Handy berkali-kali membetulkan kardus bawaannya. Kardus yang terpaksa dia ambil sendiri karena kantor pusat terlambat mengirim. Beberapa pelanggan sudah mengeluh akibat keterlambatan pesanan mereka, dan mas Agung tentu tak bisa abaikan.
Astaga! Nyaris saja! Dengus Handy. Apa-apaan sih cewek ini. Demi apa coba, naik motor jelalatan motong sana motong sini, lantas berhenti mendadak. Sekarang malah menghadang di tengah jalan.
“Silakan berbalik lewat jalur selatan!” teriaknya. Terus dia ulang beberapa kali.
“Ada apa to mbak?” seorang bapak bertanya dengan nada kesal. Mungkin jika si mbak ini tidak cantik sudah didampratnya habis-habisan.
“Maaf pak, ada pohon tumbang yang menutup badan jalan. Silakan lewat jalur Selatan,” jelasnya.
Benarkah? Bukannya dia datang satu arah denganku dan bapak itu, pikir Handy. Bahkan tadinya malah di belakangku. Bagaimana dia tahu apa yang terjadi di depannya, pikir Handy heran. Ah pasti ada teman atau kerabat mengabari, maklum Handy. Namun tiba-tiba dari gang terdekat dari tempat cewek itu berdiri, sebuah motor nyelonong tanpa bisa diingatkan. Hampir semua memperhatikan ke mana pengendara itu pergi, barangkali penasaran dan menunggu apa yang akan terjadi. Mungkin hanya Handy yang justru memperhatikan gerak gerik cewek ini. Pasalnya cewek ini bertingkah aneh. Dia menunduk, seperti menggumamkan sesuatu. Apa dia ini sinting? Handy mulai berasumsi. Tangannya? Ah! Cewek ini berhitung rupanya. Belum sampai pada hitungan kelima, pengendara itu sudah kembali. Tak secepat saat dia nyelonong tadi. Justru sekarang malah menepi. Saat helmnya dibuka wajah pemuda itu tampak sangat pucat. Aneh!
Seorang pemuda mendekat seraya memberi minum. “Ada apa mas?”
Pemuda itu tidak langsung menjawab. Bahkan berkali-kali menghela napas.
“Andai aku lebih cepat 30 detik saja, sudah pasti mati. Pohon besar di sana tiba-tiba tumbang tepat di depanku.” Pemuda itu kemudian menunjukkan luka menganga di lengannya yang katanya akibat tertimpa satu ranting pohon itu. Sebentar kemudian beberapa orang mengerumuninya, justru untuk memperoleh penjelasan lebih lanjut. Bukan peduli pada luka pemuda itu. Dasar!
Astaga! Handy terperangah. Andai aku lebih cepat 30 detik saja katanya? Mungkinkah itu…mungkinkah dia… . Tapi, eh? Di mana cewek itu? Ke mana perginya? Handy menyusur pelan sepanjang gang yang sekiranya mungkin dilalui cewek itu. Nihil. Sudahlah. Aku harus kembali ke kantor, putus Handy.
“Kamu lewat mana tadi?” Maya langsung menanyainya begitu Handy masuk.
“Jalanlah!” sahut Handy sekenanya.
“Serius! Kamu tidak apa-apa kan?” Maya meneliti tubuh seperti seorang mama yang mendapat anaknya habis main hujan-hujanan.
“Apaan ah!” tepis Handy risih.
“Tapi memang benar sih, andai aku tidak diperingatkan cewek itu, mungkin akupun bernasib sama dengan pemuda tadi. Hiyy… .” Handy ngeri sendiri membayangkan kemungkinan buruk yang bisa menimpanya. Sayangnya tak ada info apapun tentang cewek itu.
“Info cepat menyebar ya,” gumam Handy seraya mengangkat kardusnya masuk. Sebenarnya Handy ikut diuntungkan dengan cepat beredarnya kabar itu. Mas Agung tidak perlu menginterogasinya lebih lanjut. Itu melegakan.
“Eh kamu ngomong apa?” Maya menyelidik.
“Yang mana?”
“Soal cewek tadi.”
“Oh. Jadi begini…ada minum tidak?”
“Halah! Mesti lo!” umpat Maya jengkel.
“Beneran ni, haus. Di luar panas banget. Lagian kamu persis seperti orang-orang tadi,” ucap Handy seraya mengambil botol minum dari tangan Maya.
“Orang-orang yang mana lagi tu!” Maya mulai tidak sabar.
“Iya, orang-orang yang mengerumuni pemuda tadi. Mereka lebih peduli kelanjutan ceritanya daripada menolongnya. Padahal jelas-jelas lengan pemuda itu luka, dalam kayaknya,” cerita Handy terhenti. Handy meneguk habis air minum yang diberikan Maya.
“Kamu sendiri kenapa tidak menolongnya?” balik Maya seraya melotot sebal karena botol minum kosong itu bukannya dibuang malah dikembalikan ke tangan Maya.
“Mana bisa. Udah repot sama bawaan, orang-orang rapat mengerumuninya macam tontonan,” Handy membela diri.
“Yaudah, balik soal cewek tadi. Ngelantur aja!” tukas Maya.
“Orang kamu yang tanya. Aku kan cuma jawab,” Handy nyengir.
“Han-“ Maya mengetukkan kaki tanda sudah benar emosi.
“Hehehe sabar, jadi begini,” Handy memberi kode Maya untuk duduk. Beberapa pengunjung dan teman yang semula konsentrasi pada transaksi masing-masing ikut melirik Handy, tertarik.
“Woi! Belum jam istirahat!” tegur mas Agung.
Handy dan Maya sama nyengir, langsung bubar menuju meja masing-masing. Tatap kecewa juga tampak dari raut pengunjung yang terlanjur penasaran. Handy dan Maya segera memanggil nomor antrian, menyimpan rasa penasaran masing-masing.
“Tutup aja, Han!” kata mas Agung. Memang sudah saatnya tutup, menyisakan 2 customer yang sedang dilayani dan hampir selesai.
“Apa sudah tutup?” tanya seorang bapak mengagetkan Handy yang tengah menutup gerai. Biasa, beberapa customer suka datang saat kantor tutup layanan dan minta diprioritaskan dengan berbagai alasan. Bahkan kadang memaksa. Satu dua Handy masih mau layani. Bukan karena berbaik hati juga sebetulnya, Handy suka ngeri apalagi jika mereka mulai memaki, apalagi emak-emak, takut kualat. Handy mengirim kode memohon ijin untuk melayani bapak satu ini meski mas Agung memberi kode untuk ditutup saja. Masalahnya ini bapak yang tadi sempat ngobrol dengan cewek itu. Handy hafal wajahnya. Dia sungguh berharap bapak ini mempunyai informasi yang dia butuhkan untuk membawanya makin dekat. Apakah Handy mulai terobsesi? Entahlah, yang pasti raut lega tampak benar di wajah bapak itu saat Handy mempersilakannya masuk.
Beberapa kawan melayani customer dengan gelisah, termasuk Handy. Cuaca di luar begitu terik sementara di dalam customer mengular. Sebenarnya wajar saat sabtu seperti ini, di mana kantor justru buka layanan setengah hari. Namun entah kenapa hari ini berasa gerah sekali, meski AC sudah pol. Maya melirik mas Agung, berharap dia tanggap lantas membelikan kami es atau turun membantu melayani. Cuma sepertinya harapan tinggal harapan, mas Agung konsentrasi menyelesaikan laporan bulanan rupanya. Handy tersenyum, geli melihat tampang dan dengusan kawan-kawannya bergantian sementara senyum tetap merekah di bibir. Ini barangkali yang namanya profesionalitas. Handy makin geli melihat Maya melotot saat memergokinya tersenyum. Handy mengirim kode mau bagaimana lagi. Sampai mas Agung berdehem karena mereka tidak menyadari kehadirannya. Terbayang kan, sungguh menyiksa sepanjang bekerja diawasi pimpinan seperti ini. Itu sebabnya karyawan di kantor ini k
Malam semakin larut, namun hujan tak kunjung reda meski sudah turun seharian tanpa jeda. Memang, hujan seperti ini biasa terjadi di puncak kemarau seperti sekarang. Handy beranjak dari jendela, lantas menyeduh kopi pertamanya. Matanya tak mau terpejam meski kantuk sudah menyerang sejak dua jam lalu. Handy kembali duduk dengan secangkir kopi yang diseruputnya beberapa kali. “Siapa dia,” lagi gumamnya. Heran, kenapa aku begitu penasaran, benak Handy. Lantas, andai dia benar bisa bertemu, apa yang mau ditanyakan. “Uhk…uhk…,” Handy tersedak ampas kopi. Lama melamun membuatnya tak menyadari seruputan terakhirnya. Segera ditelannya air putih sebanyak-banyaknya. Apa sensor rasaku sudah rusak demikian parah, batin Handy. Sembari meraih ponsel dan membuka sekenanya. Banyak pesan dibiarkan begitu saja. perhatiannya kini tertuju pada satu pesan dari nomor yang belum dikenalnya
Lebih 20 tahun Handy jatuh dan bangun, dibenturkan pada berbagai keadaan dan terbiasa mencari solusi dalam segala kondisi. Muara dari segala hal, tempat mengadu dan menumpahkan segala beban, siapa lagi kalau bukan mama. Handy menyandarkan tubuhnya di pintu kamar mama. Matanya lurus menatap wajah lelah mama. Usianya yang hampir setengah abad, apalagi kini statusnya sebagai orang tua tunggal. Meski dia dan adiknya sudah beranjak dewasa. Bagaimanapun pasti tetap melelahkan. Ingin rasanya Handy membelai wajah mama atau sekedar bersimpuh di kakinya, namun kuatir justru akan membuat wanita yang sangat dikaguminya ini bangun. Handy masih menatap lama wajah mama sebelum akhirnya berbalik. Handy mengurungkan niatnya, malu pada teguran kata hatinya, rasanya tak pantas merepotkan mama untuk urusan sepele seperti ini. Kasian mama, pikirnya. “Kamu kenapa, Han?” justru mama yang melangkah mendekat. “Duduklah!” Handy pun
Langit begitu hitam, pekat oleh mendung. Petir mulai terdengar bersahutan. Banyak orang terlihat bergegas pulang. Bahkan kentara sekali ketergesaan mereka dengan seringnya klakson berbunyi. Sementara yang masih di rumah, pasti berpikir seribu kali kalau akan keluar dalam suasana begini. Tapi tidak dengan Saski. Cewek manis yang justru merasa mendapat keuntungan dengan dibubarkannya kuliah lebih awal. Tentu, dosen muda macam pak Hendra akan cepat kalah oleh rengekan beberapa mahasiswi di kelasnya yang takut hujan itu. Sementara Saski, dia masih duduk manis di taman kampus. Rutinitas yang biasa dia lakukan di waktu yang sama tiap harinya. Juga rutinitas yang tak biasa dilakukan oleh gadis seusianya, apalagi mahasiswi di kampusnya. Kampus mentereng tempatnya memperdalam ilmu ekonomi ini sarat dengan kaum borju. Meski tidak semua dari golongan mampu macam Saski. Namun rerata mereka tak peduli betapa orang tua berusaha keras membiayai, atau barangkali karena terlanjur terjebak dalam komu
Matahari bersinar indah pagi ini. Setelah semalaman hujan turun sangat deras, seperti menguras persediaan air di langit. Saski masih duduk di ruang tamu kosannya. Tak menghiraukan beberapa teman satu kosan yang melaluinya untuk berangkat ke kampus. Wajahnya masih serius, menekuni ponsel. Meski sesekali matanya melirik jam dinding. “Loh? Belum berangkat juga?” kali ini Rere, tempat sekelasnya yang menegur. “Kupikir aku yang terakhir...”, katanya sambil sibuk memakai sepatu. “Okey, berangkat!” kata Saski, seraya berdiri. “Oya Sas, kamu ingat percetakan tempat kamu nganter aku kemarin?” Rere bertanya sambil menyelesaikan simpulnya yang terakhir. “Ya. Kenapa?” Saski mengangguk seraya memasukkan ponsel dalam tas ranselnya. “Ada mas-mas yang ngebet nanyain k
Sabtu siang itu suasana ruang kuliah yang biasanya sunyi sepi mengingat tidak ada kegiatan perkuliahan, menjadi sedikit riuh. Berbagai usul, protes, kritik, pertanyaan, dan komentar dari teman-teman sekelas terdengar bersahutan. Sidang anggota dewan di senayan sana barangkali kalah seru. Dina sebagai koordinator Kunjungan Kerja Lapangan alias KKL, cukup kewalahan. Dia beberapa kali tampak mengetuk meja dengan spidol yang dipegangnya untuk menenangkan peserta rapat dan memfokuskan kembali ke topik bahasan. Juga beberapa kali menyeka keringat karena gerah.Rudy melirik Saski yang tampak menunduk mengutak atik ponselnya, tak menghiraukan jalannya rapat. Namun ada yang berbeda. Sesekali tertangkap olehnya, Saski menatap kosong ke satu tempat. Sesungguhnya Rudy penasaran apa yang sedang dilakukan atau dirasakan temannya satu ini.Entah bagaimana, akhirnya diputuskan mereka akan berangkat di Kamis pagi dengan tujuan desa seni. Semua sepakat. Dina menghela nafas lega. Akhirny
Handy membolak-balik koran yang baru saja dibelinya dari seorang bocah. Sebenarnya dia tidak terlalu suka membaca, namun melihat wajah bocah itu membuatnya tak tega. Lumayan untuk mengusir bosan. Sabtu sore biasanya laki-laki seusianya asyik mengajak kencan gebetan, tapi Handy malah terjebak di sini. Menunggui adiknya selesai les. Adiknya memang rusuh. Sudah berkali-kali Handy bilang, minta jemput kalau les sudah benar-benar selesai saja. Tapi masih saja seperti ini, lagi-lagi Handy harus menunggu. Sepertinya Sita memang hobi mengerjai kakaknya. Sekitar sepuluh menitan Sita keluar sambil cengar cengir. Handy menyambutnya dengan sebuah jitakan kecil di kepalanya. “Aduh! Ih kakak ni, sakit tau!” Sita pura-pura cemberut. “Jelek ah!” olok Handy. Sita mendekat, lantas melingkarkan tangannya di lengan Handy. “Apalagi? No suap!” Handy sudah hafal k
Rabu pagi. Sesuai kesepakatan, semua lengkap sudah berkumpul di halaman parkir kampus. Bus wisata yang akan mengantar merekapun sudah siap sejak setengah jam yang lalu. Rudy sudah memenuhi janjinya untuk membantu Dina menyiapkan KKL mereka. Sekedar memenuhi janji, namun tentu tidak bagi Dina. Itu memberinya semacam energi. Sehingga sepagi ini dia bisa berteriak dengan lantang. “Tolong segera naik!” pintanya. Lalu dia meminta teman-temannya segera menempatkan diri, duduk manis di kursi masing-masing untuk memudahkan cek akhir. Setelah duduk, Saski tampak asyik dengan ponselnya, seperti biasa. Meski tidak berencana melakukannya sepanjang hari. Tentu, Saski ingin juga menikmati perjalanan hari ini. Namun sepertinya sebelum berangkat sudah ada yang mulai mengacaukan. Dia hanya memutar bola matanya, saat Rudy tiba-tiba ada di sebelahnya. Lengkap dengan cengirannya. Ni anak akhir-akhir ini jadi genit, batin Saski heran. &nb
Rudy masih menekuni raut Saski yang terus menunduk, entah kenapa. Berusaha untuk sabar menunggu demi tidak mengganggu.“Aku harus pergi,” kata Saski tiba-tiba seraya beranjak masuk.“Ke mana?” tanya Rudy, ikut beranjak, mengekor di belakangnya.“Menyusul Rere,” sahut Saski. Tangannya sibuk meraih tas, membuka lemari dan memasukkan beberapa baju ganti.“Kapan?” Rudy bertanya lagi.“Sekarang,” sahut pendek Saski.“Ayo!” ajak Rudy enteng.“Maksudmu? Astaga! Kenapa kamu masuk kamarku?” mata Saski terbelalak, mendapati Rudy di kamarnya.
Handy tersenyum menatap tampang lucu adiknya yang tertidur di sebelahnya. Teringat olehnya bagaimana Sita merecokinya seharian. Meski Sita sering merepotkan dan bawel bukan main, Handy tidak pernah kesal. Justru geli melihatnya seperti itu. Handy tak bisa membayangkan andai nanti mereka sama-sama menikah dan berpisah. Dia pasti akan sangat merindukannya. Astaga! Pemikiran apa ini? Handy dibuat kaget oleh pemikirannya sendiri. “Eh? Ngapain senyum-senyum melihat tampang adikmu? Hayo! Jangan usil! Kasihan dia,” tegur mama tiba-tiba, membuat Handy makin geli. Kemudian memberi kode mamanya untuk diam dengan tampang dibuat selicik mungkin. “Kalian ini! Seharian berantem melulu,” gerutu mama. “Dia yang usil, Ma. Jangan membelanya! Dan jangan bilang Mama tidak tahu!” Handy pura-pura serius.
“Aku pulang!” teriak Sita. Tak ada jawaban. Ke mana semua orang? Apa kebiasaan di rumah ini sudah berubah? dengus Sita seraya menghempaskan bokongnya ke sofa. Pun setelah beberapa saat berselancar di dunia maya, tetap tak ada penyambutan. Gontai Sita masuk ke ruang tengah dan mendapati kakaknya duduk manis di depan televisi. Matanya melek, nyaris tak berkedip malah. Acara apa sih yang membuat kakak mengabaikanku, batin Sita kesal. Padahal jam segini pastilah liputan sore, acara kesukaan kakak sudah usai. Drama korea? Sejak kapan kakak jadi pencinta drakor? Sejauh Sita ingat justru kakaknya ini selalu mengoloknya seperti emak-emak karena menyukai drakor. Tanpa peduli sesungguhnya penyuka drakor hadir dari segala kalangan, termasuk mas dan bapak-bapak. “Tumben. Nonton apa si Kak?” sapa Sita. Namun yang ditanya tak kunjung menjawab. Penasaran Sita maju, lantas melambaikan tangan tepat di depan wajah Handy. “Eh, Sit. Udah pulang? Ga ada salam tiba-tiba nongol aja,” tegur
Menatap air yang mengalir pelan, Saski teramat menikmati. Bahkan semut yang terjebak di atas daun yang hanyut pun tak luput dari pengamatan. Namun dibiarkan saja karena Saski tahu dia tidak akan terluka. Meski kecil semut hewan yang teramat cerdas dan pandai berenang, jadi untuk apa dikuatirkan. Saski sengaja menjauh dari rutinitas dan keramaian. Tubuhnya sesungguhnya tak terlampau lelah, tapi otaknya sangat butuh asupan. Begitupun mata dan hatinya. Sekelompok ikan kecil berwarna-warni yang berenang di tepian memancing kaki Saski turun ke air. Saski merapatkan kedua telapak tangannya dan meraup beberapa. Sekedar mengamati geriknya yang seolah mengajaknya bercanda, lantas kembali dilepas. Saski jenuh dengan semua yang didengar dan dilakukannya. Seminggu lebih berselang, namun serasa baru kemarin. Kejadian jembatan roboh itu masih jadi topik orang berbincang, terutama di kampus Saski. Sementara Rudy pun makin getol merusuhinya. Sengaja memuaskan diri berlama-lama
“Ih! Mas! Berita seperti itu ditonton!” Pekik Sita menyadarkan Handy dari lamunan. “Ha? Berita apa?” Handy menatap bodoh Sita. “Astaga! Jadi cuma mata tok yang di depan TV? Keliatannya duduk serius, eh ternyata. Mana keras bener lagi nyetelnya!” sewot Sita. “Eh tunggu, aku tau kayaknya.” Sita menyipitkan mata, lantas berlagak mondar mandir macam gaya pemain sinetron yang lagi bercakap-cakap. Dan, syut! Satu timpukan kaos kaki telak mengenai wajahnya. “Ih! Mas! Bau tau!” Sita makin berang. “Makanya, tidak usah banyak gaya! Dasar artis kampungan!” cibir Handy. “Eh? Kok? Siapa yang habis pulang kampung mas? Pasti bawa banyak oleh-oleh dong ya,” teriak Mona dari teras rumahnya, seraya berusaha keras melongok ke dalam rumah. Aduh, apa lagi ini. Handy menepuk jidatnya. “Kok ya denger lo orang
Rabu pagi. Sesuai kesepakatan, semua lengkap sudah berkumpul di halaman parkir kampus. Bus wisata yang akan mengantar merekapun sudah siap sejak setengah jam yang lalu. Rudy sudah memenuhi janjinya untuk membantu Dina menyiapkan KKL mereka. Sekedar memenuhi janji, namun tentu tidak bagi Dina. Itu memberinya semacam energi. Sehingga sepagi ini dia bisa berteriak dengan lantang. “Tolong segera naik!” pintanya. Lalu dia meminta teman-temannya segera menempatkan diri, duduk manis di kursi masing-masing untuk memudahkan cek akhir. Setelah duduk, Saski tampak asyik dengan ponselnya, seperti biasa. Meski tidak berencana melakukannya sepanjang hari. Tentu, Saski ingin juga menikmati perjalanan hari ini. Namun sepertinya sebelum berangkat sudah ada yang mulai mengacaukan. Dia hanya memutar bola matanya, saat Rudy tiba-tiba ada di sebelahnya. Lengkap dengan cengirannya. Ni anak akhir-akhir ini jadi genit, batin Saski heran. &nb
Handy membolak-balik koran yang baru saja dibelinya dari seorang bocah. Sebenarnya dia tidak terlalu suka membaca, namun melihat wajah bocah itu membuatnya tak tega. Lumayan untuk mengusir bosan. Sabtu sore biasanya laki-laki seusianya asyik mengajak kencan gebetan, tapi Handy malah terjebak di sini. Menunggui adiknya selesai les. Adiknya memang rusuh. Sudah berkali-kali Handy bilang, minta jemput kalau les sudah benar-benar selesai saja. Tapi masih saja seperti ini, lagi-lagi Handy harus menunggu. Sepertinya Sita memang hobi mengerjai kakaknya. Sekitar sepuluh menitan Sita keluar sambil cengar cengir. Handy menyambutnya dengan sebuah jitakan kecil di kepalanya. “Aduh! Ih kakak ni, sakit tau!” Sita pura-pura cemberut. “Jelek ah!” olok Handy. Sita mendekat, lantas melingkarkan tangannya di lengan Handy. “Apalagi? No suap!” Handy sudah hafal k
Sabtu siang itu suasana ruang kuliah yang biasanya sunyi sepi mengingat tidak ada kegiatan perkuliahan, menjadi sedikit riuh. Berbagai usul, protes, kritik, pertanyaan, dan komentar dari teman-teman sekelas terdengar bersahutan. Sidang anggota dewan di senayan sana barangkali kalah seru. Dina sebagai koordinator Kunjungan Kerja Lapangan alias KKL, cukup kewalahan. Dia beberapa kali tampak mengetuk meja dengan spidol yang dipegangnya untuk menenangkan peserta rapat dan memfokuskan kembali ke topik bahasan. Juga beberapa kali menyeka keringat karena gerah.Rudy melirik Saski yang tampak menunduk mengutak atik ponselnya, tak menghiraukan jalannya rapat. Namun ada yang berbeda. Sesekali tertangkap olehnya, Saski menatap kosong ke satu tempat. Sesungguhnya Rudy penasaran apa yang sedang dilakukan atau dirasakan temannya satu ini.Entah bagaimana, akhirnya diputuskan mereka akan berangkat di Kamis pagi dengan tujuan desa seni. Semua sepakat. Dina menghela nafas lega. Akhirny
Matahari bersinar indah pagi ini. Setelah semalaman hujan turun sangat deras, seperti menguras persediaan air di langit. Saski masih duduk di ruang tamu kosannya. Tak menghiraukan beberapa teman satu kosan yang melaluinya untuk berangkat ke kampus. Wajahnya masih serius, menekuni ponsel. Meski sesekali matanya melirik jam dinding. “Loh? Belum berangkat juga?” kali ini Rere, tempat sekelasnya yang menegur. “Kupikir aku yang terakhir...”, katanya sambil sibuk memakai sepatu. “Okey, berangkat!” kata Saski, seraya berdiri. “Oya Sas, kamu ingat percetakan tempat kamu nganter aku kemarin?” Rere bertanya sambil menyelesaikan simpulnya yang terakhir. “Ya. Kenapa?” Saski mengangguk seraya memasukkan ponsel dalam tas ranselnya. “Ada mas-mas yang ngebet nanyain k