"Kau hampir menabrak mobilku. Dan jika kau terus berjalan sendirian dengan keadaan seperti itu, kau benar-benar akan celaka."Muren tersenyum untuk yang pertama kalinya."Ternyata benar, kau menghawatirkanku." "Jangan terlalu bahagia, aku hanya tidak ingin melihat seorang pria tewas secara sia-sia di hadapanku, di tambah lagi dalam kondisi mabuk seperti ini." Tidak mengatakan apa pun, Muren hanya tersenyum dengan pandangan tak luput dari wajah Aruhi yang hanya bisa menghela napas pelan, ia tahu jika Muren sangat mabuk saat ini. Mungkin berdebat dengan pria itu akan menghabiskan tenaganya, sungguh membuang waktu."Kau belum menjawabnya.""Pertanyaan apa yang harus aku jawab?" tanya Aruhi. "Kau mengkhawatirkanku, 'kan?""Berhentilah bersikap berlebihan, masuklah ke mobilku, dan berikan nomor ponsel asistenmu. Biar aku menghubunginya untuk menjemputmu." "Kau meminta nomor ponsel Gunn? Apa kau menyukainya?" tanya Muren asal."Oh, demi Tuhan." Aruhi memijat tengkuk lehernya yang mulai
"Apa sekarang kau sedang memarahiku?""Tentu saja, apa kau pikir aku sedang bernyanyi untukmu sekarang, Tuan?" balas Aruhi, sedang Muren yang sejak tadi menatap hanya bisa terdiam dengan lidah yang reflek bergerak di dalam mulutnya, hingga seblah pipinya tampak menonjol. "Kau ....""Aku pulang sekarang," potong Aruhi hendak pergi."Tunggu!" serga Muren yang masih tak mampu untuk berdiri, sebab masih merasakan pusing di kepala dengan mabuk yang masih tersisa. "Ada apa? Mau berdebat denganku lagi? Aku cukup lelah sekarang dan tidak bisa melayanimu." "Soal di toko dua tahun lalu."Aruhi mengepalkan kedua tangannya kuat. Muren benar-benar melupakan kejadian malam itu. Memorinya hanya menyisahkan satu hal untuk di ingatnya, dan melupakan hal lainnya. Dan entah mengapa hal itu cukup membuat perasaan Aruhi terluka. Meski ia sudah berniat untuk melupakannya saja, dan sejak dua tahun lalu ia sudah mencobanya, meski gagal sebab tak bisa melupakan kejadian itu sepenuhnya. Biar bagaimana pun,
"Jangan seperti ini ... Hiks ..." Aruhi mulai menangis di sela ciuman mereka. Namun, seolah tidak perduli, Muren kembali melumat bibirnya yang di rasakan sudah mulai perih karena gigitan dari pria itu.Tanpa Muren sadari jika saat ini Aruhi mulai menangis."Ahk sial. Kenapa hasratku begitu besar padanya," batin Muren. Mengutuk dirinya sendiri, yang sepertinya sudah di kuasai oleh napsu, dengan terus melumat bibir Aruhi, hingga tersadar jika ada sesuatu yang basah mengenai wajah juga bibirnya. Seketika Muren membuka mata yang sedari tadi memejam, ia bahkan dapat dengan jelas melihat butiran bening yang keluar dari sudut mata Aruhi, dan hal itu sontak membuatnya terkejut dan dengan cepat melepas tautan bibirnya."M-maafkan aku," ucap Muren tergagap.Melihat Aruhi yang tertunduk sambil mengusap bibir dengan punggung tangannya. Sedang air mata masih terus mengalir hingga membasahi setengah dari wajahnya. "Sungguh. Maafkan aku," sambungnya yang dengan cepat meraih tubuh itu untuk di ba
Dalam pekan terakhir ini, Aruhi mulai enggan untuk keluar kamar. Bahkan sudah hampir seminggu gadis itu nyaris tidak pernah keluar rumah, dan perubahan sikap itu bukan tanpa alasan. Namun, meskipun kejadian minggu lalu cukup membuatnya shock, tetapi hal yang di anggap memalukan itu enggan untuk ia ceritakan kepada siapa pun, termasuk kepada Night yang saat ini sudah benar-benar sangat mengkhawatirkannya, begitu pula dengan Nine kakaknya.Meskipun alasan yang di ucapkan Aruhi adalah hanya ingin beristirahat di sisa liburan semesternya yang tinggal beberapa hari lagi berakhir cukup masuk akal. Namun, tetap saja alasan tersebut tidak serta merta membuat Night ataupun Nine percaya begitu saja."Charlotte, bagaimana keadaan Aruhi?" tanya Night yang malam itu kembali berkunjung ke kediaman Aruhi. "Seperti biasa, Tuan muda. Nona muda masih enggan untuk keluar kamar, aku juga sudah sangat cemas sekarang, apa dia baik-baik saja? Dia bahkan tak mengatakan apa pun padaku," balas Charlotte tak b
"Menggemaskan," ucap Night kembali memeluk Aruhi erat, "sepertinya aku harus kembali," sambungnya melepaskan pelukan."Terima kasih, Night.""Untuk apa?""Pelukanmu yang menenangkan.""Apa kau menyukainya?""Hmm," angguk Aruhi masih menyamankan dirinya. "Maka aku akan selalu memelukmu seperti ini.""Sungguh?""Haruskah aku berjanji untuk itu?"Aruhi kembali tersenyum menatap Night yang selalu memberikan kehangatan lewat tatapan matanya. "Tak perlu, aku tahu kau akan selalu ada untukku."Night menangkup wajah Aruhi. "Sebaiknya keluar dari kamarmu sekarang juga. Jangan membuat Nine dan Charlotte semakin mengkhawatirkanmu.""Hmm," angguk Aruhi. Beranjak dari tempat tidurnya, dan mengikuti langkah Night. "Atau, apa kau ingin ikut denganku?""Aku rasa tidak malam ini, Night. Aku akan ke restauran besok pagi. Aku janji," balas Aruhi mengikuti langkah kaki Night, "aku akan mengantarmu," sambungnya."Sampai jumpa besok, Aruhi."Night melangkah pergi. Meninggalkan Aruhi yang kembali terdiam
WANG CORPORATION "Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi, aku akan menemuinya sekarang," ucap Muren mengusap wajahnya kasar. Menutup layar laptopnya dengan keras, benar-benar kesal, dan itu sangat terlihat jelas ketika ia kembali melonggarkan dasinya, sebelum beranjak dari kursi kerjanya, berjalan menuju sofa dan langsung menjatuhkan tubuhnya dengan kasar di sana. "Jangan bertindak sembarangan, Nona itu tidak mungkin menerima kedatanganmu begitu saja," balas Gunn, masih terlihat santai dengan pandangan yang hanya tertujuh pada layar laptop dihadapannya. "Tapi ini sudah satu minggu berlalu. Di mana lagi aku bisa menemukannya? Dia bahkan tidak pernah keluar rumah. Ponselnya pun tidak aktif, aku hanya ingin mengetahui keadaan gadis itu sekarang. Apa dia baik-baik saja atau tidak. Aku benar-benar tidak bisa menunggu Gunn." "Bersabarlah, dan tunggu sebentar. Kau bisa menimbulkan masalah baru lagi jika tetap bersikeras untuk menemuinya," balas Gunn dengan nada tenang. "Apa, lagi? Apa
"Siapa kau? Apa yang kau lakukan?" tanya Aruhi tak mampu menyembunyikan rasa gugup dan ketakutannya. "Ini aku," jawab pria itu, membuka masker mulut yang menutupi wajahnya sejak tadi. Mata Aruhi melebar sempurna, terperangah saat melihat sosok yang kini tengah duduk tepat di sampingnya. Sosok yang selama ini sudah ia hindarinya. Namun, yang anehnya, sosok ini juga cukup di rindukannya, entah apa yang sudah terjadi dengan hatinya. Meskipun demikian, tetap saja. Aruhi belum bisa melupakan rasa kesal kepada pria di sampingnya saat ini. Hingga beberapa detik berlalu, saat ia lekas tersadar jika tak seharusnya berada di sisi pria itu. Dengan cepat Aruhi membuka pintu mobil, hendak keluar, Muren yang sudah sejak tadi mengawasi lekas mencengkram lengannya kuat, bahkan sebelum kakinya menginjak jalan, hingga membuat Aruhi sedikit meringis sekaligus terkejut. "Apa kau sudah terbiasa bersikap kasar seperti ini kepada wanita? Atau kau memang orang seperti itu?" tanya Aruhi dengan nada setena
Aruhi terdiam usai mendengar pengakuan itu, antara percaya dan tidak. Namun, cukup membuat jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya. Bahkan kata-kata yang sudah ia susun sedemikian rupa untuk Muren seketika hilang begitu saja hanya dengan dua kata yang di ucapkan oleh pria itu. Di tambah lagi ketika ia melihat mata elang yang terus menatap hingga membuat jantungnya semakin berdebar tak beraturan, begitu juga dengan rasa gugup yang seketika menghampiri. "Beraninya kau membuatku gugup tanpa seizinku," batin Aruhi mengeluh prustrasi.Merasa jika perasaannya seolah tengah di permainkan oleh Muren. Merasa jika hal yang tak mungkin jika pria itu menyukainya, sedang mereka tak pernah bertemu selama dua tahun terakhir ini, itulah yang ada di dalam pikirannya. Tanpa disadari jika Muren sudah sering melihat, mengawasi, dan mencari tahu tentang dirinya. "Ini tidak masuk akal," gumam Aruhi, mencoba untuk mengabaikan pengakuan dari Muren, dan hendak melangkah untuk pergi. "Sudah hampir sat