Share

Bab 3

Author: AlphaGirl
last update Last Updated: 2024-09-29 21:07:06

Pagi itu, udara dingin masih menyelimuti.

Lea tiba di rumah dengan langkah berat. Jam menunjukkan pukul lima subuh, tubuhnya terasa remuk, tapi pikirannya jauh lebih kusut. Setelah malam yang melelahkan di rumah Manda dan pertengkaran sengit dengan ibunya, dia menarik napas panjang, berharap bisa meredakan kekacauan di dalam dirinya.

Begitu membuka pintu, Lea kaget melihat Ara duduk di ruang tamu, setengah mengantuk tapi jelas sedang menunggunya.

"Kaak, baru pulang?" Ara menyapa dengan suara lembut, matanya sembap tapi ada rasa lega di wajahnya.

Lea melepas sepatunya dengan malas, menaruhnya asal di rak. "Iya. Kamu ngapain bangun sepagi ini, Ra? Kan masih pagi banget," tanyanya, suaranya datar meski jelas ada kelelahan di situ.

Ara tersenyum kecil, lalu mengangkat dua kotak makan yang sudah dia siapkan. "Aku bikinin sarapan. Kakak pasti capek, kan? Nih, roti bakar sama telur. Ada susu juga. Biar Kakak nggak tambah lemes."

Lea terdiam. Meski dia nggak pernah nunjukin sisi lembutnya ke Ara, perhatian adiknya ini benar-benar menyentuh. Dia mendekati Ara, mengusap rambutnya pelan. "Makasih ya, Ra."

Ara cuma tersenyum, tapi sorot matanya menunjukkan rasa ingin tahu yang besar. Dia pasti pengen tanya soal semalam—kenapa Lea nggak pulang. Tapi, seperti biasa, Ara menahan diri. Dia tahu pertanyaan itu hanya akan bikin kakaknya makin tertekan.

"Kalau Kakak mau mandi dulu, sarapannya kutaruh di meja ya," ucap Ara, mengalihkan suasana.

Lea mengangguk pelan, lalu berjalan menuju kamar mandi. Di kepalanya, pikiran tentang ibunya, ayahnya, dan tanggung jawab sebagai kakak terus bergumul.


Di tempat lain, rumah keluarga Alvaro

"Ini data yang lo minta tadi pagi." Anton, sahabat sekaligus tangan kanan Alvaro, menyerahkan sebuah map sambil duduk santai di sofa.

Alvaro membuka map itu, membaca pelan informasi tentang seorang gadis bernama Aleah Thafana De Vries. Matanya terpaku pada foto di dalamnya. "Nama belakang dia… De Vries?" gumamnya.

"Iya," jawab Anton sambil menyeruput kopi. "Nama belakangnya sama kayak nama belakang nyokap lo. Aneh, kan?"

Alvaro terdiam sejenak, menatap foto Lea. "Lo yakin ini semua datanya lengkap?"

"Baru sebagian. Tapi kalau lo mau, gue bisa gali lebih dalam. Gue juga tadi kepikiran, jangan-jangan dia ada hubungan sama lo."

Alvaro meletakkan map itu di meja, lalu berdiri. "Gue butuh tahu semuanya, Ton. Gue nggak ngerti kenapa, tapi gue harus tahu siapa dia."

Anton mengangkat bahu, lalu mengangguk. "Oke, bos. Gue urus."

Setelah Anton pergi, Alvaro duduk kembali di kursinya. Matanya kembali terpaku pada foto Lea. Ada sesuatu di mata gadis itu yang membuatnya gelisah, seolah dia menyimpan rahasia besar yang terhubung dengan masa lalu keluarganya.

Di perjalanan, Bastian melihat Lea berjalan di trotoar. Wajahnya kelihatan lelah, tapi masih ada aura kuat di dalam dirinya yang bikin Bastian nggak bisa berpaling.

Namun, saat mobil Alvaro melintas di jalan yang sama, Bastian langsung menepis niatnya untuk menawarkan tumpangan. Dia tahu kalau Alvaro melihatnya, pasti akan ada ledekan yang nggak bakal selesai sepanjang hari.

"Udah ah, ribet kalau ketemu dia," gumamnya sambil menginjak gas lebih dalam.

Di sepanjang trotoar yang basah oleh embun pagi, Leah berjalan dengan langkah berat menuju sekolah. Wajahnya terlihat pucat, dan sesekali dia mengusap matanya yang masih mengantuk. Meski tubuhnya terasa lelah, dia memaksa diri untuk tetap melangkah. Hari ini adalah hari penting di sekolah, dan dia tidak ingin membuat masalah hanya karena datang terlambat.

Namun, langkah Leah terhenti saat suara motor yang familiar terdengar dari belakangnya. Dia melirik ke samping dan mendapati Bastian sedang memarkir motornya tak jauh darinya.

“Eh, Leah! Jalan kaki pagi-pagi gini, capek nggak?” tanya Bastian dengan nada menggoda sambil berjalan mendekat. Dia menatap Leah dengan senyum kecil yang nakal, jelas berniat mengganggunya lagi.

Leah menghela napas panjang, tidak ingin terlibat lebih jauh dengan Bastian. “Nggak usah sok peduli. Gue nggak minta ditemenin,” balas Leah datar, mempercepat langkahnya.

Bastian tertawa kecil dan mengejar Leah dengan santai. “Santai dong, gue cuma ngajak ngobrol. Lagian, jalan pagi bareng itu sehat, kan?”

Leah hanya mendengus kesal. Dia tahu betul Bastian sering menggodanya, dan itu bukan hal baru. Tapi hari ini, tubuhnya terlalu lelah untuk menghadapi tingkah cowok itu. Dia hanya ingin cepat sampai ke sekolah dan menyelesaikan hari secepat mungkin.

“Eh, Leah, lo pucat banget. Seriusan nggak apa-apa?” Bastian mulai memperhatikan wajah Leah yang semakin kehilangan warna.

“Gue bilang nggak usah peduli,” jawab Leah lagi, tapi suaranya terdengar lemah.

Baru beberapa langkah kemudian, tubuh Leah tiba-tiba goyah. Matanya berkunang-kunang, dan sebelum dia sempat menyadarinya, tubuhnya ambruk.

“Leah!” seru Bastian panik. Dengan sigap, dia menangkap tubuh Leah sebelum terjatuh ke trotoar.

Tanpa pikir panjang, Bastian menggendong Leah ke motornya. Dia memutuskan untuk langsung membawanya ke klinik sekolah.


Sesampainya di klinik, Bastian menyerahkan Leah ke dokter yang berjaga. Wajahnya penuh kekhawatiran, meskipun dia berusaha menyembunyikannya dengan bersikap santai.

“Dok, tolong cek dia. Tadi dia tiba-tiba pingsan di jalan,” kata Bastian sambil meletakkan tas Leah di kursi.

Dokter mengangguk dan segera memeriksa kondisi Leah. Beberapa menit kemudian, dokter menoleh ke arah Bastian yang masih berdiri di sudut ruangan. “Dia kecapekan. Mungkin karena kurang istirahat dan pikirannya terlalu banyak, apalagi dia harus kerja setelah pulang sekolah. Saya sarankan dia istirahat total untuk sementara waktu.”

Bastian mengangguk, tapi matanya tetap tertuju pada Leah yang terbaring lemah di ranjang klinik. Dia merasa ada rasa bersalah di hatinya. Selama ini, dia sering mengganggu Leah hanya untuk menarik perhatiannya. Tapi melihat Leah dalam kondisi seperti ini, dia sadar bahwa perasaan isengnya mungkin sudah keterlaluan.

Saat Leah mulai sadar, dia membuka matanya perlahan. Pandangannya kabur, tapi dia bisa melihat Bastian duduk di kursi dekat ranjangnya.

“Kok… lo di sini?” tanya Leah dengan suara serak.

Bastian menggaruk kepalanya, mencoba menyembunyikan rasa canggung. “Lo pingsan tadi. Gue bawa lo ke sini.”

Leah menatapnya sejenak, lalu mengalihkan pandangan. “Makasih,” gumamnya pelan.

Bastian tersenyum kecil, merasa lega. “Lain kali, jangan terlalu maksa diri, Leah. Gue tahu lo kerja keras, tapi tubuh lo juga butuh istirahat.”

Leah terdiam. Kata-kata Bastian kali ini terasa tulus, berbeda dari biasanya. Meskipun dia tidak ingin mengakuinya, perhatian Bastian sedikit membuatnya merasa lebih baik.

“Gue nggak perlu lo khawatirin,” jawab Leah akhirnya, meski nada bicaranya tidak setegas sebelumnya.

Bastian tertawa kecil. “Gue nggak khawatir. Gue cuma nggak mau lo ambruk lagi. Kalau lo pingsan lagi, siapa yang bakal gue ganggu di sekolah?”

Leah memutar mata, tapi kali ini bibirnya membentuk senyum tipis. Untuk pertama kalinya, dia merasa bahwa Bastian, meskipun menyebalkan, mungkin tidak seburuk yang dia kira.

Related chapters

  • I Want You, Om Duda   Bab 4

    Di dalam klinik sekolah yang hening, Bastian duduk di kursi dekat ranjang Leah sambil menggoyang-goyangkan kakinya. Leah masih terbaring, mencoba memulihkan tenaganya. Tiba-tiba, suara pintu yang dibuka dengan kasar memecah keheningan.“LEAAAHHH!!” teriak seorang cewek dengan suara melengking.Bastian langsung melompat dari kursinya, hampir saja menjatuhkan tas Leah. “Astaga, apaan sih?!”Manda, sahabat Leah, masuk dengan wajah panik. Rambutnya sedikit berantakan, dan dia membawa tas selempang yang hampir melorot dari pundaknya. “Leah! Lo kenapa pingsan? Kok gue baru tahu?! Siapa yang ngabarin gue telat banget?! Gila ya, ini tuh serius banget, Leah! Gue pikir lo udah mati!”Leah yang baru saja membuka matanya langsung memijat pelipisnya. “Manda, lo bisa nggak sih nggak heboh? Gue masih hidup, nih. Santai aja kali.”Manda nggak peduli. Dia mendekat ke ranjang dan memeriksa Leah dari kepala sampai kaki, seperti dokter amatir. “Lo pucet banget, sumpah! Lo sakit apa? Kok bisa pingsan? Lo

    Last Updated : 2025-01-05
  • I Want You, Om Duda   Bab 5

    Malam itu, Leah dan Manda bersiap untuk menjalani malam yang mereka yakin akan penuh dengan gemerlap dan kegilaan. Kamar Manda yang biasanya berantakan kini jadi ajang fashion show dadakan. Leah berdiri di depan cermin besar, mematut diri dalam gaun merah merona yang memeluk tubuhnya dengan sempurna. Belahan dadanya yang menggoda, punggung terbuka, dan lipstik merahnya membuat Leah tampak seperti dewi malam."Mand, gue keliatan terlalu mencolok nggak sih?" Leah nanya sambil muter-muter depan cermin.Manda, yang lagi sibuk ngolesin highlighter di tulang pipinya, melirik Leah dan langsung melongo. "Leah, sumpah! Lo kayak mau jalan di red carpet Grammy, cuy! Gila, body lo tuh gitar Spanyol banget! Kalau gue cowok, udah nggak mikir dua kali buat deketin lo!"Leah ngakak kecil, tapi tetap kelihatan puas dengan pujian itu. "Lo juga nggak kalah, Mand. Outfit lo tuh... wow. Hitam, ketat, dan... ya ampun, itu rok atau kain sisa?!"Manda ketawa ngakak. "Eh, ini fashion, Leah! Lo nggak ngerti. S

    Last Updated : 2025-01-05
  • I Want You, Om Duda   Bab 6

    Di sudut klub yang agak sepi, Alvaro duduk sambil mengaduk minumannya dengan wajah serius. Anton, Bagas, dan Rafa duduk di depannya dengan ekspresi penuh penasaran serta wajah yang siap mengejeknya, siap untuk mengulik kejadian barusan.Bagas: “Al, sumpah, tadi lu kenapa bisa kelepasan gitu? Lu biasanya dingin banget, tapi tadi... wah, itu mah bukan Alvaro yang gue kenal.” Bagas cekikikan sambil menunjuk Alvaro dengan gelasnya.Anton: “Eh, gue ngerti kenapa. Gue udah bilang ke lu tadi, kan? Lu tuh udah tertarik sama dia dari awal. Dari pas ketemu dia di jalan.”Rafa: “Ketemu di jalan? Maksud lu?”Anton langsung duduk lebih dekat ke Rafa dan Bagas, sambil nyengir lebar.Anton: “Jadi gini, tadi siang si Al ini ketemu sama cewek itu di jalan. Gue sama dia lagi naik mobil, terus ada cewek jalan kaki, keliatan capek banget. Nah, Al ini tiba-tiba nyuruh gue pelanin mobil, terus dia mandangin cewek itu lama banget. Bahkan sampai kantor gue langsung cari tahu latar belekang gadis itu”Bag

    Last Updated : 2025-01-06
  • I Want You, Om Duda   Bab 1

    "Mama menyesal kalian berdua hidup!""Mama nyesel!" teriak Tina, ibu Lea dan Ara."Kenapa punya anak harus hidup, sih?" amarahnya semakin memuncak.Lea dan Ara, kakak beradik itu, hanya bisa menunduk sambil menangis mendengar amukan ibu mereka."Ma-Mama, maafin Lea, Ma. Maafin Lea," isak Lea, air mata mengalir deras di pipinya."Kenapa kamu harus hidup, Lea?!" tanya sang ibu dengan penuh kebencian, menarik rambut Lea dengan kasar."Kenapa harus hidup!" jeritnya lagi sambil mendorong Lea hingga jatuh ke lantai."Kamu juga!" lanjutnya kepada Ara, "Kamu cuma bikin Mama susah. Dasar penyakitan!" teriak Tina penuh emosi.Ara hanya bisa menangis di pelukan kakaknya. Mereka berdua tidak pernah melawan ketika ibu mereka marah. Yang bisa mereka lakukan hanyalah menerima semua siksaan itu.Kehidupan mereka tidak seperti anak-anak lain. Setiap kali Tina pulang dari kerja, Lea dan Ara harus menghadapi amukan dan kekerasannya.Lea hanya bisa berharap suatu saat ibunya akan berubah. Tidak lagi meny

    Last Updated : 2024-05-24
  • I Want You, Om Duda   Bab 2

    Leah berjalan cepat menuju pintu restoran, tapi tangan Tina dengan cepat mencengkeram lengannya."Leah, kamu apa-apaan sih?!" teriak Tina dengan nada tinggi, wajahnya memerah menahan emosi.Leah menoleh tajam, matanya berkaca-kaca. "Mama yang apa-apaan?! Kenapa tega banget mau 'jual' aku ke om-om hidung belang tadi? Mama tega?!" Suaranya pecah, meluapkan rasa kecewa yang sudah menumpuk.Tina menarik napas panjang, berusaha menahan amarahnya. "Mama cuma mau yang terbaik buat kamu, Leah! Mama nggak pengin kamu hidup kekurangan. Kalau kamu nikah sama suami yang banyak uang, kamu bakal bahagia.""Bahagia, Ma? Bahagiaaaa? Itu bukan bahagia aku, tapi bahagia Mama! Apa sih yang Mama dapat dari om-om itu sampai tega ngorbanin aku? Aku anak Mama, bukan barang yang bisa dijual-beli!" Air mata Leah akhirnya jatuh, membasahi pipinya."Leah..." Tina mencoba mendekati, tapi Leah mundur selangkah, tubuhnya gemetar."Kenapa harus aku, Ma? Aku udah ngelakuin semuanya buat Mama, buat adek. Aku kerja ba

    Last Updated : 2024-05-27

Latest chapter

  • I Want You, Om Duda   Bab 6

    Di sudut klub yang agak sepi, Alvaro duduk sambil mengaduk minumannya dengan wajah serius. Anton, Bagas, dan Rafa duduk di depannya dengan ekspresi penuh penasaran serta wajah yang siap mengejeknya, siap untuk mengulik kejadian barusan.Bagas: “Al, sumpah, tadi lu kenapa bisa kelepasan gitu? Lu biasanya dingin banget, tapi tadi... wah, itu mah bukan Alvaro yang gue kenal.” Bagas cekikikan sambil menunjuk Alvaro dengan gelasnya.Anton: “Eh, gue ngerti kenapa. Gue udah bilang ke lu tadi, kan? Lu tuh udah tertarik sama dia dari awal. Dari pas ketemu dia di jalan.”Rafa: “Ketemu di jalan? Maksud lu?”Anton langsung duduk lebih dekat ke Rafa dan Bagas, sambil nyengir lebar.Anton: “Jadi gini, tadi siang si Al ini ketemu sama cewek itu di jalan. Gue sama dia lagi naik mobil, terus ada cewek jalan kaki, keliatan capek banget. Nah, Al ini tiba-tiba nyuruh gue pelanin mobil, terus dia mandangin cewek itu lama banget. Bahkan sampai kantor gue langsung cari tahu latar belekang gadis itu”Bag

  • I Want You, Om Duda   Bab 5

    Malam itu, Leah dan Manda bersiap untuk menjalani malam yang mereka yakin akan penuh dengan gemerlap dan kegilaan. Kamar Manda yang biasanya berantakan kini jadi ajang fashion show dadakan. Leah berdiri di depan cermin besar, mematut diri dalam gaun merah merona yang memeluk tubuhnya dengan sempurna. Belahan dadanya yang menggoda, punggung terbuka, dan lipstik merahnya membuat Leah tampak seperti dewi malam."Mand, gue keliatan terlalu mencolok nggak sih?" Leah nanya sambil muter-muter depan cermin.Manda, yang lagi sibuk ngolesin highlighter di tulang pipinya, melirik Leah dan langsung melongo. "Leah, sumpah! Lo kayak mau jalan di red carpet Grammy, cuy! Gila, body lo tuh gitar Spanyol banget! Kalau gue cowok, udah nggak mikir dua kali buat deketin lo!"Leah ngakak kecil, tapi tetap kelihatan puas dengan pujian itu. "Lo juga nggak kalah, Mand. Outfit lo tuh... wow. Hitam, ketat, dan... ya ampun, itu rok atau kain sisa?!"Manda ketawa ngakak. "Eh, ini fashion, Leah! Lo nggak ngerti. S

  • I Want You, Om Duda   Bab 4

    Di dalam klinik sekolah yang hening, Bastian duduk di kursi dekat ranjang Leah sambil menggoyang-goyangkan kakinya. Leah masih terbaring, mencoba memulihkan tenaganya. Tiba-tiba, suara pintu yang dibuka dengan kasar memecah keheningan.“LEAAAHHH!!” teriak seorang cewek dengan suara melengking.Bastian langsung melompat dari kursinya, hampir saja menjatuhkan tas Leah. “Astaga, apaan sih?!”Manda, sahabat Leah, masuk dengan wajah panik. Rambutnya sedikit berantakan, dan dia membawa tas selempang yang hampir melorot dari pundaknya. “Leah! Lo kenapa pingsan? Kok gue baru tahu?! Siapa yang ngabarin gue telat banget?! Gila ya, ini tuh serius banget, Leah! Gue pikir lo udah mati!”Leah yang baru saja membuka matanya langsung memijat pelipisnya. “Manda, lo bisa nggak sih nggak heboh? Gue masih hidup, nih. Santai aja kali.”Manda nggak peduli. Dia mendekat ke ranjang dan memeriksa Leah dari kepala sampai kaki, seperti dokter amatir. “Lo pucet banget, sumpah! Lo sakit apa? Kok bisa pingsan? Lo

  • I Want You, Om Duda   Bab 3

    Pagi itu, udara dingin masih menyelimuti.Lea tiba di rumah dengan langkah berat. Jam menunjukkan pukul lima subuh, tubuhnya terasa remuk, tapi pikirannya jauh lebih kusut. Setelah malam yang melelahkan di rumah Manda dan pertengkaran sengit dengan ibunya, dia menarik napas panjang, berharap bisa meredakan kekacauan di dalam dirinya.Begitu membuka pintu, Lea kaget melihat Ara duduk di ruang tamu, setengah mengantuk tapi jelas sedang menunggunya."Kaak, baru pulang?" Ara menyapa dengan suara lembut, matanya sembap tapi ada rasa lega di wajahnya.Lea melepas sepatunya dengan malas, menaruhnya asal di rak. "Iya. Kamu ngapain bangun sepagi ini, Ra? Kan masih pagi banget," tanyanya, suaranya datar meski jelas ada kelelahan di situ.Ara tersenyum kecil, lalu mengangkat dua kotak makan yang sudah dia siapkan. "Aku bikinin sarapan. Kakak pasti capek, kan? Nih, roti bakar sama telur. Ada susu juga. Biar Kakak nggak tambah lemes."Lea terdiam. Meski dia nggak pernah nunjukin sisi lembutnya ke

  • I Want You, Om Duda   Bab 2

    Leah berjalan cepat menuju pintu restoran, tapi tangan Tina dengan cepat mencengkeram lengannya."Leah, kamu apa-apaan sih?!" teriak Tina dengan nada tinggi, wajahnya memerah menahan emosi.Leah menoleh tajam, matanya berkaca-kaca. "Mama yang apa-apaan?! Kenapa tega banget mau 'jual' aku ke om-om hidung belang tadi? Mama tega?!" Suaranya pecah, meluapkan rasa kecewa yang sudah menumpuk.Tina menarik napas panjang, berusaha menahan amarahnya. "Mama cuma mau yang terbaik buat kamu, Leah! Mama nggak pengin kamu hidup kekurangan. Kalau kamu nikah sama suami yang banyak uang, kamu bakal bahagia.""Bahagia, Ma? Bahagiaaaa? Itu bukan bahagia aku, tapi bahagia Mama! Apa sih yang Mama dapat dari om-om itu sampai tega ngorbanin aku? Aku anak Mama, bukan barang yang bisa dijual-beli!" Air mata Leah akhirnya jatuh, membasahi pipinya."Leah..." Tina mencoba mendekati, tapi Leah mundur selangkah, tubuhnya gemetar."Kenapa harus aku, Ma? Aku udah ngelakuin semuanya buat Mama, buat adek. Aku kerja ba

  • I Want You, Om Duda   Bab 1

    "Mama menyesal kalian berdua hidup!""Mama nyesel!" teriak Tina, ibu Lea dan Ara."Kenapa punya anak harus hidup, sih?" amarahnya semakin memuncak.Lea dan Ara, kakak beradik itu, hanya bisa menunduk sambil menangis mendengar amukan ibu mereka."Ma-Mama, maafin Lea, Ma. Maafin Lea," isak Lea, air mata mengalir deras di pipinya."Kenapa kamu harus hidup, Lea?!" tanya sang ibu dengan penuh kebencian, menarik rambut Lea dengan kasar."Kenapa harus hidup!" jeritnya lagi sambil mendorong Lea hingga jatuh ke lantai."Kamu juga!" lanjutnya kepada Ara, "Kamu cuma bikin Mama susah. Dasar penyakitan!" teriak Tina penuh emosi.Ara hanya bisa menangis di pelukan kakaknya. Mereka berdua tidak pernah melawan ketika ibu mereka marah. Yang bisa mereka lakukan hanyalah menerima semua siksaan itu.Kehidupan mereka tidak seperti anak-anak lain. Setiap kali Tina pulang dari kerja, Lea dan Ara harus menghadapi amukan dan kekerasannya.Lea hanya bisa berharap suatu saat ibunya akan berubah. Tidak lagi meny

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status