung menjauhkan wajahnya karena merasa tak nyaman berdekatan dengan Lyra. "Aku tidak bica
Akibat berteriak terlalu kencang, rahang Vincent bergeser hingga perlu dilakukan operasi ulang. Memang operasi itu hampir mengubah semua yang ada di wajahnya, termasuk struktur tulang rahang. Maka dari itu ia seharusnya bisa menjaga dengan baik, dan tidak boleh bersikap berlebihan. Selama satu minggu Vincent berbaring tak berdaya dengan sisi wajahnya yang diperban memutar agar posisi rahangnya tidak bergeser lagi. Sebab hal itu, masa rawatnya makin bertambah. 'Sialan! Bagaimana bisa aku membalas dendam kalau seperti ini? Tahu akan menderita seperti ini, aku lebih baik mati saja,' gerutu Vincent dalam hati. Ia jadi memikirkan tentang perkataan Tuan Gilbert tempo hari. Pantas saja pria tua bangka itu terlihat enteng mengejeknya. Sedang sibuk mengumpat di dalam pikirannya, muncullah Tuan Gilbert bersama Dokter Collins. Kedua pria itu datang menghampiri Vincent dengan membawa catatan medis. Sepertinya mereka sedang berdiskusi mengenai nasib pria yang merupakan mantan bos mafia itu. Vin
Karina tampak merebahkan tubuhnya di atas kasur empuk kamarnya. Sejak Axel resmi menjadi pemimpin Foxbite, ia tinggal bersama dengan kekasihnya itu. Axel juga semakin sibuk semenjak menggantikan posisi Vincent sehingga jarang memperhatikannya. Mata hazel Karina menerawang di atas langit-langit kamar tidurnya yang didominasi oleh warna putih. Pikirannya masih tertuju pada Vincent yang dibalut sempurna dalam sosok Gavin. Sejak pertemuannya tadi, ia tak bisa tak bisa melupakan pria itu. "Apa yang sedang kau pikirkan?" Terdengar suara bariton Axel yang langsung membuat Karina tersadar dari lamunannya. Ia sedikit salah tingkah karena kenyataannya ia sedang memikirkan pria lain. "Aku tidak sedang memikirkan apa-apa. Hanya saja aku kepikiran soal kejadian di pesta tadi," dalih Karina yang kini sudah bangun dari posisi tidurnya. "Ya, kejadian itu sangat tiba-tiba. Aku juga tak menyangka akan terjadi kekacauan seperti itu di hari pertama kita menghadiri pesta," tanggap Axel. "Kau tidak ma
Kekacauan masih terjadi di aula pesta. Dari titik buta, Vincent mengawasi beberapa orang bertopeng bersenjata yang menyerang. Saat ini ia tidak dapat melakukan apa-apa sebab tak memegang senjata sama sekali. Beberapa tamu yang bergerak pun langsung ditembak mati sehingga para tamu undangan yang tersisa duduk berjongkok tanpa melakukan perlawanan. "Mereka masih berulah lagi rupanya," gumam Vincent. Dari model topeng anjing yang digunakan para pembunuh sadis itu, Vincent dapat mengetahui jika mereka adalah kelompok pembunuh bayaran Happy Kill. Mereka terkenal sadis serta tak kenal ampun jika sedang membantai target. Jika ada yang tidak sesuai dengan keinginan mereka, maka nyawa taruhannya. "Aku sebaiknya tidak gegabah. Saat ini aku hanya warga sipil biasa yang tak bersenjata. Sebaiknya aku tunggu saja sampai mereka pergi," gumam Vincent yang matanya masih mengawasi gerak-gerik sekitar sepuluh orang pembunuh bayaran itu. Di saat Vincent sedang mengawasi dari sisi lain, Lyra masih ber
Kombinasi antara Vincent dan Lyra saat berdansa terlihat begitu apik di mata para tamu yang lain, tak terkecuali Karina yang sedang berdansa dengan Axel. Ternyata Karina merasa jika Vincent memandangnya sedari tadi. 'Siapa pria itu? Mengapa dia melihatku seperti hendak melubangi tubuhku?' batin Karina resah. Kegelisahan Karina ternyata diketahui oleh Axel. Pria dengan kumis tipis dan rambut agak ikal itu merasa khawatir dengan kekasih hatinya itu. "Apa ada yang mengganggumu, Sayang?" tanya Axel. "Ah, ti-tidak ada kok," jawab Karina. Ia langsung terkejut begitu Axel bertanya padanya. Dahi Axel berkerut samar. Ia yakin jika wanitanya sedang merasa tidak nyaman. Ia lantas berpikir, apa mungkin Karina gugup sebab ini adalah pertama kalinya mereka datang ke pesta para konglomerat. "Kalau kau merasa tidak nyaman, kita bisa berhenti berdansa," tawar Axel. "Tidak, aku akan melakukannya sampai akhir. Topik utama pesta ini adalah dansa 'kan? Aku tidak mau dipandang remeh jika berhenti di
Begitu baru saja sampai di aula pesta, kehadiran Vincent dan Lyra langsung menjadi pusat perhatian. Tentu saja hal itu terjadi sebab baru kali ini putri tunggal keluarga Darien membawa seorang pendamping pria. Sebelumnya, Lyra tak pernah bisa membawa pasangan hingga ia selalu dikucilkan. "Wah ... wah ... rupanya anak itu benar-benar datang dengan membawa seorang pria. Terlebih lagi pria yang dibawanya itu sangat tampan bukan main," komentar salah satu tamu undangan pesta bernama Sella. "Rupanya dia sudah mulai menunjukkan taringnya ya? Apa kita mulai dekati saja dia? Lagipula kita tidak akan rugi," timpal gadis lain yang bernama Voni. "Aku dengar pria itu adalah sepupunya. Entah dari mana asal pria itu, tapi dia sangat tampan. Namun, banyak yang bilang sepupu Lyra itu adalah pewaris asli aset keluarga Darien. Katanya dia sudah hilang sejak berusia sepuluh tahun dan baru diketemukan setahun lalu. Pria itu merupakan anak tunggal dari kakak ayah Lyra yang telah meninggal karena kecela
"Apa kita bisa berangkat sekarang?" tanya Vincent. "Ah, tunggu dulu! Aku akan cepat kembali." Lyra kembali masuk ke rumah dengan setengah berlari. Sepertinya ada yang ingin diambil oleh gadis berusia 23 tahun itu. Vincent hanya bisa terdiam di tempatnya sambil menunggu Lyra kembali. Sekilas ia mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kediaman Keluarga Darien yang begitu luas. Ia memang baru pertama kali datang ke tempat ini sebab sejak diselamatkan satu tahun lalu, ia hanya ditempatkan di laboratorium. "Aku belum pernah bertemu dengan Tuan Gilbert secara langsung. Kira-kira seperti apa ya orangnya?" gumam Vincent penuh tanda tanya. Dulu saat masih menjabat sebagai bos mafia, ia cukup sering melakukan transaksi obat yang dijadikan racun dengan bawahan Tuan Gilbert. Namun, ia sama sekali belum pernah melihat sosok pria yang sudah memberinya identitas baru itu. "Ho, pantas saja putriku tidak mau melepaskanmu. Rupanya wajah barumu memang sangat tampan."Seperti pucuk dicinta ulam pun
Lyra menggerutu sepanjang perjalanan pulang. Ia memang masih sangat kesal dengan Vincent. Padahal ia sudah susah payah membujuk Dokter Collins agar bisa membawa pria itu ke acara pesta dansa yang diadakan salah satu orang tua teman sekolahnya dulu esok lusa. Namun, karena insiden tak terduga, kemungkinan ia akan gagal. "Hah... aku pasti akan dipermalukan lagi oleh mereka," lirih Lyra. Meskipun perasaannya kacau balau, ia masih tetap fokus mengendarai mobilnya. Lyra memang merupakan gadis yang ceria, tapi ia tak begitu beruntung sebab tak ada satu pun teman yang mau bersahabat dekat dengannya. Entah mengapa hal itu bisa terjadi, padahal ia selalu saja berusaha agar disukai. Kemungkinan teman-temannya itu iri padanya sebab meskipun tak melakukan apa-apa, ia bisa hidup dengan enak. Bahkan sampai terdengar julukan 'Putri Beban' untuknya. Padahal Lyra sendiri adalah anak yang cerdas dan memiliki potensi, hanya saja dengan caranya sendiri. "Katanya dulunya dia bos mafia, tapi bisa-bisany
Vincent masih terpaku dengan wajah barunya. Sungguh sangat tak terbayangkan baginya bisa mendapatkan wajah seperti itu. Tekstur kulit barunya bahkan sangat kenyal dan halus, berbeda dengan sebelumnya yang kasar. Penampilannya terlihat seperti pria lembut, dan sangat penyayang. Hebatnya lagi, ia tak terlihat sama sekali seperti orang yang melakukan operasi plastik. Semuanya terlihat sangat alami. "Jadi, selera priamu seperti ini ya?" tanya Vincent sembari melirik ke arah Lyra. "Benar sekali! Aku merancang wajah ini dengan membayangkan pria idamanku. Kau tahu, aku menempatkan setiap bagian wajahmu dari model pria yang berbeda. Makanya tidak heran jika kau setampan ini." Lyra tampak sangat bahagia. Ia bahkan melompat-lompat sambil memeluk Vincent dengan erat. Vincent sungguh kaget dengan kelakuan Lyra yang sangat lincah. Bukan hanya dirinya, sang dokter dan para asisten yang melihat pun ketakutan sebab wajah Vincent bisa saja rusak jika tak sengaja terkena senggol. Bisa-bisa hidungnya