"Siapa kau? Apa yang kau lakukan?" tanya Aruhi tak mampu menyembunyikan rasa gugup dan ketakutannya. "Ini aku," jawab pria itu, membuka masker mulut yang menutupi wajahnya sejak tadi. Mata Aruhi melebar sempurna, terperangah saat melihat sosok yang kini tengah duduk tepat di sampingnya. Sosok yang selama ini sudah ia hindarinya. Namun, yang anehnya, sosok ini juga cukup di rindukannya, entah apa yang sudah terjadi dengan hatinya. Meskipun demikian, tetap saja. Aruhi belum bisa melupakan rasa kesal kepada pria di sampingnya saat ini. Hingga beberapa detik berlalu, saat ia lekas tersadar jika tak seharusnya berada di sisi pria itu. Dengan cepat Aruhi membuka pintu mobil, hendak keluar, Muren yang sudah sejak tadi mengawasi lekas mencengkram lengannya kuat, bahkan sebelum kakinya menginjak jalan, hingga membuat Aruhi sedikit meringis sekaligus terkejut. "Apa kau sudah terbiasa bersikap kasar seperti ini kepada wanita? Atau kau memang orang seperti itu?" tanya Aruhi dengan nada setena
Aruhi terdiam usai mendengar pengakuan itu, antara percaya dan tidak. Namun, cukup membuat jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya. Bahkan kata-kata yang sudah ia susun sedemikian rupa untuk Muren seketika hilang begitu saja hanya dengan dua kata yang di ucapkan oleh pria itu. Di tambah lagi ketika ia melihat mata elang yang terus menatap hingga membuat jantungnya semakin berdebar tak beraturan, begitu juga dengan rasa gugup yang seketika menghampiri. "Beraninya kau membuatku gugup tanpa seizinku," batin Aruhi mengeluh prustrasi.Merasa jika perasaannya seolah tengah di permainkan oleh Muren. Merasa jika hal yang tak mungkin jika pria itu menyukainya, sedang mereka tak pernah bertemu selama dua tahun terakhir ini, itulah yang ada di dalam pikirannya. Tanpa disadari jika Muren sudah sering melihat, mengawasi, dan mencari tahu tentang dirinya. "Ini tidak masuk akal," gumam Aruhi, mencoba untuk mengabaikan pengakuan dari Muren, dan hendak melangkah untuk pergi. "Sudah hampir sat
Jam yang sudah menunjukkan pukul 02:00 malam, cukup larut untuk seorang pengendara yang sedang memarkirkan mobil mewahnya di pinggiran trotoar taman, dan di dalam sana tampak sosok Muren yang masih terdiam di belakang roda kemudi dengan senyuman di wajahnya, entah sudah berapa lama ia terus duduk sambil terus melamun, dengan perasaan berbunga bahagia, saat membayangkan sosok wajah yang baru saja di peluknya erat beberapa jam lalu.Karena tak pernah merasakan kebahagiaan ini sebelumnya, maka semua perasaan itu di rasakan terlalu manis, meski hanya dengan mengingat moment tersebut. Namun, tak dapat menghentikan debaran jantungnya sejak tadi. Ia merasa benar-benar jatuh cinta kepada sosok Aruhi, sangat ingin memiliki gadis itu, dan kehadiran gadis itu membuatnya lupa oleh luka lama yang pernah tertinggal dan membekas di hatinya selama ini, entah mengapa dengan secara ajaib, Aruhi bisa menghapus semuanya tanpa jejak. Muren mengambil ponsel yang sejak tadi tergeletak di atas jok tepat di
"Tidak untuk malam ini, Kak.""Ada apa? Night pasti akan merasa kesepian jika tidak melihatmu seharian," balas Nine, beranjak dari duduknya, melangkah ke arah pantri dan kembali dengan beberapa kaleng Bier dingin di tangannya, "sepertinya kau sangat sibuk seharian ini," sambungnya kembali duduk dan meletakkan kaleng bier di atas meja. "Aku cukup sibuk hari ini, sebab mulai besok liburan semesterku akan berakhir, dan kembali kuliah lagi," balas Aruhi masih fokus dengan acara televisi yang ia nonton. "Lalu kenapa kau belum tidur juga? Apa kau tidak lelah? Bukannya besok kau harus bangun pagi?" tanya Nine, mengusap pucuk kepala adiknya lembut, sebelum mengecupnya sekilas. "Sebentar lagi. Aku juga masih belum mengantuk." "Tapi kau tak harus tidur hingga larut, Night akan mulai mengomelimu saat menjemputmu, tapi mendapatimu masih tidur." "Tidak masalah," jawab Aruhi tampak acuh. "Hoh?""Sungguh tak masalah.""Atau bagaimana jika besok aku saja yang mengantarmu?" tawar Nine. "Apa?"
Sampai pergelutan mereka berakhir saat suara ponsel Aruhi tiba-tiba berdering, bersamaan dengan senyum yang terkembang di wajah manisnya saat melihat nama 'Muren Elves' di layar ponselnya. Lekas beranjak dari duduknya, melangkah pergi meninggalkan mereka. Meninggalkan Nine yang tersenyum saat melihat rona merah di wajah adiknya, berbeda dengan Night yang terus meneguk Bier dingin hingga tandas dengan wajah datarnya, yang jika orang lain melihatnya, pasti akan mengira jika saat ini pria itu sedang cemburu.Masih tak mengatakan apa pun saat Aruhi terus berlalu hingga bayangannya menghilang dari pandangan mereka, seolah tak acuk meski merasakan ada yang berbeda pada hatinya. Apa ia masih belum terbiasa dengan segala perubahan sikap Aruhi padanya? Atau ia yang masih belum merelakan Aruhi mengalihkan perhatiannya kepada orang lain selain dirinya. Memikirkan hal itu malah semakin membuat Night jadi kesal sendiri."Ada apa? Kau terlihat tak bersemangat malam ini," tanya Nine saat menyadari s
Aruhi berjalan melewati koridor kampus yang sudah di penuhi oleh beberapa mahasiswa lainnya. Tak sedikit dari mereka yang langsung menyapa dengan ramah padanya, meski Aruhi sendiri tak memiliki teman yang sedekat dan seakrab seperti Night. Namun, hal itu tak masalah baginya, sebab ia sendiri selalu mendapatkan respon yang hangat dari orang-orang di sekitar kampusnya. Meski sampai saat ini Aruhi masih betah dengan terus menyembunyikan identitas keluarganya, sejak awal menginjakkan kaki di kampus tersebut pun ia tak pernah menunjukkan jika keluarganya berasal dari kalangan atas. Tak pernah sekalipun menggunakan mobil mewah, juga pakaian yang berlebihan, seperti tas branded atau asesoris yang mencolok seperti seorang Nona muda pada umumnya. Sebab Aruhi lebih merasa nyaman tampil apa adanya dengan menggunakan outfit sederhana. Tidak pernah merasa keberatan sekalipun meski tak mendapatkan teman karena status sosialnya yang di lihat pas pasan dari beberpa mahasiswi yang menjalin perteman
"Apa kita bisa makan siang bersama?" tanya Ellena, membuyarkan lamunan Aruhi. Ajakan makan siang, bukankah itu hal yang biasa meski tak saling mengenal satu sama lain? Tapi kenapa terasa begitu canggung bagi Aruhi sendiri. Sejujurnya ia masih sangat bingung sekarang, hanya saja tak ingin memikirkan banyak hal untuk sekarang. "Bagaimana?" tanya Ellena yang lagi-lagi membuyarkan lamunan Aruhi. "Sekarang?" "Yah, jika kau keberatan." "Aku rasa itu bukan ide yang buruk, hanya saja ...." Kalimat Aruhi tertahan di tenggorokan sambil melirik arloji di lengannya. Seharusnya ia sudah berada di restauran saat ini. Night pasti sudah menunggunya. "Apa kau sudah memiliki janji sebelumnya?" tanya Ellena bisa menebak. "Iya, maaf." "Ah tidak masalah, mungkin kita pergi lain waktu." "Maaf, aku benar-benar ...." "ARUHI MORTHEN ...!" Lagi-lagi terdengar suara yang meneriakkan nama 'Aruhi Morthen'. Namun, kali ini suara teriakan itu cukup keras hingga membuat sang pemilik nama ha
"Ruhi?" Suara tak asing menyapa pendengaran Aruhi yang lekas mengalihkan pandangan, bersamaan dengan senyum yang menghiasi wajahnya saat mendapati sang kekasih yang sudah berdiri tepat di samping mobilnya sambil bersidekap. Layaknya sebuah pil ampuh yang mampu menghilangkan rasa lelahnya secara ajaib. Tak berhenti tersenyum dengan anggukannya menyambut kedatangan Muren yang langsung membelai surai panjangnya tanpa canggung seperti biasa, seolah sudah menjadi kebiasaan. "Apa ... yang Anda lakukan di sini?" Muren kembali tersenyum sambil berpikir, apa Aruhi tak pernah tahu fungsi dari seorang kekasih yang salah satunya adalah mengantar dan menjemputnya di kampus atau di mana pun?"Tentu saja untuk menjemputmu.""Oh, apa itu tak merrepotkanmu, Tuan?""Aku rasa tidak, itu sudah menjadi tugasku.""Tugas? Tapi aku rasa Anda tak perlu melakukan itu."Muren kembali mengusap rambut panjang Aruhi, seolah tak pernah bosan melakukannya. "Kenapa tidak?""Anda pasti sangat sibuk di kantor. Dan
"Apa selama ini kau juga mencemaskanku?""Hah?!""Sepertinya tidak," balas Muren mulai merajuk di hadapan Aruhi yang membuatnya malah terlihat menggemaskan."Tentu saja aku lebih mencemaskan Anda, aku mencemaskan hubungan kita, aku bahkan sangat tersiksa karena sangat merindukan Anda," ungkap Aruhi untuk yang kesekian kalinya, sebab tahu jika pria itu sangat menyukai saat mendengarnya, ia pun mengusap wajah pria itu dengan lembut penuh kasih, betapa ia sangat menyayangi kekasihnya.Hingga pergerakan tangan Aruhi terhenti saat ia menyadari sejak tadi Muren sedang menatapnya dengan tatapan intens, tatapan yang membuat Aruhi seketika merasa gugup, di tambah lagi saat Muren mengusap bibir merah muda itu dengan ibu jarinya.Ada apa ini, kenapa sangat canggung. Aruhi mengedipkan matanya berulang kali saat Muen mulai mendekatkan wajahnya, hingga ia bisa merasakan napas hangat yang keluar dari mulut yang beraroma mint dari pria itu."Tuan Elves ...?!""Apa aku boleh melakukannya lagi?" bisik
"Yah, dan yang membuat Muren tak bisa melakukan apa pun terhadapa Ellena selain memutuskan hubungan sepihak karena, pria yang menjadi kekasih Ellena adalah Nine, yang tak lain adalah kakak dari Aruhi sendiri.""A-pa?""Seperti yang kau dengar.""Jadi yang membuat masalah menjadi semakin rumit, karena itu?""Yah, semuanya jadi serba kebetulan.""Lalu bagaimana mereka bisa berakhir menjadi seorang kekasih?" tanya Lucas yang masih sangat penasaran dengan semua kisah yang sudah terjadi di antara kakaknya dan Aruhi."Mereka kembali bertemu dua tahun kemudian, oleh satu insiden yang sama seperti sebelumnya," balas Gunn yang menceritakannya secara mendetail."Dua tahun kemudian?""Yah, mereka membutuhkan waktu selama itu, sampai hati Muren sepenuhnya pulih dari luka hatinya, dengan terus mengkomsumsi alkohol, sungguh satu cara yang berbeda untuk melupakan semuanya.""Dan aku rasa ia selalu beruntung jika sedang mabuk, apa itu takdir mereka? Sebab selalu Aruhi yang menemukannya," sambung Luca
"Semoga semuanya membaik." Lucas meletakkan beberapa barang yang masih untuh dari atas lantai ketempat semula, dan beruntung hanya beberapa barang yang pecah dan rusak di sana, jadi Lucas tidak begitu kesulitan untuk membereskan semuanya."Sepertinya baru saja terjadi badai di sini," ucap Gunn ikut membalikkan meja yang terbalik di sana. Entah sejak kapan pria itu di sana, Lucas bahkan tak menyadarinya."Yah, seperti yang kau lihat," balas Lucas masih tak habis pikir. Merasa jika tak hanya masalah dirinya dan Aruhi yang ada di dalam kepala Muren. Tapi ada masalah lain yang membuat kakaknya jadi sedikit berubah, entah itu apa. Lucas tak berhenti memikirkannya."Ada apa lagi?" tanya Gunn."Apa Muren tak mengatakannya?""Mengatakan apa?""Semalam ia tak pulang.""Apa?""Semalam Muren tak pulang, bukankah kalian bersama?" tanya Lucas setelah semuanya kembali rapi."Tak pulang? Maksudnya?""Muren pulang dalam keadaan kacau pagi tadi, dengan aroma alkohol yang menyengat, aku rasa ia memn
"Apa maksudmu?""Ada apa? Apa aku salah berbicara sekarang? Kali ini aku masih bisa memaafkanmu. Aku tahu, kau melakukan itu semua karena peduli dengannya. Tapi mulai sekarang berhentilah melakukan hal yang bisa membuatku salah faham, Lucas. Sebab aku tahu apa yang harus aku lakukan untuknya. Dan aku sangat berterima kasih karena kau sudah menjaganya selama ini," balas Muren menatap tajam."Aku rasa kau sudah salah paham denganku, Kak ....""Apa menurutmu begitu? Yah, mungkin kau benar, aku sudah salah paham denganmu, maka dari itu. Jangan pernah melakukan hal yang bisa membuatku salah paham. Aku sudah mengatakan itu sebelumnya," potong Muren masih dengan tatapan tajamnya.Hening.Tak ada satu kalimat yang keluar dari mulut mereka, dan hanya tatapan mata tajam yang saling beradu sejak tadi. Hingga membuat suasana menjadi semakin menegangkan, bagaimana tidak jika saat ini perasaan cemburu kini menguasai hati juga pikiran Muren, hingga membuatnya menjadi sangat marah, dan kesulitan untu
Suara dentuman musik yang menggema di ruangan dengan pencahayaan yang cukup minim mengiringi sebagian para pengunjung untuk menari di atas flanel dengan pasangan masing-masing. Dan di antara sekian banyak pengunjung, terlihat sosok Muren yang sedang duduk seorang diri, seperti biasa sambil menikmati minumannya. Bahkan ia sudah terlihat sangat mabuk hingga tidak menyadari jika ada beberapa jalang yang sedang menggerayanginya, ada pula yang sampai duduk di atas pangkuannya."Ruhi ...." gumam Muren, ketika melihat sosok Aruhi di sampingnya. "Ruhi, jadi dia yang sudah membuatmu seperti ini? Oh sayang sekali, kau pria yang sempurna, jika bersamaku kau tidak akan merasakan kesedihan," balas wanita itu tak berhenti tersenyum. "Bisakah ... kau tak menghindariku? Bisakah kau hanya percaya padaku? Aku mohon, jangan membuatku cemburu." Muren menangkup wajah seorang wanita yang sejak tadi bersamanya.Setidaknya halusinasi tersebut bisa membuat kesedihannya berkurang. Dengan membiarkan sosok yan
"Apa aku terlalu pengecut?" tanya Aruhi yang masih tertunduk. Seolah tak memiliki kekuatan lagi untuk menatap Lucas di hadapannya. Entah mengapa, semua menjadi sangat rumit. Terkadang timbul perasaan dan keinginan yang membuatnya ingin menyerah saja. Namun, perasaan cinta yang di rasakan untuk Muren teramat besar hingga mengalahkan semuanya. "Hmm. Gadis pengecut yang manis, dan sepertinya kita harus pulang sekarang," balas Lucas yang langsung beranjak dari duduknya, meraih tangan Aruhi yang hanya menurut mengikuti langkahnya. Berjalan beriringan dengan hening yang kembali menemani mereka. Sungguh satu pemandangan yang tidak seperti biasa. Normalnya, Lucas akan terus berbicara tanpa henti, terlebih jika itu di samping Aruhi. Tetapi saat ini. Pria itu lebih banyak diam sam hanya terus mengikuti langkah Aruhi sambil mengamati gadis itu. "Kenapa hanya diam saja?" tanya Aruhi tanpa memalingkan pandangan. "Aku hanya bingung harus mengatakan apa." "Kau selalu mengatakan apa sa
"Apa benar begitu, kenapa wanita itu terus mendekati Ruhi, seolah olah Ruhilah yang harus bertanggung jawab atas putusnya hubungan kalian? Aku hanya mengkhawatirkan Ruhi begitu pun dengan Nine," balas Night yang benar-benar tak bisa menyembunyikan kemarahannya lagi kali ini. "Aku tahu, kau tidak perlu mengkhawatirkan hal itu." "Anda tidak bisa menyuruhku untuk tidak mengkhawatirkan Ruhi. Anda pun tahu hubungan kami seperti apa, dan Anda jelas tahu arti Aruhi bagiku. Jelas aku tidak akan tinggal diam jika ada yang menyakiti dan membuatnya terluka!" "Dan akan aku pastikan, jika dia akan baik-baik saja, aku akan melindunginya. Karena aku adalah kekasihnya," balas Muren dengan tatapan yang berubah dingin. "Sebaiknya Anda melakukannya dengan benar, Tuan Elves. Aku melepaskan Ruhi di sisimu bukan untuk kau sakiti," sambung Night masih dengan tatapan tajamnya yang seolah tak akan pernah melemah di depan Muren.Untuk sesaat suasana di dalam Caffe tersebut kembali hening, hingga menciptak
"Sepertinya kau sudah salah paham padaku, aku mohon, jangan seperti ini. Aku sangat mencintaimu Nine, dan aku tidak ingin kehilanganmu, kau tahu itu ''kan?" "Lagi-lagi kalimat yang sama. Bukankah itu kalimat yang sering kau ucapkan untuk Muren Elves?" "Sayang, dengarkan aku." Ellena meraih tangan Nine untuk di genggamnya. "Aku sudah cukup mendengarmu selama ini Ellena. Sekarang giliranmu untuk mendengarku, jangan ganggu hubungan mereka lagi. Aku mohon padamu. Aku akan memberikan semua yang kau inginkan, tapi dengan syarat, jauhi mereka." "Ada hubungan apa kau dengan gadis itu? Hingga kamu rela meberikan semuanya demi dia, sepenting itu kah dia bagimu? Aku kekasihmu sekarang, apa aku tidak penting bagimu?" balas Ellena mulai menangis dengan tubuh yang bergetar menahan rasa marah. "Ellena, kau tahu aku sangat mencintaimu. Dan meskipun hanya aku yang merasakan itu. Aku bahkan tidak tahu, siapa yang ada di dalam hatimu saat ini, tapi untuk kali ini aku tidak akan membiarkan menyakiti
"Beberapa hari lalu aku pernah melihat Ellena bersama Nine, apa itu hanya suatu kebetulan?" tanya Gunn lagi. "Tidak, mereka memang sepasang kekasih," jawab Muren dengan nada santai. "Apa?" "Yah, aku rasa mereka sudah menjalin hubungan cukup lama, jauh sebelum hubungan kami berakhir," balas Muren kembali meneguk cocktailnya hingga tandas. "Jadi selama ini kau sudah mengetahuinya? Apa Nine adalah pria yang bersama Ellena pada malam itu?" tebak Gunn. "Hm, dan sekarang aku berharap, semoga Ruhi tidak mengetahui hal ini, dia akan sangat terpukul jika mengetahuinya, itulah alasanku memilih untuk tetap diam selama ini meski mengetahui semuanya," balas Muren menghela napas panjang. Bahkan sampai saat ini ia tak pernah berhenti memikirkan Aruhi. "Bukankah ini hal yang kurang baik jika kau terus menyembunyikan semuanya dari Aruhi? Sebab cepat atau lambat dia pasti juga akan mengetahuinya, 'kan?" "Aku tahu, tapi setidaknya tidak untuk sekarang." "Baiklah. Aku mengerti, jadi bisakah ki