"Tidak untuk malam ini, Kak.""Ada apa? Night pasti akan merasa kesepian jika tidak melihatmu seharian," balas Nine, beranjak dari duduknya, melangkah ke arah pantri dan kembali dengan beberapa kaleng Bier dingin di tangannya, "sepertinya kau sangat sibuk seharian ini," sambungnya kembali duduk dan meletakkan kaleng bier di atas meja. "Aku cukup sibuk hari ini, sebab mulai besok liburan semesterku akan berakhir, dan kembali kuliah lagi," balas Aruhi masih fokus dengan acara televisi yang ia nonton. "Lalu kenapa kau belum tidur juga? Apa kau tidak lelah? Bukannya besok kau harus bangun pagi?" tanya Nine, mengusap pucuk kepala adiknya lembut, sebelum mengecupnya sekilas. "Sebentar lagi. Aku juga masih belum mengantuk." "Tapi kau tak harus tidur hingga larut, Night akan mulai mengomelimu saat menjemputmu, tapi mendapatimu masih tidur." "Tidak masalah," jawab Aruhi tampak acuh. "Hoh?""Sungguh tak masalah.""Atau bagaimana jika besok aku saja yang mengantarmu?" tawar Nine. "Apa?"
Sampai pergelutan mereka berakhir saat suara ponsel Aruhi tiba-tiba berdering, bersamaan dengan senyum yang terkembang di wajah manisnya saat melihat nama 'Muren Elves' di layar ponselnya. Lekas beranjak dari duduknya, melangkah pergi meninggalkan mereka. Meninggalkan Nine yang tersenyum saat melihat rona merah di wajah adiknya, berbeda dengan Night yang terus meneguk Bier dingin hingga tandas dengan wajah datarnya, yang jika orang lain melihatnya, pasti akan mengira jika saat ini pria itu sedang cemburu.Masih tak mengatakan apa pun saat Aruhi terus berlalu hingga bayangannya menghilang dari pandangan mereka, seolah tak acuk meski merasakan ada yang berbeda pada hatinya. Apa ia masih belum terbiasa dengan segala perubahan sikap Aruhi padanya? Atau ia yang masih belum merelakan Aruhi mengalihkan perhatiannya kepada orang lain selain dirinya. Memikirkan hal itu malah semakin membuat Night jadi kesal sendiri."Ada apa? Kau terlihat tak bersemangat malam ini," tanya Nine saat menyadari s
Aruhi berjalan melewati koridor kampus yang sudah di penuhi oleh beberapa mahasiswa lainnya. Tak sedikit dari mereka yang langsung menyapa dengan ramah padanya, meski Aruhi sendiri tak memiliki teman yang sedekat dan seakrab seperti Night. Namun, hal itu tak masalah baginya, sebab ia sendiri selalu mendapatkan respon yang hangat dari orang-orang di sekitar kampusnya. Meski sampai saat ini Aruhi masih betah dengan terus menyembunyikan identitas keluarganya, sejak awal menginjakkan kaki di kampus tersebut pun ia tak pernah menunjukkan jika keluarganya berasal dari kalangan atas. Tak pernah sekalipun menggunakan mobil mewah, juga pakaian yang berlebihan, seperti tas branded atau asesoris yang mencolok seperti seorang Nona muda pada umumnya. Sebab Aruhi lebih merasa nyaman tampil apa adanya dengan menggunakan outfit sederhana. Tidak pernah merasa keberatan sekalipun meski tak mendapatkan teman karena status sosialnya yang di lihat pas pasan dari beberpa mahasiswi yang menjalin perteman
"Apa kita bisa makan siang bersama?" tanya Ellena, membuyarkan lamunan Aruhi. Ajakan makan siang, bukankah itu hal yang biasa meski tak saling mengenal satu sama lain? Tapi kenapa terasa begitu canggung bagi Aruhi sendiri. Sejujurnya ia masih sangat bingung sekarang, hanya saja tak ingin memikirkan banyak hal untuk sekarang. "Bagaimana?" tanya Ellena yang lagi-lagi membuyarkan lamunan Aruhi. "Sekarang?" "Yah, jika kau keberatan." "Aku rasa itu bukan ide yang buruk, hanya saja ...." Kalimat Aruhi tertahan di tenggorokan sambil melirik arloji di lengannya. Seharusnya ia sudah berada di restauran saat ini. Night pasti sudah menunggunya. "Apa kau sudah memiliki janji sebelumnya?" tanya Ellena bisa menebak. "Iya, maaf." "Ah tidak masalah, mungkin kita pergi lain waktu." "Maaf, aku benar-benar ...." "ARUHI MORTHEN ...!" Lagi-lagi terdengar suara yang meneriakkan nama 'Aruhi Morthen'. Namun, kali ini suara teriakan itu cukup keras hingga membuat sang pemilik nama ha
"Ruhi?" Suara tak asing menyapa pendengaran Aruhi yang lekas mengalihkan pandangan, bersamaan dengan senyum yang menghiasi wajahnya saat mendapati sang kekasih yang sudah berdiri tepat di samping mobilnya sambil bersidekap. Layaknya sebuah pil ampuh yang mampu menghilangkan rasa lelahnya secara ajaib. Tak berhenti tersenyum dengan anggukannya menyambut kedatangan Muren yang langsung membelai surai panjangnya tanpa canggung seperti biasa, seolah sudah menjadi kebiasaan. "Apa ... yang Anda lakukan di sini?" Muren kembali tersenyum sambil berpikir, apa Aruhi tak pernah tahu fungsi dari seorang kekasih yang salah satunya adalah mengantar dan menjemputnya di kampus atau di mana pun?"Tentu saja untuk menjemputmu.""Oh, apa itu tak merrepotkanmu, Tuan?""Aku rasa tidak, itu sudah menjadi tugasku.""Tugas? Tapi aku rasa Anda tak perlu melakukan itu."Muren kembali mengusap rambut panjang Aruhi, seolah tak pernah bosan melakukannya. "Kenapa tidak?""Anda pasti sangat sibuk di kantor. Dan
"Tapi tetap saja, aku ingin kau haya mengandalkanku saja. Apa itu terdengar sangat egois?" "Tidak sekalipun, Anda justru terlihat seperti pria yang sangat sempurna, tapi aku takut, jika suatu saat aku jadi bergantung padamu.""Aku tidak keberatan untuk itu," balas Muren. "Jangan terlalu memanjakanku ....""Tapi aku ingin melakukannya," potong Muren, yang membuat Aruhi kehabisan kata. "Baiklah, lakukan apa pun yang kau sukai," balas Aruhi dengan senyum manisnya. "Apa pun itu?""Hmm," angguk Aruhi. Bersamaan dengan mobil yang berhenti tepat di depan restauran milik Night, "kita sampai," sambungnya. "Ah baiklah." Muren membantu Aruhi untuk melepaskan seatbelt di tubuhnya. "Aku akan kembali ke Kantor, sore ini aku ada pertemuan penting, jadi jika aku tidak sempat menjemputmu, aku akan menyuruh Gunn untuk menjemput dan mengantarmu pulang," sambungnya. "Aku rasa tidak perlu, aku bisa pulang naik bus ...." "No, Dear. Kau tak di izinkan untuk naik bus lagi," potong Muren. "T-api,
WANG GROUP. "Akhirnya kau datang juga," ucap Gunn, saat melihat Muren yang baru saja memasuki ruangan, melangkah sambil membuka jas yang ia kenakan untuk di sampirkan ke sandaran kursinya. "Apa ada sesuatu hal yang penting?" tanya Muren duduk di kursinya, menatap wajah Guun yang tampak serius. "Kau bertemu dengannya?" "Maksudnya?" Gunn menghela napas panjang, melegakan. Reaksi Muren barusan cukup menjawab pertanyaannya, jika apa yang ia pikirkan tidak terjadi. "Ada apa? Kau tampak serius," tanya Muren sekali lagi. "Apa kau tahu jika aku baru saja melihatnya di lobby?" "Siapa?" "Ellena," balas Gunn yang cukup membuat Muren terkejut, setelah dua tahun lamanya, akhirnya Ellena kembali? Ada apa, kenapa wanita itu mesti muncul setelah sekian lama, dan kenapa harus di kantornya? Pikir Muren. Tak menunjukkan respon apa pun bukan berarti ia tak memikirkan hal demikian, dan hal itu juga yang membuat Gunn semakin cemas. "Kau baik-baik saja dengan itu?" "Apa yang kau p
Baiklah, aku akan menemanimu," balas Aruhi yang akhirnya menyerah, melirik arloji yang melingkar di tangannya. Mereka masih punya waktu 30 menit untuk ke kantin sebelum kelas di mulai.Beranjak dari duduknya, Aruhi melangkah keluar kelas, disusul Lucas, berjalan beriringan menuju menuju cafetaria untuk makan siang bersama. Meski merasa agak canggung, sebab duduk di sebuah cafetaria dengan di temani oleh seseorang adalah hal yang pertama bagi Aruhi. Ia pun tak mungkin menghindari Lucas, meski Muren sudah memeperingati untuk tak dekat dengan pria tersebut, ataupun membiarkan pria tersebut mendekatinya.Untuk saat ini, ia pikir mungkin tak masalah, lagi pula ia tak mungkin menghindari atau melarang pria itu untuk tak mendekatiku. Aruhi mengambil ponsel dari dalam tasnya untuk memeriksa beberapa pesan notifikasi. Cukup terkejut karena mendapatkan banyak pesan yang membuatnya tersipu. Tanpa di sadari jika sejak tadi ada sepasang mata yang tengah menatapnya dengan ekspresi penuh keheranan.