Bab 4

Di dalam klinik sekolah yang hening, Bastian duduk di kursi dekat ranjang Leah sambil menggoyang-goyangkan kakinya. Leah masih terbaring, mencoba memulihkan tenaganya. Tiba-tiba, suara pintu yang dibuka dengan kasar memecah keheningan.

“LEAAAHHH!!” teriak seorang cewek dengan suara melengking.

Bastian langsung melompat dari kursinya, hampir saja menjatuhkan tas Leah. “Astaga, apaan sih?!”

Manda, sahabat Leah, masuk dengan wajah panik. Rambutnya sedikit berantakan, dan dia membawa tas selempang yang hampir melorot dari pundaknya. “Leah! Lo kenapa pingsan? Kok gue baru tahu?! Siapa yang ngabarin gue telat banget?! Gila ya, ini tuh serius banget, Leah! Gue pikir lo udah mati!”

Leah yang baru saja membuka matanya langsung memijat pelipisnya. “Manda, lo bisa nggak sih nggak heboh? Gue masih hidup, nih. Santai aja kali.”

Manda nggak peduli. Dia mendekat ke ranjang dan memeriksa Leah dari kepala sampai kaki, seperti dokter amatir. “Lo pucet banget, sumpah! Lo sakit apa? Kok bisa pingsan? Lo abis ngapain aja? Eh, lo udah makan belom? Aduh, gue harus beli bubur nggak, nih?”

Bastian menghela napas panjang sambil menutup telinganya. “Ya ampun, cewek satu ini ribut banget. Gue sampe budek!”

Manda langsung melotot ke arah Bastian. “Eh, lo ngapain di sini? Kok lo bisa di klinik? Jangan-jangan lo yang bikin Leah pingsan, ya? Lo gangguin dia lagi, kan?!”

Bastian mengangkat alis, merasa tersinggung. “Hah? Gue yang nolongin dia, tau! Kalau nggak ada gue, Leah udah nyungsep di trotoar tadi!”

Manda menyipitkan mata, nggak percaya. “Serius? Lo nggak bohong? Kenapa gue nggak percaya ya?”

Leah memutar matanya, malas mendengar debat nggak penting. “Udah, Manda, jangan drama. Dia emang nolongin gue tadi.”

“Oh,” jawab Manda pendek, tapi ekspresinya masih curiga. “Tapi tetep aja aneh. Lo tuh biasanya suka gangguin Leah. Kenapa sekarang tiba-tiba jadi pahlawan kesiangan?”

Bastian berdiri dengan gaya sok santai. “Ya kali gue biarin dia pingsan gitu aja. Gue nggak sejahat itu, tau.”

Manda mendengus, tapi akhirnya duduk di kursi lain di dekat Leah. “Oke, terus sekarang gimana? Lo udah mendingan, Leah? Gue antar pulang aja, yuk. Lo butuh istirahat di rumah.”

Leah menggeleng lemah. “Gue mau pulang, tapi gue nggak yakin bisa jalan jauh. Gue capek banget.”

Bastian langsung menimpali. “Gue aja yang nganterin lo pulang, Leah. Lo nggak usah repot-repot.”

Leah langsung mengangkat tangannya, menolak mentah-mentah. “Nope. Nggak mau. Ntar lo gangguin gue di jalan.”

“Yaelah, gue serius, kali,” protes Bastian sambil mengangkat bahu.

Manda juga ikut menyela. “Eh, kalau dia nggak mau dianter sama lo, biar gue aja! Gue kan sahabatnya.”

“Lah, lo nggak bisa bawa motor, Mand,” balas Bastian dengan nada mengejek. “Mau gendong dia jalan kaki?”

Manda langsung mendelik. “Yaudah, gue pesenin ojek online, kali! Gue tuh fleksibel, nggak kayak lo.”

Leah mendesah keras, menahan kesal karena kedua orang itu terus debat nggak penting. “Udah, udah, gue nggak mau ribet. Gue nginep di klinik aja. Males pulang juga.”

Bastian dan Manda serempak menatap Leah dengan kaget. “Hah? Nginep di sini?”

“Iya,” jawab Leah santai. “Dokter tadi juga bilang gue butuh istirahat total. Jadi, gue tidur di sini aja. Nggak usah repot-repot nganterin gue.”

Manda akhirnya mengangguk, meskipun wajahnya masih terlihat nggak rela. “Yaudah, kalau itu keputusan lo. Tapi gue tetep jagain lo di sini, oke?”

Bastian mendengus kecil. “Lo jagain? Gue yang jagain. Lo ribut mulu, Leah bisa tambah pusing.”

Leah menutup wajahnya dengan bantal, frustasi. “Duh, lo berdua ributnya kapan kelar, sih? Gue pengen tidur!”

Manda dan Bastian langsung diam, tapi masih saling melirik tajam. Di antara keheningan itu, Leah akhirnya bisa menutup matanya lagi, mencoba memanfaatkan waktu untuk beristirahat.

Setelah beberapa jam istirahat di klinik, Leah merasa badannya udah lebih enakan. Obat yang dikasih dokter klinik cukup ngefek buat ngurangin pusingnya. Manda udah siap di samping Leah, nggak berhenti ngoceh sejak tadi, kayak komentator pertandingan.

“Leah, lo yakin udah kuat pulang? Gue nggak mau lo tiba-tiba pingsan lagi di jalan, tau. Gue bisa kena serangan jantung!” Manda ngomel sambil ngelirik Leah yang lagi ngikat rambut.

“Gue udah mendingan kok. Santai aja, Mand,” jawab Leah sambil nyengir kecil.

Akhirnya, mereka naik mobil dengan sopir pribadi Manda. Leah duduk di samping Manda yang sibuk scrolling TikTok. Sepanjang jalan, Leah diem aja, matanya kosong, kayak lagi mikirin sesuatu. Tapi pas mobilnya hampir sampai di depan rumah Leah, tiba-tiba Leah ngeliat sosok mamanya dari kejauhan. Jantungnya langsung kayak dihantam palu.

“Stop! Stop! Balik arah, Mand!” Leah tiba-tiba panik.

Manda yang lagi asik nonton video lucu langsung kaget. “Hah? Balik? Ngapain? Kan rumah lo udah deket.”

“Pokoknya balik aja! Gue nggak mau pulang,” Leah bilang tegas.

Manda ngelirik Leah dengan tatapan heran. “Ada apaan sih? Jangan-jangan lo takut ketemu nyokap lo ya?”

Leah cuma mengangguk pelan. Manda langsung manggut-manggut paham. “Oke, nggak usah drama. Bang, puter balik aja ya. Kita ke rumah gue,” kata Manda ke sopirnya.

Setelah muter balik, Leah ngelus dada lega. “Thanks, Mand. Gue nggak siap kalau harus ribut sama nyokap gue sekarang.”

“Yaelah, gue ngerti kok. Nyokap lo tuh toxic banget, Leah. Untung lo punya gue,” Manda nyengir bangga. “Tenang aja, lo bakal aman di rumah gue.”

Setelah sampai di rumah Manda, Leah langsung diajak ke ruang makan. Manda nyodorin Leah sepiring nasi goreng yang aromanya bikin perut keroncongan.

“Lo makan dulu ya. Biar tenaga lo balik,” kata Manda sambil nyuapin nasi goreng ke mulutnya sendiri. “Ini enak banget, Leah. Gue bikin pake cinta.”

Leah cuma ketawa kecil. “Lo masak sendiri? Jangan-jangan ini nasi goreng instan?”

“Eh, bodo amat! Yang penting lo makan,” Manda ngakak sambil ngambil segelas air.

Setelah makan, mereka pindah ke kamar Manda. Kamar itu berantakan banget, tapi nyaman. Manda langsung nyalain laptopnya dan mulai streaming film.

“Kita nonton ‘Fifty Shades’ aja, gimana? Seru banget, Leah! Lo pasti suka,” kata Manda dengan antusias.

Leah melotot kecil. “Mand, seriusan? Film kayak gitu?”

“Eh, lo nggak ngerti seni, deh. Ini tuh masterpiece! Ya udah, lo diem aja. Nikmatin aja tontonan gue,” kata Manda sambil duduk bersila di kasur.

Leah cuma geleng-geleng kepala, tapi dia akhirnya nurut. Mereka berdua nonton film itu, dan Manda nggak berhenti ngoceh. Komentarnya bikin Leah ketawa, meskipun sebagian besar emang agak mesum.

“Eh, Leah, lo liat nggak tadi? Adegan itu tuh—uh, gila banget! Kalau gue jadi Anastasia, gue sih udah melting parah,” Manda ngakak sambil megang perutnya.

Leah cuma nyengir. “Lo emang otaknya udah geser, Mand.”

“Tapi seru kan? Ngaku aja lo suka,” goda Manda.

Tiba-tiba, Leah diem. Matanya fokus ke layar, tapi pikirannya udah melayang ke tempat lain. Dia ngebayangin suasana club dengan lampu disko dan musik keras. Tiba-tiba, dia nyeletuk, “Mand, gue pengen ke club deh malem ini.”

Manda langsung histeris. “HAH?! Lo serius, Leah? Baru aja sembuh, lo udah mau dugem?!”

“Serius, Mand. Gue lagi pengen aja. Mumpung gue cuti dua hari dan baru gajian. Gue mau nikmatin hidup gue malam ini,” jawab Leah dengan santai.

“Leah, otak lo masih jalan nggak sih? Baru tadi lo pingsan, terus sekarang lo mau mabok? Ini ide terburuk lo!” Manda teriak sambil megangin kepalanya, kayak nggak percaya.

“Gue nggak peduli. Gue butuh pelarian, Mand. Lo ikut aja deh. Biar nggak sendirian,” Leah bilang tegas.

Manda akhirnya menyerah. “Ya udah, terserah lo. Tapi kalau lo pingsan lagi, gue nggak tanggung jawab, ya.”

Leah senyum kecil. “Thanks, Mand. Lo emang sahabat gue yang paling ngerti.”

“Ngerti apanya? Gue cuma takut lo bikin gue repot lagi!” Manda cemberut, tapi dia udah sibuk nyiapin outfit buat mereka berdua. “Pokoknya kita harus keren banget malam ini, Leah. Kalau lo udah niat dugem, gue nggak mau setengah-setengah!”

Leah ketawa kecil. Malam ini, dia bertekad buat ngelupain semua masalahnya, walaupun cuma sebentar.