Setelah memastikan perempuan itu aman dan sudah kabur, anak-anak itu bergegas melarikan diri dengan cepat. Lari ke segala arah.
Dan sebelum Dev sempat mengejar dan menangkap salah satu diantara mereka, tiba-tiba muncul beberapa warga dan petugas keamanan sekitar. Datang dari pintu utara dan berbondong-bondong membawa alat dapur seadanya.
"Dasar anak-anak berandal! Pergi! Jangan membuat keributan disini!" Itu suara sahutan keributan dari warga saat menghardik anak-anak remaja itu.
Dev yang menyadari kedatangan warga itu pun tak urung juga ikut kabur. Tentunya sebagai agen rahasia yang sedang bertugas, idenditas dan keberadaaannya jangan sampai diketahui warga sipil manapun.
Dengan susah payah, Dev berusaha menyeret kakinya dan melompati pagar selatan. Dan tak lupa pula Dev juga menyempatkan waktu memanggil agen anak buahnya yang bertugas di dekat lokasi itu untuk segera menjemputnya.
Hanya dalam hitungan menit, Anton--anak buah Dev itu datang dengan motor sport miliknya.
"Astaga! Apa yang terjadi pada kaki Kakak?" tanya Anton ketika melihat pakaian Dev yang kotor dan cara berjalan Dev yang agak sedikit pincang.
"Sudah jangan banyak bicara! Sebaiknya kita mengejar pergi ke arah selatan untuk menangkap perempuan itu--"
BLAAAARRRR!
Ucapan Dev terputus saat suara kobaran api tiba-tiba terdengar keras. Asalnya dari dinding sebelah selatan pemakaman. Sepertinya seseorang ada yang dengan sengaja menutup akses jalan tikus di sekitar sana dengan membakar tempat itu.
Entah siapa pelakunya. Bisa jadi anak-anak tadi, atau mungkin pihak lain. Atau mungkin kobaran api itu hanya kecelakaan. Banyak kemungkinan.
Dan dampak kobaran itu tentunya memacu Dev dan rekannya untuk menjauh agar jangan sampai mereka terlalap api.
Dirasa sudah menjauh dan berada di titik aman, Dev pun memutuskan untuk menghubungi petugas pemadam kebakaran.
"Kita harus memadamkan api ini dulu selagi menunggu pemadam kebakaran datang," tegas Dev pada Anton.
Anton menatap bingung Dev. "Tapi bukannya Anda ingin mengejar perempuan itu--"
"Kita memang agen rahasia yang punya misi utama. Tapi bagaimanapun kita juga punya kewajiban melindungi warga sipil dan meredam kekacauan yang ditimbulkan para penjahat. Kita tidak boleh egois," balas Dev seraya melempar senyum dan menepuk bahu Anton.
Terlihat dari ekspresi Anton masih kurang bisa menerima penjelasan Dev. Dan Dev yang cukup peka dengan arti mimik wajah Anton itu kembali memberikan penjelasan.
"Jangan khawatir." Dev lantas menunjukkan sinyal pelacak yang tertera di jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Dari situ Anton paham dan mulai bernapas lega.
"Aku sudah menempelkan chip pelacak pada perempuan itu. Sekarang ayo kita mempersiapkan penyamaran dan bergabung dengan warga untuk memadamkan api," ajak Dev kemudian.
Menanggapi perintah Dev, Anton tanpa sadar menerbitkan senyum kagum. Lalu kepalanya menunduk hormat. "Baik, laksanakan."
Tidak butuh waktu lama setelah para penjinak api itu datang, Dev dan Anton bersiap pergi untuk kembali melakukan pengejaran.
Si jago merah memang sudah ditaklukkan dengan baik dan tidak sampai merembet ke tempat lain, tapi dia berhasil membumihanguskan sebagian besar dinding sebelah selatan. Jejak lubang tikus yang diduga Dev pun juga sepertinya sudah musnah.
Tapi lokasi kebakaran itu juga harus diselidiki. Jadi sebelum pergi memburu keberadaan perempuan itu bersama Anton, Dev sudah memerintahkan kepada agen-agen lain untuk meninjau dan mencari petunjuk di lokasi pemakaman yang terbakar itu.
"Maaf sebelumnya ... Kalau saya boleh menyarankan, apa sebaiknya Kak Dev mengobati kaki kakak? Sepertinya kakak cukup kesakitan ..." ucap Anton seraya melajukan motornya membonceng Devlin.
Dev menggeleng. "Jangan pikirkan kakiku. Yang terpenting kita harus segera mengejar perempuan itu sebelum jauh. Sinyal pelacak ini sayangnya tidak bisa menjangkau kalau jarak sasarannya terlalu jauh. Jadi setidaknya, kita harus tetap menjaga jarak dengan perempuan itu."
Agak sedikit bingung dengan penjelasan Dev, Anton pun mengurangi laju motornya. "Menjaga jarak? Apa itu artinya kakak tidak langsung menangkapnya sekarang?"
Tidak langsung menjawab, Dev terdiam sejenak. Otaknya berputar untuk menemukan satu cara agar misi ini berhasil. Dan saat sebuah ide itu muncul di kepala Dev, seringaiannya pun perlahan terbit.
"Tentu saja aku akan menangkapnya. Namun dengan rencanaku."
**
Tidak salah lagi. Sinyal keberadaan perempuan yang ditunjukkan radar pelacak itu tinggal satu kilometer lagi dari lokasi Dev dan Anton sekarang.Setelah melalui perjalanan panjang menembus kebun jati super luas di daerah selatan, akhirnya mereka sampai di tempat perbatasan kota di pinggir sungai besar. Perbatasan kota P dan M.
Akses terdekat untuk melewati sungai agar bisa pergi ke tempat sasaran itu hanya satu. Jembatan panjang namun lebarnya cukup kecil, hanya bisa dilalui oleh pejalan kaki--sepeda kayuh paling mentok.
Sebenarnya Dev tahu kalau ada jalan utama untuk pergi melewati sungai, tapi jaraknya terlalu jauh dan memutar. Dev tidak ingin sampai membuang waktu dengan melalui jalan itu. Maka ia pun memutuskan untuk lewat jalur sempit ini.
"Kakak tidak apa pergi sendiri? Apa saya perlu ikut?" tanya Anton untuk memastikan keputusan Dev sekali lagi.
Dev mendengus. Senyuman tipisnya menjadi sinyal kalau dia cukup yakin. Sedangkan tatapannya sayu, seperti ingin menenangkan Anton agar jangan khawatir.
"Kau kenal aku, kan? Aku tidak semudah itu dilumpuhkan hanya dengan cidera seperti ini. Hal remeh seperti ini tidak akan menghentikan seorang Dev!" Dev menjejak-jejakkan kakinya dengan jumawa.
"Dan aku yakin, sebentar lagi aku pasti menangkap perempuan itu!" sambung Dev dengan semangat.
Anton tertawa pelan. "Baiklah. Saya mengerti. Tapi Anda harus berhati-hati--"
Seketika Dev mengangkat tangannya dan berbalik. Lalu berlari kecil menuju jembatan itu sembari memberi satu lambaian tangan.
"Bye!"
Kentara sekali kalau Dev sudah enggan menaruh minat sedikitpun untuk mendengar nasehat Anton lebih lama lagi. Bagi Dev, kekhawatiran Anton itu tidak penting. Dev hanya akan fokus pada misinya.
Anton yang melihat sikap Dev hanya bisa mengulum senyum maklum dan mengangguk hormat. Dan Anton sendiri sudah tidak heran dengan sikap Dev yang seperti itu. Dev memang tidak suka bosa-basi dan selalu ingin menuntaskan misi dengan cepat.
Sambil berlari kecil menyeberang sungai, Dev perlahan mengenakan penyamaran serapi mungkin. Menutupi wajah fisiknya dengan kumis palsu dan melepas kacamatanya, lalu mengeluarkan kamera digital dan tanda pengenal pers untuk memperkuat alibi penyamarannya menjadi seorang Bapak-bapak reporter pemburu berita.
Hingga sesampainya di seberang sungai di kota M, Dev kemudian dikejutkan dengan pemandangan konstruksi alat-alat berat disana.
'Apa disini akan dibangun jalan inspeksi?' batin Dev seraya berjalan melewatinya. Dev tidak terlalu memperhatikan itu karena lebih berfokus melihat sinyal keberadaan perempuan itu di jam tangannya.
Memasuki area permukiman yang padat, Dev berinisiatif untuk pergi mengendap-endap melalui lorong dan jalan yang jarang dilalui orang. Meminimalisir masyarakat sipil untuk mengetahui keberadaannya.
TIT! TIT! TIT!
Begitu alat pelacak itu berbunyi kian lantang, tandanya keberadaan perempuan itu sudah dekat.
"Hemph!" Helaan napas remeh disertai seringaian tajam Dev pun muncul saat alat pelacak miliknya memberitahu lokasi perempuan itu ternyata mengarah ke ...
"Panti asuhan??"
Lagi-lagi Dev dibuat bertanya-tanya dengan perempuan ini. Pertama, pemakaman umum. Sekarang, perempuan ini malah bersembunyi di rumah panti asuhan? Yang benar saja!
Dev yang sudah kepalang penasaran itu segera bergerak cepat mendekati panti asuhan itu. Dan untuk memastikan keberadaan perempuan incarannya itu ada disana, Dev sampai berjalan mengendap hingga jendela samping rumah panti itu.
Namun karena terlalu fokus mengintip keadaan dalam rumah panti itu, kewaspadaan Dev sedikit kendor. Dev sampai tidak mawas dengan keberadaan seseorang yang tidak jauh dari sana. Orang itu ternyata mengintai Dev sejak datang tadi. Dan sosok siluet orang itu terlihat mengamati Dev di atas rooftop gedung sebelah panti. Dia bersiap membidikkan Dev.
DUG!
"Hei!!"
Sebelum menyadari bahaya mengancamnya, tiba-tiba Dev merasakan tubuhnya ditarik cepat ke belakang, masuk ke rumah itu melewati pintu dinding rahasia. Akibatnya, bidikan sosok siluet itu pun meleset.
"Hei!! Siapa kau--"
Hendak melawan tarikan itu dengan gerakan karate, Dev sontak terkejut bukan main saat mengetahui siapa yang menarik tubuhnya.
"Ssst! Diam!"
Gadis itu. Perempuan yang diburu Dev itu yang ternyata menariknya kedalam rumah panti. Terlihat gadis itu masih berbusana sama. Tangan perempuan itu berusaha membekap mulut Dev agar tidak bersuara. Sambil sorot matanya memberi isyarat pada Dev untuk duduk meringkuk dan bersembunyi di bawah jendela.
'Tunggu! Ada apa ini? Setelah menyerangku habis-habisan, mengapa perempuan ini sekarang malah menyelamatkan aku? Apa yang dia rencanakan sebenarnya?' batin Dev kebingungan.
"Sial! Kemana orang itu? Hilangnya cepat sekali!" seru pemburu Dev tadi dari arah luar.
"Cari lagi! Dia pasti masih ada di sekitar sini!" Perintah dari pemburu lainnya itu kemudian terdengar lantang.
DRAP DRAP DRAP!
'Siapa mereka! Mengapa mereka memburuku?' Dev membatin penasaran.
Inginnya Dev menengok untuk melihat siapa yang memburunya. Tapi kepala Dev malah ditahan oleh perempuan itu. Mulut Dev juga dibekap kuat.
'Ugh! Beraninya perempuan ini!' geram Dev dalam hati.
"Langkah terdengar menjauh. Sepertinya mereka sudah pergi," gumam gadis itu pelan.
Dirasa sudah aman, Perempuan itu menengok ke arah jendela. Memastikan kalau orang yang mengincar Dev itu sudah pergi.
"Fyuh ..." Gadis itu menghembuskan napas lega sembari perlahan melepaskan Dev dari belenggunya.
Perempuan lantas itu beringsut sedikit menjauh. Menatap lekat-lekat ke manik mata kecoklatan Dev dengan tatapan misteri--tidak tahu apa maksud tatapan itu.
"Ternyata mereka mengincarmu ya? Maaf, aku sempat salah mengira kau bagian dari perampok itu ..."
Dahi Dev menyerngit. Balas menatap perempuan itu. Menampilkan raut wajah tidak mengerti.
"Perampok? Jadi kau mengira aku perampok? Karena itu kau menghajarku?"
Perampok. Dev tidak pernah mendengar kata itu sebelumnya. Dan setelah mendengar kalimat perempuan itu barusan, Dev jadi punya satu kesimpulan.
'Hanya ada satu kesimpulan. Di wilayah ini, kemungkinan besar bukan hanya dihuni oleh satu kelompok penjahat. Melainkan lebih dari satu kelompok. Dan mereka ... saling bermusuhan satu sama lain.' gumam Dev menganalisa dalam pikirannya.
Dan anggota perampok yang dimaksud perempuan itu nyatanya mengincar Dev. Sebenarnya siapa mereka? Bagaimana mereka tahu keberadaan Dev? Dan bagaimana bisa mereka berseteru dengan grup penjahat perempuan ini?
Untuk jawaban semua itu, Dev harus mencari tahu secepat mungkin.
**
To be continued.Sedikit berjalan pincang sambil memegangi punggungnya, perempuan itu memaksakan diri untuk berjalan keluar ruangan. Dia tidak menjawab pertanyaan Dev, namun hanya memberikan gerakan isyarat melalui telunjuknya agar Dev tetap di tempat. Juga seolah memberitahu kalau dia akan segera kembali. Dan entah bagaimana, sikap perempuan misterius itu membuat Dev termangu. Hingga tak lama setelahnya, perempuan itu pun kembali dengan penampilan yang membuat bola mata Dev membulat kaget. Tubuh perempuan itu kini hanya berbalut dress putih selutut. Tidak lagi memakai jaket dan celana putih tadi. Rambut putih bergelombangnya tetap diikat tinggi. Tidak. Tentu bukan itu semua yang membuat Dev kaget. Tapi saat Dev menyadari kalau perempuan ini ... ternyata tidak pakai bra. Siapapun bisa melihat itu karena dress itu bahannya tipis. Astaga! Oke. Dev memang sudah sering melihat perempuan tidak tahu malu di dunia ini. Tapi bukannya tergiur, justru Dev merasa
Perubahan aura perempuan itu seketika dirasakan Dev. Hawa kemarahan yang kuat, bercampur dengan rasa takut. Dev bisa merasakan itu melalui raut ekspresi dari Eve. "Mengapa cecunguk-cecunguk itu ingin mengincar tempat tinggal kalian? Dan bagaimana mungkin kalian tidak melapor pada pihak berwajib?" tanya Dev to the point dan tegas. Eve terlihat mengembuskan napasnya dengan sangat gusar. Seolah ada beban besar mengganjal dadanya yang sulit dikeluarkan begitu saja. "Entahlah." Eve mengangkat bahu, mencoba bersikap santai. Jeda menarik napas, Eve lantas memalingkan wajah kearah Dev dan melanjutkan ucapannya. "Lagipula itu tidak penting buatmu untuk tahu, kan? Orang luar sepertimu seharusnya tidak perlu terlibat jauh dengan masalah kami," tandas Eve dingin. Ucapan dingin itu tanpa sadar menarik satu simpulan senyum di bibir Dev. Karena ini pertama kalinya ada perempuan yang bersikap dingin kepada Dev. "Aku hanya memberikanmu saran ya
"Jadi bagaimana, hum? Kalau kau setuju, besok kita bisa berangkat." Dev sedikit mendekat, lalu mencondongkan tubuh kepada Eve yang duduk di hadapannya. Memasang senyum ramah yang Eve yakin kalau itu adalah senyum pencitraan Dev. Sungguh, rasanya Eve ingin melempar gelas minum yang ia genggam ke wajah Dev--kalau seandainya tidak ada Neneknya disitu. "Aku--" "Nenek, kuenya sudah jadi!" Tiba-tiba muncul satu anak perempuan remaja membawa baki berisi beberapa kue kering yang sepertinya baru diangkat dari pemanggangan di ruang dapur. Nenek lantas terkekeh sekilas, lalu hendak bangkit dari duduknya. Lalu meraih baki itu untuk disuguhkan kepada Dev. "Ini kue buatan nenek. Baru matang. Silahkan dinikmati selagi kalian mengobrol--" "Sepertinya tidak perlu, Nek." potong Eve cepat. "Alangkah baiknya Pak Fotografer harus cepat pulang sebelum larut malam. Akan sangat bahaya diluar saat malam." Lalu Eve menoleh kepada Dev. "Benar begitu kan, Pak Fot
Tatapan nyalang Eve seketika melemah. Tergantikan oleh kabut nanar. Itu saat Eve melirik lencana kepolisian yang ditunjukkan oleh Dev. Dev memang sengaja menunjukkan lencana itu agar dia terkesan punya wewenang untuk menanyakan keberadaan Yongkie pada Eve. Sebenarnya lencana itu bukan punya Dev. Tapi anggaplah Dev menunjukkan lencana itu untuk kamuflase, menutupi idenditas agen rahasianya. Dan tidak seperti sebelumnya, kali ini Eve hanya terdiam. Tidak juga mengelak, dan tidak pula merengek minta dilepaskan seperti tadi. Barangkali dia masih kaget setelah mengetahui idenditas Dev. Melihat Eve sudah jauh lebih tenang, Dev pun menghelakan napasnya. "Eve, dengar." Suara Dev seketika berubah melembut. "Kalau kau masih bersikeras melindungi kriminal seperti dia, itu sama saja kau membahayakan warga negara kita. Jangan hanya karena mencintainya, kau berusaha melindungi Yongkie. Itu bukan tindakan yang benar." Usai Dev mengatakan itu, kepala
Entah sudah berapa jam Eve tidak sadarkan diri. Karena di detik saat ia membuka mata, Eve merasakan sinar matahari menerpa wajahnya. Mungkin saja Eve pingsan semalaman, atau bahkan sudah terlewat beberapa hari. Siapa yang tahu? Karena bisa saja obat bius yang disuntikkan padanya itu memiliki efek yang cukup lama. Dan benar saja. Ketika Eve menoleh kesamping, dia melihat jam digital berkedip yang terletak diatas nakas. Ada tanggal yang tertera disana. Tanggal tiga belas. Itu artinya Eve sudah pingsan hampir dua hari. Di waktu itu pula, Eve baru menyadari ada satu keanehan. Bukankah dua hari lalu Eve dibawa oleh Dev, disekap dan didudukkan di ruangan serba putih? Tapi sekarang ... Eve malah berada dalam posisi tidur di atas ranjang. Tapi tetap, ruangan disini serba putih. Dan hanya ada dia sendiri, ranjang, dan nakas. Itu saja. Hendak turun dari ranjang itu, mendadak satu ingatan muncul di benak Eve. Itu bayangan tentang mimpinya semalam. Mimpi itu cuku
Ternyata memang benar yang dikatakan mereka. Penjagaan di gedung itu sedang diperlemah. Eve merasakan kalau CCTV di sepanjang lorong di lantai tempat ruangan Eve berada itu tidak aktif. Karena kalau memang aktif, sudah dari tadi para penjaga memergoki Eve. Atau mungkin bisa saja para penjaga CCTV juga bersekongkol dengan para agen untuk mengabaikan penjagaan. Eve masih belum bisa memastikan itu, dan memilih untuk tidak peduli. Dari pada memikirkan semua itu, Eve lebih baik mencari cara agar bisa keluar dari sini. Sambil menunggu dua pria itu keluar dari toilet. "Eh bentar deh. Kayaknya tadi pintu ini nggak nutup deh! Apa ada orang? Tapi kok aku nggak denger langkah orang masuk, ya?" heran salah seorang pria itu seraya mengetuk-ngetuk pelan bilik yang ditempati Eve bersembunyi. "Hallo???" 'Cklek cklek!' Satu pria lainnya kemudian mencoba membuka pintu bilik itu. "Dikunci dari dalam. Berarti memang ada orang. Tapi kok sepi ya?" Merasa curiga, du
Mustahil bagi Eve untuk kabur saat ini. Tapi dia pantang menyerah. Sebisa mungkin Eve menyeret satu kakinya yang terluka itu, berjalan lambat dan terseok-seok. Mencoba peruntungannya, Eve mencoba untuk nekat. Berencana kabur dengan menjatuhkan dirinya pada tenda atap yang kebetulan berada di bawah gedung yang dipijaknya. Mungkin agak beresiko, tapi itu adalah cara yang paling cepat untuk menghindar dari Dev saat ini, mengingat kondisi kakinya tidak begitu memungkinkan untuk turun melalui tangga atau melompat. Tapi Eve kalah cepat. Dev sudah lebih dahulu menarik bagian belakang pakaian Eve. Dan menghempaskan kembali tubuh perempuan itu hingga kembali ke posisi semula. "Berhentilah melawan dan menyusahkanku, Eve! Atau aku tidak akan segan lagi padamu!" hardik Dev. Bola mata Eve seketika mengabur. Masih dalam posisi tengkurapnya. Menangis, antara menahan rasa sakit dari kaki, dan marah karena ucapan Dev barusan. "Kalau kamu tidak ingin susah, leb
Tanpa mengucap sepatah kata pamit pun, Eve bergegas pergi, tepat setelah Dev membukakan jalan untuknya. Tapi tentunya Eve tidak bisa lari cepat, karena kakinya yang terluka. Kalau boleh jujur, Eve sebenarnya tidak tega meninggalkan Dev bertarung sendirian. Apalagi teman-teman Dion itu banyak dan bersenjata. Sementara Dev hanya menggunakan satu pisau kecil saja, sisanya dia harus pakai tangan kosong dengan bela dirinya. Dilihat dari manapun, pertarungan ini sangat tidak seimbang. Walaupun Eve tahu kalau Dev itu kuat, tapi kalau menghadapi orang sebanyak itu rasanya ... akan mustahil jika Dev mengalahkan semua sekaligus. Karena jika ada satu orang musuh yang jatuh, maka yang lainnya akan berbondong-bondong menyerang membela temannya. Dan jika teman musuh itu sudah ditumbangkan Dev, pasti teman yang tumbang tadi sudah agak pulih dan melanjutkan untuk melawan Dev. Begitu seterusnya. Sudah dipastikan kalau pertarungan tidak akan ada habisnya."Ohok!!" D
Eve memang sering dengar Dev menyinggung soal atasannya, tapi Eve tidak pernah menyangka kalau atasan Dev itu adalah seorang pria tua yang sangat mirip dengan wajah Ayahnya. Dan tidak sampai disitu. Tadi Eve juga sempat mendengar perawat perempuan yang menjaga Bianca di bilik sebelah itu juga memanggil nama 'Pak Marco'. Yang mana nama itu juga nama yang sama dengan nama mendiang ayahnya. Kalau ini adalah kebetulan, jelas ini kebetulan yang keterlaluan. Tidak pernah Eve menemui kasus wajah dan nama orang yang sama persis. Tidak ada. Pun ada yang pernah bilang kalau manusia itu punya tujuh kembaran berbeda dan tersebar di muka bumi, tetap saja ini terlalu mirip! Tidak pernah ada wajah dan nama yang sama. Terkecuali kalau memang dia ... adalah orang yang sama. Tapi ... 'Nggak mungkin nenek bohong sama aku. Jelas-jelas nenek bilang kalau Ayah dan Ibu meninggal setelah kecelakaan itu. Hanya aku yang selamat. Lagipula untuk apa juga nenek menyembunyikan kalau misal ayah masih hidup?' "
Sesuai dugaan Eve. Ada agen pengkhianat yang masih tersebar di beberapa tempat di markas. Ada saja yang ingin menjatuhkan Devlin maupun Pak Marco. "Dari situlah kemudian aku coba mengikuti para pengkhianat itu, Bram. Aku masuk ke mobil mereka. Lalu ketika sampai di kasino, aku benar-benar melihat mereka meletakkan bom koper itu di mobil yang kamu pakai." Dev manggut-manggut mengerti. "Jadi begitu ceritanya kamu pada akhirnya bisa sampai ke kasino ... Kamu benar-benar nekat!" Eve memutar bola matanya. "Bisa tidak kamu hanya bilang 'terimakasih' saja? Bagaimanapun aku sudah menyelamatkan nyawamu dengan mencegahmu masuk ke mobil, lho. Kalau tidak, kamu pasti sudah jadi sapi panggang!" "Cih!" Dev mendecih. "Aku ada niatan untuk tidak ke mobil kok tadi! Kamu saja tadi yang tiba-tiba menghadang saat aku mau menyergap temanmu!" Percuma saja kalau menyuruh Dev minta maaf. Gengsinya selangit nirwana, mana sudi dia mau bilang begitu? Apalagi kali ini yang menolong si Eve. Perempuan. "Nah
Jet Mini didatangkan langsung dari markas pusat. Mendarat di titik lokasi tersembunyi di salah satu resort yang ada di pulau itu. Penjagaan sekitar resort dikerahkan, demi menjaga keamanan pendaratan Jet Mini tersebut. Seluruh resort juga sampai dikosongkan dari pengunjung, dan kini hanya diisi oleh satuan keamanan yang bertugas untuk mengawal pemimpin agen rahasia utama mereka--Pak Marco. "Kalian ini terlalu berlebihan deh ... Saya sungguh nggak apa, lho!" Sudah berapa kali Pak Marco bicara begitu. Beliau bilang tidak kenapa-kenapa, tapi sekujur tubuhnya kini tengah mengalami luka-luka dan sedang dalam penanganan berjalan di dalam Jet Mini. Kondisi Pak Marco memang harus segera ditangani, jadi tim ahli medis dikerahkan untuk melakukan penanganan medis langsung, sembari Jet Mini itu terbang memulangkan kembali Pak Marco ke markas pusat di pulau JW. Tidak perlu khawatir dengan kemampuan tenaga medis dan peralatannya, karena memang Jet Mini itu
Bukan hanya menghadang. Eve juga menahan perempuan berambut perak yang masih berusaha untuk melepaskan diri dari borgol itu. Mengambil cepat borgol Dev yang lainnya dan memakaikannya di dua pergelangan kaki si perempuan rambut perak. Gerakan yang begitu cepat, sehingga Dev sendiri sampai agak tertegun melihat bagaimana Eve meringkus perempuan rambut perak itu. Padahal mulanya Dev pikir Eve hendak menyelamatkan si rambut perak. Tapi tidak menyangka kalau Eve ternyata justru membekuk rambut perak. Itu artinya Eve masih ada di pihak Dev. Tapi yang menjadi tanda tanya sekarang, mengapa Eve menyerang Dev juga? "Eve, kau--" "Jangan menyerang temanku! Dan sebaiknya kau menjauh!" DEG! "Apa?? Jadi dia rekanmu??" "Pergi!" Dev benar-benar bingung sekarang. Tidak disangka Eve adalah teman si rambut perak. Mengejutkan, tapi dari ucapan Eve dan bagaimana Eve melindungi Dev agar menjauh dari si rambut perak, besar kemungkinan kalau Ev
Meja nomor tujuh. Senjata M. Dua informasi bagus yang sangat penting. Dengan begini terbukti sudah dugaan Pak Marco, kalau memang benar ada transaksi senjata gelap disini. Senjata-senjata tipe M, semestinya orang-orang seperti mereka tidak diperuntukkan untuk menjual belikannya. Karena itu senjata militer yang cukup vital dan bisa dibilang berbahaya jika orang awam dan tidak cukup pengalaman menggunakannya. Ada dua tipe senjata di dunia ini. W dan M. Keduanya sama-sama tidak boleh diperjual belikan, apapun alasannya. Karena memang senjata apapun tidak boleh dijual bebas dan serta merta dari kalangan apapun terkecuali pihak militer atau pihak yang berkaitan dengan penegak hukum. W tidak sebegitu bahaya dibanding M. Dan untuk katagori bom rakitan yang dibuat Yongkie dkk itu juga masuk katagori M yang berbahaya. Penggolongan ini berdasarkan tingkat bahayanya. Biasanya ada pihak tertentu yang mengelompokkan senjata-senjata temuan yang dipakai penja
Ternyata memang tidak mudah menemukan peluang waktu agar Dev bisa belajar ilmu kanuragan. Baru saja pria itu akan belajar selagi punya jeda waktu. Tapi memang sepertinya hal itu ditunda dulu sampai misi penyelidikan kali ini selesai. Bagaimanapun, Dev harus menjadi bertambah kuat. Musuh yang ia hadapi bukan yang serta merta bisa dikalahkan dengan serangan fisik biasa. Tapi membutuhkan 'tenaga lebih' untuk bisa mendongkrak pertahanan musuh. Memang sejak dulu, yang namanya penjahat dengan ilmu tenaga dalam menjadi masalah serius yang merepotkan dan tentu tidak bisa dianggap remeh. Dan Yongkie, dia ternyata menggunakan ilmu kuno itu dan membuat Dev menjadi cukup kuwalahan. Sejauh ini Dev tidak pernah kalah dengan siapapun, dan batu dikalahkan dengan orang pemilik ilmu kanuragan. Dan untuk bisa mengalahkan Yongkie, kekuatan fisik yang bagus saja ternyata tidak cukup. Dev butuh kekuatan lebih. Dengan kekuatan fisik yang mumpuni dan ditambah latihan kanuragan, Dev
Pada akhirnya Dev setuju untuk dilatih ilmu kanuragan. Lagipula untuk sementara mereka masih punya waktu sedikit, sebelum bertempur melawan kelompok Yongkie dan mebcari keberadaan Mr. X yang konon dikabarkan berada di pulau BW. "Sebelumnya, saya cukup penasaran. Bagaimana mulanya Anda tahu kalau ada perdagangan persenjataan illegal disini? Dan Mr. X itu ... kita masih belum memastikan apakah Mr. X yang melakukan jual beli senjata illegal itu betulan orang yang sama dengan Mr. X yang menjadi ketua komplotan Yongkie, kan?" Pak Marco terkekeh. "Kamu pikir saya cuma duduk leha-leha di kantor pusat aja, gitu?" candanya. "Saya, meski pemimpin senior, saya juga bertugas diluar. Sama seperti kamu, Dev. Saya memberi perintah pada bawahan, itu bukan karena saya menyerahkan semua pekerjaan pada bawahan. Saya dan kamu, juga semua anggota disini semuanya bekerja dengan satu misi yang sama!" Dev tersenyum takjub. "Oh ... begitu, ya ... Saya kira Bapak memantau di markas aj
"Si nomor sembilan masih belum mengatakan apapun tentang lokasi pabrik itu, ya?" Dev menggeleng. Kembali duduk dengan malas di depan si nomor sembilan. Dev dan si nomor sembilan. Keduanya duduk berhadapan. Di ruang yang remang. Dengan si nomor sembilan yang kini diikat kaki tangannua dan disorot cahaya lampu interogasi. "Sudah kau periksa alat telekomunikasinya?" tanya Pak Marco lagi, sembari berjalan mendekat ke kursi Dev. Dev menjawab. "Alat telekomunikasinya disandi ketat sekali. Aku sudah menghubungi dan mengirimkan sandi itu ke agen cyber di markas. Sampai sekarang masih dalam proses pemecahan sandi." Pak Marco mengangguk. "Baiklah. Sekarang kau ikut denganku sebentar. Tinggalkan saja dia selagi menunggu sandinya terbuka!" Dev menurut saja, mengekori Pak Marco hingga sampai di tempat tujuan. Tepat di salah satu bukit tersembunyi dekat maskas sementara persembunyian mereka. "Saya sempat melihat luka di perutmu itu saat dokt
"Sekarang kita harus pergi kemana, Bram?" Dev yang sedang melihat peta perairan utara pulau JW itu tidak menjawab. Tampak fokus sekali, seperti sedang mencari dan berpikir dengan dalam. Lihat saja, kerutan di keningnya bertambah. Yudi jengkel juga lama-lama kalau pertanyaannya tidak kunjung dijawab. Padahal yang ditanyakannya tadi adalah sesuatu yang penting saat ini. Masa iya mereka kabur tanpa arah? "Jangan bilang kalau kau akan mengarahkan kami ke pulau JW! Itu terlalu jauh, Bram! Kau lihat pacarmu ini harus segera ditolong--" "Aku tahu, bodoh!" Sekarang Christ baru menyahut. "Aku juga sedang mencari pulau terdekat yang aman dari kejaran mereka! Jadi diamlah!" "Bram ..." Salah seorang teman Yudi tiba-tiba saja menyodorkan Dev ponselnya. "Kupikir kau butuh ini untuk menelpon atasanmu. Jam tanganmu rusak, kan? Telpon sekarang untuk meminta bantuan!" Dev menggeleng. "Tidak. Sebaiknya jangan pakai telekomunikasi kalian sekarang. Yongkie