"Jadi bagaimana, hum? Kalau kau setuju, besok kita bisa berangkat."
Dev sedikit mendekat, lalu mencondongkan tubuh kepada Eve yang duduk di hadapannya. Memasang senyum ramah yang Eve yakin kalau itu adalah senyum pencitraan Dev. Sungguh, rasanya Eve ingin melempar gelas minum yang ia genggam ke wajah Dev--kalau seandainya tidak ada Neneknya disitu.
"Aku--"
"Nenek, kuenya sudah jadi!" Tiba-tiba muncul satu anak perempuan remaja membawa baki berisi beberapa kue kering yang sepertinya baru diangkat dari pemanggangan di ruang dapur.
Nenek lantas terkekeh sekilas, lalu hendak bangkit dari duduknya. Lalu meraih baki itu untuk disuguhkan kepada Dev.
"Ini kue buatan nenek. Baru matang. Silahkan dinikmati selagi kalian mengobrol--"
"Sepertinya tidak perlu, Nek." potong Eve cepat. "Alangkah baiknya Pak Fotografer harus cepat pulang sebelum larut malam. Akan sangat bahaya diluar saat malam." Lalu Eve menoleh kepada Dev. "Benar begitu kan, Pak Fotografer?"
NYUT!
Sebelum Dev menyuarakan protesnya, kaki Eve sudah lebih dulu menginjak kaki Dev yang habis diperban itu dengan teramat keras. Perempuan itu betul-betul tanpa ampun!
Bola mata Dev melotot horor kepada Eve. Sedangkan Eve tidak mau kalah. Ia turut melayangkan tatapan tajam, seperti mengisyaratkan kalau sebaiknya Dev menurut.
Tapi tentu saja, dasarnya Dev yang tidak suka diperintah seenaknya begitu, dia pun memberikan balasan berupa tendangan di betis Eve.
DUG!
Tendangan itu sontak membuat Eve menggigit bibirnya menahan sakit. Tak urung juga bola matanya ikut menatap horor pada Dev.
'Rasakan!' geram Dev membatin dan menyeringai puas.
"Benar juga. Ada banyak anak nakal diluar kalau sudah malam hari."
Gumaman Nenek itu kemudian mengalihkan perseteruan kaki Dev dan Eve dibawah meja itu.
"Bagaimana kalau Anda menginap disini saja untuk malam ini?"
"Nenek!!" seru Eve tidak terima. Dia tidak habis pikir kalau neneknya bisa dengan mudah menawarkan bantuan pada orang baru dengan mudahnya.
"Ini sudah malam, Eve. Kau tahu kan kalau disini sangat rawan keamanannya? Pak Fotografer ini sampai rela pergi kemari hanya untuk menawarkan pekerjaan padamu! Seharusnya kau berterimakasih," pungkas sang Nenek tegas.
"Tapi, Nek--"
Dev kemudian menyela. "Terimakasih atas tawaran Nenek. Tapi sepertinya Eve tidak suka kalau saya menginap disini." Ia pun memasang wajah sedih sandiwaranya, yang seketika membangkitkan rasa mual di perut Eve.
"Tidak usah dipikirkan. Keselamatan Anda itu lebih penting." Lalu Nenek itu menoleh pada Eve. "Setelah ini biar Eve yang menunjukkan dan mempersiapkan kamar untuk Anda."
Sebelum Eve kembali melempar kata protes, Nenek itu mengarahkan telunjuknya kearah pintu. Seperti mempertegas kalau perintahnya sudah tidak bisa dinego lagi.
"Ugh!" Eve menggeram seraya mengacak rambutnya frustasi. Lalu berjalan keluar ruang makan dengan tangannya yang ikut serta menarik lengan Dev agar pria itu berjalan mengikutinya.
Dev sendiri merasa cukup terhibur hanya dengan melihat wajah kesal perempuan menyebalkan itu. Hingga tanpa Dev sadari kalau sejak tadi bibirnya tidak henti-hentinya tersenyum lucu menatap Eve.
Eve menarik Dev ke sisi kanan di rumah besar itu. Lalu mereka bermuara di salah satu lorong gelap yang Dev yakini itu bukan lorong menuju kearah kamar atau semacam ruangan.
Sampai bertemu dengan tangga menuju lorong bawah tanah, barulah Dev paham kalau dia bukan ingin dibawa ke suatu tempat di bawah tanah.
Dev sendiri cukup terkejut dengan rumah ini yang ternyata punya banyak sekat rahasia yang tidak terduga. Namun Dev juga tidak begitu heran, mengingat rumah ini sudah berdiri sejak jaman penjajahan. Sudah bisa dipastikan masih ada jejak-jejak ruangan rahasia disini.
"Apa ini pertama kalinya kau melihat lorong bawah tanah?" Tiba-tiba Eve bertanya membuka pembicaraan. Dia sepertinya sadar dengan perubahan wajah Dev yang sedikit takjub saat diajak ke lorong bawah tanah ini.
Jujur, Dev sendiri sudah pernah melihat lorong seperti ini. Tapi ditempat lain.
"Lorong ini mengarah langsung ke jalan besar. Kau bisa pergi ke kota dengan mengikuti arah jalan besar itu. Kalau kau lewat lorong ini, kau akan aman dari para perampok itu," jelas Eve kemudian sembari menunjuk ke satu jalan lubang besar yang gelap di hadapan mereka.
Kemudian Eve meraih satu senter kecil dari selipan sabuk kecil yang melilit di paha bawahnya. Dan melemparkan senter itu kepada Dev dengan tidak sopan.
"Di lorong sangat gelap. Kau akan butuh senter itu. Lurus saja, maka kau temukan jalan keluar," kata Eve seraya menunjuk ke lorong itu.
Dev sedikit termangu dengan sikap Eve. Lagi-lagi ia dibuat heran oleh kerandoman Eve yang sama sekali tidak ia duga.
Dev berpikir kalau Eve bakal setuju untuk pergi bersamanya dengan iming-iming tawaran bayaran menjadi seorang model (walau Dev tahu kalau Eve tidak akan semudah itu percaya). Tapi melihat Eve yang menunjukkan jalan untuk pergi, Dev tahu kalau perempuan itu mengusirnya dengan cara halus. Sekaligus memberi penolakan tawaran itu secara tidak langsung.
Penolakan. Hal yang hampir bahkan tidak pernah sekalipun Dev dapatkan dalam hidupnya. Dan jika Eve memang benar menolaknya dengan cara seperti ini, maka Dev tentu tidak akan menyerah. Karena Dev ... terbiasa untuk mendapatkan segala sesuatu yang diinginkan. Termasuk menyelesaikan misinya secepat mungkin.
"Oh, apa ini artinya kau menolak penawaranku, Eve?" tanya Dev dengan memasang senyum miring. Lalu berjalan mendekat untuk mengikis jarak antara dia dan Eve.
Eve membalikkan badan dengan cepat. "Dari awal memang aku tidak pernah menyetujui tawaranmu. Harusnya kau sudah tahu itu, bukan?" Kemudian tatapan Eve berubah menajam pada Dev. "Tidak peduli berapapun kau membayarku, atau motif apa yang tersembunyi dibalik tawaranmu, aku tidak akan pergi dari sini! Karena aku harus melindungi tempat ini!"
Dev pun membalas gertakan itu dengan kekehan samar. "Lalu bagaimana jika aku memaksamu pergi denganku?"
Ditantang seperti itu tentu tidak akan menggentarkan nyali Eve. Justru perempuan itu semakin mendekat.
"Kalau kau ingin memaksaku pergi denganmu, maka aku tidak segan untuk mendepakmu sekarang juga. Dan aku pastikan untuk memberimu pelajaran berharga, agar kau berhenti ikut campur urusanku!"
Eve mulai bersiap dengan kuda-kudanya. Melayangkan satu tendangan pada Dev, yang langsung ditangkis dengan sigap oleh pria itu.
Tidak seperti Eve yang brutal mencoba menyerang sekuat tenaga, Dev hanya menangkis dan bertahan. Bukan bermaksud meremehkan Eve, tapi Dev sendiri juga agak sulit bergerak karena kakinya masih cidera. Dan bukan juga karena Dev ingin membiarkan Eve menyerangnya. Justru sebaliknya.
Seorang petarung professional tidak perlu menyerang secara membabi buta. Dev hanya akan menunggu satu momen tepat untuk menjatuhkan Eve sesuai rencana yang tersusun di kepalanya.
Dan tepat saat Dev melihat celah untuk melumpuhkan Eve, Dev memanfaatkan kelemahan perempuan itu dengan memberikan satu serangan pada punggungnya yang terluka.
Tanpa ampun Dev dengan cepat mendorong tubuh Eve hingga membentur tembok lorong. Juga mengunci tangan Eve diatas kepalanya. Dua kaki Eve juga ditekan kuat oleh himpitan tubuh Dev.
Eve pun akhirnya berhasil diringkus--walau Dev tidak pernah mengira kalau meringkus seorang perempuan bakal lebih lama dari yang dia kira.
BRUK!
"Aku tidak akan bosa-basi lagi. Sekarang kuharap kau bisa menjawab pertanyaanku dengan jujur."
Dev mengarahkan satu tangannya untuk menunjukkan sesuatu di depan Eve. Yaitu foto Yongkie.
"Katakan dimana dia sekarang. Maka aku akan melepasmu dan tidak akan mengganggumu lagi."
Tidak ketinggalan, Dev juga menyiapkan semacam suntikan penghilang kesadaran yang diarahkan langsung ke kulit leher Eve. Berjaga-jaga saja kalau semisal nanti Eve memberontak.
Eve menyipitkan pandangannya saat mengamati foto Yongkie. Lalu membelalakkan bola matanya saat tahu kalau di foto itu adalah orang dia kenal. Bahkan sangat ia kenal.
"A-Aku tidak tahu siapa dia!!" jawab Eve dengan suara bergetar.
Ketara sekali kalau Eve berbohong. Cara bicaranya saja terbata-bata begitu. Keringat dingin Eve juga mulai keluar dari keningnya.
Dev mengembuskan napasnya dalam-dalam. Dia sudah tahu kalau menginterogasi dengan cara langsung seperti ini tidak akan membuat Eve si kepala batu itu berbicara jujur.
Maka pilihan Dev jatuh kepada rencana awal. Membawa Eve tanpa kekerasan dengan melumpuhkan kesadarannya. Menyuntikkan obat itu ke leher Eve dengan cepat.
**
Pagi itu, Eve terbangun oleh gangguan silau cahaya yang menyoroti wajahnya.Mengingat betapa terangnya cahaya itu, jelas sekali kalau itu bukan cahaya terik dari sinar matahari yang biasa menyapa Eve saat bangun tidur di kamar tidurnya.
Dan benar saja. Saat kelopak mata Eve membuka, ia pun disuguhi oleh pemandangan ruangan serba putih yang sangat asing. Itu sangat menganggu penglihatan Eve yang tidak pernah terbiasa berada ditempat terang. Iris matanya kurang toleran dengan cahaya terang seperti ini.
"Sudah bangun, Eve?"
Sapaan ramah itu yang pertama kali Eve tangkap di telinganya. Bersamaan dengan satu sosok pria yang muncul dari balik pintu.
Walau penglihatannya masih samar, Eve tahu kalau pria yang menyapanya itu adalah orang yang dikenalnya dengan nama Bram, yang tak lain adalah Dev. Dan Eve cukup terkejut, melihat wajah Dev yang berbeda tanpa kumis penyamaran.
Mencoba bangkit, mendadak Eve merasakan tubuhnya seperti tertahan. Dan melihat apa yang menahan pergerakan tubuhnya, makin terkejutlah Eve. Eve baru sadar kalau posisinya sekarang duduk di kursi dalam keadaan tangan dan kakinya yang diikat menempel pada kaki dan lengan kursi.
"Kau ..." Eve menggeram hebat. "Apa-apaan ini? Lepaskan aku sekarang juga!! Sudah kubilang aku tidak kenal pria di foto itu!!"
BRAK!
Dev yang kesal pun tak kuasa menahan diri untuk tidak memukul meja di hadapan Eve.
"Jangan bohong!!" hardik Dev kejam seraya menunjukkan foto Eve dan Yongkie di layar ponsel milik Eve. Bisa dilihat pose dua manusia di foto itu sangat intens. Persis seperti pose sepasang kekasih.
"Kau tidak bisa mengelak lagi, Eve. Jelas kalau kau memiliki hubungan dengan buronan ini! Sekarang katakan, dimana dia!!"
**
To be continued.Tatapan nyalang Eve seketika melemah. Tergantikan oleh kabut nanar. Itu saat Eve melirik lencana kepolisian yang ditunjukkan oleh Dev. Dev memang sengaja menunjukkan lencana itu agar dia terkesan punya wewenang untuk menanyakan keberadaan Yongkie pada Eve. Sebenarnya lencana itu bukan punya Dev. Tapi anggaplah Dev menunjukkan lencana itu untuk kamuflase, menutupi idenditas agen rahasianya. Dan tidak seperti sebelumnya, kali ini Eve hanya terdiam. Tidak juga mengelak, dan tidak pula merengek minta dilepaskan seperti tadi. Barangkali dia masih kaget setelah mengetahui idenditas Dev. Melihat Eve sudah jauh lebih tenang, Dev pun menghelakan napasnya. "Eve, dengar." Suara Dev seketika berubah melembut. "Kalau kau masih bersikeras melindungi kriminal seperti dia, itu sama saja kau membahayakan warga negara kita. Jangan hanya karena mencintainya, kau berusaha melindungi Yongkie. Itu bukan tindakan yang benar." Usai Dev mengatakan itu, kepala
Entah sudah berapa jam Eve tidak sadarkan diri. Karena di detik saat ia membuka mata, Eve merasakan sinar matahari menerpa wajahnya. Mungkin saja Eve pingsan semalaman, atau bahkan sudah terlewat beberapa hari. Siapa yang tahu? Karena bisa saja obat bius yang disuntikkan padanya itu memiliki efek yang cukup lama. Dan benar saja. Ketika Eve menoleh kesamping, dia melihat jam digital berkedip yang terletak diatas nakas. Ada tanggal yang tertera disana. Tanggal tiga belas. Itu artinya Eve sudah pingsan hampir dua hari. Di waktu itu pula, Eve baru menyadari ada satu keanehan. Bukankah dua hari lalu Eve dibawa oleh Dev, disekap dan didudukkan di ruangan serba putih? Tapi sekarang ... Eve malah berada dalam posisi tidur di atas ranjang. Tapi tetap, ruangan disini serba putih. Dan hanya ada dia sendiri, ranjang, dan nakas. Itu saja. Hendak turun dari ranjang itu, mendadak satu ingatan muncul di benak Eve. Itu bayangan tentang mimpinya semalam. Mimpi itu cuku
Ternyata memang benar yang dikatakan mereka. Penjagaan di gedung itu sedang diperlemah. Eve merasakan kalau CCTV di sepanjang lorong di lantai tempat ruangan Eve berada itu tidak aktif. Karena kalau memang aktif, sudah dari tadi para penjaga memergoki Eve. Atau mungkin bisa saja para penjaga CCTV juga bersekongkol dengan para agen untuk mengabaikan penjagaan. Eve masih belum bisa memastikan itu, dan memilih untuk tidak peduli. Dari pada memikirkan semua itu, Eve lebih baik mencari cara agar bisa keluar dari sini. Sambil menunggu dua pria itu keluar dari toilet. "Eh bentar deh. Kayaknya tadi pintu ini nggak nutup deh! Apa ada orang? Tapi kok aku nggak denger langkah orang masuk, ya?" heran salah seorang pria itu seraya mengetuk-ngetuk pelan bilik yang ditempati Eve bersembunyi. "Hallo???" 'Cklek cklek!' Satu pria lainnya kemudian mencoba membuka pintu bilik itu. "Dikunci dari dalam. Berarti memang ada orang. Tapi kok sepi ya?" Merasa curiga, du
Mustahil bagi Eve untuk kabur saat ini. Tapi dia pantang menyerah. Sebisa mungkin Eve menyeret satu kakinya yang terluka itu, berjalan lambat dan terseok-seok. Mencoba peruntungannya, Eve mencoba untuk nekat. Berencana kabur dengan menjatuhkan dirinya pada tenda atap yang kebetulan berada di bawah gedung yang dipijaknya. Mungkin agak beresiko, tapi itu adalah cara yang paling cepat untuk menghindar dari Dev saat ini, mengingat kondisi kakinya tidak begitu memungkinkan untuk turun melalui tangga atau melompat. Tapi Eve kalah cepat. Dev sudah lebih dahulu menarik bagian belakang pakaian Eve. Dan menghempaskan kembali tubuh perempuan itu hingga kembali ke posisi semula. "Berhentilah melawan dan menyusahkanku, Eve! Atau aku tidak akan segan lagi padamu!" hardik Dev. Bola mata Eve seketika mengabur. Masih dalam posisi tengkurapnya. Menangis, antara menahan rasa sakit dari kaki, dan marah karena ucapan Dev barusan. "Kalau kamu tidak ingin susah, leb
Tanpa mengucap sepatah kata pamit pun, Eve bergegas pergi, tepat setelah Dev membukakan jalan untuknya. Tapi tentunya Eve tidak bisa lari cepat, karena kakinya yang terluka. Kalau boleh jujur, Eve sebenarnya tidak tega meninggalkan Dev bertarung sendirian. Apalagi teman-teman Dion itu banyak dan bersenjata. Sementara Dev hanya menggunakan satu pisau kecil saja, sisanya dia harus pakai tangan kosong dengan bela dirinya. Dilihat dari manapun, pertarungan ini sangat tidak seimbang. Walaupun Eve tahu kalau Dev itu kuat, tapi kalau menghadapi orang sebanyak itu rasanya ... akan mustahil jika Dev mengalahkan semua sekaligus. Karena jika ada satu orang musuh yang jatuh, maka yang lainnya akan berbondong-bondong menyerang membela temannya. Dan jika teman musuh itu sudah ditumbangkan Dev, pasti teman yang tumbang tadi sudah agak pulih dan melanjutkan untuk melawan Dev. Begitu seterusnya. Sudah dipastikan kalau pertarungan tidak akan ada habisnya."Ohok!!" D
"Ini bukan jalan menuju panti. Kau tidak sedang berusaha membawaku pergi lagi kan?" Eve dan Dev sudah sampai di kota M beberapa menit lalu. Dan kini mereka mengendarai mobil pribadi Dev yang tadinya terparkir manis di dekat kawasan bandara. Dan Eve terkejut, kalau Dev membawa mobilnya ke jalan yang bukan seharusnya. Wajar kalau sekarang Eve merasa sangat khawatir dan curiga kalau Dev membawanya pergi lagi. "BRAM!" Eve kesal sekali diabaikan begini. Dev tidak kunjung menjawab pertanyaannya. Malah fokus terus menyetir. Hingga ... CKIIITTT! Dev mendadak memberhentikan mobil di pinggir jalan. Lalu terdiam. Mengambil dua tiga lembar tissue dan mengusapkan ke mulutnya yang ternyata kembali mengeluarkan darah. Ah, ya. Eve ingat kalau Dev sempat mendapatkan tendangan yang cukup keras tadi di bagian perutnya. Dev pasti sangat kesakitan sekarang. Dan pantas saja Dev tidak banyak bicara. Mungkin dia sedang menahan sakitnya. "B-Bram ... ka
Untuk sementara waktu, Dev akan tetap berada di kota M. Memastikan panti dan juga seluruh wilayah disini aman dari para perampok yang meresahkan warga. Dev mengambil tempat kamar sewa yang dekat dengan panti tempat tinggal Eve, tepat di depan panti. Sementara para agen pengaman mengambil mess di perbatasan kota sebagai tempat berkumpul mereka. Dev sendiri lah yang memimpin mereka secara langsung untuk upaya penjagaan wilayah, dan tentunya sudah mendapatkan izin penuh dari Pak Marco. Apalagi mengingat para perampok itu bukan sembarang penjahat tanpa keahlian. Sudah pasti Pak Marco akan menugaskan Dev dalam misi ini. Tapi tetap saja, Pak Marco menugaskan pendamping bagi Dev. Dan lagi-lagi Budiman yang dikirim oleh beliau. Dev pun tidak begitu mempermasalahkan partnernya siapa, asalkan dia cekatan dan cukup kuat untuk mengimbanginya. Dan sepengetahuan Dev, Budiman cukup memenuhi standarnya. Walau kadang Budiman itu agak ... playboy. Itulah sikap Budiman yang cuk
Dev seharian ini banyak menghabiskan waktu dengan menelusuri wilayah perbatasan dan lahan pembangunan. Namun sayangnya dia sama sekali tidak mendapatkan kejanggalan apapun. Semuanya tampak normal, biasa saja. Tidak ada tanda-tanda perampok maupun pergerakan warga pendemo yang muncul. Tentu mengherankan, mengingat para perampok itu kerap melawan para penegak hukum hingga babak belur. Tapi entah mengapa sekarang ini mereka sama sekali tidak muncul dan melakukan gerakan perlawanan. Padahal Dev sengaja mengirim pasukan pengaman yang kuat untuk berjaga disini dan bertempur jika sewaktu-waktu mereka akan datang menganggu warga dan berusaha merampok lagi. Malah sekarang mereka menghilang. Bahkan para pengamen alias teman-teman Dion yang kadang mangkal di tempat mereka pun sama sekali tidak nampak batang hidungnya. Benar-benar seperti lenyap entah kemana. Dan tentunya itu makin memperkuat dugaan kalau para perampok itu adalah orang-orang yang sama dengan kelompok pengebom.
Eve memang sering dengar Dev menyinggung soal atasannya, tapi Eve tidak pernah menyangka kalau atasan Dev itu adalah seorang pria tua yang sangat mirip dengan wajah Ayahnya. Dan tidak sampai disitu. Tadi Eve juga sempat mendengar perawat perempuan yang menjaga Bianca di bilik sebelah itu juga memanggil nama 'Pak Marco'. Yang mana nama itu juga nama yang sama dengan nama mendiang ayahnya. Kalau ini adalah kebetulan, jelas ini kebetulan yang keterlaluan. Tidak pernah Eve menemui kasus wajah dan nama orang yang sama persis. Tidak ada. Pun ada yang pernah bilang kalau manusia itu punya tujuh kembaran berbeda dan tersebar di muka bumi, tetap saja ini terlalu mirip! Tidak pernah ada wajah dan nama yang sama. Terkecuali kalau memang dia ... adalah orang yang sama. Tapi ... 'Nggak mungkin nenek bohong sama aku. Jelas-jelas nenek bilang kalau Ayah dan Ibu meninggal setelah kecelakaan itu. Hanya aku yang selamat. Lagipula untuk apa juga nenek menyembunyikan kalau misal ayah masih hidup?' "
Sesuai dugaan Eve. Ada agen pengkhianat yang masih tersebar di beberapa tempat di markas. Ada saja yang ingin menjatuhkan Devlin maupun Pak Marco. "Dari situlah kemudian aku coba mengikuti para pengkhianat itu, Bram. Aku masuk ke mobil mereka. Lalu ketika sampai di kasino, aku benar-benar melihat mereka meletakkan bom koper itu di mobil yang kamu pakai." Dev manggut-manggut mengerti. "Jadi begitu ceritanya kamu pada akhirnya bisa sampai ke kasino ... Kamu benar-benar nekat!" Eve memutar bola matanya. "Bisa tidak kamu hanya bilang 'terimakasih' saja? Bagaimanapun aku sudah menyelamatkan nyawamu dengan mencegahmu masuk ke mobil, lho. Kalau tidak, kamu pasti sudah jadi sapi panggang!" "Cih!" Dev mendecih. "Aku ada niatan untuk tidak ke mobil kok tadi! Kamu saja tadi yang tiba-tiba menghadang saat aku mau menyergap temanmu!" Percuma saja kalau menyuruh Dev minta maaf. Gengsinya selangit nirwana, mana sudi dia mau bilang begitu? Apalagi kali ini yang menolong si Eve. Perempuan. "Nah
Jet Mini didatangkan langsung dari markas pusat. Mendarat di titik lokasi tersembunyi di salah satu resort yang ada di pulau itu. Penjagaan sekitar resort dikerahkan, demi menjaga keamanan pendaratan Jet Mini tersebut. Seluruh resort juga sampai dikosongkan dari pengunjung, dan kini hanya diisi oleh satuan keamanan yang bertugas untuk mengawal pemimpin agen rahasia utama mereka--Pak Marco. "Kalian ini terlalu berlebihan deh ... Saya sungguh nggak apa, lho!" Sudah berapa kali Pak Marco bicara begitu. Beliau bilang tidak kenapa-kenapa, tapi sekujur tubuhnya kini tengah mengalami luka-luka dan sedang dalam penanganan berjalan di dalam Jet Mini. Kondisi Pak Marco memang harus segera ditangani, jadi tim ahli medis dikerahkan untuk melakukan penanganan medis langsung, sembari Jet Mini itu terbang memulangkan kembali Pak Marco ke markas pusat di pulau JW. Tidak perlu khawatir dengan kemampuan tenaga medis dan peralatannya, karena memang Jet Mini itu
Bukan hanya menghadang. Eve juga menahan perempuan berambut perak yang masih berusaha untuk melepaskan diri dari borgol itu. Mengambil cepat borgol Dev yang lainnya dan memakaikannya di dua pergelangan kaki si perempuan rambut perak. Gerakan yang begitu cepat, sehingga Dev sendiri sampai agak tertegun melihat bagaimana Eve meringkus perempuan rambut perak itu. Padahal mulanya Dev pikir Eve hendak menyelamatkan si rambut perak. Tapi tidak menyangka kalau Eve ternyata justru membekuk rambut perak. Itu artinya Eve masih ada di pihak Dev. Tapi yang menjadi tanda tanya sekarang, mengapa Eve menyerang Dev juga? "Eve, kau--" "Jangan menyerang temanku! Dan sebaiknya kau menjauh!" DEG! "Apa?? Jadi dia rekanmu??" "Pergi!" Dev benar-benar bingung sekarang. Tidak disangka Eve adalah teman si rambut perak. Mengejutkan, tapi dari ucapan Eve dan bagaimana Eve melindungi Dev agar menjauh dari si rambut perak, besar kemungkinan kalau Ev
Meja nomor tujuh. Senjata M. Dua informasi bagus yang sangat penting. Dengan begini terbukti sudah dugaan Pak Marco, kalau memang benar ada transaksi senjata gelap disini. Senjata-senjata tipe M, semestinya orang-orang seperti mereka tidak diperuntukkan untuk menjual belikannya. Karena itu senjata militer yang cukup vital dan bisa dibilang berbahaya jika orang awam dan tidak cukup pengalaman menggunakannya. Ada dua tipe senjata di dunia ini. W dan M. Keduanya sama-sama tidak boleh diperjual belikan, apapun alasannya. Karena memang senjata apapun tidak boleh dijual bebas dan serta merta dari kalangan apapun terkecuali pihak militer atau pihak yang berkaitan dengan penegak hukum. W tidak sebegitu bahaya dibanding M. Dan untuk katagori bom rakitan yang dibuat Yongkie dkk itu juga masuk katagori M yang berbahaya. Penggolongan ini berdasarkan tingkat bahayanya. Biasanya ada pihak tertentu yang mengelompokkan senjata-senjata temuan yang dipakai penja
Ternyata memang tidak mudah menemukan peluang waktu agar Dev bisa belajar ilmu kanuragan. Baru saja pria itu akan belajar selagi punya jeda waktu. Tapi memang sepertinya hal itu ditunda dulu sampai misi penyelidikan kali ini selesai. Bagaimanapun, Dev harus menjadi bertambah kuat. Musuh yang ia hadapi bukan yang serta merta bisa dikalahkan dengan serangan fisik biasa. Tapi membutuhkan 'tenaga lebih' untuk bisa mendongkrak pertahanan musuh. Memang sejak dulu, yang namanya penjahat dengan ilmu tenaga dalam menjadi masalah serius yang merepotkan dan tentu tidak bisa dianggap remeh. Dan Yongkie, dia ternyata menggunakan ilmu kuno itu dan membuat Dev menjadi cukup kuwalahan. Sejauh ini Dev tidak pernah kalah dengan siapapun, dan batu dikalahkan dengan orang pemilik ilmu kanuragan. Dan untuk bisa mengalahkan Yongkie, kekuatan fisik yang bagus saja ternyata tidak cukup. Dev butuh kekuatan lebih. Dengan kekuatan fisik yang mumpuni dan ditambah latihan kanuragan, Dev
Pada akhirnya Dev setuju untuk dilatih ilmu kanuragan. Lagipula untuk sementara mereka masih punya waktu sedikit, sebelum bertempur melawan kelompok Yongkie dan mebcari keberadaan Mr. X yang konon dikabarkan berada di pulau BW. "Sebelumnya, saya cukup penasaran. Bagaimana mulanya Anda tahu kalau ada perdagangan persenjataan illegal disini? Dan Mr. X itu ... kita masih belum memastikan apakah Mr. X yang melakukan jual beli senjata illegal itu betulan orang yang sama dengan Mr. X yang menjadi ketua komplotan Yongkie, kan?" Pak Marco terkekeh. "Kamu pikir saya cuma duduk leha-leha di kantor pusat aja, gitu?" candanya. "Saya, meski pemimpin senior, saya juga bertugas diluar. Sama seperti kamu, Dev. Saya memberi perintah pada bawahan, itu bukan karena saya menyerahkan semua pekerjaan pada bawahan. Saya dan kamu, juga semua anggota disini semuanya bekerja dengan satu misi yang sama!" Dev tersenyum takjub. "Oh ... begitu, ya ... Saya kira Bapak memantau di markas aj
"Si nomor sembilan masih belum mengatakan apapun tentang lokasi pabrik itu, ya?" Dev menggeleng. Kembali duduk dengan malas di depan si nomor sembilan. Dev dan si nomor sembilan. Keduanya duduk berhadapan. Di ruang yang remang. Dengan si nomor sembilan yang kini diikat kaki tangannua dan disorot cahaya lampu interogasi. "Sudah kau periksa alat telekomunikasinya?" tanya Pak Marco lagi, sembari berjalan mendekat ke kursi Dev. Dev menjawab. "Alat telekomunikasinya disandi ketat sekali. Aku sudah menghubungi dan mengirimkan sandi itu ke agen cyber di markas. Sampai sekarang masih dalam proses pemecahan sandi." Pak Marco mengangguk. "Baiklah. Sekarang kau ikut denganku sebentar. Tinggalkan saja dia selagi menunggu sandinya terbuka!" Dev menurut saja, mengekori Pak Marco hingga sampai di tempat tujuan. Tepat di salah satu bukit tersembunyi dekat maskas sementara persembunyian mereka. "Saya sempat melihat luka di perutmu itu saat dokt
"Sekarang kita harus pergi kemana, Bram?" Dev yang sedang melihat peta perairan utara pulau JW itu tidak menjawab. Tampak fokus sekali, seperti sedang mencari dan berpikir dengan dalam. Lihat saja, kerutan di keningnya bertambah. Yudi jengkel juga lama-lama kalau pertanyaannya tidak kunjung dijawab. Padahal yang ditanyakannya tadi adalah sesuatu yang penting saat ini. Masa iya mereka kabur tanpa arah? "Jangan bilang kalau kau akan mengarahkan kami ke pulau JW! Itu terlalu jauh, Bram! Kau lihat pacarmu ini harus segera ditolong--" "Aku tahu, bodoh!" Sekarang Christ baru menyahut. "Aku juga sedang mencari pulau terdekat yang aman dari kejaran mereka! Jadi diamlah!" "Bram ..." Salah seorang teman Yudi tiba-tiba saja menyodorkan Dev ponselnya. "Kupikir kau butuh ini untuk menelpon atasanmu. Jam tanganmu rusak, kan? Telpon sekarang untuk meminta bantuan!" Dev menggeleng. "Tidak. Sebaiknya jangan pakai telekomunikasi kalian sekarang. Yongkie