Dalam pekan terakhir ini, Aruhi mulai enggan untuk keluar kamar. Bahkan sudah hampir seminggu gadis itu nyaris tidak pernah keluar rumah, dan perubahan sikap itu bukan tanpa alasan. Namun, meskipun kejadian minggu lalu cukup membuatnya shock, tetapi hal yang di anggap memalukan itu enggan untuk ia ceritakan kepada siapa pun, termasuk kepada Night yang saat ini sudah benar-benar sangat mengkhawatirkannya, begitu pula dengan Nine kakaknya.Meskipun alasan yang di ucapkan Aruhi adalah hanya ingin beristirahat di sisa liburan semesternya yang tinggal beberapa hari lagi berakhir cukup masuk akal. Namun, tetap saja alasan tersebut tidak serta merta membuat Night ataupun Nine percaya begitu saja."Charlotte, bagaimana keadaan Aruhi?" tanya Night yang malam itu kembali berkunjung ke kediaman Aruhi. "Seperti biasa, Tuan muda. Nona muda masih enggan untuk keluar kamar, aku juga sudah sangat cemas sekarang, apa dia baik-baik saja? Dia bahkan tak mengatakan apa pun padaku," balas Charlotte tak b
"Menggemaskan," ucap Night kembali memeluk Aruhi erat, "sepertinya aku harus kembali," sambungnya melepaskan pelukan."Terima kasih, Night.""Untuk apa?""Pelukanmu yang menenangkan.""Apa kau menyukainya?""Hmm," angguk Aruhi masih menyamankan dirinya. "Maka aku akan selalu memelukmu seperti ini.""Sungguh?""Haruskah aku berjanji untuk itu?"Aruhi kembali tersenyum menatap Night yang selalu memberikan kehangatan lewat tatapan matanya. "Tak perlu, aku tahu kau akan selalu ada untukku."Night menangkup wajah Aruhi. "Sebaiknya keluar dari kamarmu sekarang juga. Jangan membuat Nine dan Charlotte semakin mengkhawatirkanmu.""Hmm," angguk Aruhi. Beranjak dari tempat tidurnya, dan mengikuti langkah Night. "Atau, apa kau ingin ikut denganku?""Aku rasa tidak malam ini, Night. Aku akan ke restauran besok pagi. Aku janji," balas Aruhi mengikuti langkah kaki Night, "aku akan mengantarmu," sambungnya."Sampai jumpa besok, Aruhi."Night melangkah pergi. Meninggalkan Aruhi yang kembali terdiam
WANG CORPORATION "Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi, aku akan menemuinya sekarang," ucap Muren mengusap wajahnya kasar. Menutup layar laptopnya dengan keras, benar-benar kesal, dan itu sangat terlihat jelas ketika ia kembali melonggarkan dasinya, sebelum beranjak dari kursi kerjanya, berjalan menuju sofa dan langsung menjatuhkan tubuhnya dengan kasar di sana. "Jangan bertindak sembarangan, Nona itu tidak mungkin menerima kedatanganmu begitu saja," balas Gunn, masih terlihat santai dengan pandangan yang hanya tertujuh pada layar laptop dihadapannya. "Tapi ini sudah satu minggu berlalu. Di mana lagi aku bisa menemukannya? Dia bahkan tidak pernah keluar rumah. Ponselnya pun tidak aktif, aku hanya ingin mengetahui keadaan gadis itu sekarang. Apa dia baik-baik saja atau tidak. Aku benar-benar tidak bisa menunggu Gunn." "Bersabarlah, dan tunggu sebentar. Kau bisa menimbulkan masalah baru lagi jika tetap bersikeras untuk menemuinya," balas Gunn dengan nada tenang. "Apa, lagi? Apa
"Siapa kau? Apa yang kau lakukan?" tanya Aruhi tak mampu menyembunyikan rasa gugup dan ketakutannya. "Ini aku," jawab pria itu, membuka masker mulut yang menutupi wajahnya sejak tadi. Mata Aruhi melebar sempurna, terperangah saat melihat sosok yang kini tengah duduk tepat di sampingnya. Sosok yang selama ini sudah ia hindarinya. Namun, yang anehnya, sosok ini juga cukup di rindukannya, entah apa yang sudah terjadi dengan hatinya. Meskipun demikian, tetap saja. Aruhi belum bisa melupakan rasa kesal kepada pria di sampingnya saat ini. Hingga beberapa detik berlalu, saat ia lekas tersadar jika tak seharusnya berada di sisi pria itu. Dengan cepat Aruhi membuka pintu mobil, hendak keluar, Muren yang sudah sejak tadi mengawasi lekas mencengkram lengannya kuat, bahkan sebelum kakinya menginjak jalan, hingga membuat Aruhi sedikit meringis sekaligus terkejut. "Apa kau sudah terbiasa bersikap kasar seperti ini kepada wanita? Atau kau memang orang seperti itu?" tanya Aruhi dengan nada setena
Aruhi terdiam usai mendengar pengakuan itu, antara percaya dan tidak. Namun, cukup membuat jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya. Bahkan kata-kata yang sudah ia susun sedemikian rupa untuk Muren seketika hilang begitu saja hanya dengan dua kata yang di ucapkan oleh pria itu. Di tambah lagi ketika ia melihat mata elang yang terus menatap hingga membuat jantungnya semakin berdebar tak beraturan, begitu juga dengan rasa gugup yang seketika menghampiri. "Beraninya kau membuatku gugup tanpa seizinku," batin Aruhi mengeluh prustrasi.Merasa jika perasaannya seolah tengah di permainkan oleh Muren. Merasa jika hal yang tak mungkin jika pria itu menyukainya, sedang mereka tak pernah bertemu selama dua tahun terakhir ini, itulah yang ada di dalam pikirannya. Tanpa disadari jika Muren sudah sering melihat, mengawasi, dan mencari tahu tentang dirinya. "Ini tidak masuk akal," gumam Aruhi, mencoba untuk mengabaikan pengakuan dari Muren, dan hendak melangkah untuk pergi. "Sudah hampir sat
Jam yang sudah menunjukkan pukul 02:00 malam, cukup larut untuk seorang pengendara yang sedang memarkirkan mobil mewahnya di pinggiran trotoar taman, dan di dalam sana tampak sosok Muren yang masih terdiam di belakang roda kemudi dengan senyuman di wajahnya, entah sudah berapa lama ia terus duduk sambil terus melamun, dengan perasaan berbunga bahagia, saat membayangkan sosok wajah yang baru saja di peluknya erat beberapa jam lalu.Karena tak pernah merasakan kebahagiaan ini sebelumnya, maka semua perasaan itu di rasakan terlalu manis, meski hanya dengan mengingat moment tersebut. Namun, tak dapat menghentikan debaran jantungnya sejak tadi. Ia merasa benar-benar jatuh cinta kepada sosok Aruhi, sangat ingin memiliki gadis itu, dan kehadiran gadis itu membuatnya lupa oleh luka lama yang pernah tertinggal dan membekas di hatinya selama ini, entah mengapa dengan secara ajaib, Aruhi bisa menghapus semuanya tanpa jejak. Muren mengambil ponsel yang sejak tadi tergeletak di atas jok tepat di
"Tidak untuk malam ini, Kak.""Ada apa? Night pasti akan merasa kesepian jika tidak melihatmu seharian," balas Nine, beranjak dari duduknya, melangkah ke arah pantri dan kembali dengan beberapa kaleng Bier dingin di tangannya, "sepertinya kau sangat sibuk seharian ini," sambungnya kembali duduk dan meletakkan kaleng bier di atas meja. "Aku cukup sibuk hari ini, sebab mulai besok liburan semesterku akan berakhir, dan kembali kuliah lagi," balas Aruhi masih fokus dengan acara televisi yang ia nonton. "Lalu kenapa kau belum tidur juga? Apa kau tidak lelah? Bukannya besok kau harus bangun pagi?" tanya Nine, mengusap pucuk kepala adiknya lembut, sebelum mengecupnya sekilas. "Sebentar lagi. Aku juga masih belum mengantuk." "Tapi kau tak harus tidur hingga larut, Night akan mulai mengomelimu saat menjemputmu, tapi mendapatimu masih tidur." "Tidak masalah," jawab Aruhi tampak acuh. "Hoh?""Sungguh tak masalah.""Atau bagaimana jika besok aku saja yang mengantarmu?" tawar Nine. "Apa?"
Sampai pergelutan mereka berakhir saat suara ponsel Aruhi tiba-tiba berdering, bersamaan dengan senyum yang terkembang di wajah manisnya saat melihat nama 'Muren Elves' di layar ponselnya. Lekas beranjak dari duduknya, melangkah pergi meninggalkan mereka. Meninggalkan Nine yang tersenyum saat melihat rona merah di wajah adiknya, berbeda dengan Night yang terus meneguk Bier dingin hingga tandas dengan wajah datarnya, yang jika orang lain melihatnya, pasti akan mengira jika saat ini pria itu sedang cemburu.Masih tak mengatakan apa pun saat Aruhi terus berlalu hingga bayangannya menghilang dari pandangan mereka, seolah tak acuk meski merasakan ada yang berbeda pada hatinya. Apa ia masih belum terbiasa dengan segala perubahan sikap Aruhi padanya? Atau ia yang masih belum merelakan Aruhi mengalihkan perhatiannya kepada orang lain selain dirinya. Memikirkan hal itu malah semakin membuat Night jadi kesal sendiri."Ada apa? Kau terlihat tak bersemangat malam ini," tanya Nine saat menyadari s