Menurut perhitungan, bulan Agustus adalah puncak kemarau. Saat di mana akan terjadi perbedaan suhu mencolok di siang dan malam sampai menjelang pagi. Berarti itu masih bulan depan, namun rasanya kok sudah seperti ini. Handy merapatkan jaketnya sambil terus menyusur sepanjang pipa air yang masuk ke rumahnya. Ah! Ketemu! Ini rupanya yang menyebabkan air tiba-tiba mati.
“Gimana Han! Ketemu?” teriak mama Handy dari dapur. Dia sudah mengeluh sejak subuh tadi gara-gara tidak bisa menyiapkan sarapan.
“Gimana Han?” mama Handy mengulang pertanyaannya saat dilihatnya Handy masuk rumah. “Tutup lagi pintunya Han, dingin.”
“Bentar, aku cuma cari lem. Ada sambungan pipa yang terlepas. Kemungkinan justru karena debit air yang terlalu besar. Sebentar aku lem dulu, Ma.” Handy keluar lagi dengan membawa lem dan sambungan pipa.
“Sudah nyala Han!” teriak mama, tepat saat Handy mau bertanya. Dasar emak-emak, batin Handy seraya tersenyum. Hobi teriak.
“Kopimu, Han. Huh pagi-pagi sudah repot gara-gara air,” keluh mama Handy meski masalah sudah teratasi.
“Harusnya bersyukur Ma, kita masih diberi air melimpah. Kampung atas sudah mulai kebingungan cari air lo! Kabarnya sekarang digilir,” komentar Handy, menyudahi keluhan mamanya.
“Iya, iya,” aku mamanya seraya tersenyum.
Sejak papa tiada 2 tahun yang lalu, semua urusan rumah mulai dari selang air, sambungan listrik, bayar semua tagihan, antar jemput adiknya, sampai berangkat ronda malam, Handy yang gantikan. Sungguh mama Handy bersyukur mempunyai anak berbakti macam Handy.
“Sita sudah siap, Ma?” tanya Handy seraya menyeka rambutnya dengan handuk.
“Astaga! Belum mama bangunin!” Mama Handy tergopoh masuk kamar Sita, adik Handy.
“Eh, Sit?” Mama heran melihat Sita sudah duduk di tepi kasurnya.
“Aku udah bangun dari tadi, ma,” Sita berucap dengan bibir bergetar.
Mama bergegas memeriksa dahi, telapak tangan dan kaki Sita.
“Sita kenapa, Ma?” tanya Handy bersandar di pintu kamar Sita.
“Demam. Biar dia istirahat. Kamu berangkat aja.”
“Tidak perlu diperiksakan, Ma?” tanya Handy kuatir.
“Nanti sore aja. Coba pakai turun demam yang ada dulu. Biasa, cuaca belakangan emang mengundang penyakit. Kamu juga harus jaga kesehatan, Han,” tutur mama.
Handy hanya mengangguk.
“Berangkat Ma,” pamit Handy seraya mencium tangan mamanya.
Mama membalas dengan mencium kening Handy. Tersenyum melepas kepergian si sulung untuk mencari nafkah. Seharusnya Handy masih kuliah sekarang. Sebagai mama dia sudah bersikeras mendorong Handy untuk tetap berangkat kuliah selepas SMA. Namun Handy juga sama bersikeras untuk bekerja dulu dan menunda kuliahnya. “Handy akan kuliah dengan uang sendiri, bukan merepotkan mama,” begitu katanya waktu itu. Antara sedih dan terharu, mamanya terpaksa menuruti. “Anak baik,” gumam mama Handy.
“Ma.” Panggilan pelan Sita membuyarkan lamunan mama. Ya, Sita memang sangat memerlukan perhatian. Sita terlahir dengan perkembangan paru-paru yang kurang sempurna. Itu yang membuatnya sering demam atau sesak napas. Namun sejauh ini tidak parah, semua masih bisa teratasi. Harapannya semoga selalu begitu. “Ya, Sit. Mama datang.” Namun sebelum masuk.
“Bu Mar, tunggu!” Mona, tetangga depan rumahnya menghadang dengan gincu yang belum rata benar.
“Dandan belum kelar udah koar-koar aja kamu. Ada apa?” Mama berhenti sejenak.
“Anakmu tu ganteng bet yak! Udah punya pacar belum?” Mona bertanya sambil cengar cengir tidak jelas.
“Lantas kalau belum kamu mau apa? Eling to Mon, udah tua!” kesal mama, segala urusan tidak penting ditanyakan.
“Eh? Belum terlalu tua ah!” Mona membetulkan riasannya.
“Terserah! Aku mau ngurus Sita dulu,” pamit bu Mar, demikian di kampung itu mama Handy dipanggil. Sudah lazim seorang ibu dipanggil dengan nama suami, jadi karena nama ayah Handy itu Sumardi, mamanya dipanggil bu Mar. Membuat orang lupa namanya semula, Rohana. Namun bu Mar, mama Handy sama sekali tidak keberatan. Nama orang tua dan suami sama berharga baginya, dan sebagai orang Jawa, filosofi ‘Njunjung dhuwur, mendhem jero’ selalu dipegangnya.
“Emang Sita kenapa bu Mar?” tanya Mona ingin tahu.
“Demam,” jawab bu Mar singkat seraya beranjak masuk. Sementara dari pagar samping terdengar protes keras Sri.
“Bau apa ini? Gosong! Masakan siapa yang gosong?” keluh Sri seraya bergumam tak jelas.
“Walah! Semurku!” pekik Mona.
“La wong masak kok ditinggal ngerumpi. Kebiasaan! Lama-lama bisa bikin kebakaran tu!” tegur Sri.
“Jangan berlebihan to! Wong ya ndak tiap hari to!” Mona masih berteriak dari dapurnya, membela diri.
“Hampir Mon! Hampir tiap hari! Gimana mau dapat jodoh kalau seperti itu! Ngerumpi aja kerjamu!”
“We la kok malah bicara yang tidak-tidak to yu Sri ini,” Mona masih saja menjawab. Sementara bu Mar, lawan bicara semula sudah disibukkan mengurus Sita, si bungsu.
Handy berkali-kali membetulkan kardus bawaannya. Kardus yang terpaksa dia ambil sendiri karena kantor pusat terlambat mengirim. Beberapa pelanggan sudah mengeluh akibat keterlambatan pesanan mereka, dan mas Agung tentu tak bisa abaikan. Astaga! Nyaris saja! Dengus Handy. Apa-apaan sih cewek ini. Demi apa coba, naik motor jelalatan motong sana motong sini, lantas berhenti mendadak. Sekarang malah menghadang di tengah jalan. “Silakan berbalik lewat jalur selatan!” teriaknya. Terus dia ulang beberapa kali. “Ada apa to mbak?” seorang bapak bertanya dengan nada kesal. Mungkin jika si mbak ini tidak cantik sudah didampratnya habis-habisan. “Maaf pak, ada pohon tumbang yang menutup badan jalan. Silakan lewat jalur Selatan,” jelasnya. Benarkah? Bukannya dia datang satu arah denganku dan bapak itu, pikir Handy. Bahkan tadin
Beberapa kawan melayani customer dengan gelisah, termasuk Handy. Cuaca di luar begitu terik sementara di dalam customer mengular. Sebenarnya wajar saat sabtu seperti ini, di mana kantor justru buka layanan setengah hari. Namun entah kenapa hari ini berasa gerah sekali, meski AC sudah pol. Maya melirik mas Agung, berharap dia tanggap lantas membelikan kami es atau turun membantu melayani. Cuma sepertinya harapan tinggal harapan, mas Agung konsentrasi menyelesaikan laporan bulanan rupanya. Handy tersenyum, geli melihat tampang dan dengusan kawan-kawannya bergantian sementara senyum tetap merekah di bibir. Ini barangkali yang namanya profesionalitas. Handy makin geli melihat Maya melotot saat memergokinya tersenyum. Handy mengirim kode mau bagaimana lagi. Sampai mas Agung berdehem karena mereka tidak menyadari kehadirannya. Terbayang kan, sungguh menyiksa sepanjang bekerja diawasi pimpinan seperti ini. Itu sebabnya karyawan di kantor ini k
Malam semakin larut, namun hujan tak kunjung reda meski sudah turun seharian tanpa jeda. Memang, hujan seperti ini biasa terjadi di puncak kemarau seperti sekarang. Handy beranjak dari jendela, lantas menyeduh kopi pertamanya. Matanya tak mau terpejam meski kantuk sudah menyerang sejak dua jam lalu. Handy kembali duduk dengan secangkir kopi yang diseruputnya beberapa kali. “Siapa dia,” lagi gumamnya. Heran, kenapa aku begitu penasaran, benak Handy. Lantas, andai dia benar bisa bertemu, apa yang mau ditanyakan. “Uhk…uhk…,” Handy tersedak ampas kopi. Lama melamun membuatnya tak menyadari seruputan terakhirnya. Segera ditelannya air putih sebanyak-banyaknya. Apa sensor rasaku sudah rusak demikian parah, batin Handy. Sembari meraih ponsel dan membuka sekenanya. Banyak pesan dibiarkan begitu saja. perhatiannya kini tertuju pada satu pesan dari nomor yang belum dikenalnya
Lebih 20 tahun Handy jatuh dan bangun, dibenturkan pada berbagai keadaan dan terbiasa mencari solusi dalam segala kondisi. Muara dari segala hal, tempat mengadu dan menumpahkan segala beban, siapa lagi kalau bukan mama. Handy menyandarkan tubuhnya di pintu kamar mama. Matanya lurus menatap wajah lelah mama. Usianya yang hampir setengah abad, apalagi kini statusnya sebagai orang tua tunggal. Meski dia dan adiknya sudah beranjak dewasa. Bagaimanapun pasti tetap melelahkan. Ingin rasanya Handy membelai wajah mama atau sekedar bersimpuh di kakinya, namun kuatir justru akan membuat wanita yang sangat dikaguminya ini bangun. Handy masih menatap lama wajah mama sebelum akhirnya berbalik. Handy mengurungkan niatnya, malu pada teguran kata hatinya, rasanya tak pantas merepotkan mama untuk urusan sepele seperti ini. Kasian mama, pikirnya. “Kamu kenapa, Han?” justru mama yang melangkah mendekat. “Duduklah!” Handy pun
Langit begitu hitam, pekat oleh mendung. Petir mulai terdengar bersahutan. Banyak orang terlihat bergegas pulang. Bahkan kentara sekali ketergesaan mereka dengan seringnya klakson berbunyi. Sementara yang masih di rumah, pasti berpikir seribu kali kalau akan keluar dalam suasana begini. Tapi tidak dengan Saski. Cewek manis yang justru merasa mendapat keuntungan dengan dibubarkannya kuliah lebih awal. Tentu, dosen muda macam pak Hendra akan cepat kalah oleh rengekan beberapa mahasiswi di kelasnya yang takut hujan itu. Sementara Saski, dia masih duduk manis di taman kampus. Rutinitas yang biasa dia lakukan di waktu yang sama tiap harinya. Juga rutinitas yang tak biasa dilakukan oleh gadis seusianya, apalagi mahasiswi di kampusnya. Kampus mentereng tempatnya memperdalam ilmu ekonomi ini sarat dengan kaum borju. Meski tidak semua dari golongan mampu macam Saski. Namun rerata mereka tak peduli betapa orang tua berusaha keras membiayai, atau barangkali karena terlanjur terjebak dalam komu
Matahari bersinar indah pagi ini. Setelah semalaman hujan turun sangat deras, seperti menguras persediaan air di langit. Saski masih duduk di ruang tamu kosannya. Tak menghiraukan beberapa teman satu kosan yang melaluinya untuk berangkat ke kampus. Wajahnya masih serius, menekuni ponsel. Meski sesekali matanya melirik jam dinding. “Loh? Belum berangkat juga?” kali ini Rere, tempat sekelasnya yang menegur. “Kupikir aku yang terakhir...”, katanya sambil sibuk memakai sepatu. “Okey, berangkat!” kata Saski, seraya berdiri. “Oya Sas, kamu ingat percetakan tempat kamu nganter aku kemarin?” Rere bertanya sambil menyelesaikan simpulnya yang terakhir. “Ya. Kenapa?” Saski mengangguk seraya memasukkan ponsel dalam tas ranselnya. “Ada mas-mas yang ngebet nanyain k
Sabtu siang itu suasana ruang kuliah yang biasanya sunyi sepi mengingat tidak ada kegiatan perkuliahan, menjadi sedikit riuh. Berbagai usul, protes, kritik, pertanyaan, dan komentar dari teman-teman sekelas terdengar bersahutan. Sidang anggota dewan di senayan sana barangkali kalah seru. Dina sebagai koordinator Kunjungan Kerja Lapangan alias KKL, cukup kewalahan. Dia beberapa kali tampak mengetuk meja dengan spidol yang dipegangnya untuk menenangkan peserta rapat dan memfokuskan kembali ke topik bahasan. Juga beberapa kali menyeka keringat karena gerah.Rudy melirik Saski yang tampak menunduk mengutak atik ponselnya, tak menghiraukan jalannya rapat. Namun ada yang berbeda. Sesekali tertangkap olehnya, Saski menatap kosong ke satu tempat. Sesungguhnya Rudy penasaran apa yang sedang dilakukan atau dirasakan temannya satu ini.Entah bagaimana, akhirnya diputuskan mereka akan berangkat di Kamis pagi dengan tujuan desa seni. Semua sepakat. Dina menghela nafas lega. Akhirny
Handy membolak-balik koran yang baru saja dibelinya dari seorang bocah. Sebenarnya dia tidak terlalu suka membaca, namun melihat wajah bocah itu membuatnya tak tega. Lumayan untuk mengusir bosan. Sabtu sore biasanya laki-laki seusianya asyik mengajak kencan gebetan, tapi Handy malah terjebak di sini. Menunggui adiknya selesai les. Adiknya memang rusuh. Sudah berkali-kali Handy bilang, minta jemput kalau les sudah benar-benar selesai saja. Tapi masih saja seperti ini, lagi-lagi Handy harus menunggu. Sepertinya Sita memang hobi mengerjai kakaknya. Sekitar sepuluh menitan Sita keluar sambil cengar cengir. Handy menyambutnya dengan sebuah jitakan kecil di kepalanya. “Aduh! Ih kakak ni, sakit tau!” Sita pura-pura cemberut. “Jelek ah!” olok Handy. Sita mendekat, lantas melingkarkan tangannya di lengan Handy. “Apalagi? No suap!” Handy sudah hafal k
Rudy masih menekuni raut Saski yang terus menunduk, entah kenapa. Berusaha untuk sabar menunggu demi tidak mengganggu.“Aku harus pergi,” kata Saski tiba-tiba seraya beranjak masuk.“Ke mana?” tanya Rudy, ikut beranjak, mengekor di belakangnya.“Menyusul Rere,” sahut Saski. Tangannya sibuk meraih tas, membuka lemari dan memasukkan beberapa baju ganti.“Kapan?” Rudy bertanya lagi.“Sekarang,” sahut pendek Saski.“Ayo!” ajak Rudy enteng.“Maksudmu? Astaga! Kenapa kamu masuk kamarku?” mata Saski terbelalak, mendapati Rudy di kamarnya.
Handy tersenyum menatap tampang lucu adiknya yang tertidur di sebelahnya. Teringat olehnya bagaimana Sita merecokinya seharian. Meski Sita sering merepotkan dan bawel bukan main, Handy tidak pernah kesal. Justru geli melihatnya seperti itu. Handy tak bisa membayangkan andai nanti mereka sama-sama menikah dan berpisah. Dia pasti akan sangat merindukannya. Astaga! Pemikiran apa ini? Handy dibuat kaget oleh pemikirannya sendiri. “Eh? Ngapain senyum-senyum melihat tampang adikmu? Hayo! Jangan usil! Kasihan dia,” tegur mama tiba-tiba, membuat Handy makin geli. Kemudian memberi kode mamanya untuk diam dengan tampang dibuat selicik mungkin. “Kalian ini! Seharian berantem melulu,” gerutu mama. “Dia yang usil, Ma. Jangan membelanya! Dan jangan bilang Mama tidak tahu!” Handy pura-pura serius.
“Aku pulang!” teriak Sita. Tak ada jawaban. Ke mana semua orang? Apa kebiasaan di rumah ini sudah berubah? dengus Sita seraya menghempaskan bokongnya ke sofa. Pun setelah beberapa saat berselancar di dunia maya, tetap tak ada penyambutan. Gontai Sita masuk ke ruang tengah dan mendapati kakaknya duduk manis di depan televisi. Matanya melek, nyaris tak berkedip malah. Acara apa sih yang membuat kakak mengabaikanku, batin Sita kesal. Padahal jam segini pastilah liputan sore, acara kesukaan kakak sudah usai. Drama korea? Sejak kapan kakak jadi pencinta drakor? Sejauh Sita ingat justru kakaknya ini selalu mengoloknya seperti emak-emak karena menyukai drakor. Tanpa peduli sesungguhnya penyuka drakor hadir dari segala kalangan, termasuk mas dan bapak-bapak. “Tumben. Nonton apa si Kak?” sapa Sita. Namun yang ditanya tak kunjung menjawab. Penasaran Sita maju, lantas melambaikan tangan tepat di depan wajah Handy. “Eh, Sit. Udah pulang? Ga ada salam tiba-tiba nongol aja,” tegur
Menatap air yang mengalir pelan, Saski teramat menikmati. Bahkan semut yang terjebak di atas daun yang hanyut pun tak luput dari pengamatan. Namun dibiarkan saja karena Saski tahu dia tidak akan terluka. Meski kecil semut hewan yang teramat cerdas dan pandai berenang, jadi untuk apa dikuatirkan. Saski sengaja menjauh dari rutinitas dan keramaian. Tubuhnya sesungguhnya tak terlampau lelah, tapi otaknya sangat butuh asupan. Begitupun mata dan hatinya. Sekelompok ikan kecil berwarna-warni yang berenang di tepian memancing kaki Saski turun ke air. Saski merapatkan kedua telapak tangannya dan meraup beberapa. Sekedar mengamati geriknya yang seolah mengajaknya bercanda, lantas kembali dilepas. Saski jenuh dengan semua yang didengar dan dilakukannya. Seminggu lebih berselang, namun serasa baru kemarin. Kejadian jembatan roboh itu masih jadi topik orang berbincang, terutama di kampus Saski. Sementara Rudy pun makin getol merusuhinya. Sengaja memuaskan diri berlama-lama
“Ih! Mas! Berita seperti itu ditonton!” Pekik Sita menyadarkan Handy dari lamunan. “Ha? Berita apa?” Handy menatap bodoh Sita. “Astaga! Jadi cuma mata tok yang di depan TV? Keliatannya duduk serius, eh ternyata. Mana keras bener lagi nyetelnya!” sewot Sita. “Eh tunggu, aku tau kayaknya.” Sita menyipitkan mata, lantas berlagak mondar mandir macam gaya pemain sinetron yang lagi bercakap-cakap. Dan, syut! Satu timpukan kaos kaki telak mengenai wajahnya. “Ih! Mas! Bau tau!” Sita makin berang. “Makanya, tidak usah banyak gaya! Dasar artis kampungan!” cibir Handy. “Eh? Kok? Siapa yang habis pulang kampung mas? Pasti bawa banyak oleh-oleh dong ya,” teriak Mona dari teras rumahnya, seraya berusaha keras melongok ke dalam rumah. Aduh, apa lagi ini. Handy menepuk jidatnya. “Kok ya denger lo orang
Rabu pagi. Sesuai kesepakatan, semua lengkap sudah berkumpul di halaman parkir kampus. Bus wisata yang akan mengantar merekapun sudah siap sejak setengah jam yang lalu. Rudy sudah memenuhi janjinya untuk membantu Dina menyiapkan KKL mereka. Sekedar memenuhi janji, namun tentu tidak bagi Dina. Itu memberinya semacam energi. Sehingga sepagi ini dia bisa berteriak dengan lantang. “Tolong segera naik!” pintanya. Lalu dia meminta teman-temannya segera menempatkan diri, duduk manis di kursi masing-masing untuk memudahkan cek akhir. Setelah duduk, Saski tampak asyik dengan ponselnya, seperti biasa. Meski tidak berencana melakukannya sepanjang hari. Tentu, Saski ingin juga menikmati perjalanan hari ini. Namun sepertinya sebelum berangkat sudah ada yang mulai mengacaukan. Dia hanya memutar bola matanya, saat Rudy tiba-tiba ada di sebelahnya. Lengkap dengan cengirannya. Ni anak akhir-akhir ini jadi genit, batin Saski heran. &nb
Handy membolak-balik koran yang baru saja dibelinya dari seorang bocah. Sebenarnya dia tidak terlalu suka membaca, namun melihat wajah bocah itu membuatnya tak tega. Lumayan untuk mengusir bosan. Sabtu sore biasanya laki-laki seusianya asyik mengajak kencan gebetan, tapi Handy malah terjebak di sini. Menunggui adiknya selesai les. Adiknya memang rusuh. Sudah berkali-kali Handy bilang, minta jemput kalau les sudah benar-benar selesai saja. Tapi masih saja seperti ini, lagi-lagi Handy harus menunggu. Sepertinya Sita memang hobi mengerjai kakaknya. Sekitar sepuluh menitan Sita keluar sambil cengar cengir. Handy menyambutnya dengan sebuah jitakan kecil di kepalanya. “Aduh! Ih kakak ni, sakit tau!” Sita pura-pura cemberut. “Jelek ah!” olok Handy. Sita mendekat, lantas melingkarkan tangannya di lengan Handy. “Apalagi? No suap!” Handy sudah hafal k
Sabtu siang itu suasana ruang kuliah yang biasanya sunyi sepi mengingat tidak ada kegiatan perkuliahan, menjadi sedikit riuh. Berbagai usul, protes, kritik, pertanyaan, dan komentar dari teman-teman sekelas terdengar bersahutan. Sidang anggota dewan di senayan sana barangkali kalah seru. Dina sebagai koordinator Kunjungan Kerja Lapangan alias KKL, cukup kewalahan. Dia beberapa kali tampak mengetuk meja dengan spidol yang dipegangnya untuk menenangkan peserta rapat dan memfokuskan kembali ke topik bahasan. Juga beberapa kali menyeka keringat karena gerah.Rudy melirik Saski yang tampak menunduk mengutak atik ponselnya, tak menghiraukan jalannya rapat. Namun ada yang berbeda. Sesekali tertangkap olehnya, Saski menatap kosong ke satu tempat. Sesungguhnya Rudy penasaran apa yang sedang dilakukan atau dirasakan temannya satu ini.Entah bagaimana, akhirnya diputuskan mereka akan berangkat di Kamis pagi dengan tujuan desa seni. Semua sepakat. Dina menghela nafas lega. Akhirny
Matahari bersinar indah pagi ini. Setelah semalaman hujan turun sangat deras, seperti menguras persediaan air di langit. Saski masih duduk di ruang tamu kosannya. Tak menghiraukan beberapa teman satu kosan yang melaluinya untuk berangkat ke kampus. Wajahnya masih serius, menekuni ponsel. Meski sesekali matanya melirik jam dinding. “Loh? Belum berangkat juga?” kali ini Rere, tempat sekelasnya yang menegur. “Kupikir aku yang terakhir...”, katanya sambil sibuk memakai sepatu. “Okey, berangkat!” kata Saski, seraya berdiri. “Oya Sas, kamu ingat percetakan tempat kamu nganter aku kemarin?” Rere bertanya sambil menyelesaikan simpulnya yang terakhir. “Ya. Kenapa?” Saski mengangguk seraya memasukkan ponsel dalam tas ranselnya. “Ada mas-mas yang ngebet nanyain k