Beranda / Romansa / I Fell It / Sekedar Penasaran?

Share

Sekedar Penasaran?

Penulis: RieStory
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Malam semakin larut, namun hujan tak kunjung reda meski sudah turun seharian tanpa jeda. Memang, hujan seperti ini biasa terjadi di puncak kemarau seperti sekarang.

     Handy beranjak dari jendela, lantas menyeduh kopi pertamanya. Matanya tak mau terpejam meski kantuk sudah menyerang sejak dua jam lalu. Handy kembali duduk dengan secangkir kopi yang diseruputnya beberapa kali. “Siapa dia,” lagi gumamnya.

     Heran, kenapa aku begitu penasaran, benak Handy. Lantas, andai dia benar bisa bertemu, apa yang mau ditanyakan.

     “Uhk…uhk…,” Handy tersedak ampas kopi. Lama melamun membuatnya tak menyadari seruputan terakhirnya. Segera ditelannya air putih sebanyak-banyaknya. Apa sensor rasaku sudah rusak demikian parah, batin Handy. Sembari meraih ponsel dan membuka sekenanya. Banyak pesan dibiarkan begitu saja. perhatiannya kini tertuju pada satu pesan dari nomor yang belum dikenalnya.

     Benar ini Handy?

     Hanya itu isi pesannya.

     Ya. Ini siapa?

     Terampil jari Handy menjawab. Tidak ada balasan. Handy memutuskan menunggu. Namun mata Handy mengatup rapat kala lewat tengah malam, hingga dering weker membangunkannya. Meski mata masih enggan terbuka, otak Handy segera terjaga. Reflek pertama yang dia lakukan, meraih dan menelusuri pesan ponselnya. Handy tersenyum, dengan penuh harap dibukanya balasan dari nomer yang tidak dikenalnya.

      Aku Edwin, teman SD. Ingat? Kita selalu ngangkot bareng kalau berangkat dan pulang sekolah dulu. Rumahmu melewati rumahku.

     Handy mendengus. Toh dibalasnya juga.

     Ah, ya. Aku ingat. Apa kabar?

     Sebentar kemudian mereka terlibat berbalas pesan meski Handy tidak antusias. Astaga! Handy tersenyum kecut mengakhiri percakapan mereka. Sudah pagi.

     Sempoyongan Handy menggapai motornya pagi itu.  Menstaternya dan melesat sesuai hapalan kepala. Meski tak melewatkan mencium tangan mama. Sita belum berangkat, meski demamnya sudah turun. Barangkali besok.

     “Woii! Jalan punya mbahmu apa!” teriak seorang bapak muda. Handy mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya hanya tersenyum menanggapi. Bapak muda itu masih memaki penuh emosi. Handy sungguh tak peduli. Kepalanya terasa berat dan matanya setengah terpejam. Orang-orang yang lalu lalang serasa berbayang dan tidak tegak berjalan.

     Apalagi ini? Seorang emak-emak menghadang jalannya.

     “Matamu bener-bener ndak beres, Mas! Aku udah kasih sen kiri masih mok sasak juga!” dengan logat jawanya yang kental emak-emak ini memaki dan memelototinya. Serem betul. Dalam kondisi waras Handy pasti sudah beribu kali minta maaf dan ambil langkah seribu. Namun lagi-lagi Handy hanya tersenyum menanggapi.

     “Eit dah! Bro! Sabar napa. Pasang standar motormu yang bener, baru tinggal. Bisa rubuh semua motor di sini ntar,” Setyo, temannya mengingatkan. Lagi-lagi Handy nyengir. Handy segera masuk kantor setelah susah payah memarkir motornya dengan benar.

     “Kamu baik-baik saja Han?” mas Agung menatap tajam.

     “Oh iya Mas, gapapa,” Handy menjawab.

     Mas Agung hanya mengangguk. Briefing selesai. Mereka siap di posisi.

     Satu pelanggan pergi dengan memaki. Handy menelan susah payah air minumnya.

     “Eh Mbak Nina, mari,” Handy mempersilakan antrian kedua. Kebetulan mbak Nina, salah satu pelanggan setia mereka.

     “Biasa Mas, kartu nama,” mbak Nina tersenyum menyambut sapaan, sekaligus menyampaikan maksudnya. Ya memang, itu sudah biasa. Mbak Nina biasa order apapun di kantornya, terutama kartu nama.

     “Siap Mbak,” Handy menjawab mantap.

     Belum sampai 30 menit mbak Nina bermain ponsel, Handy keluar menyodorkan sekotak kartu nama.

     Senyum mbak Nina yang mengembang saat menerima kartu, pias seketika. “Lo? Ini alamat siapa?”

     “Apa Mbak? Coba aku lihat,” Handy mengambil alih kartu mbak Nina.

     “Astaga! Kok bisa ya? Maaf Mbak, sebentar aku ganti,” Handy tersenyum tidak enak. Segera berbalik untuk mengulang pekerjaannya.

     “Han!” mas Agung memanggil. Hati Handy mulai tidak enak.

     “Ada apa?” tanya mas Agung.

     “Eh anu Mas, Saya salah mengerjakan order mbak Nina,” Handy tak berani menatap mata mas Agung.

     “Memangnya order apa?” mas Agung bertanya lagi.

     “Kartu nama, Mas,” Handy semakin merasa bersalah.

     “Kartu nama? Hanya itu?” tanya mas Agung. Handy mengangguk.

     “Maya!” panggil mas Agung. Lantas menoleh. “Sudah. Pulang sana! Biar dikerjakan Maya.”

     Handy pulang dengan gontai. Ini yang pertama dan terakhir kali, janji hatinya. Rasa bersalah dan malu saling menghina dalam dirinya, menepis rasa kantuk yang sedari pagi mendera. Handy benar-benar menyesali kebodohannya.

     Pintu diketok.

     “Buka Han!”

     “Ya, Ma.” Terpaksa Handy beranjak meski malas. “Handy? Handy sayang, aku bikin sop ayam lauk ayam goreng hari ini. Cicipi ya?” Mona menerobos masuk dengan senyum genitnya.

     Reflek Handy mundur beberapa langkah. ”Eh tante,” jawab Handy gugup.

     ”Kok tante sih. Mbak dong! Umur kita hanya terpaut beberapa tahun lo!” Mona mengerling. Terdengar kekehan Sri dari rumah sebelah.

     “Eh iya, mbak. Maaf,” jawab Handy masih saja gugup. “Dan terima kasih juga. Nanti saya bilang mama.”

     “Tapi aku bikin ini khusus untuk kamu lo!” Mona pura-pura merajuk. Huh! Komplit sial hari ini, dengus Handy. “Iy iya mbak. Baik. Em kalau tidak keberatan, aku sedang banyak tugas-“

     “Ngusir ya?” manyun mulut Mona dibuat-buat. Namun tak sadar kakinya melangkah menuju pintu. Kesempatan, pikir Handy. Didorongnya pelan tubuh Mona, sambil berucap, ”Sekali lagi terima kasih banyak mbak.” Lantas segera menutup pintu. Handy menarik napas panjang, lega. Barangkali Handy benar tersihir karena sebentar kemudian fasih jarinya mulai mengais informasi dari gawainya, meski kemungkinan ketemu satu banding semilyar.

Bab terkait

  • I Fell It   Tak Terucap

    Lebih 20 tahun Handy jatuh dan bangun, dibenturkan pada berbagai keadaan dan terbiasa mencari solusi dalam segala kondisi. Muara dari segala hal, tempat mengadu dan menumpahkan segala beban, siapa lagi kalau bukan mama. Handy menyandarkan tubuhnya di pintu kamar mama. Matanya lurus menatap wajah lelah mama. Usianya yang hampir setengah abad, apalagi kini statusnya sebagai orang tua tunggal. Meski dia dan adiknya sudah beranjak dewasa. Bagaimanapun pasti tetap melelahkan. Ingin rasanya Handy membelai wajah mama atau sekedar bersimpuh di kakinya, namun kuatir justru akan membuat wanita yang sangat dikaguminya ini bangun. Handy masih menatap lama wajah mama sebelum akhirnya berbalik. Handy mengurungkan niatnya, malu pada teguran kata hatinya, rasanya tak pantas merepotkan mama untuk urusan sepele seperti ini. Kasian mama, pikirnya. “Kamu kenapa, Han?” justru mama yang melangkah mendekat. “Duduklah!” Handy pun

  • I Fell It   Saski

    Langit begitu hitam, pekat oleh mendung. Petir mulai terdengar bersahutan. Banyak orang terlihat bergegas pulang. Bahkan kentara sekali ketergesaan mereka dengan seringnya klakson berbunyi. Sementara yang masih di rumah, pasti berpikir seribu kali kalau akan keluar dalam suasana begini. Tapi tidak dengan Saski. Cewek manis yang justru merasa mendapat keuntungan dengan dibubarkannya kuliah lebih awal. Tentu, dosen muda macam pak Hendra akan cepat kalah oleh rengekan beberapa mahasiswi di kelasnya yang takut hujan itu. Sementara Saski, dia masih duduk manis di taman kampus. Rutinitas yang biasa dia lakukan di waktu yang sama tiap harinya. Juga rutinitas yang tak biasa dilakukan oleh gadis seusianya, apalagi mahasiswi di kampusnya. Kampus mentereng tempatnya memperdalam ilmu ekonomi ini sarat dengan kaum borju. Meski tidak semua dari golongan mampu macam Saski. Namun rerata mereka tak peduli betapa orang tua berusaha keras membiayai, atau barangkali karena terlanjur terjebak dalam komu

  • I Fell It   Cek Tenaga Medis!

    Matahari bersinar indah pagi ini. Setelah semalaman hujan turun sangat deras, seperti menguras persediaan air di langit. Saski masih duduk di ruang tamu kosannya. Tak menghiraukan beberapa teman satu kosan yang melaluinya untuk berangkat ke kampus. Wajahnya masih serius, menekuni ponsel. Meski sesekali matanya melirik jam dinding. “Loh? Belum berangkat juga?” kali ini Rere, tempat sekelasnya yang menegur. “Kupikir aku yang terakhir...”, katanya sambil sibuk memakai sepatu. “Okey, berangkat!” kata Saski, seraya berdiri. “Oya Sas, kamu ingat percetakan tempat kamu nganter aku kemarin?” Rere bertanya sambil menyelesaikan simpulnya yang terakhir. “Ya. Kenapa?” Saski mengangguk seraya memasukkan ponsel dalam tas ranselnya. “Ada mas-mas yang ngebet nanyain k

  • I Fell It   Hari Lain?

    Sabtu siang itu suasana ruang kuliah yang biasanya sunyi sepi mengingat tidak ada kegiatan perkuliahan, menjadi sedikit riuh. Berbagai usul, protes, kritik, pertanyaan, dan komentar dari teman-teman sekelas terdengar bersahutan. Sidang anggota dewan di senayan sana barangkali kalah seru. Dina sebagai koordinator Kunjungan Kerja Lapangan alias KKL, cukup kewalahan. Dia beberapa kali tampak mengetuk meja dengan spidol yang dipegangnya untuk menenangkan peserta rapat dan memfokuskan kembali ke topik bahasan. Juga beberapa kali menyeka keringat karena gerah.Rudy melirik Saski yang tampak menunduk mengutak atik ponselnya, tak menghiraukan jalannya rapat. Namun ada yang berbeda. Sesekali tertangkap olehnya, Saski menatap kosong ke satu tempat. Sesungguhnya Rudy penasaran apa yang sedang dilakukan atau dirasakan temannya satu ini.Entah bagaimana, akhirnya diputuskan mereka akan berangkat di Kamis pagi dengan tujuan desa seni. Semua sepakat. Dina menghela nafas lega. Akhirny

  • I Fell It   Mengingat Kembali

    Handy membolak-balik koran yang baru saja dibelinya dari seorang bocah. Sebenarnya dia tidak terlalu suka membaca, namun melihat wajah bocah itu membuatnya tak tega. Lumayan untuk mengusir bosan. Sabtu sore biasanya laki-laki seusianya asyik mengajak kencan gebetan, tapi Handy malah terjebak di sini. Menunggui adiknya selesai les. Adiknya memang rusuh. Sudah berkali-kali Handy bilang, minta jemput kalau les sudah benar-benar selesai saja. Tapi masih saja seperti ini, lagi-lagi Handy harus menunggu. Sepertinya Sita memang hobi mengerjai kakaknya. Sekitar sepuluh menitan Sita keluar sambil cengar cengir. Handy menyambutnya dengan sebuah jitakan kecil di kepalanya. “Aduh! Ih kakak ni, sakit tau!” Sita pura-pura cemberut. “Jelek ah!” olok Handy. Sita mendekat, lantas melingkarkan tangannya di lengan Handy. “Apalagi? No suap!” Handy sudah hafal k

  • I Fell It   Heboh

    Rabu pagi. Sesuai kesepakatan, semua lengkap sudah berkumpul di halaman parkir kampus. Bus wisata yang akan mengantar merekapun sudah siap sejak setengah jam yang lalu. Rudy sudah memenuhi janjinya untuk membantu Dina menyiapkan KKL mereka. Sekedar memenuhi janji, namun tentu tidak bagi Dina. Itu memberinya semacam energi. Sehingga sepagi ini dia bisa berteriak dengan lantang. “Tolong segera naik!” pintanya. Lalu dia meminta teman-temannya segera menempatkan diri, duduk manis di kursi masing-masing untuk memudahkan cek akhir. Setelah duduk, Saski tampak asyik dengan ponselnya, seperti biasa. Meski tidak berencana melakukannya sepanjang hari. Tentu, Saski ingin juga menikmati perjalanan hari ini. Namun sepertinya sebelum berangkat sudah ada yang mulai mengacaukan. Dia hanya memutar bola matanya, saat Rudy tiba-tiba ada di sebelahnya. Lengkap dengan cengirannya. Ni anak akhir-akhir ini jadi genit, batin Saski heran. &nb

  • I Fell It   Siapa Saski

    “Ih! Mas! Berita seperti itu ditonton!” Pekik Sita menyadarkan Handy dari lamunan. “Ha? Berita apa?” Handy menatap bodoh Sita. “Astaga! Jadi cuma mata tok yang di depan TV? Keliatannya duduk serius, eh ternyata. Mana keras bener lagi nyetelnya!” sewot Sita. “Eh tunggu, aku tau kayaknya.” Sita menyipitkan mata, lantas berlagak mondar mandir macam gaya pemain sinetron yang lagi bercakap-cakap. Dan, syut! Satu timpukan kaos kaki telak mengenai wajahnya. “Ih! Mas! Bau tau!” Sita makin berang. “Makanya, tidak usah banyak gaya! Dasar artis kampungan!” cibir Handy. “Eh? Kok? Siapa yang habis pulang kampung mas? Pasti bawa banyak oleh-oleh dong ya,” teriak Mona dari teras rumahnya, seraya berusaha keras melongok ke dalam rumah. Aduh, apa lagi ini. Handy menepuk jidatnya. “Kok ya denger lo orang

  • I Fell It   Pesan Penting Rere

    Menatap air yang mengalir pelan, Saski teramat menikmati. Bahkan semut yang terjebak di atas daun yang hanyut pun tak luput dari pengamatan. Namun dibiarkan saja karena Saski tahu dia tidak akan terluka. Meski kecil semut hewan yang teramat cerdas dan pandai berenang, jadi untuk apa dikuatirkan. Saski sengaja menjauh dari rutinitas dan keramaian. Tubuhnya sesungguhnya tak terlampau lelah, tapi otaknya sangat butuh asupan. Begitupun mata dan hatinya. Sekelompok ikan kecil berwarna-warni yang berenang di tepian memancing kaki Saski turun ke air. Saski merapatkan kedua telapak tangannya dan meraup beberapa. Sekedar mengamati geriknya yang seolah mengajaknya bercanda, lantas kembali dilepas. Saski jenuh dengan semua yang didengar dan dilakukannya. Seminggu lebih berselang, namun serasa baru kemarin. Kejadian jembatan roboh itu masih jadi topik orang berbincang, terutama di kampus Saski. Sementara Rudy pun makin getol merusuhinya. Sengaja memuaskan diri berlama-lama

Bab terbaru

  • I Fell It   Kacau

    Rudy masih menekuni raut Saski yang terus menunduk, entah kenapa. Berusaha untuk sabar menunggu demi tidak mengganggu.“Aku harus pergi,” kata Saski tiba-tiba seraya beranjak masuk.“Ke mana?” tanya Rudy, ikut beranjak, mengekor di belakangnya.“Menyusul Rere,” sahut Saski. Tangannya sibuk meraih tas, membuka lemari dan memasukkan beberapa baju ganti.“Kapan?” Rudy bertanya lagi.“Sekarang,” sahut pendek Saski.“Ayo!” ajak Rudy enteng.“Maksudmu? Astaga! Kenapa kamu masuk kamarku?” mata Saski terbelalak, mendapati Rudy di kamarnya.

  • I Fell It   Kelakuan

    Handy tersenyum menatap tampang lucu adiknya yang tertidur di sebelahnya. Teringat olehnya bagaimana Sita merecokinya seharian. Meski Sita sering merepotkan dan bawel bukan main, Handy tidak pernah kesal. Justru geli melihatnya seperti itu. Handy tak bisa membayangkan andai nanti mereka sama-sama menikah dan berpisah. Dia pasti akan sangat merindukannya. Astaga! Pemikiran apa ini? Handy dibuat kaget oleh pemikirannya sendiri. “Eh? Ngapain senyum-senyum melihat tampang adikmu? Hayo! Jangan usil! Kasihan dia,” tegur mama tiba-tiba, membuat Handy makin geli. Kemudian memberi kode mamanya untuk diam dengan tampang dibuat selicik mungkin. “Kalian ini! Seharian berantem melulu,” gerutu mama. “Dia yang usil, Ma. Jangan membelanya! Dan jangan bilang Mama tidak tahu!” Handy pura-pura serius.

  • I Fell It   Apaan Si

    “Aku pulang!” teriak Sita. Tak ada jawaban. Ke mana semua orang? Apa kebiasaan di rumah ini sudah berubah? dengus Sita seraya menghempaskan bokongnya ke sofa. Pun setelah beberapa saat berselancar di dunia maya, tetap tak ada penyambutan. Gontai Sita masuk ke ruang tengah dan mendapati kakaknya duduk manis di depan televisi. Matanya melek, nyaris tak berkedip malah. Acara apa sih yang membuat kakak mengabaikanku, batin Sita kesal. Padahal jam segini pastilah liputan sore, acara kesukaan kakak sudah usai. Drama korea? Sejak kapan kakak jadi pencinta drakor? Sejauh Sita ingat justru kakaknya ini selalu mengoloknya seperti emak-emak karena menyukai drakor. Tanpa peduli sesungguhnya penyuka drakor hadir dari segala kalangan, termasuk mas dan bapak-bapak. “Tumben. Nonton apa si Kak?” sapa Sita. Namun yang ditanya tak kunjung menjawab. Penasaran Sita maju, lantas melambaikan tangan tepat di depan wajah Handy. “Eh, Sit. Udah pulang? Ga ada salam tiba-tiba nongol aja,” tegur

  • I Fell It   Pesan Penting Rere

    Menatap air yang mengalir pelan, Saski teramat menikmati. Bahkan semut yang terjebak di atas daun yang hanyut pun tak luput dari pengamatan. Namun dibiarkan saja karena Saski tahu dia tidak akan terluka. Meski kecil semut hewan yang teramat cerdas dan pandai berenang, jadi untuk apa dikuatirkan. Saski sengaja menjauh dari rutinitas dan keramaian. Tubuhnya sesungguhnya tak terlampau lelah, tapi otaknya sangat butuh asupan. Begitupun mata dan hatinya. Sekelompok ikan kecil berwarna-warni yang berenang di tepian memancing kaki Saski turun ke air. Saski merapatkan kedua telapak tangannya dan meraup beberapa. Sekedar mengamati geriknya yang seolah mengajaknya bercanda, lantas kembali dilepas. Saski jenuh dengan semua yang didengar dan dilakukannya. Seminggu lebih berselang, namun serasa baru kemarin. Kejadian jembatan roboh itu masih jadi topik orang berbincang, terutama di kampus Saski. Sementara Rudy pun makin getol merusuhinya. Sengaja memuaskan diri berlama-lama

  • I Fell It   Siapa Saski

    “Ih! Mas! Berita seperti itu ditonton!” Pekik Sita menyadarkan Handy dari lamunan. “Ha? Berita apa?” Handy menatap bodoh Sita. “Astaga! Jadi cuma mata tok yang di depan TV? Keliatannya duduk serius, eh ternyata. Mana keras bener lagi nyetelnya!” sewot Sita. “Eh tunggu, aku tau kayaknya.” Sita menyipitkan mata, lantas berlagak mondar mandir macam gaya pemain sinetron yang lagi bercakap-cakap. Dan, syut! Satu timpukan kaos kaki telak mengenai wajahnya. “Ih! Mas! Bau tau!” Sita makin berang. “Makanya, tidak usah banyak gaya! Dasar artis kampungan!” cibir Handy. “Eh? Kok? Siapa yang habis pulang kampung mas? Pasti bawa banyak oleh-oleh dong ya,” teriak Mona dari teras rumahnya, seraya berusaha keras melongok ke dalam rumah. Aduh, apa lagi ini. Handy menepuk jidatnya. “Kok ya denger lo orang

  • I Fell It   Heboh

    Rabu pagi. Sesuai kesepakatan, semua lengkap sudah berkumpul di halaman parkir kampus. Bus wisata yang akan mengantar merekapun sudah siap sejak setengah jam yang lalu. Rudy sudah memenuhi janjinya untuk membantu Dina menyiapkan KKL mereka. Sekedar memenuhi janji, namun tentu tidak bagi Dina. Itu memberinya semacam energi. Sehingga sepagi ini dia bisa berteriak dengan lantang. “Tolong segera naik!” pintanya. Lalu dia meminta teman-temannya segera menempatkan diri, duduk manis di kursi masing-masing untuk memudahkan cek akhir. Setelah duduk, Saski tampak asyik dengan ponselnya, seperti biasa. Meski tidak berencana melakukannya sepanjang hari. Tentu, Saski ingin juga menikmati perjalanan hari ini. Namun sepertinya sebelum berangkat sudah ada yang mulai mengacaukan. Dia hanya memutar bola matanya, saat Rudy tiba-tiba ada di sebelahnya. Lengkap dengan cengirannya. Ni anak akhir-akhir ini jadi genit, batin Saski heran. &nb

  • I Fell It   Mengingat Kembali

    Handy membolak-balik koran yang baru saja dibelinya dari seorang bocah. Sebenarnya dia tidak terlalu suka membaca, namun melihat wajah bocah itu membuatnya tak tega. Lumayan untuk mengusir bosan. Sabtu sore biasanya laki-laki seusianya asyik mengajak kencan gebetan, tapi Handy malah terjebak di sini. Menunggui adiknya selesai les. Adiknya memang rusuh. Sudah berkali-kali Handy bilang, minta jemput kalau les sudah benar-benar selesai saja. Tapi masih saja seperti ini, lagi-lagi Handy harus menunggu. Sepertinya Sita memang hobi mengerjai kakaknya. Sekitar sepuluh menitan Sita keluar sambil cengar cengir. Handy menyambutnya dengan sebuah jitakan kecil di kepalanya. “Aduh! Ih kakak ni, sakit tau!” Sita pura-pura cemberut. “Jelek ah!” olok Handy. Sita mendekat, lantas melingkarkan tangannya di lengan Handy. “Apalagi? No suap!” Handy sudah hafal k

  • I Fell It   Hari Lain?

    Sabtu siang itu suasana ruang kuliah yang biasanya sunyi sepi mengingat tidak ada kegiatan perkuliahan, menjadi sedikit riuh. Berbagai usul, protes, kritik, pertanyaan, dan komentar dari teman-teman sekelas terdengar bersahutan. Sidang anggota dewan di senayan sana barangkali kalah seru. Dina sebagai koordinator Kunjungan Kerja Lapangan alias KKL, cukup kewalahan. Dia beberapa kali tampak mengetuk meja dengan spidol yang dipegangnya untuk menenangkan peserta rapat dan memfokuskan kembali ke topik bahasan. Juga beberapa kali menyeka keringat karena gerah.Rudy melirik Saski yang tampak menunduk mengutak atik ponselnya, tak menghiraukan jalannya rapat. Namun ada yang berbeda. Sesekali tertangkap olehnya, Saski menatap kosong ke satu tempat. Sesungguhnya Rudy penasaran apa yang sedang dilakukan atau dirasakan temannya satu ini.Entah bagaimana, akhirnya diputuskan mereka akan berangkat di Kamis pagi dengan tujuan desa seni. Semua sepakat. Dina menghela nafas lega. Akhirny

  • I Fell It   Cek Tenaga Medis!

    Matahari bersinar indah pagi ini. Setelah semalaman hujan turun sangat deras, seperti menguras persediaan air di langit. Saski masih duduk di ruang tamu kosannya. Tak menghiraukan beberapa teman satu kosan yang melaluinya untuk berangkat ke kampus. Wajahnya masih serius, menekuni ponsel. Meski sesekali matanya melirik jam dinding. “Loh? Belum berangkat juga?” kali ini Rere, tempat sekelasnya yang menegur. “Kupikir aku yang terakhir...”, katanya sambil sibuk memakai sepatu. “Okey, berangkat!” kata Saski, seraya berdiri. “Oya Sas, kamu ingat percetakan tempat kamu nganter aku kemarin?” Rere bertanya sambil menyelesaikan simpulnya yang terakhir. “Ya. Kenapa?” Saski mengangguk seraya memasukkan ponsel dalam tas ranselnya. “Ada mas-mas yang ngebet nanyain k

DMCA.com Protection Status