WANG CORPORATION "Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi, aku akan menemuinya sekarang," ucap Muren mengusap wajahnya kasar. Menutup layar laptopnya dengan keras, benar-benar kesal, dan itu sangat terlihat jelas ketika ia kembali melonggarkan dasinya, sebelum beranjak dari kursi kerjanya, berjalan menuju sofa dan langsung menjatuhkan tubuhnya dengan kasar di sana. "Jangan bertindak sembarangan, Nona itu tidak mungkin menerima kedatanganmu begitu saja," balas Gunn, masih terlihat santai dengan pandangan yang hanya tertujuh pada layar laptop dihadapannya. "Tapi ini sudah satu minggu berlalu. Di mana lagi aku bisa menemukannya? Dia bahkan tidak pernah keluar rumah. Ponselnya pun tidak aktif, aku hanya ingin mengetahui keadaan gadis itu sekarang. Apa dia baik-baik saja atau tidak. Aku benar-benar tidak bisa menunggu Gunn." "Bersabarlah, dan tunggu sebentar. Kau bisa menimbulkan masalah baru lagi jika tetap bersikeras untuk menemuinya," balas Gunn dengan nada tenang. "Apa, lagi? Apa
"Siapa kau? Apa yang kau lakukan?" tanya Aruhi tak mampu menyembunyikan rasa gugup dan ketakutannya. "Ini aku," jawab pria itu, membuka masker mulut yang menutupi wajahnya sejak tadi. Mata Aruhi melebar sempurna, terperangah saat melihat sosok yang kini tengah duduk tepat di sampingnya. Sosok yang selama ini sudah ia hindarinya. Namun, yang anehnya, sosok ini juga cukup di rindukannya, entah apa yang sudah terjadi dengan hatinya. Meskipun demikian, tetap saja. Aruhi belum bisa melupakan rasa kesal kepada pria di sampingnya saat ini. Hingga beberapa detik berlalu, saat ia lekas tersadar jika tak seharusnya berada di sisi pria itu. Dengan cepat Aruhi membuka pintu mobil, hendak keluar, Muren yang sudah sejak tadi mengawasi lekas mencengkram lengannya kuat, bahkan sebelum kakinya menginjak jalan, hingga membuat Aruhi sedikit meringis sekaligus terkejut. "Apa kau sudah terbiasa bersikap kasar seperti ini kepada wanita? Atau kau memang orang seperti itu?" tanya Aruhi dengan nada setena
Aruhi terdiam usai mendengar pengakuan itu, antara percaya dan tidak. Namun, cukup membuat jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya. Bahkan kata-kata yang sudah ia susun sedemikian rupa untuk Muren seketika hilang begitu saja hanya dengan dua kata yang di ucapkan oleh pria itu. Di tambah lagi ketika ia melihat mata elang yang terus menatap hingga membuat jantungnya semakin berdebar tak beraturan, begitu juga dengan rasa gugup yang seketika menghampiri. "Beraninya kau membuatku gugup tanpa seizinku," batin Aruhi mengeluh prustrasi.Merasa jika perasaannya seolah tengah di permainkan oleh Muren. Merasa jika hal yang tak mungkin jika pria itu menyukainya, sedang mereka tak pernah bertemu selama dua tahun terakhir ini, itulah yang ada di dalam pikirannya. Tanpa disadari jika Muren sudah sering melihat, mengawasi, dan mencari tahu tentang dirinya. "Ini tidak masuk akal," gumam Aruhi, mencoba untuk mengabaikan pengakuan dari Muren, dan hendak melangkah untuk pergi. "Sudah hampir sat
Jam yang sudah menunjukkan pukul 02:00 malam, cukup larut untuk seorang pengendara yang sedang memarkirkan mobil mewahnya di pinggiran trotoar taman, dan di dalam sana tampak sosok Muren yang masih terdiam di belakang roda kemudi dengan senyuman di wajahnya, entah sudah berapa lama ia terus duduk sambil terus melamun, dengan perasaan berbunga bahagia, saat membayangkan sosok wajah yang baru saja di peluknya erat beberapa jam lalu.Karena tak pernah merasakan kebahagiaan ini sebelumnya, maka semua perasaan itu di rasakan terlalu manis, meski hanya dengan mengingat moment tersebut. Namun, tak dapat menghentikan debaran jantungnya sejak tadi. Ia merasa benar-benar jatuh cinta kepada sosok Aruhi, sangat ingin memiliki gadis itu, dan kehadiran gadis itu membuatnya lupa oleh luka lama yang pernah tertinggal dan membekas di hatinya selama ini, entah mengapa dengan secara ajaib, Aruhi bisa menghapus semuanya tanpa jejak. Muren mengambil ponsel yang sejak tadi tergeletak di atas jok tepat di
"Tidak untuk malam ini, Kak.""Ada apa? Night pasti akan merasa kesepian jika tidak melihatmu seharian," balas Nine, beranjak dari duduknya, melangkah ke arah pantri dan kembali dengan beberapa kaleng Bier dingin di tangannya, "sepertinya kau sangat sibuk seharian ini," sambungnya kembali duduk dan meletakkan kaleng bier di atas meja. "Aku cukup sibuk hari ini, sebab mulai besok liburan semesterku akan berakhir, dan kembali kuliah lagi," balas Aruhi masih fokus dengan acara televisi yang ia nonton. "Lalu kenapa kau belum tidur juga? Apa kau tidak lelah? Bukannya besok kau harus bangun pagi?" tanya Nine, mengusap pucuk kepala adiknya lembut, sebelum mengecupnya sekilas. "Sebentar lagi. Aku juga masih belum mengantuk." "Tapi kau tak harus tidur hingga larut, Night akan mulai mengomelimu saat menjemputmu, tapi mendapatimu masih tidur." "Tidak masalah," jawab Aruhi tampak acuh. "Hoh?""Sungguh tak masalah.""Atau bagaimana jika besok aku saja yang mengantarmu?" tawar Nine. "Apa?"
Sampai pergelutan mereka berakhir saat suara ponsel Aruhi tiba-tiba berdering, bersamaan dengan senyum yang terkembang di wajah manisnya saat melihat nama 'Muren Elves' di layar ponselnya. Lekas beranjak dari duduknya, melangkah pergi meninggalkan mereka. Meninggalkan Nine yang tersenyum saat melihat rona merah di wajah adiknya, berbeda dengan Night yang terus meneguk Bier dingin hingga tandas dengan wajah datarnya, yang jika orang lain melihatnya, pasti akan mengira jika saat ini pria itu sedang cemburu.Masih tak mengatakan apa pun saat Aruhi terus berlalu hingga bayangannya menghilang dari pandangan mereka, seolah tak acuk meski merasakan ada yang berbeda pada hatinya. Apa ia masih belum terbiasa dengan segala perubahan sikap Aruhi padanya? Atau ia yang masih belum merelakan Aruhi mengalihkan perhatiannya kepada orang lain selain dirinya. Memikirkan hal itu malah semakin membuat Night jadi kesal sendiri."Ada apa? Kau terlihat tak bersemangat malam ini," tanya Nine saat menyadari s
Aruhi berjalan melewati koridor kampus yang sudah di penuhi oleh beberapa mahasiswa lainnya. Tak sedikit dari mereka yang langsung menyapa dengan ramah padanya, meski Aruhi sendiri tak memiliki teman yang sedekat dan seakrab seperti Night. Namun, hal itu tak masalah baginya, sebab ia sendiri selalu mendapatkan respon yang hangat dari orang-orang di sekitar kampusnya. Meski sampai saat ini Aruhi masih betah dengan terus menyembunyikan identitas keluarganya, sejak awal menginjakkan kaki di kampus tersebut pun ia tak pernah menunjukkan jika keluarganya berasal dari kalangan atas. Tak pernah sekalipun menggunakan mobil mewah, juga pakaian yang berlebihan, seperti tas branded atau asesoris yang mencolok seperti seorang Nona muda pada umumnya. Sebab Aruhi lebih merasa nyaman tampil apa adanya dengan menggunakan outfit sederhana. Tidak pernah merasa keberatan sekalipun meski tak mendapatkan teman karena status sosialnya yang di lihat pas pasan dari beberpa mahasiswi yang menjalin perteman
"Apa kita bisa makan siang bersama?" tanya Ellena, membuyarkan lamunan Aruhi. Ajakan makan siang, bukankah itu hal yang biasa meski tak saling mengenal satu sama lain? Tapi kenapa terasa begitu canggung bagi Aruhi sendiri. Sejujurnya ia masih sangat bingung sekarang, hanya saja tak ingin memikirkan banyak hal untuk sekarang. "Bagaimana?" tanya Ellena yang lagi-lagi membuyarkan lamunan Aruhi. "Sekarang?" "Yah, jika kau keberatan." "Aku rasa itu bukan ide yang buruk, hanya saja ...." Kalimat Aruhi tertahan di tenggorokan sambil melirik arloji di lengannya. Seharusnya ia sudah berada di restauran saat ini. Night pasti sudah menunggunya. "Apa kau sudah memiliki janji sebelumnya?" tanya Ellena bisa menebak. "Iya, maaf." "Ah tidak masalah, mungkin kita pergi lain waktu." "Maaf, aku benar-benar ...." "ARUHI MORTHEN ...!" Lagi-lagi terdengar suara yang meneriakkan nama 'Aruhi Morthen'. Namun, kali ini suara teriakan itu cukup keras hingga membuat sang pemilik nama ha