"A-aku akan menjelaskan semuanya, bisa kau tenang?" balas Ellena kedapatan cemas, hingga mulai tergagap. "Maka jelaskan semuanya padaku, Ellen. Apa yang kau lakukan bersama pria lain di hotel."Ellena terdiam tak menjawab."Mengapa sampai berbohong padaku, membatalkan janji begitu saja, dan ... mengapa perlakuanmu padaku sama seperti perlakuanmu padanya? Siapa dia, apa hubunganmu dengannya? Mengapa kau bersamanya di saat aku sedang menunggumu dengan cemas dan khawatir," tanya Muren, memberondongi Ellena dengan banyak pertanyaan. Bahkan selama ini ia tak pernah bertanya banyak kepada wanita itu, sebanyak apapun yang ingin ia ketahui."Muren, apa yang sedang kau bicarakan? Kau ....""Aku melihat semuanya, Ellena!" potong Muren dengan nada meninggi, hingga cukup mengejutkan Ellena yang selama ini tak pernah mendengar suara keras juga nada tinggi darinya, sungguh satu hal yang seketika membuat wanita gugup dan ketakutan setengah mati."Muren ....""Kau memeluknya, kau bahkan ...."Kalim
Melangkah tergesa masuk kedalam halaman sebuah bangunan mewah di kawasan elite pinggiran kota. Satu-satunya bangunan yang berdiri di kawasan distrik tersebut, bangunan yang tak lain milik seorang CEO Grup WANG, Muren Elves yang memang tak begitu menyukai keramaian. Hingga langkah kaki Gunn terhenti, saat mendapati kondisi mobil Muren yang tampak hancur lengkap dengan kaca yang pecah di hampir semua bagian. "Apa yang sudah terjadi?" Gunn berjalan masuk ke dalam rumah dengan kekhawatiran yang tak bisa ia sembunyikan. Tanpa mencari pun, Gunn sudah bisa menebak jika sang pemilik rumah pasti sedang berada di sebuah beranda yang terletak di belakang rumahnya, yang di sana terdapat sebuah danau yang dikelilingi pepohonan pinus, lengkap dengan sebuah pondok kayu yang di jadikan tempat peristirahatan. Tempat yang tepat untuk mengasingkan diri. Sebab di sana tak ada suara apa pun selain kicauan burung, juga gemerisik pohon saat tertiup angin, dan suara jarum-jarum pinus yang jatuh di atas ata
"Kau bisa mencobanya," balas Gunn. "Gunn, kau tahu jika Muren sangat mencintaiku, 'kan? Kita sudah sangat lama menjalin hubungan, dan ....""Kau mengkhianatinya," potong Gunn. "Aku akan memperbaiki semuanya.""Kau tahu jika itu percuma, Ellena. Muren bukan pria pemaaf jika itu menyangkut soal penghianatan. Seharusnya kau tahu itu, bukankah kalian sudah lama menjalin hubungan? Kenapa kau sampai ceroboh dan melakukan itu? Atau karena kau sudah tak mencintainya lagi?""Tutup mulutmu, Gunn!" bentak Ellena menjadi sangat emosional. "Aku tidak akan membiarkanmu menyakitinya lagi, Ellena. Apa kau tahu jika aku cukup marah saat ini? Kau membuatku kesal karena sudah menyakitinya, dan apa kau pikir aku akan membiarkanmu mendekatinya lagi dengan segala kebohonganmu?"Kedua telapak tangan Ellena mengepal kuat dengan wajah memerah jelas menahan amarah. Ia tahu jika Gunn juga merasakan hal yang sama. Namun, pria itu lebih unggul dalam hal mengontrol perasaan dan amarahnya, hingga ia masih terlih
DUA TAHUN BERLALU.CLUB MALAMSuara dentuman musik terdengar keras memenuhi semua telinga yang tengah berada di dalam satu ruangan luas dengan pencahayaan minim tersebut. Bau alkohol menyeruak di dalam ruangan, terasa sesak dengan orang-orang yang sedang berjoget di atas flanel yang mulai menggila seiring dengan musik yang semakin keras. Sedang di sudut sana nampak sosok pria yang sedang duduk seorang diri dengan ekspresi yang terlihat datar seperti biasa. Abaikan beberapa pengunjung wanita yang terus menggodanya di sana, dan lebih memilih untuk menikmati segelas Champagne. Dia adalah Muren Elves yang tanpa jeda terus meneguk minumannya hingga tandas dan membuatnya mabuk berat. Dan seperti biasa juga, beberapa wanita dengan penampilan sangat terbuka mulai datang menghampirinya untuk terus menggoda. Tidak jarang dari mereka yang datang hanya sekedar meminta untuk Ber-one night dengannya, sebab sebagian dari mereka mengetahui, selain memiliki wajah tampan, Muren adalah seorang putra pe
"Kau hampir menabrak mobilku. Dan jika kau terus berjalan sendirian dengan keadaan seperti itu, kau benar-benar akan celaka."Muren tersenyum untuk yang pertama kalinya."Ternyata benar, kau menghawatirkanku." "Jangan terlalu bahagia, aku hanya tidak ingin melihat seorang pria tewas secara sia-sia di hadapanku, di tambah lagi dalam kondisi mabuk seperti ini." Tidak mengatakan apa pun, Muren hanya tersenyum dengan pandangan tak luput dari wajah Aruhi yang hanya bisa menghela napas pelan, ia tahu jika Muren sangat mabuk saat ini. Mungkin berdebat dengan pria itu akan menghabiskan tenaganya, sungguh membuang waktu."Kau belum menjawabnya.""Pertanyaan apa yang harus aku jawab?" tanya Aruhi. "Kau mengkhawatirkanku, 'kan?""Berhentilah bersikap berlebihan, masuklah ke mobilku, dan berikan nomor ponsel asistenmu. Biar aku menghubunginya untuk menjemputmu." "Kau meminta nomor ponsel Gunn? Apa kau menyukainya?" tanya Muren asal."Oh, demi Tuhan." Aruhi memijat tengkuk lehernya yang mulai
"Apa sekarang kau sedang memarahiku?""Tentu saja, apa kau pikir aku sedang bernyanyi untukmu sekarang, Tuan?" balas Aruhi, sedang Muren yang sejak tadi menatap hanya bisa terdiam dengan lidah yang reflek bergerak di dalam mulutnya, hingga seblah pipinya tampak menonjol. "Kau ....""Aku pulang sekarang," potong Aruhi hendak pergi."Tunggu!" serga Muren yang masih tak mampu untuk berdiri, sebab masih merasakan pusing di kepala dengan mabuk yang masih tersisa. "Ada apa? Mau berdebat denganku lagi? Aku cukup lelah sekarang dan tidak bisa melayanimu." "Soal di toko dua tahun lalu."Aruhi mengepalkan kedua tangannya kuat. Muren benar-benar melupakan kejadian malam itu. Memorinya hanya menyisahkan satu hal untuk di ingatnya, dan melupakan hal lainnya. Dan entah mengapa hal itu cukup membuat perasaan Aruhi terluka. Meski ia sudah berniat untuk melupakannya saja, dan sejak dua tahun lalu ia sudah mencobanya, meski gagal sebab tak bisa melupakan kejadian itu sepenuhnya. Biar bagaimana pun,
"Jangan seperti ini ... Hiks ..." Aruhi mulai menangis di sela ciuman mereka. Namun, seolah tidak perduli, Muren kembali melumat bibirnya yang di rasakan sudah mulai perih karena gigitan dari pria itu.Tanpa Muren sadari jika saat ini Aruhi mulai menangis."Ahk sial. Kenapa hasratku begitu besar padanya," batin Muren. Mengutuk dirinya sendiri, yang sepertinya sudah di kuasai oleh napsu, dengan terus melumat bibir Aruhi, hingga tersadar jika ada sesuatu yang basah mengenai wajah juga bibirnya. Seketika Muren membuka mata yang sedari tadi memejam, ia bahkan dapat dengan jelas melihat butiran bening yang keluar dari sudut mata Aruhi, dan hal itu sontak membuatnya terkejut dan dengan cepat melepas tautan bibirnya."M-maafkan aku," ucap Muren tergagap.Melihat Aruhi yang tertunduk sambil mengusap bibir dengan punggung tangannya. Sedang air mata masih terus mengalir hingga membasahi setengah dari wajahnya. "Sungguh. Maafkan aku," sambungnya yang dengan cepat meraih tubuh itu untuk di ba
Dalam pekan terakhir ini, Aruhi mulai enggan untuk keluar kamar. Bahkan sudah hampir seminggu gadis itu nyaris tidak pernah keluar rumah, dan perubahan sikap itu bukan tanpa alasan. Namun, meskipun kejadian minggu lalu cukup membuatnya shock, tetapi hal yang di anggap memalukan itu enggan untuk ia ceritakan kepada siapa pun, termasuk kepada Night yang saat ini sudah benar-benar sangat mengkhawatirkannya, begitu pula dengan Nine kakaknya.Meskipun alasan yang di ucapkan Aruhi adalah hanya ingin beristirahat di sisa liburan semesternya yang tinggal beberapa hari lagi berakhir cukup masuk akal. Namun, tetap saja alasan tersebut tidak serta merta membuat Night ataupun Nine percaya begitu saja."Charlotte, bagaimana keadaan Aruhi?" tanya Night yang malam itu kembali berkunjung ke kediaman Aruhi. "Seperti biasa, Tuan muda. Nona muda masih enggan untuk keluar kamar, aku juga sudah sangat cemas sekarang, apa dia baik-baik saja? Dia bahkan tak mengatakan apa pun padaku," balas Charlotte tak b