Sedikit berjalan pincang sambil memegangi punggungnya, perempuan itu memaksakan diri untuk berjalan keluar ruangan. Dia tidak menjawab pertanyaan Dev, namun hanya memberikan gerakan isyarat melalui telunjuknya agar Dev tetap di tempat. Juga seolah memberitahu kalau dia akan segera kembali.
Dan entah bagaimana, sikap perempuan misterius itu membuat Dev termangu.
Hingga tak lama setelahnya, perempuan itu pun kembali dengan penampilan yang membuat bola mata Dev membulat kaget.
Tubuh perempuan itu kini hanya berbalut dress putih selutut. Tidak lagi memakai jaket dan celana putih tadi. Rambut putih bergelombangnya tetap diikat tinggi.
Tidak. Tentu bukan itu semua yang membuat Dev kaget.
Tapi saat Dev menyadari kalau perempuan ini ... ternyata tidak pakai bra. Siapapun bisa melihat itu karena dress itu bahannya tipis. Astaga!
Oke. Dev memang sudah sering melihat perempuan tidak tahu malu di dunia ini. Tapi bukannya tergiur, justru Dev merasa sangat jijik. Memandang dan menyayangkan betapa menyedihkannya perempuan di dunia ini yang tidak bisa menjaga diri dan tubuh mereka dengan baik.
Makanya Dev paling malas kalau misinya berkaitan dengan perempuan seperti ini. Karena ujung-ujungnya pasti bakal merepotkan. Seperti sekarang.
"Hoi. Apa yang mau kamu lakukan?" tanya Dev dengan wajah penuh angkuh. Masih dalam posisi duduk.
Perempuan itu tidak menjawab. Sambil berjalan mendekat kepada Dev, gadis pucat itu menurunkan tali dressnya. Juga memperlihatkan sorot mata sayu misterius yang tidak dapat Dev mengerti.
Dan sebelum Dev bangkit untuk menghindar, perempuan itu tiba-tiba duduk di hadapan Dev. Lalu membalikkan tubuh dan menghadapkan punggung lebam itu pada Dev. Sebenarnya apa mau perempuam aneh ini?
"Menampakkan punggung telanjang seperti ini pada laki-laki asing? Apa urat malumu sudah putus? Atau kau sudah terbiasa mempertontonkan hal ini pada lelaki diluar sana?" tanya Dev sembari memasang raut ngeri sekaligus jijik.
Luka itu terlihat seperti lebam yang sangat besar. Ternyata tendangan pemungkas Dev berefek separah ini pada punggung perempuan itu.
"Sudah jangan berisik. Kau berhutang padaku karena membuat punggungku begini. Sekarang obati lukaku!" ucap perempuan itu datar namun tegas.
Lalu tanpa menatap kebelakang, perempuan itu menunjuk ke sudut ruangan. Tempat kotak obat berada.
"Ambil obatnya disana!" perintah perempuan itu lagi.
Tentu saja sikap perempuan itu sontak mematik bara kemarahan dalam diri Dev. Bagaimana mungkin seorang perempuan memerintah Dev seenaknya seperti ini?
"Hutang katamu???"
Maka jangan heran kalau setelahnya tangan Dev mengepal erat. Bersiap bangkit dan hendak melayangkan satu pukulan. Tapi pukulan itu sontak terhenti karena perempuan itu tiba-tiba berbalik dan menahan kepalan tangan Dev dengan cepat. Hebat juga insting perempuan itu.
"Aku sudah menyelamatkanmu dari perampok itu, lho. Jadi hutang maafku sudah lunas. Dan sekarang, kamu harus membalas budi baikku. Biar impas," katanya enteng. "Permintaanku juga tidak sulit. Lagipula lukaku ini kan hasil perbuatanmu," ucap perempuan itu sembari menyeringai.
Makin beranglah Devlin. Dia jelas tidak terima dengan ucapan perempuan itu. Hingga tak ayal rahang dan otot wajah Dev benar-benar mengeras sekarang.
"Kamu pikir aku tidak bisa menyelamatkan diri sendiri, hum? Lagipula siapa juga yang ingin ditolong sama kamu?"
Dev lantas menarik tangan perempuan itu dengan kasar. Membuat wajah mereka hampir bertumbukan, menyisakan jarak yang kurang dari sepuluh senti. Dari situlah keduanya bisa merasakan napas mereka yang sama-sama memburu karena mulai terpancing oleh amarah. Juga tumbukan manik mata mereka yang terlihat berkilat-kilat.
"Kalau cuma cecunguk-cecunguk perampok itu, aku juga bisa membabat habis mereka sampai tidak bersisa! Bahkan tanpa bantuanmu! Mengerti?"
Ditantang begitu justru perempuan itu menghelakan napas pelan sambil menyunggingkan senyum miring.
Dan tanpa sedikitpun menggeser pandangannya dari manik mata kecoklatan milik Dev, perempuan itu pun menghempaskan tangannya agar terbebas dari cengkraman tangan Dev.
"Baiklah, Tuan Jagoan. Kalau kamu tidak mau membayar hutang budi, terserah saja. Kamu bisa pergi sekarang. Kalau cuma luka seperti ini, aku bisa mengobati lukaku sendiri," jawab gadis itu enteng.
Perempuan itu lantas menyentuhkan telunjuknya pada dada Dev. Membuat gerakan mendorong agar Dev menjauh darinya.
Devlin mengerjap sekilas. Agak terkejut dengan tindakan dan ucapan perempuan itu barusan. Tapi tangannya refleks mencengkram lengan perempuan itu sebelum berbalik.
"Kamu pikir untuk apa aku kemari?"
Perempuan itu menoleh. Lalu tersenyum lucu. "Apa kamu mengikutiku sampai kesini karena ingin mengajakku berkenalan dan berkencan? Wah, aku jadi tersanjung!"
Jeda beberapa detik kemudian, atensi mereka serempak teralihkan oleh suara derap langkah beberapa orang dari luar yang sedang menuju ke ruangan sepi ini.
Tidak disangka, itu langkah dari anak-anak kecil tadi. Dan ada satu orang nenek tua juga di belakang mereka.
Buru-buru perempuan itu menaikkan tali dressnya untuk menutupi luka lebam di punggungnya lalu berbalik badan menghadap mereka. Sepertinya gadis itu tidak ingin memperlihatkan lebamnya pada mereka.
"Eve? Siapa dia? Apa dia temanmu?" sapa Nenek itu seraya mengembangkan senyuman di raut wajah senjanya.
Perempuan yang ternyata bernama Eve itu menolah cepat. "Dia ini--"
Sejenak Eve berpikir. Mencari-cari alasan tepat. Dan beruntungnya Eve cukup jeli. Bola matanya bergerak dan menemukan kumis palsu yang terpasang di bawah hidung Dev, juga kamera reporter yang menggantung di kalung pria itu. Dari kamera itulah timbul sebuah ide jawaban dari isi kepala Eve.
Namun sebelum Eve mengutarakan jawaban itu, muncul suara sahutan dari bocah ketapel yang tadi menembak Dev dengan kelereng. Terlihat anak itu kaget dengan sosok Dev yang tiba-tiba bisa disini.
"Bentar deh! Orang ini bukannya tadi yang mengejar kakak--"
"Di--Dia ini Pak fotografer yang memintaku jadi model! Makanya dia mengejarku, Nek!" jawab Eve asal.
Hening sejenak. Sampai di dua detik setelahnya Eve baru menyadari kalau jawaban itu terdengar sangat aneh dan sama sekali tidak masuk akal.
'Bodoooh! Kenapa aku malah bicara hal bodoh seperti itu sih? Niatnya ingin menutupinya dari Nenek, aku malah memberi alasan bodoh!' runtuk Eve dalam hati.
Yang tentunya jawaban itu sontak membuat Dev melirik shock. Tidak terima dipanggil Bapak-bapak karena memakai kumis palsu. "Hoi!!"
NYUT!
Untuk membungkam kata protes Dev, Eve diam-diam beringsut mendekat untuk mencubit pinggang Dev agak keras. Seperti memberi isyarat agar Dev menurut saja dengan sandiwara Eve.
Dua mata Dev pun melotot marah kepada Eve. "Apa-apaan kau--"
"Eve ditawari menjadi seorang model? Itu bagus sekali! Kecantikan wajah dan tubuhnya pasti menarik perhatianmu kan, Pak Fotografer? Matamu sangat jeli dalam memilih model!"
Sungguh diluar dugaan, Nenek itu malah percaya dengan omongan ngawur Eve. Dan bodohnya juga kepala Dev dan Eve bisa serempak mengangguk--seperti membenarkan ucapan Sang Nenek.
Dan beberapa detik ketika Nenek itu memperhatikan Dev lebih dekat dari atas kebawah, dari situlah beliau baru terkejut saat melihat kaki Dev.
"Oh astaga! Kaki Anda berdarah!!"
Nenek yang menyadari keanehan pada kaos kaki dan sepatu Dev yang sudah basah oleh darah itu pun panik. Menghampiri Dev sembari mengecek kaki itu.
Dan selanjutnya, tidak heran kalau nenek itu kemudian menoleh tajam kearah Eve.
"Eve! Kenapa kau tidak bilang kalau dia terluka? Sebaiknya cepat kau obati luka Pak Fotografer!"
Eve pun refleks melotot tidak percaya. "A-Apa? Tapi Nek--"
"Tidak ada tapi! Sekarang, Eve!" titah Nenek itu tanpa ampun.
Eve mengerjap sekilas. Tapi selanjutnya dia memasang wajah cemberut sambil berlalu. Mengambil beberapa obat dari kotak obat di sudut sana.
"Setelah dia diobati, sebaiknya ajak beliau makan malam juga. Nenek kebetulan masak banyak," ucap Nenek itu lagi sebelum akhirnya beliau pergi meninggalkan ruang tengah itu bersama anak-anak lain.
Lagi-lagi Sang Nenek membuat Eve terhenyak. "Tunggu. Nenek sepertinya terlalu berlebihan. Kita tidak seharusnya menjamu orang asing yang--"
Nenek itu berbalik. Tidak menghiraukan kalimat protes Eve sambil berujar dengan tegas. "Nenek tunggu di meja makan."
Eve menggeleng miris seraya menatap miris kearah punggung Sang Nenek yang hilang dibalik pintu ruangan tertutup.
Kali ini Eve dan Dev ditinggal sendirian lagi. Tapi keduanya sama-sama tahu, kalau dari balik pintu sana ada anak-anak yang mengawasi mereka.
Eve seketika memalingkan wajah kepada Dev. Menatap dengan picingan mata yang tajam, juga kesal luar biasa.
"Dengar. Aku akan mengobati kakimu. Tapi tidak dengan untuk makan malam dengan kami! Jadi setelah luka kakimu beres, kamu harus segera pergi dari sini!"
Dev yang mendengar ancaman jahat itu justru tertawa. Lalu sedikit mencondongkan wajahnya agar sejajar dengan tinggi badan perempuan itu
"Kalau aku nggak mau, gimana? Aku juga kebetulan lagi laper," bisik Dev enteng, lengkap dengan seringaian remeh yang tersungging di bibirnya.
Tentunya Dev menganggap undangan makan malam ini sebagai kesempatan emas. Dengan berdiam diri sementara disini, Dev bisa mengorek lebih dalam tentang para penjahat dan apa yang terjadi disini.
Eve menggeram. "Kau--"
"Kakaaakk! Ditunggu Nenek suruh cepetan katanya!!" seru beberapa anak itu dari luar.
Sepertinya Eve tidak punya pilihan lain. Jadi ia pun segera memberikan isyarat pada Dev untuk duduk di kursi sofa di ruang itu. Agar Eve bisa mengobati kaki Dev.
Hingga beberapa menit mereka tidak ada yang bicara. Tapi mata Dev memicing kesegala ruangan.
Dan dari situ Dev baru sadar, kalau ternyata ruangan itu adalah ruangan santai kosong yang hanya terdiri dari satu set meja dan sofa. Dan ada karpet lembut yang hampir menutup seluruh lantai di ruangan itu.
Lalu saat Dev menggeser bola matanya ke dinding ruangan itu, Dev pun mengerti kalau dinding itu terbuat dari kayu.
Dan hanya butuh waktu setengah detik bagi Dev untuk menemukan bilah kayu berwarna agak gelap diantara bilah dinding kayu lainnya. Dari situ Dev yakin kalau dia pasti tadi diseret kemari oleh Eve melalui bilah kayu pintu rahasia itu.
"Pintu rahasia yang bagus untuk markas penjahat seperti kalian. Mungkin kau harus mengubah warna papan kayunya, kalau tidak ingin musuh kalian menyadari keberadaan pintu itu," ujar Dev dengan nada mengejek.
Eve mendongak. Sekilas menatap Dev dengan tatapan memicing. "Terserah kamu mau bilang kami penjahat. Jaman sekarang status itu sudah tidak diperlukan lagi." Lalu ia pun menghelakan napas. "Tapi satu hal yang harus kamu tahu. Kami tidak sama seperti mereka. Yang kami lakukan selama ini hanyalah untuk mempertahankan diri dari perampok yang ingin mencuri tanah dan tempat tinggal kami."
**
To be continued.Perubahan aura perempuan itu seketika dirasakan Dev. Hawa kemarahan yang kuat, bercampur dengan rasa takut. Dev bisa merasakan itu melalui raut ekspresi dari Eve. "Mengapa cecunguk-cecunguk itu ingin mengincar tempat tinggal kalian? Dan bagaimana mungkin kalian tidak melapor pada pihak berwajib?" tanya Dev to the point dan tegas. Eve terlihat mengembuskan napasnya dengan sangat gusar. Seolah ada beban besar mengganjal dadanya yang sulit dikeluarkan begitu saja. "Entahlah." Eve mengangkat bahu, mencoba bersikap santai. Jeda menarik napas, Eve lantas memalingkan wajah kearah Dev dan melanjutkan ucapannya. "Lagipula itu tidak penting buatmu untuk tahu, kan? Orang luar sepertimu seharusnya tidak perlu terlibat jauh dengan masalah kami," tandas Eve dingin. Ucapan dingin itu tanpa sadar menarik satu simpulan senyum di bibir Dev. Karena ini pertama kalinya ada perempuan yang bersikap dingin kepada Dev. "Aku hanya memberikanmu saran ya
"Jadi bagaimana, hum? Kalau kau setuju, besok kita bisa berangkat." Dev sedikit mendekat, lalu mencondongkan tubuh kepada Eve yang duduk di hadapannya. Memasang senyum ramah yang Eve yakin kalau itu adalah senyum pencitraan Dev. Sungguh, rasanya Eve ingin melempar gelas minum yang ia genggam ke wajah Dev--kalau seandainya tidak ada Neneknya disitu. "Aku--" "Nenek, kuenya sudah jadi!" Tiba-tiba muncul satu anak perempuan remaja membawa baki berisi beberapa kue kering yang sepertinya baru diangkat dari pemanggangan di ruang dapur. Nenek lantas terkekeh sekilas, lalu hendak bangkit dari duduknya. Lalu meraih baki itu untuk disuguhkan kepada Dev. "Ini kue buatan nenek. Baru matang. Silahkan dinikmati selagi kalian mengobrol--" "Sepertinya tidak perlu, Nek." potong Eve cepat. "Alangkah baiknya Pak Fotografer harus cepat pulang sebelum larut malam. Akan sangat bahaya diluar saat malam." Lalu Eve menoleh kepada Dev. "Benar begitu kan, Pak Fot
Tatapan nyalang Eve seketika melemah. Tergantikan oleh kabut nanar. Itu saat Eve melirik lencana kepolisian yang ditunjukkan oleh Dev. Dev memang sengaja menunjukkan lencana itu agar dia terkesan punya wewenang untuk menanyakan keberadaan Yongkie pada Eve. Sebenarnya lencana itu bukan punya Dev. Tapi anggaplah Dev menunjukkan lencana itu untuk kamuflase, menutupi idenditas agen rahasianya. Dan tidak seperti sebelumnya, kali ini Eve hanya terdiam. Tidak juga mengelak, dan tidak pula merengek minta dilepaskan seperti tadi. Barangkali dia masih kaget setelah mengetahui idenditas Dev. Melihat Eve sudah jauh lebih tenang, Dev pun menghelakan napasnya. "Eve, dengar." Suara Dev seketika berubah melembut. "Kalau kau masih bersikeras melindungi kriminal seperti dia, itu sama saja kau membahayakan warga negara kita. Jangan hanya karena mencintainya, kau berusaha melindungi Yongkie. Itu bukan tindakan yang benar." Usai Dev mengatakan itu, kepala
Entah sudah berapa jam Eve tidak sadarkan diri. Karena di detik saat ia membuka mata, Eve merasakan sinar matahari menerpa wajahnya. Mungkin saja Eve pingsan semalaman, atau bahkan sudah terlewat beberapa hari. Siapa yang tahu? Karena bisa saja obat bius yang disuntikkan padanya itu memiliki efek yang cukup lama. Dan benar saja. Ketika Eve menoleh kesamping, dia melihat jam digital berkedip yang terletak diatas nakas. Ada tanggal yang tertera disana. Tanggal tiga belas. Itu artinya Eve sudah pingsan hampir dua hari. Di waktu itu pula, Eve baru menyadari ada satu keanehan. Bukankah dua hari lalu Eve dibawa oleh Dev, disekap dan didudukkan di ruangan serba putih? Tapi sekarang ... Eve malah berada dalam posisi tidur di atas ranjang. Tapi tetap, ruangan disini serba putih. Dan hanya ada dia sendiri, ranjang, dan nakas. Itu saja. Hendak turun dari ranjang itu, mendadak satu ingatan muncul di benak Eve. Itu bayangan tentang mimpinya semalam. Mimpi itu cuku
Ternyata memang benar yang dikatakan mereka. Penjagaan di gedung itu sedang diperlemah. Eve merasakan kalau CCTV di sepanjang lorong di lantai tempat ruangan Eve berada itu tidak aktif. Karena kalau memang aktif, sudah dari tadi para penjaga memergoki Eve. Atau mungkin bisa saja para penjaga CCTV juga bersekongkol dengan para agen untuk mengabaikan penjagaan. Eve masih belum bisa memastikan itu, dan memilih untuk tidak peduli. Dari pada memikirkan semua itu, Eve lebih baik mencari cara agar bisa keluar dari sini. Sambil menunggu dua pria itu keluar dari toilet. "Eh bentar deh. Kayaknya tadi pintu ini nggak nutup deh! Apa ada orang? Tapi kok aku nggak denger langkah orang masuk, ya?" heran salah seorang pria itu seraya mengetuk-ngetuk pelan bilik yang ditempati Eve bersembunyi. "Hallo???" 'Cklek cklek!' Satu pria lainnya kemudian mencoba membuka pintu bilik itu. "Dikunci dari dalam. Berarti memang ada orang. Tapi kok sepi ya?" Merasa curiga, du
Mustahil bagi Eve untuk kabur saat ini. Tapi dia pantang menyerah. Sebisa mungkin Eve menyeret satu kakinya yang terluka itu, berjalan lambat dan terseok-seok. Mencoba peruntungannya, Eve mencoba untuk nekat. Berencana kabur dengan menjatuhkan dirinya pada tenda atap yang kebetulan berada di bawah gedung yang dipijaknya. Mungkin agak beresiko, tapi itu adalah cara yang paling cepat untuk menghindar dari Dev saat ini, mengingat kondisi kakinya tidak begitu memungkinkan untuk turun melalui tangga atau melompat. Tapi Eve kalah cepat. Dev sudah lebih dahulu menarik bagian belakang pakaian Eve. Dan menghempaskan kembali tubuh perempuan itu hingga kembali ke posisi semula. "Berhentilah melawan dan menyusahkanku, Eve! Atau aku tidak akan segan lagi padamu!" hardik Dev. Bola mata Eve seketika mengabur. Masih dalam posisi tengkurapnya. Menangis, antara menahan rasa sakit dari kaki, dan marah karena ucapan Dev barusan. "Kalau kamu tidak ingin susah, leb
Tanpa mengucap sepatah kata pamit pun, Eve bergegas pergi, tepat setelah Dev membukakan jalan untuknya. Tapi tentunya Eve tidak bisa lari cepat, karena kakinya yang terluka. Kalau boleh jujur, Eve sebenarnya tidak tega meninggalkan Dev bertarung sendirian. Apalagi teman-teman Dion itu banyak dan bersenjata. Sementara Dev hanya menggunakan satu pisau kecil saja, sisanya dia harus pakai tangan kosong dengan bela dirinya. Dilihat dari manapun, pertarungan ini sangat tidak seimbang. Walaupun Eve tahu kalau Dev itu kuat, tapi kalau menghadapi orang sebanyak itu rasanya ... akan mustahil jika Dev mengalahkan semua sekaligus. Karena jika ada satu orang musuh yang jatuh, maka yang lainnya akan berbondong-bondong menyerang membela temannya. Dan jika teman musuh itu sudah ditumbangkan Dev, pasti teman yang tumbang tadi sudah agak pulih dan melanjutkan untuk melawan Dev. Begitu seterusnya. Sudah dipastikan kalau pertarungan tidak akan ada habisnya."Ohok!!" D
"Ini bukan jalan menuju panti. Kau tidak sedang berusaha membawaku pergi lagi kan?" Eve dan Dev sudah sampai di kota M beberapa menit lalu. Dan kini mereka mengendarai mobil pribadi Dev yang tadinya terparkir manis di dekat kawasan bandara. Dan Eve terkejut, kalau Dev membawa mobilnya ke jalan yang bukan seharusnya. Wajar kalau sekarang Eve merasa sangat khawatir dan curiga kalau Dev membawanya pergi lagi. "BRAM!" Eve kesal sekali diabaikan begini. Dev tidak kunjung menjawab pertanyaannya. Malah fokus terus menyetir. Hingga ... CKIIITTT! Dev mendadak memberhentikan mobil di pinggir jalan. Lalu terdiam. Mengambil dua tiga lembar tissue dan mengusapkan ke mulutnya yang ternyata kembali mengeluarkan darah. Ah, ya. Eve ingat kalau Dev sempat mendapatkan tendangan yang cukup keras tadi di bagian perutnya. Dev pasti sangat kesakitan sekarang. Dan pantas saja Dev tidak banyak bicara. Mungkin dia sedang menahan sakitnya. "B-Bram ... ka
Eve memang sering dengar Dev menyinggung soal atasannya, tapi Eve tidak pernah menyangka kalau atasan Dev itu adalah seorang pria tua yang sangat mirip dengan wajah Ayahnya. Dan tidak sampai disitu. Tadi Eve juga sempat mendengar perawat perempuan yang menjaga Bianca di bilik sebelah itu juga memanggil nama 'Pak Marco'. Yang mana nama itu juga nama yang sama dengan nama mendiang ayahnya. Kalau ini adalah kebetulan, jelas ini kebetulan yang keterlaluan. Tidak pernah Eve menemui kasus wajah dan nama orang yang sama persis. Tidak ada. Pun ada yang pernah bilang kalau manusia itu punya tujuh kembaran berbeda dan tersebar di muka bumi, tetap saja ini terlalu mirip! Tidak pernah ada wajah dan nama yang sama. Terkecuali kalau memang dia ... adalah orang yang sama. Tapi ... 'Nggak mungkin nenek bohong sama aku. Jelas-jelas nenek bilang kalau Ayah dan Ibu meninggal setelah kecelakaan itu. Hanya aku yang selamat. Lagipula untuk apa juga nenek menyembunyikan kalau misal ayah masih hidup?' "
Sesuai dugaan Eve. Ada agen pengkhianat yang masih tersebar di beberapa tempat di markas. Ada saja yang ingin menjatuhkan Devlin maupun Pak Marco. "Dari situlah kemudian aku coba mengikuti para pengkhianat itu, Bram. Aku masuk ke mobil mereka. Lalu ketika sampai di kasino, aku benar-benar melihat mereka meletakkan bom koper itu di mobil yang kamu pakai." Dev manggut-manggut mengerti. "Jadi begitu ceritanya kamu pada akhirnya bisa sampai ke kasino ... Kamu benar-benar nekat!" Eve memutar bola matanya. "Bisa tidak kamu hanya bilang 'terimakasih' saja? Bagaimanapun aku sudah menyelamatkan nyawamu dengan mencegahmu masuk ke mobil, lho. Kalau tidak, kamu pasti sudah jadi sapi panggang!" "Cih!" Dev mendecih. "Aku ada niatan untuk tidak ke mobil kok tadi! Kamu saja tadi yang tiba-tiba menghadang saat aku mau menyergap temanmu!" Percuma saja kalau menyuruh Dev minta maaf. Gengsinya selangit nirwana, mana sudi dia mau bilang begitu? Apalagi kali ini yang menolong si Eve. Perempuan. "Nah
Jet Mini didatangkan langsung dari markas pusat. Mendarat di titik lokasi tersembunyi di salah satu resort yang ada di pulau itu. Penjagaan sekitar resort dikerahkan, demi menjaga keamanan pendaratan Jet Mini tersebut. Seluruh resort juga sampai dikosongkan dari pengunjung, dan kini hanya diisi oleh satuan keamanan yang bertugas untuk mengawal pemimpin agen rahasia utama mereka--Pak Marco. "Kalian ini terlalu berlebihan deh ... Saya sungguh nggak apa, lho!" Sudah berapa kali Pak Marco bicara begitu. Beliau bilang tidak kenapa-kenapa, tapi sekujur tubuhnya kini tengah mengalami luka-luka dan sedang dalam penanganan berjalan di dalam Jet Mini. Kondisi Pak Marco memang harus segera ditangani, jadi tim ahli medis dikerahkan untuk melakukan penanganan medis langsung, sembari Jet Mini itu terbang memulangkan kembali Pak Marco ke markas pusat di pulau JW. Tidak perlu khawatir dengan kemampuan tenaga medis dan peralatannya, karena memang Jet Mini itu
Bukan hanya menghadang. Eve juga menahan perempuan berambut perak yang masih berusaha untuk melepaskan diri dari borgol itu. Mengambil cepat borgol Dev yang lainnya dan memakaikannya di dua pergelangan kaki si perempuan rambut perak. Gerakan yang begitu cepat, sehingga Dev sendiri sampai agak tertegun melihat bagaimana Eve meringkus perempuan rambut perak itu. Padahal mulanya Dev pikir Eve hendak menyelamatkan si rambut perak. Tapi tidak menyangka kalau Eve ternyata justru membekuk rambut perak. Itu artinya Eve masih ada di pihak Dev. Tapi yang menjadi tanda tanya sekarang, mengapa Eve menyerang Dev juga? "Eve, kau--" "Jangan menyerang temanku! Dan sebaiknya kau menjauh!" DEG! "Apa?? Jadi dia rekanmu??" "Pergi!" Dev benar-benar bingung sekarang. Tidak disangka Eve adalah teman si rambut perak. Mengejutkan, tapi dari ucapan Eve dan bagaimana Eve melindungi Dev agar menjauh dari si rambut perak, besar kemungkinan kalau Ev
Meja nomor tujuh. Senjata M. Dua informasi bagus yang sangat penting. Dengan begini terbukti sudah dugaan Pak Marco, kalau memang benar ada transaksi senjata gelap disini. Senjata-senjata tipe M, semestinya orang-orang seperti mereka tidak diperuntukkan untuk menjual belikannya. Karena itu senjata militer yang cukup vital dan bisa dibilang berbahaya jika orang awam dan tidak cukup pengalaman menggunakannya. Ada dua tipe senjata di dunia ini. W dan M. Keduanya sama-sama tidak boleh diperjual belikan, apapun alasannya. Karena memang senjata apapun tidak boleh dijual bebas dan serta merta dari kalangan apapun terkecuali pihak militer atau pihak yang berkaitan dengan penegak hukum. W tidak sebegitu bahaya dibanding M. Dan untuk katagori bom rakitan yang dibuat Yongkie dkk itu juga masuk katagori M yang berbahaya. Penggolongan ini berdasarkan tingkat bahayanya. Biasanya ada pihak tertentu yang mengelompokkan senjata-senjata temuan yang dipakai penja
Ternyata memang tidak mudah menemukan peluang waktu agar Dev bisa belajar ilmu kanuragan. Baru saja pria itu akan belajar selagi punya jeda waktu. Tapi memang sepertinya hal itu ditunda dulu sampai misi penyelidikan kali ini selesai. Bagaimanapun, Dev harus menjadi bertambah kuat. Musuh yang ia hadapi bukan yang serta merta bisa dikalahkan dengan serangan fisik biasa. Tapi membutuhkan 'tenaga lebih' untuk bisa mendongkrak pertahanan musuh. Memang sejak dulu, yang namanya penjahat dengan ilmu tenaga dalam menjadi masalah serius yang merepotkan dan tentu tidak bisa dianggap remeh. Dan Yongkie, dia ternyata menggunakan ilmu kuno itu dan membuat Dev menjadi cukup kuwalahan. Sejauh ini Dev tidak pernah kalah dengan siapapun, dan batu dikalahkan dengan orang pemilik ilmu kanuragan. Dan untuk bisa mengalahkan Yongkie, kekuatan fisik yang bagus saja ternyata tidak cukup. Dev butuh kekuatan lebih. Dengan kekuatan fisik yang mumpuni dan ditambah latihan kanuragan, Dev
Pada akhirnya Dev setuju untuk dilatih ilmu kanuragan. Lagipula untuk sementara mereka masih punya waktu sedikit, sebelum bertempur melawan kelompok Yongkie dan mebcari keberadaan Mr. X yang konon dikabarkan berada di pulau BW. "Sebelumnya, saya cukup penasaran. Bagaimana mulanya Anda tahu kalau ada perdagangan persenjataan illegal disini? Dan Mr. X itu ... kita masih belum memastikan apakah Mr. X yang melakukan jual beli senjata illegal itu betulan orang yang sama dengan Mr. X yang menjadi ketua komplotan Yongkie, kan?" Pak Marco terkekeh. "Kamu pikir saya cuma duduk leha-leha di kantor pusat aja, gitu?" candanya. "Saya, meski pemimpin senior, saya juga bertugas diluar. Sama seperti kamu, Dev. Saya memberi perintah pada bawahan, itu bukan karena saya menyerahkan semua pekerjaan pada bawahan. Saya dan kamu, juga semua anggota disini semuanya bekerja dengan satu misi yang sama!" Dev tersenyum takjub. "Oh ... begitu, ya ... Saya kira Bapak memantau di markas aj
"Si nomor sembilan masih belum mengatakan apapun tentang lokasi pabrik itu, ya?" Dev menggeleng. Kembali duduk dengan malas di depan si nomor sembilan. Dev dan si nomor sembilan. Keduanya duduk berhadapan. Di ruang yang remang. Dengan si nomor sembilan yang kini diikat kaki tangannua dan disorot cahaya lampu interogasi. "Sudah kau periksa alat telekomunikasinya?" tanya Pak Marco lagi, sembari berjalan mendekat ke kursi Dev. Dev menjawab. "Alat telekomunikasinya disandi ketat sekali. Aku sudah menghubungi dan mengirimkan sandi itu ke agen cyber di markas. Sampai sekarang masih dalam proses pemecahan sandi." Pak Marco mengangguk. "Baiklah. Sekarang kau ikut denganku sebentar. Tinggalkan saja dia selagi menunggu sandinya terbuka!" Dev menurut saja, mengekori Pak Marco hingga sampai di tempat tujuan. Tepat di salah satu bukit tersembunyi dekat maskas sementara persembunyian mereka. "Saya sempat melihat luka di perutmu itu saat dokt
"Sekarang kita harus pergi kemana, Bram?" Dev yang sedang melihat peta perairan utara pulau JW itu tidak menjawab. Tampak fokus sekali, seperti sedang mencari dan berpikir dengan dalam. Lihat saja, kerutan di keningnya bertambah. Yudi jengkel juga lama-lama kalau pertanyaannya tidak kunjung dijawab. Padahal yang ditanyakannya tadi adalah sesuatu yang penting saat ini. Masa iya mereka kabur tanpa arah? "Jangan bilang kalau kau akan mengarahkan kami ke pulau JW! Itu terlalu jauh, Bram! Kau lihat pacarmu ini harus segera ditolong--" "Aku tahu, bodoh!" Sekarang Christ baru menyahut. "Aku juga sedang mencari pulau terdekat yang aman dari kejaran mereka! Jadi diamlah!" "Bram ..." Salah seorang teman Yudi tiba-tiba saja menyodorkan Dev ponselnya. "Kupikir kau butuh ini untuk menelpon atasanmu. Jam tanganmu rusak, kan? Telpon sekarang untuk meminta bantuan!" Dev menggeleng. "Tidak. Sebaiknya jangan pakai telekomunikasi kalian sekarang. Yongkie