Leah berjalan cepat menuju pintu restoran, tapi tangan Tina dengan cepat mencengkeram lengannya.
"Leah, kamu apa-apaan sih?!" teriak Tina dengan nada tinggi, wajahnya memerah menahan emosi.
Leah menoleh tajam, matanya berkaca-kaca. "Mama yang apa-apaan?! Kenapa tega banget mau 'jual' aku ke om-om hidung belang tadi? Mama tega?!" Suaranya pecah, meluapkan rasa kecewa yang sudah menumpuk.
Tina menarik napas panjang, berusaha menahan amarahnya. "Mama cuma mau yang terbaik buat kamu, Leah! Mama nggak pengin kamu hidup kekurangan. Kalau kamu nikah sama suami yang banyak uang, kamu bakal bahagia."
"Bahagia, Ma? Bahagiaaaa? Itu bukan bahagia aku, tapi bahagia Mama! Apa sih yang Mama dapat dari om-om itu sampai tega ngorbanin aku? Aku anak Mama, bukan barang yang bisa dijual-beli!" Air mata Leah akhirnya jatuh, membasahi pipinya.
"Leah..." Tina mencoba mendekati, tapi Leah mundur selangkah, tubuhnya gemetar.
"Kenapa harus aku, Ma? Aku udah ngelakuin semuanya buat Mama, buat adek. Aku kerja banting tulang buat bayar utang Mama, buat biaya rumah sakit adek. Tapi sekarang, Mama masih mau korbankan aku?" Leah mengusap air matanya kasar, suaranya penuh luka.
Tina mencoba meraih tangan Leah, tapi Leah menepisnya. "Leah, tolong dengerin Mama. Ini demi masa depan kamu..."
"Enggak, Ma! Aku nggak mau masa depan kayak gitu. Lebih baik aku pergi dan nggak pernah balik lagi daripada nikah sama om-om itu."
Leah melangkah cepat meninggalkan Tina yang terus memanggilnya. "Leah! Kamu mau ke mana?! Leahhhh!"
Di luar restoran, Leah langsung menghentikan taksi. "Ke rumah Manda, Pak," ucapnya singkat sambil masuk.
Di Rumah Manda
Leah menghela napas panjang begitu sampai di depan rumah sahabatnya. Dia merasa lebih lega saat melihat gerbang rumah terbuka.
"Mau ketemu Non Manda, Neng?" tanya Mang Ujang, satpam rumah itu.
"Iya, Mang. Sekalian mau nginep, hehehe," jawab Leah dengan senyum lemah.
Begitu masuk, Leah langsung menuju kamar Manda. Tanpa mengetuk, dia membuka pintu.
"Gue kira lo nggak jadi ke sini," sapa Manda sambil melipat buku yang sedang dibacanya.
"Jadi lah! Gila aja gue masih di sana. Nyokap gue udah kelewatan banget," jawab Leah sambil menjatuhkan tubuhnya ke kasur Manda.
"Nyokap lo ngapain lagi? Please jangan bilang dia bikin drama lagi."
"Bukan drama lagi, Man. Ini udah level sinetron horor. Dia mau gue nikah sama om-om hidung belang!"
"APA?!" Manda langsung duduk tegak, menatap Leah dengan mata melotot.
Leah mengangguk. "Lo bayangin, Man. Gue udah kerja keras buat bantu dia sama adek gue, tapi dia malah mau 'jual' gue."
Manda mendekat dan memeluk Leah erat. "Gila nyokap lo. Tapi lo nggak bakal gue biarin nikah sama om-om itu. Kita harus cari jalan keluar, Le."
Leah menghela napas panjang, air matanya kembali mengalir. "Gue capek, Man. Kadang gue mikir, apa gue cari bokap gue aja, ya? Siapa tahu dia bisa bantu."
Manda menatap Leah serius. "Itu ide bagus. Lo masih inget wajah atau nama bokap lo?"
"Nama gue lupa. Tapi gue pernah lihat nyokap nyimpen foto cowok di lemarinya. Gue curiga itu bokap gue."
"Kalau gitu, lo harus cari foto itu. Nanti gue minta bantuan orang tua gue buat nyari info tentang bokap lo."
"Beneran lo mau bantu?" Leah menatap Manda dengan haru.
"Beneran lah! Kita harus keluarin lo dari neraka ini, Le."
Leah tersenyum kecil, merasa ada harapan. "Makasih banget, Man. Lo emang sahabat terbaik gue."
Manda mengangguk sambil menepuk bahu Leah. "Selalu, dong. Eh, gimana kalau sekarang kita nonton drakor? Gue punya yang seru banget!"
"Deal! Otak gue butuh hiburan banget."
Mereka pun menghabiskan malam dengan tertawa, mencoba melupakan sejenak masalah yang membebani Leah
Sementara itu, di sisi tempat lainnya...
Pagi itu, suasana di rumah Alvaro Dé Gerard terasa dingin, meski sinar matahari sudah menerobos jendela kaca besar di ruang tamu. Hubungan Alvaro dan Clara, yang awalnya penuh cinta, kini semakin terasa seperti formalitas belaka. Mereka berdua seperti dua orang asing yang tinggal di bawah satu atap, berbagi ruang tapi tidak berbagi hati.
Clara berdiri di depan cermin besar di kamar mereka, mengenakan dress hitam elegan yang membalut tubuhnya dengan sempurna. Ia menyemprotkan parfum di lehernya, aroma mahal yang biasanya memikat Alvaro, tapi pagi itu, pria itu bahkan tidak menoleh. Alvaro masih duduk di tepi tempat tidur, memeriksa dokumen di tabletnya, seolah kehadiran istrinya hanya bagian dari rutinitas.
"Alvaro, aku berangkat kerja dulu. Managerku udah nunggu di depan," ucap Clara sambil mengambil tasnya. Suaranya terdengar datar, tanpa kehangatan seperti dulu.
Alvaro mendongak sekilas. Matanya memperhatikan Clara, tapi bukan dengan tatapan penuh cinta. Ada rasa kecewa yang tertahan di sana, bercampur dengan rasa letih karena pembicaraan yang sama terus berulang.
"Kamu yakin nggak mau ambil cuti? Kita bisa habiskan waktu bersama, Clara," ujarnya pelan, mencoba sekali lagi. "Kapan terakhir kali kita duduk bareng tanpa bahas kerjaan atau jadwal kamu?"
Clara menghela napas panjang, lalu berbalik menatap suaminya. "Al, aku udah bilang berkali-kali, pekerjaan ini penting buat aku. Aku nggak bisa ninggalin semua yang udah aku bangun begitu aja."
"Tapi aku suami kamu, Clara," potong Alvaro, suaranya mulai meninggi. "Apa aku nggak lebih penting dari pekerjaan itu?"
Clara terdiam sejenak, lalu menggeleng pelan. "Bukan itu maksudku, Al. Tapi kamu tahu kan, jadi model adalah mimpiku sejak kecil. Aku nggak bisa menyerah sekarang."
Alvaro bangkit dari tempat tidur, menghampiri Clara dengan langkah berat. Dia menatap istrinya dalam-dalam, mencari sesuatu di matanya—mungkin cinta yang dulu ada, atau setidaknya rasa peduli. Tapi yang dia temukan hanyalah jarak yang semakin lebar di antara mereka.
"Clara, kamu tahu nggak kalau aku merasa kehilangan kamu?" bisiknya, suaranya serak. "Kita tinggal serumah, tapi rasanya kamu selalu jauh."
Clara tersentak, tapi dia tidak menunjukkan kelembutan. "Aku nggak pergi ke mana-mana, Al. Aku masih di sini, sama kamu."
"Fisik kamu mungkin di sini," balas Alvaro dengan pahit, "tapi hati kamu udah lama pergi."
Keduanya terdiam. Keheningan itu terasa mencekam, seperti dinding yang semakin menekan mereka berdua. Clara akhirnya melangkah mundur, mengambil tasnya kembali.
"Al, aku janji... kalau nanti kita punya anak, aku bakal berhenti kerja dan fokus di rumah," katanya dengan nada yang nyaris terdengar seperti permohonan. "Tapi untuk sekarang, biarkan aku kejar apa yang aku mau."
Alvaro hanya menatapnya tanpa berkata apa-apa. Clara mendekat, mengecup pipinya cepat, lalu pergi meninggalkannya sendirian di kamar.
Setelah pintu tertutup, Alvaro menghempaskan tubuhnya ke sofa. Dia mengusap wajahnya dengan kasar, mencoba mengusir rasa frustrasi yang membakar dadanya. Bagaimana bisa cinta mereka yang dulu begitu kuat kini terasa rapuh?
Beberapa jam kemudian, Alvaro dalam perjalanan menuju kantornya. Jalanan Jakarta yang macet membuat suasana hatinya semakin buruk. Dia menatap kosong ke luar jendela mobil, mencoba memikirkan solusi untuk hubungan pernikahannya yang kian memburuk. Namun, pikirannya terganggu oleh sosok seorang gadis yang berjalan di trotoar.
Gadis itu mengenakan seragam SMA, rambut panjangnya diikat rapi, dan wajahnya tampak polos tapi penuh pesona. Ada sesuatu yang membuat Alvaro tidak bisa mengalihkan pandangan, seperti magnet yang menariknya.
"Cantik," gumamnya pelan, hampir tanpa sadar.
"Anton," panggilnya ke asistennya yang duduk di kursi depan. "Cari tahu siapa gadis berseragam itu. Gue mau semua detailnya siang ini."
Anton menoleh, menatap Alvaro dengan bingung. "Ngapain, cok? lo udah punya istri. Nggak usah aneh-aneh deh."
Alvaro menatap Anton tajam melalui kaca spion. "Lakukan aja apa yang gue minta. Nggak perlu komentar."
Anton menghela napas. "Ck, gue urus sekarang."
Saat mobil melaju kembali, Alvaro masih memikirkan gadis itu. Entah kenapa, dia merasa ada sesuatu yang familiar tentangnya. Apakah ini hanya rasa penasaran biasa, atau ada alasan lebih besar di balik perasaan aneh ini? Alvaro tahu dia sedang bermain api, tapi rasa itu terlalu kuat untuk diabaikan.
Pagi itu, udara dingin masih menyelimuti.Lea tiba di rumah dengan langkah berat. Jam menunjukkan pukul lima subuh, tubuhnya terasa remuk, tapi pikirannya jauh lebih kusut. Setelah malam yang melelahkan di rumah Manda dan pertengkaran sengit dengan ibunya, dia menarik napas panjang, berharap bisa meredakan kekacauan di dalam dirinya.Begitu membuka pintu, Lea kaget melihat Ara duduk di ruang tamu, setengah mengantuk tapi jelas sedang menunggunya."Kaak, baru pulang?" Ara menyapa dengan suara lembut, matanya sembap tapi ada rasa lega di wajahnya.Lea melepas sepatunya dengan malas, menaruhnya asal di rak. "Iya. Kamu ngapain bangun sepagi ini, Ra? Kan masih pagi banget," tanyanya, suaranya datar meski jelas ada kelelahan di situ.Ara tersenyum kecil, lalu mengangkat dua kotak makan yang sudah dia siapkan. "Aku bikinin sarapan. Kakak pasti capek, kan? Nih, roti bakar sama telur. Ada susu juga. Biar Kakak nggak tambah lemes."Lea terdiam. Meski dia nggak pernah nunjukin sisi lembutnya ke
Di dalam klinik sekolah yang hening, Bastian duduk di kursi dekat ranjang Leah sambil menggoyang-goyangkan kakinya. Leah masih terbaring, mencoba memulihkan tenaganya. Tiba-tiba, suara pintu yang dibuka dengan kasar memecah keheningan.“LEAAAHHH!!” teriak seorang cewek dengan suara melengking.Bastian langsung melompat dari kursinya, hampir saja menjatuhkan tas Leah. “Astaga, apaan sih?!”Manda, sahabat Leah, masuk dengan wajah panik. Rambutnya sedikit berantakan, dan dia membawa tas selempang yang hampir melorot dari pundaknya. “Leah! Lo kenapa pingsan? Kok gue baru tahu?! Siapa yang ngabarin gue telat banget?! Gila ya, ini tuh serius banget, Leah! Gue pikir lo udah mati!”Leah yang baru saja membuka matanya langsung memijat pelipisnya. “Manda, lo bisa nggak sih nggak heboh? Gue masih hidup, nih. Santai aja kali.”Manda nggak peduli. Dia mendekat ke ranjang dan memeriksa Leah dari kepala sampai kaki, seperti dokter amatir. “Lo pucet banget, sumpah! Lo sakit apa? Kok bisa pingsan? Lo
Malam itu, Leah dan Manda bersiap untuk menjalani malam yang mereka yakin akan penuh dengan gemerlap dan kegilaan. Kamar Manda yang biasanya berantakan kini jadi ajang fashion show dadakan. Leah berdiri di depan cermin besar, mematut diri dalam gaun merah merona yang memeluk tubuhnya dengan sempurna. Belahan dadanya yang menggoda, punggung terbuka, dan lipstik merahnya membuat Leah tampak seperti dewi malam."Mand, gue keliatan terlalu mencolok nggak sih?" Leah nanya sambil muter-muter depan cermin.Manda, yang lagi sibuk ngolesin highlighter di tulang pipinya, melirik Leah dan langsung melongo. "Leah, sumpah! Lo kayak mau jalan di red carpet Grammy, cuy! Gila, body lo tuh gitar Spanyol banget! Kalau gue cowok, udah nggak mikir dua kali buat deketin lo!"Leah ngakak kecil, tapi tetap kelihatan puas dengan pujian itu. "Lo juga nggak kalah, Mand. Outfit lo tuh... wow. Hitam, ketat, dan... ya ampun, itu rok atau kain sisa?!"Manda ketawa ngakak. "Eh, ini fashion, Leah! Lo nggak ngerti. S
Di sudut klub yang agak sepi, Alvaro duduk sambil mengaduk minumannya dengan wajah serius. Anton, Bagas, dan Rafa duduk di depannya dengan ekspresi penuh penasaran serta wajah yang siap mengejeknya, siap untuk mengulik kejadian barusan.Bagas: “Al, sumpah, tadi lu kenapa bisa kelepasan gitu? Lu biasanya dingin banget, tapi tadi... wah, itu mah bukan Alvaro yang gue kenal.” Bagas cekikikan sambil menunjuk Alvaro dengan gelasnya.Anton: “Eh, gue ngerti kenapa. Gue udah bilang ke lu tadi, kan? Lu tuh udah tertarik sama dia dari awal. Dari pas ketemu dia di jalan.”Rafa: “Ketemu di jalan? Maksud lu?”Anton langsung duduk lebih dekat ke Rafa dan Bagas, sambil nyengir lebar.Anton: “Jadi gini, tadi siang si Al ini ketemu sama cewek itu di jalan. Gue sama dia lagi naik mobil, terus ada cewek jalan kaki, keliatan capek banget. Nah, Al ini tiba-tiba nyuruh gue pelanin mobil, terus dia mandangin cewek itu lama banget. Bahkan sampai kantor gue langsung cari tahu latar belekang gadis itu”Bag
"Mama menyesal kalian berdua hidup!""Mama nyesel!" teriak Tina, ibu Lea dan Ara."Kenapa punya anak harus hidup, sih?" amarahnya semakin memuncak.Lea dan Ara, kakak beradik itu, hanya bisa menunduk sambil menangis mendengar amukan ibu mereka."Ma-Mama, maafin Lea, Ma. Maafin Lea," isak Lea, air mata mengalir deras di pipinya."Kenapa kamu harus hidup, Lea?!" tanya sang ibu dengan penuh kebencian, menarik rambut Lea dengan kasar."Kenapa harus hidup!" jeritnya lagi sambil mendorong Lea hingga jatuh ke lantai."Kamu juga!" lanjutnya kepada Ara, "Kamu cuma bikin Mama susah. Dasar penyakitan!" teriak Tina penuh emosi.Ara hanya bisa menangis di pelukan kakaknya. Mereka berdua tidak pernah melawan ketika ibu mereka marah. Yang bisa mereka lakukan hanyalah menerima semua siksaan itu.Kehidupan mereka tidak seperti anak-anak lain. Setiap kali Tina pulang dari kerja, Lea dan Ara harus menghadapi amukan dan kekerasannya.Lea hanya bisa berharap suatu saat ibunya akan berubah. Tidak lagi meny
Di sudut klub yang agak sepi, Alvaro duduk sambil mengaduk minumannya dengan wajah serius. Anton, Bagas, dan Rafa duduk di depannya dengan ekspresi penuh penasaran serta wajah yang siap mengejeknya, siap untuk mengulik kejadian barusan.Bagas: “Al, sumpah, tadi lu kenapa bisa kelepasan gitu? Lu biasanya dingin banget, tapi tadi... wah, itu mah bukan Alvaro yang gue kenal.” Bagas cekikikan sambil menunjuk Alvaro dengan gelasnya.Anton: “Eh, gue ngerti kenapa. Gue udah bilang ke lu tadi, kan? Lu tuh udah tertarik sama dia dari awal. Dari pas ketemu dia di jalan.”Rafa: “Ketemu di jalan? Maksud lu?”Anton langsung duduk lebih dekat ke Rafa dan Bagas, sambil nyengir lebar.Anton: “Jadi gini, tadi siang si Al ini ketemu sama cewek itu di jalan. Gue sama dia lagi naik mobil, terus ada cewek jalan kaki, keliatan capek banget. Nah, Al ini tiba-tiba nyuruh gue pelanin mobil, terus dia mandangin cewek itu lama banget. Bahkan sampai kantor gue langsung cari tahu latar belekang gadis itu”Bag
Malam itu, Leah dan Manda bersiap untuk menjalani malam yang mereka yakin akan penuh dengan gemerlap dan kegilaan. Kamar Manda yang biasanya berantakan kini jadi ajang fashion show dadakan. Leah berdiri di depan cermin besar, mematut diri dalam gaun merah merona yang memeluk tubuhnya dengan sempurna. Belahan dadanya yang menggoda, punggung terbuka, dan lipstik merahnya membuat Leah tampak seperti dewi malam."Mand, gue keliatan terlalu mencolok nggak sih?" Leah nanya sambil muter-muter depan cermin.Manda, yang lagi sibuk ngolesin highlighter di tulang pipinya, melirik Leah dan langsung melongo. "Leah, sumpah! Lo kayak mau jalan di red carpet Grammy, cuy! Gila, body lo tuh gitar Spanyol banget! Kalau gue cowok, udah nggak mikir dua kali buat deketin lo!"Leah ngakak kecil, tapi tetap kelihatan puas dengan pujian itu. "Lo juga nggak kalah, Mand. Outfit lo tuh... wow. Hitam, ketat, dan... ya ampun, itu rok atau kain sisa?!"Manda ketawa ngakak. "Eh, ini fashion, Leah! Lo nggak ngerti. S
Di dalam klinik sekolah yang hening, Bastian duduk di kursi dekat ranjang Leah sambil menggoyang-goyangkan kakinya. Leah masih terbaring, mencoba memulihkan tenaganya. Tiba-tiba, suara pintu yang dibuka dengan kasar memecah keheningan.“LEAAAHHH!!” teriak seorang cewek dengan suara melengking.Bastian langsung melompat dari kursinya, hampir saja menjatuhkan tas Leah. “Astaga, apaan sih?!”Manda, sahabat Leah, masuk dengan wajah panik. Rambutnya sedikit berantakan, dan dia membawa tas selempang yang hampir melorot dari pundaknya. “Leah! Lo kenapa pingsan? Kok gue baru tahu?! Siapa yang ngabarin gue telat banget?! Gila ya, ini tuh serius banget, Leah! Gue pikir lo udah mati!”Leah yang baru saja membuka matanya langsung memijat pelipisnya. “Manda, lo bisa nggak sih nggak heboh? Gue masih hidup, nih. Santai aja kali.”Manda nggak peduli. Dia mendekat ke ranjang dan memeriksa Leah dari kepala sampai kaki, seperti dokter amatir. “Lo pucet banget, sumpah! Lo sakit apa? Kok bisa pingsan? Lo
Pagi itu, udara dingin masih menyelimuti.Lea tiba di rumah dengan langkah berat. Jam menunjukkan pukul lima subuh, tubuhnya terasa remuk, tapi pikirannya jauh lebih kusut. Setelah malam yang melelahkan di rumah Manda dan pertengkaran sengit dengan ibunya, dia menarik napas panjang, berharap bisa meredakan kekacauan di dalam dirinya.Begitu membuka pintu, Lea kaget melihat Ara duduk di ruang tamu, setengah mengantuk tapi jelas sedang menunggunya."Kaak, baru pulang?" Ara menyapa dengan suara lembut, matanya sembap tapi ada rasa lega di wajahnya.Lea melepas sepatunya dengan malas, menaruhnya asal di rak. "Iya. Kamu ngapain bangun sepagi ini, Ra? Kan masih pagi banget," tanyanya, suaranya datar meski jelas ada kelelahan di situ.Ara tersenyum kecil, lalu mengangkat dua kotak makan yang sudah dia siapkan. "Aku bikinin sarapan. Kakak pasti capek, kan? Nih, roti bakar sama telur. Ada susu juga. Biar Kakak nggak tambah lemes."Lea terdiam. Meski dia nggak pernah nunjukin sisi lembutnya ke
Leah berjalan cepat menuju pintu restoran, tapi tangan Tina dengan cepat mencengkeram lengannya."Leah, kamu apa-apaan sih?!" teriak Tina dengan nada tinggi, wajahnya memerah menahan emosi.Leah menoleh tajam, matanya berkaca-kaca. "Mama yang apa-apaan?! Kenapa tega banget mau 'jual' aku ke om-om hidung belang tadi? Mama tega?!" Suaranya pecah, meluapkan rasa kecewa yang sudah menumpuk.Tina menarik napas panjang, berusaha menahan amarahnya. "Mama cuma mau yang terbaik buat kamu, Leah! Mama nggak pengin kamu hidup kekurangan. Kalau kamu nikah sama suami yang banyak uang, kamu bakal bahagia.""Bahagia, Ma? Bahagiaaaa? Itu bukan bahagia aku, tapi bahagia Mama! Apa sih yang Mama dapat dari om-om itu sampai tega ngorbanin aku? Aku anak Mama, bukan barang yang bisa dijual-beli!" Air mata Leah akhirnya jatuh, membasahi pipinya."Leah..." Tina mencoba mendekati, tapi Leah mundur selangkah, tubuhnya gemetar."Kenapa harus aku, Ma? Aku udah ngelakuin semuanya buat Mama, buat adek. Aku kerja ba
"Mama menyesal kalian berdua hidup!""Mama nyesel!" teriak Tina, ibu Lea dan Ara."Kenapa punya anak harus hidup, sih?" amarahnya semakin memuncak.Lea dan Ara, kakak beradik itu, hanya bisa menunduk sambil menangis mendengar amukan ibu mereka."Ma-Mama, maafin Lea, Ma. Maafin Lea," isak Lea, air mata mengalir deras di pipinya."Kenapa kamu harus hidup, Lea?!" tanya sang ibu dengan penuh kebencian, menarik rambut Lea dengan kasar."Kenapa harus hidup!" jeritnya lagi sambil mendorong Lea hingga jatuh ke lantai."Kamu juga!" lanjutnya kepada Ara, "Kamu cuma bikin Mama susah. Dasar penyakitan!" teriak Tina penuh emosi.Ara hanya bisa menangis di pelukan kakaknya. Mereka berdua tidak pernah melawan ketika ibu mereka marah. Yang bisa mereka lakukan hanyalah menerima semua siksaan itu.Kehidupan mereka tidak seperti anak-anak lain. Setiap kali Tina pulang dari kerja, Lea dan Ara harus menghadapi amukan dan kekerasannya.Lea hanya bisa berharap suatu saat ibunya akan berubah. Tidak lagi meny