Matahari bersinar indah pagi ini. Setelah semalaman hujan turun sangat deras, seperti menguras persediaan air di langit.
Saski masih duduk di ruang tamu kosannya. Tak menghiraukan beberapa teman satu kosan yang melaluinya untuk berangkat ke kampus. Wajahnya masih serius, menekuni ponsel. Meski sesekali matanya melirik jam dinding.
“Loh? Belum berangkat juga?” kali ini Rere, tempat sekelasnya yang menegur. “Kupikir aku yang terakhir...”, katanya sambil sibuk memakai sepatu.
“Okey, berangkat!” kata Saski, seraya berdiri.
“Oya Sas, kamu ingat percetakan tempat kamu nganter aku kemarin?” Rere bertanya sambil menyelesaikan simpulnya yang terakhir.
“Ya. Kenapa?” Saski mengangguk seraya memasukkan ponsel dalam tas ranselnya.
“Ada mas-mas yang ngebet nanyain k
Sabtu siang itu suasana ruang kuliah yang biasanya sunyi sepi mengingat tidak ada kegiatan perkuliahan, menjadi sedikit riuh. Berbagai usul, protes, kritik, pertanyaan, dan komentar dari teman-teman sekelas terdengar bersahutan. Sidang anggota dewan di senayan sana barangkali kalah seru. Dina sebagai koordinator Kunjungan Kerja Lapangan alias KKL, cukup kewalahan. Dia beberapa kali tampak mengetuk meja dengan spidol yang dipegangnya untuk menenangkan peserta rapat dan memfokuskan kembali ke topik bahasan. Juga beberapa kali menyeka keringat karena gerah.Rudy melirik Saski yang tampak menunduk mengutak atik ponselnya, tak menghiraukan jalannya rapat. Namun ada yang berbeda. Sesekali tertangkap olehnya, Saski menatap kosong ke satu tempat. Sesungguhnya Rudy penasaran apa yang sedang dilakukan atau dirasakan temannya satu ini.Entah bagaimana, akhirnya diputuskan mereka akan berangkat di Kamis pagi dengan tujuan desa seni. Semua sepakat. Dina menghela nafas lega. Akhirny
Handy membolak-balik koran yang baru saja dibelinya dari seorang bocah. Sebenarnya dia tidak terlalu suka membaca, namun melihat wajah bocah itu membuatnya tak tega. Lumayan untuk mengusir bosan. Sabtu sore biasanya laki-laki seusianya asyik mengajak kencan gebetan, tapi Handy malah terjebak di sini. Menunggui adiknya selesai les. Adiknya memang rusuh. Sudah berkali-kali Handy bilang, minta jemput kalau les sudah benar-benar selesai saja. Tapi masih saja seperti ini, lagi-lagi Handy harus menunggu. Sepertinya Sita memang hobi mengerjai kakaknya. Sekitar sepuluh menitan Sita keluar sambil cengar cengir. Handy menyambutnya dengan sebuah jitakan kecil di kepalanya. “Aduh! Ih kakak ni, sakit tau!” Sita pura-pura cemberut. “Jelek ah!” olok Handy. Sita mendekat, lantas melingkarkan tangannya di lengan Handy. “Apalagi? No suap!” Handy sudah hafal k
Rabu pagi. Sesuai kesepakatan, semua lengkap sudah berkumpul di halaman parkir kampus. Bus wisata yang akan mengantar merekapun sudah siap sejak setengah jam yang lalu. Rudy sudah memenuhi janjinya untuk membantu Dina menyiapkan KKL mereka. Sekedar memenuhi janji, namun tentu tidak bagi Dina. Itu memberinya semacam energi. Sehingga sepagi ini dia bisa berteriak dengan lantang. “Tolong segera naik!” pintanya. Lalu dia meminta teman-temannya segera menempatkan diri, duduk manis di kursi masing-masing untuk memudahkan cek akhir. Setelah duduk, Saski tampak asyik dengan ponselnya, seperti biasa. Meski tidak berencana melakukannya sepanjang hari. Tentu, Saski ingin juga menikmati perjalanan hari ini. Namun sepertinya sebelum berangkat sudah ada yang mulai mengacaukan. Dia hanya memutar bola matanya, saat Rudy tiba-tiba ada di sebelahnya. Lengkap dengan cengirannya. Ni anak akhir-akhir ini jadi genit, batin Saski heran. &nb
“Ih! Mas! Berita seperti itu ditonton!” Pekik Sita menyadarkan Handy dari lamunan. “Ha? Berita apa?” Handy menatap bodoh Sita. “Astaga! Jadi cuma mata tok yang di depan TV? Keliatannya duduk serius, eh ternyata. Mana keras bener lagi nyetelnya!” sewot Sita. “Eh tunggu, aku tau kayaknya.” Sita menyipitkan mata, lantas berlagak mondar mandir macam gaya pemain sinetron yang lagi bercakap-cakap. Dan, syut! Satu timpukan kaos kaki telak mengenai wajahnya. “Ih! Mas! Bau tau!” Sita makin berang. “Makanya, tidak usah banyak gaya! Dasar artis kampungan!” cibir Handy. “Eh? Kok? Siapa yang habis pulang kampung mas? Pasti bawa banyak oleh-oleh dong ya,” teriak Mona dari teras rumahnya, seraya berusaha keras melongok ke dalam rumah. Aduh, apa lagi ini. Handy menepuk jidatnya. “Kok ya denger lo orang
Menatap air yang mengalir pelan, Saski teramat menikmati. Bahkan semut yang terjebak di atas daun yang hanyut pun tak luput dari pengamatan. Namun dibiarkan saja karena Saski tahu dia tidak akan terluka. Meski kecil semut hewan yang teramat cerdas dan pandai berenang, jadi untuk apa dikuatirkan. Saski sengaja menjauh dari rutinitas dan keramaian. Tubuhnya sesungguhnya tak terlampau lelah, tapi otaknya sangat butuh asupan. Begitupun mata dan hatinya. Sekelompok ikan kecil berwarna-warni yang berenang di tepian memancing kaki Saski turun ke air. Saski merapatkan kedua telapak tangannya dan meraup beberapa. Sekedar mengamati geriknya yang seolah mengajaknya bercanda, lantas kembali dilepas. Saski jenuh dengan semua yang didengar dan dilakukannya. Seminggu lebih berselang, namun serasa baru kemarin. Kejadian jembatan roboh itu masih jadi topik orang berbincang, terutama di kampus Saski. Sementara Rudy pun makin getol merusuhinya. Sengaja memuaskan diri berlama-lama
“Aku pulang!” teriak Sita. Tak ada jawaban. Ke mana semua orang? Apa kebiasaan di rumah ini sudah berubah? dengus Sita seraya menghempaskan bokongnya ke sofa. Pun setelah beberapa saat berselancar di dunia maya, tetap tak ada penyambutan. Gontai Sita masuk ke ruang tengah dan mendapati kakaknya duduk manis di depan televisi. Matanya melek, nyaris tak berkedip malah. Acara apa sih yang membuat kakak mengabaikanku, batin Sita kesal. Padahal jam segini pastilah liputan sore, acara kesukaan kakak sudah usai. Drama korea? Sejak kapan kakak jadi pencinta drakor? Sejauh Sita ingat justru kakaknya ini selalu mengoloknya seperti emak-emak karena menyukai drakor. Tanpa peduli sesungguhnya penyuka drakor hadir dari segala kalangan, termasuk mas dan bapak-bapak. “Tumben. Nonton apa si Kak?” sapa Sita. Namun yang ditanya tak kunjung menjawab. Penasaran Sita maju, lantas melambaikan tangan tepat di depan wajah Handy. “Eh, Sit. Udah pulang? Ga ada salam tiba-tiba nongol aja,” tegur
Handy tersenyum menatap tampang lucu adiknya yang tertidur di sebelahnya. Teringat olehnya bagaimana Sita merecokinya seharian. Meski Sita sering merepotkan dan bawel bukan main, Handy tidak pernah kesal. Justru geli melihatnya seperti itu. Handy tak bisa membayangkan andai nanti mereka sama-sama menikah dan berpisah. Dia pasti akan sangat merindukannya. Astaga! Pemikiran apa ini? Handy dibuat kaget oleh pemikirannya sendiri. “Eh? Ngapain senyum-senyum melihat tampang adikmu? Hayo! Jangan usil! Kasihan dia,” tegur mama tiba-tiba, membuat Handy makin geli. Kemudian memberi kode mamanya untuk diam dengan tampang dibuat selicik mungkin. “Kalian ini! Seharian berantem melulu,” gerutu mama. “Dia yang usil, Ma. Jangan membelanya! Dan jangan bilang Mama tidak tahu!” Handy pura-pura serius.
Rudy masih menekuni raut Saski yang terus menunduk, entah kenapa. Berusaha untuk sabar menunggu demi tidak mengganggu.“Aku harus pergi,” kata Saski tiba-tiba seraya beranjak masuk.“Ke mana?” tanya Rudy, ikut beranjak, mengekor di belakangnya.“Menyusul Rere,” sahut Saski. Tangannya sibuk meraih tas, membuka lemari dan memasukkan beberapa baju ganti.“Kapan?” Rudy bertanya lagi.“Sekarang,” sahut pendek Saski.“Ayo!” ajak Rudy enteng.“Maksudmu? Astaga! Kenapa kamu masuk kamarku?” mata Saski terbelalak, mendapati Rudy di kamarnya.
Rudy masih menekuni raut Saski yang terus menunduk, entah kenapa. Berusaha untuk sabar menunggu demi tidak mengganggu.“Aku harus pergi,” kata Saski tiba-tiba seraya beranjak masuk.“Ke mana?” tanya Rudy, ikut beranjak, mengekor di belakangnya.“Menyusul Rere,” sahut Saski. Tangannya sibuk meraih tas, membuka lemari dan memasukkan beberapa baju ganti.“Kapan?” Rudy bertanya lagi.“Sekarang,” sahut pendek Saski.“Ayo!” ajak Rudy enteng.“Maksudmu? Astaga! Kenapa kamu masuk kamarku?” mata Saski terbelalak, mendapati Rudy di kamarnya.
Handy tersenyum menatap tampang lucu adiknya yang tertidur di sebelahnya. Teringat olehnya bagaimana Sita merecokinya seharian. Meski Sita sering merepotkan dan bawel bukan main, Handy tidak pernah kesal. Justru geli melihatnya seperti itu. Handy tak bisa membayangkan andai nanti mereka sama-sama menikah dan berpisah. Dia pasti akan sangat merindukannya. Astaga! Pemikiran apa ini? Handy dibuat kaget oleh pemikirannya sendiri. “Eh? Ngapain senyum-senyum melihat tampang adikmu? Hayo! Jangan usil! Kasihan dia,” tegur mama tiba-tiba, membuat Handy makin geli. Kemudian memberi kode mamanya untuk diam dengan tampang dibuat selicik mungkin. “Kalian ini! Seharian berantem melulu,” gerutu mama. “Dia yang usil, Ma. Jangan membelanya! Dan jangan bilang Mama tidak tahu!” Handy pura-pura serius.
“Aku pulang!” teriak Sita. Tak ada jawaban. Ke mana semua orang? Apa kebiasaan di rumah ini sudah berubah? dengus Sita seraya menghempaskan bokongnya ke sofa. Pun setelah beberapa saat berselancar di dunia maya, tetap tak ada penyambutan. Gontai Sita masuk ke ruang tengah dan mendapati kakaknya duduk manis di depan televisi. Matanya melek, nyaris tak berkedip malah. Acara apa sih yang membuat kakak mengabaikanku, batin Sita kesal. Padahal jam segini pastilah liputan sore, acara kesukaan kakak sudah usai. Drama korea? Sejak kapan kakak jadi pencinta drakor? Sejauh Sita ingat justru kakaknya ini selalu mengoloknya seperti emak-emak karena menyukai drakor. Tanpa peduli sesungguhnya penyuka drakor hadir dari segala kalangan, termasuk mas dan bapak-bapak. “Tumben. Nonton apa si Kak?” sapa Sita. Namun yang ditanya tak kunjung menjawab. Penasaran Sita maju, lantas melambaikan tangan tepat di depan wajah Handy. “Eh, Sit. Udah pulang? Ga ada salam tiba-tiba nongol aja,” tegur
Menatap air yang mengalir pelan, Saski teramat menikmati. Bahkan semut yang terjebak di atas daun yang hanyut pun tak luput dari pengamatan. Namun dibiarkan saja karena Saski tahu dia tidak akan terluka. Meski kecil semut hewan yang teramat cerdas dan pandai berenang, jadi untuk apa dikuatirkan. Saski sengaja menjauh dari rutinitas dan keramaian. Tubuhnya sesungguhnya tak terlampau lelah, tapi otaknya sangat butuh asupan. Begitupun mata dan hatinya. Sekelompok ikan kecil berwarna-warni yang berenang di tepian memancing kaki Saski turun ke air. Saski merapatkan kedua telapak tangannya dan meraup beberapa. Sekedar mengamati geriknya yang seolah mengajaknya bercanda, lantas kembali dilepas. Saski jenuh dengan semua yang didengar dan dilakukannya. Seminggu lebih berselang, namun serasa baru kemarin. Kejadian jembatan roboh itu masih jadi topik orang berbincang, terutama di kampus Saski. Sementara Rudy pun makin getol merusuhinya. Sengaja memuaskan diri berlama-lama
“Ih! Mas! Berita seperti itu ditonton!” Pekik Sita menyadarkan Handy dari lamunan. “Ha? Berita apa?” Handy menatap bodoh Sita. “Astaga! Jadi cuma mata tok yang di depan TV? Keliatannya duduk serius, eh ternyata. Mana keras bener lagi nyetelnya!” sewot Sita. “Eh tunggu, aku tau kayaknya.” Sita menyipitkan mata, lantas berlagak mondar mandir macam gaya pemain sinetron yang lagi bercakap-cakap. Dan, syut! Satu timpukan kaos kaki telak mengenai wajahnya. “Ih! Mas! Bau tau!” Sita makin berang. “Makanya, tidak usah banyak gaya! Dasar artis kampungan!” cibir Handy. “Eh? Kok? Siapa yang habis pulang kampung mas? Pasti bawa banyak oleh-oleh dong ya,” teriak Mona dari teras rumahnya, seraya berusaha keras melongok ke dalam rumah. Aduh, apa lagi ini. Handy menepuk jidatnya. “Kok ya denger lo orang
Rabu pagi. Sesuai kesepakatan, semua lengkap sudah berkumpul di halaman parkir kampus. Bus wisata yang akan mengantar merekapun sudah siap sejak setengah jam yang lalu. Rudy sudah memenuhi janjinya untuk membantu Dina menyiapkan KKL mereka. Sekedar memenuhi janji, namun tentu tidak bagi Dina. Itu memberinya semacam energi. Sehingga sepagi ini dia bisa berteriak dengan lantang. “Tolong segera naik!” pintanya. Lalu dia meminta teman-temannya segera menempatkan diri, duduk manis di kursi masing-masing untuk memudahkan cek akhir. Setelah duduk, Saski tampak asyik dengan ponselnya, seperti biasa. Meski tidak berencana melakukannya sepanjang hari. Tentu, Saski ingin juga menikmati perjalanan hari ini. Namun sepertinya sebelum berangkat sudah ada yang mulai mengacaukan. Dia hanya memutar bola matanya, saat Rudy tiba-tiba ada di sebelahnya. Lengkap dengan cengirannya. Ni anak akhir-akhir ini jadi genit, batin Saski heran. &nb
Handy membolak-balik koran yang baru saja dibelinya dari seorang bocah. Sebenarnya dia tidak terlalu suka membaca, namun melihat wajah bocah itu membuatnya tak tega. Lumayan untuk mengusir bosan. Sabtu sore biasanya laki-laki seusianya asyik mengajak kencan gebetan, tapi Handy malah terjebak di sini. Menunggui adiknya selesai les. Adiknya memang rusuh. Sudah berkali-kali Handy bilang, minta jemput kalau les sudah benar-benar selesai saja. Tapi masih saja seperti ini, lagi-lagi Handy harus menunggu. Sepertinya Sita memang hobi mengerjai kakaknya. Sekitar sepuluh menitan Sita keluar sambil cengar cengir. Handy menyambutnya dengan sebuah jitakan kecil di kepalanya. “Aduh! Ih kakak ni, sakit tau!” Sita pura-pura cemberut. “Jelek ah!” olok Handy. Sita mendekat, lantas melingkarkan tangannya di lengan Handy. “Apalagi? No suap!” Handy sudah hafal k
Sabtu siang itu suasana ruang kuliah yang biasanya sunyi sepi mengingat tidak ada kegiatan perkuliahan, menjadi sedikit riuh. Berbagai usul, protes, kritik, pertanyaan, dan komentar dari teman-teman sekelas terdengar bersahutan. Sidang anggota dewan di senayan sana barangkali kalah seru. Dina sebagai koordinator Kunjungan Kerja Lapangan alias KKL, cukup kewalahan. Dia beberapa kali tampak mengetuk meja dengan spidol yang dipegangnya untuk menenangkan peserta rapat dan memfokuskan kembali ke topik bahasan. Juga beberapa kali menyeka keringat karena gerah.Rudy melirik Saski yang tampak menunduk mengutak atik ponselnya, tak menghiraukan jalannya rapat. Namun ada yang berbeda. Sesekali tertangkap olehnya, Saski menatap kosong ke satu tempat. Sesungguhnya Rudy penasaran apa yang sedang dilakukan atau dirasakan temannya satu ini.Entah bagaimana, akhirnya diputuskan mereka akan berangkat di Kamis pagi dengan tujuan desa seni. Semua sepakat. Dina menghela nafas lega. Akhirny
Matahari bersinar indah pagi ini. Setelah semalaman hujan turun sangat deras, seperti menguras persediaan air di langit. Saski masih duduk di ruang tamu kosannya. Tak menghiraukan beberapa teman satu kosan yang melaluinya untuk berangkat ke kampus. Wajahnya masih serius, menekuni ponsel. Meski sesekali matanya melirik jam dinding. “Loh? Belum berangkat juga?” kali ini Rere, tempat sekelasnya yang menegur. “Kupikir aku yang terakhir...”, katanya sambil sibuk memakai sepatu. “Okey, berangkat!” kata Saski, seraya berdiri. “Oya Sas, kamu ingat percetakan tempat kamu nganter aku kemarin?” Rere bertanya sambil menyelesaikan simpulnya yang terakhir. “Ya. Kenapa?” Saski mengangguk seraya memasukkan ponsel dalam tas ranselnya. “Ada mas-mas yang ngebet nanyain k