Karina tampak merebahkan tubuhnya di atas kasur empuk kamarnya. Sejak Axel resmi menjadi pemimpin Foxbite, ia tinggal bersama dengan kekasihnya itu. Axel juga semakin sibuk semenjak menggantikan posisi Vincent sehingga jarang memperhatikannya. Mata hazel Karina menerawang di atas langit-langit kamar tidurnya yang didominasi oleh warna putih. Pikirannya masih tertuju pada Vincent yang dibalut sempurna dalam sosok Gavin. Sejak pertemuannya tadi, ia tak bisa tak bisa melupakan pria itu. "Apa yang sedang kau pikirkan?" Terdengar suara bariton Axel yang langsung membuat Karina tersadar dari lamunannya. Ia sedikit salah tingkah karena kenyataannya ia sedang memikirkan pria lain. "Aku tidak sedang memikirkan apa-apa. Hanya saja aku kepikiran soal kejadian di pesta tadi," dalih Karina yang kini sudah bangun dari posisi tidurnya. "Ya, kejadian itu sangat tiba-tiba. Aku juga tak menyangka akan terjadi kekacauan seperti itu di hari pertama kita menghadiri pesta," tanggap Axel. "Kau tidak ma
Akibat berteriak terlalu kencang, rahang Vincent bergeser hingga perlu dilakukan operasi ulang. Memang operasi itu hampir mengubah semua yang ada di wajahnya, termasuk struktur tulang rahang. Maka dari itu ia seharusnya bisa menjaga dengan baik, dan tidak boleh bersikap berlebihan. Selama satu minggu Vincent berbaring tak berdaya dengan sisi wajahnya yang diperban memutar agar posisi rahangnya tidak bergeser lagi. Sebab hal itu, masa rawatnya makin bertambah. 'Sialan! Bagaimana bisa aku membalas dendam kalau seperti ini? Tahu akan menderita seperti ini, aku lebih baik mati saja,' gerutu Vincent dalam hati. Ia jadi memikirkan tentang perkataan Tuan Gilbert tempo hari. Pantas saja pria tua bangka itu terlihat enteng mengejeknya. Sedang sibuk mengumpat di dalam pikirannya, muncullah Tuan Gilbert bersama Dokter Collins. Kedua pria itu datang menghampiri Vincent dengan membawa catatan medis. Sepertinya mereka sedang berdiskusi mengenai nasib pria yang merupakan mantan bos mafia itu. Vin
"Sedang apa Kakak di sini?" tanya Lyra dengan mata terbelalak. Ia menurunkan tongkat bisbol yang dibawanya seraya menarik Vincent untuk masuk ke kamarnya. "Aw, kau bisa sedikit lembut 'kan? Otot-ototku terasa sangat nyeri," ringis Vincent. Lyra tampaknya memahami yang dimaksud oleh Vincent. Ia dengan segera melepaskan cengkeraman tangannya di pergelangan tangan pria itu. "Kau bisa jalan sendiri 'kan?" tanya Lyra. Vincent hanya menganggukan kepalanya pelan. Sejenak ia tertegun memandang Lyra. Padahal tadi Tuan Gilbert mengatakan jika gadis itu tidak mau makan dan masih sangat trauma dengan kejadian pembunuhan saat di pesta. Namun, yang ia lihat justru Lyra sangat sehat bahkan tangannya saja luar biasa bertenaga. "Apa dia berbohong ya?" gumam Vincent. "Apa? Kenapa kau bicara seperti sedang kumur-kumur begitu?" telisik Lyra sambil mendekatkan wajahnya ke wajah Vincent. Sontak Vincent pun langsung menjauhkan wajahnya karena merasa tak nyaman berdekatan dengan Lyra. "Aku tidak bica
"Lebih baik kau mati saja, Vincent! Salahmu sendiri terlalu memercayaiku." Seorang pria menyeringai sambil menodongkan pistol ke sahabat sekaligus atasannya yang berada di pinggir jurang. Lokasi itu berada di salah satu pulau kecil di British Columbia, Kanada yang langsung berbatasan dengan Samudra Pasifik."Cih! Kau sudah kuanggap saudara, tapi kau malah menghianatiku. Kau memang brengsek, Axel!" Pria dengan banyak bekas luka di sekujur tubuhnya itu meludah. Matanya menyorot tajam ke arah pria berparas tampan dengan kumis tipis yang sedang mengancamnya dengan senjata api. Tubuhnya lemas karena sebelum mengalami ini, ia sudah diberi racun yang membuat persendiannya lemas.Pria itu adalah Vincent Cadmael. Dia adalah ketua kelompok mafia Foxbite yang tersohor dan paling ditakuti. Namun, saat ini dia harus menelan pil pahit karena sahabat sekaligus orang kepercayaannya malah berkhianat dan ingin membunuhnya.Pengkhianatan itu karena kekuasaan dan juga cinta. Axel Kent mencintai kekasih d
"Tuan Gavin, apa Anda merasa lebih baik?" Suara pria paruh baya menggema di ruangan cukup luas dengan interior serba putih."Aku sudah lebih baik.""Apa Anda sering mengalami mimpi buruk?" "Tidak sering hanya pernah.""Hmm ... baiklah, Anda bisa memanggil saya jika ada sesuatu yang dibutuhkan."Pria paruh baya yang merupakan seorang dokter itu pun pergi meninggalkan ruangan. Kini hanya ada sosok pria berperawakan tinggi dengan perban yang menutupi seluruh wajah kecuali bagian mata dan bibir, siapa lagi kalau bukan Vincent."Aku jadi penasaran seperti apa rupaku yang baru?" Vincent bergumam. Dia terlihat duduk di sebuah kursi sambil menatap ke luar jendela.Hal-hal yang selalu membuatnya bermimpi buruk adalah kejadian tragis yang menimpanya. Ingatan setahun lalu masih membekas jelas."Kira-kira apa yang sedang dilakukan kedua bedebah itu? Pasti mereka sedang bersenang-senang 'kan karena mengira aku mati? Hah ... sialan," dengusnya sambil menempelkan wajahnya di kaca. Tangan kanannya m
Satu minggu kemudian.Vincent tampak memandangi kalender yang berada di ruang rawatnya. Matanya menyorot tajam dan terlihat tidak senang dengan tanggal hari ini. Tentu saja dia kesal karena jelas sekali di dalam ingatannya jika tanggal ini adalah tepat pada saat dia ditembak dan didorong ke jurang oleh Axel setahun yang lalu.Begitu sadar dari koma tubuhnya terasa kaku dan lemas karena selama empat bulan terbaring tak berdaya. Butuh waktu kurang lebih tiga bulan untuk melatih otot-ototnya yang tak pernah difungsikan. Selama itu pula dia bungkam mengenai identitasnya sampai saat ini.Vincent merupakan sosok ketua kelompok mafia yang baru saja menjabat sekitar empat tahun setelah ayahnya meninggal. Dia juga menjadi target operasi selama ini karena merupakan pengedar narkoba terbesar di wilayah benua Amerika. Namun, belum ada bukti yang bisa membuatnya dibekuk. Dia juga terkenal licin sehingga sulit ditangkap."Mengapa aku jadi kesal ya melihat tanggal hari ini?" gumam Vincent.Fokusnya
Vincent masih terpaku dengan wajah barunya. Sungguh sangat tak terbayangkan baginya bisa mendapatkan wajah seperti itu. Tekstur kulit barunya bahkan sangat kenyal dan halus, berbeda dengan sebelumnya yang kasar. Penampilannya terlihat seperti pria lembut, dan sangat penyayang. Hebatnya lagi, ia tak terlihat sama sekali seperti orang yang melakukan operasi plastik. Semuanya terlihat sangat alami. "Jadi, selera priamu seperti ini ya?" tanya Vincent sembari melirik ke arah Lyra. "Benar sekali! Aku merancang wajah ini dengan membayangkan pria idamanku. Kau tahu, aku menempatkan setiap bagian wajahmu dari model pria yang berbeda. Makanya tidak heran jika kau setampan ini." Lyra tampak sangat bahagia. Ia bahkan melompat-lompat sambil memeluk Vincent dengan erat. Vincent sungguh kaget dengan kelakuan Lyra yang sangat lincah. Bukan hanya dirinya, sang dokter dan para asisten yang melihat pun ketakutan sebab wajah Vincent bisa saja rusak jika tak sengaja terkena senggol. Bisa-bisa hidungnya
Lyra menggerutu sepanjang perjalanan pulang. Ia memang masih sangat kesal dengan Vincent. Padahal ia sudah susah payah membujuk Dokter Collins agar bisa membawa pria itu ke acara pesta dansa yang diadakan salah satu orang tua teman sekolahnya dulu esok lusa. Namun, karena insiden tak terduga, kemungkinan ia akan gagal. "Hah... aku pasti akan dipermalukan lagi oleh mereka," lirih Lyra. Meskipun perasaannya kacau balau, ia masih tetap fokus mengendarai mobilnya. Lyra memang merupakan gadis yang ceria, tapi ia tak begitu beruntung sebab tak ada satu pun teman yang mau bersahabat dekat dengannya. Entah mengapa hal itu bisa terjadi, padahal ia selalu saja berusaha agar disukai. Kemungkinan teman-temannya itu iri padanya sebab meskipun tak melakukan apa-apa, ia bisa hidup dengan enak. Bahkan sampai terdengar julukan 'Putri Beban' untuknya. Padahal Lyra sendiri adalah anak yang cerdas dan memiliki potensi, hanya saja dengan caranya sendiri. "Katanya dulunya dia bos mafia, tapi bisa-bisany
"Sedang apa Kakak di sini?" tanya Lyra dengan mata terbelalak. Ia menurunkan tongkat bisbol yang dibawanya seraya menarik Vincent untuk masuk ke kamarnya. "Aw, kau bisa sedikit lembut 'kan? Otot-ototku terasa sangat nyeri," ringis Vincent. Lyra tampaknya memahami yang dimaksud oleh Vincent. Ia dengan segera melepaskan cengkeraman tangannya di pergelangan tangan pria itu. "Kau bisa jalan sendiri 'kan?" tanya Lyra. Vincent hanya menganggukan kepalanya pelan. Sejenak ia tertegun memandang Lyra. Padahal tadi Tuan Gilbert mengatakan jika gadis itu tidak mau makan dan masih sangat trauma dengan kejadian pembunuhan saat di pesta. Namun, yang ia lihat justru Lyra sangat sehat bahkan tangannya saja luar biasa bertenaga. "Apa dia berbohong ya?" gumam Vincent. "Apa? Kenapa kau bicara seperti sedang kumur-kumur begitu?" telisik Lyra sambil mendekatkan wajahnya ke wajah Vincent. Sontak Vincent pun langsung menjauhkan wajahnya karena merasa tak nyaman berdekatan dengan Lyra. "Aku tidak bica
Akibat berteriak terlalu kencang, rahang Vincent bergeser hingga perlu dilakukan operasi ulang. Memang operasi itu hampir mengubah semua yang ada di wajahnya, termasuk struktur tulang rahang. Maka dari itu ia seharusnya bisa menjaga dengan baik, dan tidak boleh bersikap berlebihan. Selama satu minggu Vincent berbaring tak berdaya dengan sisi wajahnya yang diperban memutar agar posisi rahangnya tidak bergeser lagi. Sebab hal itu, masa rawatnya makin bertambah. 'Sialan! Bagaimana bisa aku membalas dendam kalau seperti ini? Tahu akan menderita seperti ini, aku lebih baik mati saja,' gerutu Vincent dalam hati. Ia jadi memikirkan tentang perkataan Tuan Gilbert tempo hari. Pantas saja pria tua bangka itu terlihat enteng mengejeknya. Sedang sibuk mengumpat di dalam pikirannya, muncullah Tuan Gilbert bersama Dokter Collins. Kedua pria itu datang menghampiri Vincent dengan membawa catatan medis. Sepertinya mereka sedang berdiskusi mengenai nasib pria yang merupakan mantan bos mafia itu. Vin
Karina tampak merebahkan tubuhnya di atas kasur empuk kamarnya. Sejak Axel resmi menjadi pemimpin Foxbite, ia tinggal bersama dengan kekasihnya itu. Axel juga semakin sibuk semenjak menggantikan posisi Vincent sehingga jarang memperhatikannya. Mata hazel Karina menerawang di atas langit-langit kamar tidurnya yang didominasi oleh warna putih. Pikirannya masih tertuju pada Vincent yang dibalut sempurna dalam sosok Gavin. Sejak pertemuannya tadi, ia tak bisa tak bisa melupakan pria itu. "Apa yang sedang kau pikirkan?" Terdengar suara bariton Axel yang langsung membuat Karina tersadar dari lamunannya. Ia sedikit salah tingkah karena kenyataannya ia sedang memikirkan pria lain. "Aku tidak sedang memikirkan apa-apa. Hanya saja aku kepikiran soal kejadian di pesta tadi," dalih Karina yang kini sudah bangun dari posisi tidurnya. "Ya, kejadian itu sangat tiba-tiba. Aku juga tak menyangka akan terjadi kekacauan seperti itu di hari pertama kita menghadiri pesta," tanggap Axel. "Kau tidak ma
Kekacauan masih terjadi di aula pesta. Dari titik buta, Vincent mengawasi beberapa orang bertopeng bersenjata yang menyerang. Saat ini ia tidak dapat melakukan apa-apa sebab tak memegang senjata sama sekali. Beberapa tamu yang bergerak pun langsung ditembak mati sehingga para tamu undangan yang tersisa duduk berjongkok tanpa melakukan perlawanan. "Mereka masih berulah lagi rupanya," gumam Vincent. Dari model topeng anjing yang digunakan para pembunuh sadis itu, Vincent dapat mengetahui jika mereka adalah kelompok pembunuh bayaran Happy Kill. Mereka terkenal sadis serta tak kenal ampun jika sedang membantai target. Jika ada yang tidak sesuai dengan keinginan mereka, maka nyawa taruhannya. "Aku sebaiknya tidak gegabah. Saat ini aku hanya warga sipil biasa yang tak bersenjata. Sebaiknya aku tunggu saja sampai mereka pergi," gumam Vincent yang matanya masih mengawasi gerak-gerik sekitar sepuluh orang pembunuh bayaran itu. Di saat Vincent sedang mengawasi dari sisi lain, Lyra masih ber
Kombinasi antara Vincent dan Lyra saat berdansa terlihat begitu apik di mata para tamu yang lain, tak terkecuali Karina yang sedang berdansa dengan Axel. Ternyata Karina merasa jika Vincent memandangnya sedari tadi. 'Siapa pria itu? Mengapa dia melihatku seperti hendak melubangi tubuhku?' batin Karina resah. Kegelisahan Karina ternyata diketahui oleh Axel. Pria dengan kumis tipis dan rambut agak ikal itu merasa khawatir dengan kekasih hatinya itu. "Apa ada yang mengganggumu, Sayang?" tanya Axel. "Ah, ti-tidak ada kok," jawab Karina. Ia langsung terkejut begitu Axel bertanya padanya. Dahi Axel berkerut samar. Ia yakin jika wanitanya sedang merasa tidak nyaman. Ia lantas berpikir, apa mungkin Karina gugup sebab ini adalah pertama kalinya mereka datang ke pesta para konglomerat. "Kalau kau merasa tidak nyaman, kita bisa berhenti berdansa," tawar Axel. "Tidak, aku akan melakukannya sampai akhir. Topik utama pesta ini adalah dansa 'kan? Aku tidak mau dipandang remeh jika berhenti di
Begitu baru saja sampai di aula pesta, kehadiran Vincent dan Lyra langsung menjadi pusat perhatian. Tentu saja hal itu terjadi sebab baru kali ini putri tunggal keluarga Darien membawa seorang pendamping pria. Sebelumnya, Lyra tak pernah bisa membawa pasangan hingga ia selalu dikucilkan. "Wah ... wah ... rupanya anak itu benar-benar datang dengan membawa seorang pria. Terlebih lagi pria yang dibawanya itu sangat tampan bukan main," komentar salah satu tamu undangan pesta bernama Sella. "Rupanya dia sudah mulai menunjukkan taringnya ya? Apa kita mulai dekati saja dia? Lagipula kita tidak akan rugi," timpal gadis lain yang bernama Voni. "Aku dengar pria itu adalah sepupunya. Entah dari mana asal pria itu, tapi dia sangat tampan. Namun, banyak yang bilang sepupu Lyra itu adalah pewaris asli aset keluarga Darien. Katanya dia sudah hilang sejak berusia sepuluh tahun dan baru diketemukan setahun lalu. Pria itu merupakan anak tunggal dari kakak ayah Lyra yang telah meninggal karena kecela
"Apa kita bisa berangkat sekarang?" tanya Vincent. "Ah, tunggu dulu! Aku akan cepat kembali." Lyra kembali masuk ke rumah dengan setengah berlari. Sepertinya ada yang ingin diambil oleh gadis berusia 23 tahun itu. Vincent hanya bisa terdiam di tempatnya sambil menunggu Lyra kembali. Sekilas ia mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kediaman Keluarga Darien yang begitu luas. Ia memang baru pertama kali datang ke tempat ini sebab sejak diselamatkan satu tahun lalu, ia hanya ditempatkan di laboratorium. "Aku belum pernah bertemu dengan Tuan Gilbert secara langsung. Kira-kira seperti apa ya orangnya?" gumam Vincent penuh tanda tanya. Dulu saat masih menjabat sebagai bos mafia, ia cukup sering melakukan transaksi obat yang dijadikan racun dengan bawahan Tuan Gilbert. Namun, ia sama sekali belum pernah melihat sosok pria yang sudah memberinya identitas baru itu. "Ho, pantas saja putriku tidak mau melepaskanmu. Rupanya wajah barumu memang sangat tampan."Seperti pucuk dicinta ulam pun
Lyra menggerutu sepanjang perjalanan pulang. Ia memang masih sangat kesal dengan Vincent. Padahal ia sudah susah payah membujuk Dokter Collins agar bisa membawa pria itu ke acara pesta dansa yang diadakan salah satu orang tua teman sekolahnya dulu esok lusa. Namun, karena insiden tak terduga, kemungkinan ia akan gagal. "Hah... aku pasti akan dipermalukan lagi oleh mereka," lirih Lyra. Meskipun perasaannya kacau balau, ia masih tetap fokus mengendarai mobilnya. Lyra memang merupakan gadis yang ceria, tapi ia tak begitu beruntung sebab tak ada satu pun teman yang mau bersahabat dekat dengannya. Entah mengapa hal itu bisa terjadi, padahal ia selalu saja berusaha agar disukai. Kemungkinan teman-temannya itu iri padanya sebab meskipun tak melakukan apa-apa, ia bisa hidup dengan enak. Bahkan sampai terdengar julukan 'Putri Beban' untuknya. Padahal Lyra sendiri adalah anak yang cerdas dan memiliki potensi, hanya saja dengan caranya sendiri. "Katanya dulunya dia bos mafia, tapi bisa-bisany
Vincent masih terpaku dengan wajah barunya. Sungguh sangat tak terbayangkan baginya bisa mendapatkan wajah seperti itu. Tekstur kulit barunya bahkan sangat kenyal dan halus, berbeda dengan sebelumnya yang kasar. Penampilannya terlihat seperti pria lembut, dan sangat penyayang. Hebatnya lagi, ia tak terlihat sama sekali seperti orang yang melakukan operasi plastik. Semuanya terlihat sangat alami. "Jadi, selera priamu seperti ini ya?" tanya Vincent sembari melirik ke arah Lyra. "Benar sekali! Aku merancang wajah ini dengan membayangkan pria idamanku. Kau tahu, aku menempatkan setiap bagian wajahmu dari model pria yang berbeda. Makanya tidak heran jika kau setampan ini." Lyra tampak sangat bahagia. Ia bahkan melompat-lompat sambil memeluk Vincent dengan erat. Vincent sungguh kaget dengan kelakuan Lyra yang sangat lincah. Bukan hanya dirinya, sang dokter dan para asisten yang melihat pun ketakutan sebab wajah Vincent bisa saja rusak jika tak sengaja terkena senggol. Bisa-bisa hidungnya