Tatapan nyalang Eve seketika melemah. Tergantikan oleh kabut nanar. Itu saat Eve melirik lencana kepolisian yang ditunjukkan oleh Dev.
Dev memang sengaja menunjukkan lencana itu agar dia terkesan punya wewenang untuk menanyakan keberadaan Yongkie pada Eve.
Sebenarnya lencana itu bukan punya Dev. Tapi anggaplah Dev menunjukkan lencana itu untuk kamuflase, menutupi idenditas agen rahasianya.
Dan tidak seperti sebelumnya, kali ini Eve hanya terdiam. Tidak juga mengelak, dan tidak pula merengek minta dilepaskan seperti tadi. Barangkali dia masih kaget setelah mengetahui idenditas Dev.
Melihat Eve sudah jauh lebih tenang, Dev pun menghelakan napasnya.
"Eve, dengar." Suara Dev seketika berubah melembut. "Kalau kau masih bersikeras melindungi kriminal seperti dia, itu sama saja kau membahayakan warga negara kita. Jangan hanya karena mencintainya, kau berusaha melindungi Yongkie. Itu bukan tindakan yang benar."
Usai Dev mengatakan itu, kepala Eve menengadah. Menatap Dev dengan nyalang. Sepertinya Eve tidak suka kalau Dev mengatai pacarnya.
"Aku hanya melindungi Dion dari tuduhan yang tidak benar! Karena sebenarnya kau salah sasaran! Dion itu bukan penjahat!!"
'Dion? Apa itu nama asli Yongkie?' Dev bergumam dalam hati.
Dev lantas menyingkirkan layar ponsel itu dari hadapan Eve. Sedikit mencondongkan wajahnya, Dev menatap lekat-lekat ke manik mata Eve.
"Kalau memang dia bukan penjahat, lalu mengapa kau melindunginya? Seharusnya kau tinggal membuktikan pada kami kalau dia tidak bersalah, bukannya berbohong dan mengatakan kalau kau tidak mengenalnya!"
DEG!
Wajah Eve langsung menegang. Namun tatapannya masih menajam.
"Kau benar. Memang seharusnya aku menunjukkan bukti bahwa dia tidak bersalah. Namun sayangnya, aku sendiripun tidak memiliki bukti itu."
Dev menghela napas. Lalu menjauhkan diri untuk menarik satu kursi didekat sana lalu duduk di hadapan Eve.
"Kalau kau tidak memiliki bukti, maka kau tidak berhak bicara apalagi menghalangiku untuk menangkapnya, Eve. Jadi cepat katakan dimana dia. Jangan membuat semuanya menjadi rumit."
Eve terdiam lagi. Dan kini kepalanya terkulai dan tertunduk kebawah. Tidak lagi mengatakan apa-apa.
"Baiklah ..." Dev yang sudah kehabisan kata-kata untuk membuat Eve bicara pun memutuskan untuk bangkit.
"Kalau kau masih diam begitu ..." Dev menyeringai. "Terpaksa aku menahanmu disini. Barangkali pacarmu bakal muncul kalau kau menghilang. Iya kan?"
"Tunggu, Polisi sok jagoan!" Suara menantang Eve itu langsung menghentikan langkah Dev.
Dan tentu saja ucapan itu membuat emosi Dev sedikit terpancing. "Kau bilang apa?"
"Kalau aku bisa membuktikan Dion tidak bersalah, apakah kau bisa berhenti mengejarnya dan menghapusnya dari daftar buron?" tanya Eve kemudian.
Perkataan itu terdengar lucu bagi Dev. Maka tidak heran kalau setelahnya Dev melontarkan tawa yang menggema.
"Hahaha!"
"Apanya yang lucu? Itu bukan lelucon!" bentak Eve.
"Tidak usah repot-repot begitu, Eve," kata Dev dengan nada angkuh. "Kau hanya perlu menunggu pacarmu datang dan menyusulmu kemari. Dan saat itulah ... misiku selesai."
Dev kembali melanjutkan langkah. Hendak meraih kenop pintu, tiba-tiba Eve kembali berteriak.
"Aku bisa pastikan kalau bukan Dion pelakunya! Kalian hanya salah paham! Karena pelaku sebenarnya adalah para perampok itu!!"
Lagi-lagi Eve mengatakan pembelaannya. Dan percaya atau tidak, kalimat pembelaan itu sebenarnya cukup meragukan. Karena awalnya Eve sudah berbohong sejak awal. Tapi Dev juga tidak bisa mengabaikannya. Apalagi itu berkaitan dengan perampok. Yang mana komplotan kriminal itu juga pernah mengincar kepalanya.
Di dunia ini, selalu ada dua sisi cerita berbeda. Dan tiap sisinya memegang faktanya masing-masing. Seorang penegak hukum yang baik akan selalu melihat segala sisi dan sudut pandang. Apalagi ini dunia kriminal. Kadang yang tampak baik, bisa jadi dialah yang ternyata jahat. Begitupun sebaliknya. Oleh karenanya, seorang penegak hukum harus mengamati dan menyelidiki hingga semua faktanya terungkap.
"Kau boleh mengatakan pembelaanmu," kata Dev seraya membalikkan badan. Lalu menunjukkan satu alat yang Eve yakin itu semacam alat perekam suara.
"Kuberi waktu sepuluh detik. Dimulai saat aku berhenti bicara."
Eve menelan ludah. Berpikir untuk menyangkal, namun dia tidak melakukannya. Maka Eve pun memanfaatkan sepuluh detik setelahnya untuk mengatakan pembelaan itu.
"Sekitar setahun lalu, Dion dan aku tidak sengaja menemukan bom rakitan di tubuh salah satu perampok. Awalnya aku tidak menyadari kalau itu bom, karena bom rakitan itu memiliki bentuk yang sangat aneh. Seperti penemuan baru. Dia tertanam di dalam HT."
Dev mengerjap sekilas. Sedikit terkejut dengan bentuk aneh bom itu. Lalu setelahnya ia manggut-manggut. "Lanjutkan."
"Saat itu kami memergoki perampok itu hendak menanamkan bom itu tepat di gedung pembangunan resort. Lalu entah bagaimana, setelah kami menghentikan orang itu dan pulang ke tempat mangkal Dion, tiba-tiba sudah ada kotak-kotak berisi bom rakitan disana. Lalu polisi menemukan itu dan mengejar Dion. Dari situlah polisi mulai mengejar Dion. Padahal Dion tidak tahu apapun. Dan aku yakin, itu pasti ulah para perampok--"
"Sepuluh detik tepat. Waktumu habis."
Dev mematikan alat perekam itu dengan ibu jarinya. Lalu memasukkan alat kembali ke saku celana.
Jeda beberapa detik, perhatian Dev terdistraksi oleh sebuah panggilan masuk dari headset di telinganya. Dia menerima panggilan itu, mendengar setiap kata yang terucap dari orang seberang sana. Sesekali menganggukkan kepala. Dirasa informasi itu sudah jelas, Dev segera mematikan panggilan itu dan kembali menatap Eve.
"Eve ..." Entah mengapa Dev memanggil Eve cukup lembut. Namun tidak mengurangi ketegasan Dev.
"Apa?" Eve masih sinis tentunya.
Menarik napas dalam, Dev kemudian berkata. "Sepertinya kau tidak perlu membuktikan apapun untuk membersihkan nama pacarmu. Karena baru saja atasanku mengirimkan satu bukti kuat kalau pacarmulah penjahat yang sebenarnya."
Eve semakin membulatkan matanya tidak percaya. "Apa?? Itu tidak mung--"
Pip!
Kalimat protes Eve seketika terputus saat Dev tiba-tiba menyalakan layar proyeksi melayang melalui jam tangan milinya. Layar itu menampilkan satu video adegan Dion bersama satu rekannya yang sedang berjalan mengendap-endap. Terlihat dengan jelas aksi mereka yang sedang menanamkan rakitan bom ke sebuah tempat pembangunan gedung. Lagi-lagi pembangunan gedung jadi sasaran mereka.
"Pakaian bertudung hitam itu ... Pakaian yang mirip sekali dengan pakaian yang biasa digunakan oleh para perampok itu ... Jangan-jangan Dion ..."
Belum selesai Eve menggumamkan kata-katanya, video rekaman itu tiba-tiba blur lalu mati. Itu karena ledakan bom menghancurkan kamera cctv yang merekam kejadian itu. Sehingga video rekaman itu pun terputus.
"Kuharap setelah melihat video tadi, kau paham dengan situasi kita saat ini, Eve," kata Dev.
Glek!
Eve menegak ludahnya. Terlihat wajahnya masih shock, setengah tidak percaya, dan ... geram. Ada gurat kemarahan di wajah cantik itu.
Mengetahui kenyataan pahit dari seseorang yang kita cintai itu memang menyakitkan. Dan itulah yang dirasakan Eve saat ini. Walau Dev tidak begitu mengerti bagaimana rasanya--karena dia sendiri belum pernah mengalami punya kekasih brengsek seperti itu, tapi entah bagaimana Dev seperti merasakan kesakitan Eve hanya dengan memandang wajah gadis itu.
Dan saat butiran-butiran air perlahan jatuh dari pelupuk mata Eve, Dev refleks mendekatkan. Mencondongkan tubuhnya untuk menghapus air mata itu dengan dua ibu jarinya.
"Hiks!"
Tangisan Eve sungguh terlihat begitu murni. Hingga hawa kesedihan dari tangisan itu terasa menyayat relung hati. Menimbulkan rasa yang menyesakkan dada bagi siapapun yang melihat. Tidak terkecuali Dev. Dan memang hanya ada Dev disana yang menjadi saksi tangisan Eve.
"Hiks! Hiks!"
Astaga. Nyatanya Dev semakin tidak tahan lagi saat tubuh Eve mulai bergetar dan suara tangisannya yang kian keras. Maka tidak heran kalau di detik selanjutnya Dev merengkuh kepala Eve, membawanya ke pelukannya. Membiarkan pakaiannya basah oleh air mata Eve.
Beberapa menit melampiaskan tangisnya, Eve kemudian menyadari kalau Dev memeluknya. Dan dia pun bergerak gelisah, agar Dev melepaskan pelukan itu.
"Kenapa kau melakukan itu? Apa kau sedang mencari kesempatan?" tanya Eve yang menatap Dev dengan wajah kesal.
"Hah?" Dev melongo. Melepaskan pelukan dengan kikuk.
Sedetik, Dev pun baru menyadari apa yang barusan. Hal itu tentu membuatnya tidak kuasa menahan malu. Hingga semburat merah di pipi Dev pun muncul tanpa permisi.
'Astaga! Tadi aku ngapain? Apa aku udah gila meluk cewek bar-bar ini?'
Tidak mungkin Dev mengatakan kalau tiba-tiba dia ingin memeluk Eve yang bersedih. Tentu itu akan menjatuhkan harga dirinya.
Oleh karenanya, Dev sebisa mungkin mengontrol mimik wajahnya senormal mungkin. Walau harus Dev akui, dia cukup kesulitan menormalkan detak jantungnya.
"Anggap itu bentuk simpatiku sebagai sesama manusia. Jadi jangan bicara yang aneh-aneh."
Dev kemudian beringsut menjauh, kembali membalikkan badan untuk pergi dari sana.
Tapi lagi-lagi langkahnya harus terhenti saat Eve kembali bersuara.
"Bram!!"
Masih dalam posisi membelakangi Eve, Dev menolehkan kepalanya. Memasang telinga untuk mendengar lanjutan ucapan gadis itu.
"Kalau kau ingin menangkap Dion, bawa ikut bersamamu!!" pinta Eve dengan tatapan memelas.
Dev menjawab dengan gelengan kepala. "Tidak perlu. Kau hanya perlu diam disini. Menjadi umpan untuk menarik Yongkie. Itu saja."
"Tapi Bram--"
"Kau tidak usah khawatir. Setelah Yongkie berhasil kutangkap, kau akan kulepaskan. Dan soal keamanan panti, aku tinggal mengerahkan anak buahku untuk berpatroli."
Eve menggeleng kuat. "Tidak! Tolong biarkan aku ikut, Bram! Aku ingin menangkapnya!!"
Perempuan itu lantas semakin memberontak. Kali ini dia bersikeras menggoyang-goyangkan kursi agar ikatan di tangan dan kakinya bisa lepas.
BRAK! BRAK!
Dev yang melihat reaksi Eve tentu saja tidak tinggal diam. Maka tanpa perlu peringatan, Dev segera menahan tubuh Eve dalam kungkungan tubuhnya. Mengunci dua tangan dan kaki Eve dengan cengkraman tangan dan hujaman kakinya yang kokoh. Membuat posisi tubuh mereka sangat intim.
"Lepasin aku, Bram! Lepaaas!!"
Namun bukannya tenang, Eve malah semakin berteriak. Mengerang kesakitan saat Dev menambah kekuatan hujaman tangan dan kakinya.
Maka satu-satunya jalan cepat untuk membungkam suara berisik mulut Eve hanya satu. Berupa satu lumatan dua belah bibir yang menyatu, menjelma menjadi sebuah ciuman.
Dev melumat bibir Eve dengan penuh gebu. Tidak ada kelembutan, yang ada hanya perasaan kesal yang tercurah dari lumatan itu. Namun sebisa mungkin Dev berusaha meredam semua teriakan kemarahan dari mulut Eve, menggantinya dengan desahan.
Dirasa Eve sudah terbawa permainan bibir mereka, Dev langsung mengambil tindakan. Menggerakkan satu tangannya dengan cepat untuk menancapkan obat penghilang kesadaran tepat dileher Eve. Dev pun akhirnya berhasil membuat Eve tidak sadarkan diri lagi.
Pria itu lantas menjauhkan diri dari tubuh Eve. Mengelap bibirnya dengan punggung tangan dengan keras dan berulang kali. Seolah habis mencium sesuatu yang menjijikan.
"Dasar perempuan merepotkan!"
**
To be continued.Entah sudah berapa jam Eve tidak sadarkan diri. Karena di detik saat ia membuka mata, Eve merasakan sinar matahari menerpa wajahnya. Mungkin saja Eve pingsan semalaman, atau bahkan sudah terlewat beberapa hari. Siapa yang tahu? Karena bisa saja obat bius yang disuntikkan padanya itu memiliki efek yang cukup lama. Dan benar saja. Ketika Eve menoleh kesamping, dia melihat jam digital berkedip yang terletak diatas nakas. Ada tanggal yang tertera disana. Tanggal tiga belas. Itu artinya Eve sudah pingsan hampir dua hari. Di waktu itu pula, Eve baru menyadari ada satu keanehan. Bukankah dua hari lalu Eve dibawa oleh Dev, disekap dan didudukkan di ruangan serba putih? Tapi sekarang ... Eve malah berada dalam posisi tidur di atas ranjang. Tapi tetap, ruangan disini serba putih. Dan hanya ada dia sendiri, ranjang, dan nakas. Itu saja. Hendak turun dari ranjang itu, mendadak satu ingatan muncul di benak Eve. Itu bayangan tentang mimpinya semalam. Mimpi itu cuku
Ternyata memang benar yang dikatakan mereka. Penjagaan di gedung itu sedang diperlemah. Eve merasakan kalau CCTV di sepanjang lorong di lantai tempat ruangan Eve berada itu tidak aktif. Karena kalau memang aktif, sudah dari tadi para penjaga memergoki Eve. Atau mungkin bisa saja para penjaga CCTV juga bersekongkol dengan para agen untuk mengabaikan penjagaan. Eve masih belum bisa memastikan itu, dan memilih untuk tidak peduli. Dari pada memikirkan semua itu, Eve lebih baik mencari cara agar bisa keluar dari sini. Sambil menunggu dua pria itu keluar dari toilet. "Eh bentar deh. Kayaknya tadi pintu ini nggak nutup deh! Apa ada orang? Tapi kok aku nggak denger langkah orang masuk, ya?" heran salah seorang pria itu seraya mengetuk-ngetuk pelan bilik yang ditempati Eve bersembunyi. "Hallo???" 'Cklek cklek!' Satu pria lainnya kemudian mencoba membuka pintu bilik itu. "Dikunci dari dalam. Berarti memang ada orang. Tapi kok sepi ya?" Merasa curiga, du
Mustahil bagi Eve untuk kabur saat ini. Tapi dia pantang menyerah. Sebisa mungkin Eve menyeret satu kakinya yang terluka itu, berjalan lambat dan terseok-seok. Mencoba peruntungannya, Eve mencoba untuk nekat. Berencana kabur dengan menjatuhkan dirinya pada tenda atap yang kebetulan berada di bawah gedung yang dipijaknya. Mungkin agak beresiko, tapi itu adalah cara yang paling cepat untuk menghindar dari Dev saat ini, mengingat kondisi kakinya tidak begitu memungkinkan untuk turun melalui tangga atau melompat. Tapi Eve kalah cepat. Dev sudah lebih dahulu menarik bagian belakang pakaian Eve. Dan menghempaskan kembali tubuh perempuan itu hingga kembali ke posisi semula. "Berhentilah melawan dan menyusahkanku, Eve! Atau aku tidak akan segan lagi padamu!" hardik Dev. Bola mata Eve seketika mengabur. Masih dalam posisi tengkurapnya. Menangis, antara menahan rasa sakit dari kaki, dan marah karena ucapan Dev barusan. "Kalau kamu tidak ingin susah, leb
Tanpa mengucap sepatah kata pamit pun, Eve bergegas pergi, tepat setelah Dev membukakan jalan untuknya. Tapi tentunya Eve tidak bisa lari cepat, karena kakinya yang terluka. Kalau boleh jujur, Eve sebenarnya tidak tega meninggalkan Dev bertarung sendirian. Apalagi teman-teman Dion itu banyak dan bersenjata. Sementara Dev hanya menggunakan satu pisau kecil saja, sisanya dia harus pakai tangan kosong dengan bela dirinya. Dilihat dari manapun, pertarungan ini sangat tidak seimbang. Walaupun Eve tahu kalau Dev itu kuat, tapi kalau menghadapi orang sebanyak itu rasanya ... akan mustahil jika Dev mengalahkan semua sekaligus. Karena jika ada satu orang musuh yang jatuh, maka yang lainnya akan berbondong-bondong menyerang membela temannya. Dan jika teman musuh itu sudah ditumbangkan Dev, pasti teman yang tumbang tadi sudah agak pulih dan melanjutkan untuk melawan Dev. Begitu seterusnya. Sudah dipastikan kalau pertarungan tidak akan ada habisnya."Ohok!!" D
"Ini bukan jalan menuju panti. Kau tidak sedang berusaha membawaku pergi lagi kan?" Eve dan Dev sudah sampai di kota M beberapa menit lalu. Dan kini mereka mengendarai mobil pribadi Dev yang tadinya terparkir manis di dekat kawasan bandara. Dan Eve terkejut, kalau Dev membawa mobilnya ke jalan yang bukan seharusnya. Wajar kalau sekarang Eve merasa sangat khawatir dan curiga kalau Dev membawanya pergi lagi. "BRAM!" Eve kesal sekali diabaikan begini. Dev tidak kunjung menjawab pertanyaannya. Malah fokus terus menyetir. Hingga ... CKIIITTT! Dev mendadak memberhentikan mobil di pinggir jalan. Lalu terdiam. Mengambil dua tiga lembar tissue dan mengusapkan ke mulutnya yang ternyata kembali mengeluarkan darah. Ah, ya. Eve ingat kalau Dev sempat mendapatkan tendangan yang cukup keras tadi di bagian perutnya. Dev pasti sangat kesakitan sekarang. Dan pantas saja Dev tidak banyak bicara. Mungkin dia sedang menahan sakitnya. "B-Bram ... ka
Untuk sementara waktu, Dev akan tetap berada di kota M. Memastikan panti dan juga seluruh wilayah disini aman dari para perampok yang meresahkan warga. Dev mengambil tempat kamar sewa yang dekat dengan panti tempat tinggal Eve, tepat di depan panti. Sementara para agen pengaman mengambil mess di perbatasan kota sebagai tempat berkumpul mereka. Dev sendiri lah yang memimpin mereka secara langsung untuk upaya penjagaan wilayah, dan tentunya sudah mendapatkan izin penuh dari Pak Marco. Apalagi mengingat para perampok itu bukan sembarang penjahat tanpa keahlian. Sudah pasti Pak Marco akan menugaskan Dev dalam misi ini. Tapi tetap saja, Pak Marco menugaskan pendamping bagi Dev. Dan lagi-lagi Budiman yang dikirim oleh beliau. Dev pun tidak begitu mempermasalahkan partnernya siapa, asalkan dia cekatan dan cukup kuat untuk mengimbanginya. Dan sepengetahuan Dev, Budiman cukup memenuhi standarnya. Walau kadang Budiman itu agak ... playboy. Itulah sikap Budiman yang cuk
Dev seharian ini banyak menghabiskan waktu dengan menelusuri wilayah perbatasan dan lahan pembangunan. Namun sayangnya dia sama sekali tidak mendapatkan kejanggalan apapun. Semuanya tampak normal, biasa saja. Tidak ada tanda-tanda perampok maupun pergerakan warga pendemo yang muncul. Tentu mengherankan, mengingat para perampok itu kerap melawan para penegak hukum hingga babak belur. Tapi entah mengapa sekarang ini mereka sama sekali tidak muncul dan melakukan gerakan perlawanan. Padahal Dev sengaja mengirim pasukan pengaman yang kuat untuk berjaga disini dan bertempur jika sewaktu-waktu mereka akan datang menganggu warga dan berusaha merampok lagi. Malah sekarang mereka menghilang. Bahkan para pengamen alias teman-teman Dion yang kadang mangkal di tempat mereka pun sama sekali tidak nampak batang hidungnya. Benar-benar seperti lenyap entah kemana. Dan tentunya itu makin memperkuat dugaan kalau para perampok itu adalah orang-orang yang sama dengan kelompok pengebom.
"Saya tidak tahu menahu soal itu. Karena yang terpenting, saya sudah bekerja sesuai prosedur," ungkap Pak Direktur yang kemudian memasang wajah dibuat polos, seolah meyakinkan Dev kalau dia memang tidak tahu apa-apa. "Lagipula, mengapa Pak Bram malah membahas para penduduk itu? Bukankah itu urusan mereka mau pindah kemana?" Dev terkekeh. "Memang benar kalau mustinya saya tidak perlu khawatir dengan para penduduk yang digusur itu, karena mereka sudah mendapat uang ganti rugi. Saya hanya terganggu dengan para penduduk yang awalnya berontak dan berdemo menyuarakan kalau tanah mereka diambil paksa, lalu mereka menghilang begitu saja."Pak Direktur itu menggeleng, dengan sorot mata yang perlahan mulai berubah serius. "Kami tidak pernah mengambil paksa, Pak. Mereka tidak punya surat tanah sebagai bukti kepemilikan tanah tempat mereka tinggal, jadi tidak heran kalau mereka harus dipindahkan. Jadi tolong Pak Bram jangan berasumsi macam-macam," tegasnya kemudian. "Bera
Eve memang sering dengar Dev menyinggung soal atasannya, tapi Eve tidak pernah menyangka kalau atasan Dev itu adalah seorang pria tua yang sangat mirip dengan wajah Ayahnya. Dan tidak sampai disitu. Tadi Eve juga sempat mendengar perawat perempuan yang menjaga Bianca di bilik sebelah itu juga memanggil nama 'Pak Marco'. Yang mana nama itu juga nama yang sama dengan nama mendiang ayahnya. Kalau ini adalah kebetulan, jelas ini kebetulan yang keterlaluan. Tidak pernah Eve menemui kasus wajah dan nama orang yang sama persis. Tidak ada. Pun ada yang pernah bilang kalau manusia itu punya tujuh kembaran berbeda dan tersebar di muka bumi, tetap saja ini terlalu mirip! Tidak pernah ada wajah dan nama yang sama. Terkecuali kalau memang dia ... adalah orang yang sama. Tapi ... 'Nggak mungkin nenek bohong sama aku. Jelas-jelas nenek bilang kalau Ayah dan Ibu meninggal setelah kecelakaan itu. Hanya aku yang selamat. Lagipula untuk apa juga nenek menyembunyikan kalau misal ayah masih hidup?' "
Sesuai dugaan Eve. Ada agen pengkhianat yang masih tersebar di beberapa tempat di markas. Ada saja yang ingin menjatuhkan Devlin maupun Pak Marco. "Dari situlah kemudian aku coba mengikuti para pengkhianat itu, Bram. Aku masuk ke mobil mereka. Lalu ketika sampai di kasino, aku benar-benar melihat mereka meletakkan bom koper itu di mobil yang kamu pakai." Dev manggut-manggut mengerti. "Jadi begitu ceritanya kamu pada akhirnya bisa sampai ke kasino ... Kamu benar-benar nekat!" Eve memutar bola matanya. "Bisa tidak kamu hanya bilang 'terimakasih' saja? Bagaimanapun aku sudah menyelamatkan nyawamu dengan mencegahmu masuk ke mobil, lho. Kalau tidak, kamu pasti sudah jadi sapi panggang!" "Cih!" Dev mendecih. "Aku ada niatan untuk tidak ke mobil kok tadi! Kamu saja tadi yang tiba-tiba menghadang saat aku mau menyergap temanmu!" Percuma saja kalau menyuruh Dev minta maaf. Gengsinya selangit nirwana, mana sudi dia mau bilang begitu? Apalagi kali ini yang menolong si Eve. Perempuan. "Nah
Jet Mini didatangkan langsung dari markas pusat. Mendarat di titik lokasi tersembunyi di salah satu resort yang ada di pulau itu. Penjagaan sekitar resort dikerahkan, demi menjaga keamanan pendaratan Jet Mini tersebut. Seluruh resort juga sampai dikosongkan dari pengunjung, dan kini hanya diisi oleh satuan keamanan yang bertugas untuk mengawal pemimpin agen rahasia utama mereka--Pak Marco. "Kalian ini terlalu berlebihan deh ... Saya sungguh nggak apa, lho!" Sudah berapa kali Pak Marco bicara begitu. Beliau bilang tidak kenapa-kenapa, tapi sekujur tubuhnya kini tengah mengalami luka-luka dan sedang dalam penanganan berjalan di dalam Jet Mini. Kondisi Pak Marco memang harus segera ditangani, jadi tim ahli medis dikerahkan untuk melakukan penanganan medis langsung, sembari Jet Mini itu terbang memulangkan kembali Pak Marco ke markas pusat di pulau JW. Tidak perlu khawatir dengan kemampuan tenaga medis dan peralatannya, karena memang Jet Mini itu
Bukan hanya menghadang. Eve juga menahan perempuan berambut perak yang masih berusaha untuk melepaskan diri dari borgol itu. Mengambil cepat borgol Dev yang lainnya dan memakaikannya di dua pergelangan kaki si perempuan rambut perak. Gerakan yang begitu cepat, sehingga Dev sendiri sampai agak tertegun melihat bagaimana Eve meringkus perempuan rambut perak itu. Padahal mulanya Dev pikir Eve hendak menyelamatkan si rambut perak. Tapi tidak menyangka kalau Eve ternyata justru membekuk rambut perak. Itu artinya Eve masih ada di pihak Dev. Tapi yang menjadi tanda tanya sekarang, mengapa Eve menyerang Dev juga? "Eve, kau--" "Jangan menyerang temanku! Dan sebaiknya kau menjauh!" DEG! "Apa?? Jadi dia rekanmu??" "Pergi!" Dev benar-benar bingung sekarang. Tidak disangka Eve adalah teman si rambut perak. Mengejutkan, tapi dari ucapan Eve dan bagaimana Eve melindungi Dev agar menjauh dari si rambut perak, besar kemungkinan kalau Ev
Meja nomor tujuh. Senjata M. Dua informasi bagus yang sangat penting. Dengan begini terbukti sudah dugaan Pak Marco, kalau memang benar ada transaksi senjata gelap disini. Senjata-senjata tipe M, semestinya orang-orang seperti mereka tidak diperuntukkan untuk menjual belikannya. Karena itu senjata militer yang cukup vital dan bisa dibilang berbahaya jika orang awam dan tidak cukup pengalaman menggunakannya. Ada dua tipe senjata di dunia ini. W dan M. Keduanya sama-sama tidak boleh diperjual belikan, apapun alasannya. Karena memang senjata apapun tidak boleh dijual bebas dan serta merta dari kalangan apapun terkecuali pihak militer atau pihak yang berkaitan dengan penegak hukum. W tidak sebegitu bahaya dibanding M. Dan untuk katagori bom rakitan yang dibuat Yongkie dkk itu juga masuk katagori M yang berbahaya. Penggolongan ini berdasarkan tingkat bahayanya. Biasanya ada pihak tertentu yang mengelompokkan senjata-senjata temuan yang dipakai penja
Ternyata memang tidak mudah menemukan peluang waktu agar Dev bisa belajar ilmu kanuragan. Baru saja pria itu akan belajar selagi punya jeda waktu. Tapi memang sepertinya hal itu ditunda dulu sampai misi penyelidikan kali ini selesai. Bagaimanapun, Dev harus menjadi bertambah kuat. Musuh yang ia hadapi bukan yang serta merta bisa dikalahkan dengan serangan fisik biasa. Tapi membutuhkan 'tenaga lebih' untuk bisa mendongkrak pertahanan musuh. Memang sejak dulu, yang namanya penjahat dengan ilmu tenaga dalam menjadi masalah serius yang merepotkan dan tentu tidak bisa dianggap remeh. Dan Yongkie, dia ternyata menggunakan ilmu kuno itu dan membuat Dev menjadi cukup kuwalahan. Sejauh ini Dev tidak pernah kalah dengan siapapun, dan batu dikalahkan dengan orang pemilik ilmu kanuragan. Dan untuk bisa mengalahkan Yongkie, kekuatan fisik yang bagus saja ternyata tidak cukup. Dev butuh kekuatan lebih. Dengan kekuatan fisik yang mumpuni dan ditambah latihan kanuragan, Dev
Pada akhirnya Dev setuju untuk dilatih ilmu kanuragan. Lagipula untuk sementara mereka masih punya waktu sedikit, sebelum bertempur melawan kelompok Yongkie dan mebcari keberadaan Mr. X yang konon dikabarkan berada di pulau BW. "Sebelumnya, saya cukup penasaran. Bagaimana mulanya Anda tahu kalau ada perdagangan persenjataan illegal disini? Dan Mr. X itu ... kita masih belum memastikan apakah Mr. X yang melakukan jual beli senjata illegal itu betulan orang yang sama dengan Mr. X yang menjadi ketua komplotan Yongkie, kan?" Pak Marco terkekeh. "Kamu pikir saya cuma duduk leha-leha di kantor pusat aja, gitu?" candanya. "Saya, meski pemimpin senior, saya juga bertugas diluar. Sama seperti kamu, Dev. Saya memberi perintah pada bawahan, itu bukan karena saya menyerahkan semua pekerjaan pada bawahan. Saya dan kamu, juga semua anggota disini semuanya bekerja dengan satu misi yang sama!" Dev tersenyum takjub. "Oh ... begitu, ya ... Saya kira Bapak memantau di markas aj
"Si nomor sembilan masih belum mengatakan apapun tentang lokasi pabrik itu, ya?" Dev menggeleng. Kembali duduk dengan malas di depan si nomor sembilan. Dev dan si nomor sembilan. Keduanya duduk berhadapan. Di ruang yang remang. Dengan si nomor sembilan yang kini diikat kaki tangannua dan disorot cahaya lampu interogasi. "Sudah kau periksa alat telekomunikasinya?" tanya Pak Marco lagi, sembari berjalan mendekat ke kursi Dev. Dev menjawab. "Alat telekomunikasinya disandi ketat sekali. Aku sudah menghubungi dan mengirimkan sandi itu ke agen cyber di markas. Sampai sekarang masih dalam proses pemecahan sandi." Pak Marco mengangguk. "Baiklah. Sekarang kau ikut denganku sebentar. Tinggalkan saja dia selagi menunggu sandinya terbuka!" Dev menurut saja, mengekori Pak Marco hingga sampai di tempat tujuan. Tepat di salah satu bukit tersembunyi dekat maskas sementara persembunyian mereka. "Saya sempat melihat luka di perutmu itu saat dokt
"Sekarang kita harus pergi kemana, Bram?" Dev yang sedang melihat peta perairan utara pulau JW itu tidak menjawab. Tampak fokus sekali, seperti sedang mencari dan berpikir dengan dalam. Lihat saja, kerutan di keningnya bertambah. Yudi jengkel juga lama-lama kalau pertanyaannya tidak kunjung dijawab. Padahal yang ditanyakannya tadi adalah sesuatu yang penting saat ini. Masa iya mereka kabur tanpa arah? "Jangan bilang kalau kau akan mengarahkan kami ke pulau JW! Itu terlalu jauh, Bram! Kau lihat pacarmu ini harus segera ditolong--" "Aku tahu, bodoh!" Sekarang Christ baru menyahut. "Aku juga sedang mencari pulau terdekat yang aman dari kejaran mereka! Jadi diamlah!" "Bram ..." Salah seorang teman Yudi tiba-tiba saja menyodorkan Dev ponselnya. "Kupikir kau butuh ini untuk menelpon atasanmu. Jam tanganmu rusak, kan? Telpon sekarang untuk meminta bantuan!" Dev menggeleng. "Tidak. Sebaiknya jangan pakai telekomunikasi kalian sekarang. Yongkie