Home / Romansa / I Called You SNOW / 4. Kue Strawbery untuk Snow

Share

4. Kue Strawbery untuk Snow

Author: Intan SR
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

"Snow, kau ada di mana?" tanyaku sambil mencari Snow. Biasanya jam tujuh pagi dia sudah ada di dalam rumah tapi aku tidak melihatnya di mana-mana.

"Aku di dalam kamar mandi, Elena!" sahutnya.

Tanpa berpikiran apa-apa aku pun langsung membuka pintu kamar mandi dan akan pamitan padanya kalau aku akan pergi ke kota pagi ini.

"Aku akan pergi ke ko—" 

"Astaga! Kau tak perlu berdiri seperti itu bodoh! Dan tolong tutup itumu dulu!" Aku menutup pintu kamar mandi dengan tergesa.

Malu rasanya karena sudah dua kali aku dipermainkan oleh Snow seperti ini.

"Kau mau ke kota, Elena?" Snow keluar dari kamar mandi. Dengan handuk melilit bagian bawahnya.

Aku melirik sedikit dan kini bisa menatap wajahnya secara penuh.

"Kau mau beli kue strawberry untukku?" 

Dasar si rakus! Selalu saja makanan yang ada di dalam kepalanya!

"Bukan—aku akan membeli makanan yang lain, dan mungkin mencari pekerjaan," desahku malas.

Sepertinya aku harus mencari kerja untuk sementara waktu, karena memulai menulis dan langsung menghasilkan uang itu memerlukan waktu yang tak sebentar.

"Kuenya?" tanya Snow lagi.

"Nanti kalau ada yang buang aku akan membawanya untukmu."

Setelah pertanyaan konyol tadi malam. Akhirnya dia bisa mengerti juga dan tidak bertanya lagi padaku.

"Elena, apa aku bisa menciummu?" tanyanya tadi malam seakan sedang meminta telur dadar padaku.

"Kau bicara apa sih? Memangnya kau tau arti ciuman?"

Snow mengangguk mengerti. "Tahu! Ciuman adalah ketika bibirku dan bibir Elena—"

"Cukup! Jangan bicara hal yang tak berguna seperti ini lagi," dengusku. "Atau kau akan berakhir di dalam oven," ancamku dan dia langsung pergi menjauhiku beberapa meter.

Aku terkikik kemudian mendekatinya.

"Yang bisa berciuman hanyalah dua orang yang saling mencintai, Snow."

"Kalau begitu Elena bisa mencintaiku, aku juga akan mencintai Elena."

Mahkluk ini bicara apa sih, memangnya dia tahu artinya cinta. Mudah sekali menyuruh orang untuk mencintainya.

"Elena!" panggil Snow ketika aku hendak memakai sepatuku.

Suara derap langkahnya membuatku kesal, karena takut jika lantai kayu yang dia pijak akan patah atau apapun itu.

"Snow! Sudah kukatakan berulang kali kalau jangan—"

CUP!

Sial! Aku kecolongan, Snow mencium keningku ketika aku hendak berbalik untuk mengomel padanya.

Wajah tanpa dosa itu menatapku dengan senyum yang selalu membuatku goyah.

"Kalau di sini tak apa-apa, kan?" Snow menunjuk kenigku. "Bagaimana rasanya, Elena?" Pertanyaan itu penuh dengan harapan.

"Dingin, seperti dicium batu es," gumamku.

Aku langsung membalikkan badanku, dan melangkah turun dari beranda.

Tetapi rasanya aneh meninggalkan Snow di rumah sendirian seperti itu.

Bagaimana kalau nanti dia tak sengaja membakar rumah? Bagaimana jika dia akan bermain dengan rusa dan masuk ke dalam hutan lalu tak bisa kembali?

Aku menggelengkan kepalaku cepat. Rasanya seakan meninggalkan anak TK sendirian di dalam rumah.

"Snow," panggilku. Dia langsung berlari mendekat. Lucu sekali.

"Iya, Elena?"

"Jangan bermain api."

"Oke."

"Jangan bermain dengan rusa, jika ada rusa masuk ke halaman biarkan saja."

"Uhmm—oke."

"Dan—tetaplah duduk di depan televisi seperti batu. Jangan ke mana-mana sampai aku pulang."

"Uhmm—Elena."

"Ya?"

"Bagaimana kalau kau tak usah pergi saja." Dia tahu aku mengkhawatirkannya rupanya.

Tetapi …

"Siapa yang akan membeli bahan makanan! Kalau aku tak pergi ke kota!" Aku menjitak kepalanya dia hanya meringis dan tersenyum padaku.

"Bagaimana kalau aku ikut?"

"Dan kau akan bertelanjang dada di sepanjang jalan?"

Snow diam. Aku tahu dia pasti sangat ingin ikut pergi ke kota.

Satu minggu hanya berada di rumah dan pekarangan saja pasti sangat membosankan untuknya.

"Nanti ya. Kalau aku sudah memiliki uang, aku akan mengajakmu ke kota," ucapku sambil membelai rambutnya.

"Janji?!"

"Janji—aku tak pernah mengingkari janji—jadi—tenang saja."

"Baiklah Elena, aku akan di rumah dan menjadi batu selama kau pergi ke kota."

"Anak pintar. Dan pakai bajumu. Jangan buat image-ku buruk, oke?!"

**

Aku melewati jalanan kecil yang menghubungkan rumah menuju halte yang ada di depan desa. Di sana biasanya ada bus satu jam sekali yang biasa mengantarkan penduduk desa menuju kota.

Dan ini baru pertama kalinya aku keluar dari rumah. Padahal kupikir, aku akan tetap diam di dalam rumah itu dan terus menulis novelku.

Tetapi semua tidak sesuai dengan harapan. Namun meski begitu, aku bahagia karena memiliki Snow dalam rumah itu.

Dari jalanan yang melingkar—aku dapat melihat desa di mana ada rumahku di sana. Salju yang berhenti turun, membuat jarak pandang menjadi normal.

"Dia lagi apa ya?" tanyaku dalam hati.

Dan ciuman tadi—rasanya aku ingin marah, tapi tak bisa.

Jangan-jangan …

Saat ini Snow sedang berada di atas sofa dan berjingkrak-jingkrak sambil mendengarkan lagu kesukaannya. Atau dia akan mencoba membuat telur dadar kesukaannya selama aku pergi.

Aku menggelengkan kepalaku cepat. Snow tidak mungkin seperti itu. Dia pasti menuruti apa kataku.

**

"Kue strawbery," gumamku ketika melintasi toko kue.

"Pasti Snow akan menyukainya." Aku hanya mampu melihatnya. 

"Apa aku membelinya saja? Lagipula lusa aku akan bekerja di minimarket yang tadi."

Aku tersenyum. Sebagai bentuk perayaan karena aku mendapatkan pekerjaan. Akhirnya aku membeli kue strawbery yang sudah membuat Snow menjadi gila akhir-akhir ini.

Terkadang aku menyesal karena membuatnya harus terus menonton televisi. Tapi dengan begitu, dia jadi tahu bagaimana manusia hidup dan berbicara.

Tetapi ... seharusnya aku bersama dengan Snow ketika ia menonton televisi. Agar dia tidak berubah menjadi seperti ini.

"Snow?" panggilku ketika masuk ke dalam rumah.

Lampu masih belum dinyalakan. Dan dia masih duduk di depan televisi seperti batu.

Namun bukan itu masalahnya. Aku melihat pakaian yang sedang dikenakannya saat ini. Dan—rasanya aku ingin menendangnya agar bisa hidup di kutub selatan.

"Kau sedang apa?" tanyaku. Ia memakai baju lengkap. Tak seperti biasanya dia begitu. Namun yang menjadi masalah adalah dia mengenakan baju dan sama sekali tak cocok untuknya.

"Aku ingin menjadi manusia Elena, apa aku salah?" Snow berdiri tapi langsung aku berikan low kick untuk menyadarkannya.

"Tapi jangan pakai pakaian ibuku dong, bodoh!" geramku kesal. "Cepat lepaskan, dan aku akan memberikanmu kue."

Aku berjalan menuju meja makan, dan dia pun langsung berlari menuju kamar mandi dan melepaskan baju dress milik ibuku.

Dari mana dia mendapatkan ide seperti itu? Aku bergumam kesal. Lalu melihat ke dalam plastik yang berisi pakaian pria masa kini untuk Snow.

Karena kupikir, kasihan juga jika dia hanya mengenakan baju bekas milik ayahku.

"Snow, coba kau pakai ini." Aku memberikan baju tersebut pada Snow. Meskipun aku ingin menghemat uangku, tapi ketika melihat baju lelaki tergantung di depan toko, rasanya aku ingin membeli untuk lelaki aneh ini.

"Wah! Hadiah!" soraknya senang.

Dia memiliki kosakata baru rupanya.

"Aku juga punya kue untukmu." Aku membuka kotak kue yang ada di depanku. Dan mata bening itu kembali bersinar.

Dasar rakus!

"Aku akan bekerja mulai lusa, jadi ini adalah perayaan untuk kita berdua."

"Kau akan mulai bekerja, Elena?" Snow duduk di depanku, menanti dengan manis kue yang sedang kupotong.

"Iya, kenapa? Apa kau akan merasa kesepian?"

"Bukan."

"Lalu."

"Jadi—artinya aku akan sering mendapatkan kue darimu kan Elena?"

Dasar lelaki rakus. Seharusnya aku tidak berharap lebih padanya.

"Tapi aku akan merasa bosan kalau kau bekerja seharian, aku bingung harus melakukan apa. Dan menjadi batu itu tidak enak," gumamnya pelan.

"Tunggu sampai beberapa bulan, ketika novelku sudah rilis. Mungkin aku akan bekerja di rumah." Aku memberikan potongan besar pada Snow. Dan dia tampak sangat bahagia.

Namun sedetik kemudian dia merasa ragu dengan kue yang ada di piring.

"Kenapa? Apa masih kurang?"

"Bukan seperti itu."

"Seharian ini aku tidak bekerja dan hanya menjadi batu. Bukankah seharusnya aku bekerja dulu, karena tidak ada yang gratis di dunia ini, Elena?"

Astaga! Dia tiba-tiba menjadi sangat manis kalau seperti ini.

"Tak apa-apa, ini adalah hadiah untukmu karena sudah menjadi anak manis hari ini."

Ah! Rasanya aku seperti menjadi seorang ibu untuk lelaki salju ini. Tetapi aku sangat bahagia.

"Elena."

"Hmm."

"Apa aku bisa tambah satu potong lagi?"

"Kau mau kutendang lagi, Snow?"

"Sepertinya yang ada di atas piring ini sudah cukup," gumamnya.

Related chapters

  • I Called You SNOW   5. Semanis Es Krim

    "Elena, ini siapa?" tanya Snow menunjuk foto kedua orang tuaku yang ada di atas perapian."Itu—orang tuaku," jawabku."Lalu gadis kecil ini?""Itu aku.""Kau cantik sejak kecil, Elena."Entah itu pujian atau hanya gombalan yang baru dipelajari oleh Snow. Tapi baru kali ini aku tidak menangis ketika ditanya mengenai orang tuaku.Orang tuaku yang meninggal ketika umurku masih delapan tahun. Kalau saja dulu aku ikut mereka, mungkin aku tak akan menjadi yatim piatu seperti ini."Mereka ada di mana, Elena? Mengapa aku tak pernah melihat mereka?""Mereka—" Akhirnya aku tak bisa menahan air mata yang sudah berkumpul di pelupuk mata.Aku melihat bayangan Snow bergerak menghampiriku yang saat ini sedang membersihkan debu di sofaku."Mereka—sudah meninggal, Snow," jawabku pelan lalu sekuat tenaga aku menahan agar tangisan ini

  • I Called You SNOW   6. Kehidupan Baru Elena

    Untuk pertama kalinya, aku meninggalkan Snow berada di rumah itu sendirian. Bukan hanya satu atau dua jam, melainkan sampai enam jam lamanya karena aku harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan kami berdua.Apalagi akhir-akhir ini Snow sangat menyukai makanan manis yang harganya sebenarnya lumayan. Bisa untukku hidup selama satu minggu.Bus datang tak lama aku menunggu. Mulai hari ini aku akan menjalani hidup yang lumayan sibuk.“Dia sedang apa ya?” tanyaku pada diriku sendiri ketika menatap ke arah jendela. Tak mungkin dia akan bertahan menjadi batu selama seharian.Aku tersenyum tanpa sadar. Mengapa tingkah Snow bisa membuatku menjadi aneh seperti ini?Aku tidak tahu apakah dia benar-benar polos atau bagaimana. Tetapi yang aku rasakan selama tinggal dengannya dia itu sangat manis. Sikapnya sangat menggemaskan dan membuatku tidak merasa kesepian lagi.Namun ketika teringat jika dia ti

  • I Called You SNOW   7. Cemburu

    “Harusnya tadi kita naik motor saja, Elena,” ucap Peter ketika kami baru saja turun dari bis yang mengantarkan kota sampai ke desa.Aku menoleh terkejut ke arahnya, tak mengerti sekaligus penasaran.“Memangnya kenapa? Aku lebih suka jalan kaki.”“Apa kau tak lelah?”Apa Peter sedang perhatian padaku. Mengapa dia bertanya hal itu padaku. Memang sih aku lelah, karena sudah berdiri seharian di belakang meja kasir. Bahkan tidak bisa duduk lantaran pengunjung yang tak ada hentinya.“Tidak.”Ya, aku menjawab seperti itu saja pada Peter.Ia kemudian mengedarkan pandangannya ke sekitar. Malam belum begitu larut. Padahal masih jam enam. Tetapi sudah mulai gelap karena lampu penerangan yang jarang.“Apa kau yakin akan terus pulang pergi dengan jalan ini?”“Iya, memangnya kenapa?”“Kupikir kau harus ditemani oleh seseorang Ele

  • I Called You SNOW   8. Kupikir Cemburu

    “Apa kau marah padaku, Snow?” tanyaku ketika sejak tadi Snow diam dan tak banyak bicara seperti biasanya.“Tidak,” jawabnya singkat.“Jangan bohong makhluk jelek, aku tau kalau kau sedang marah padaku. Kenapa? Apa karena masalah kue strawberry, hah?”Snow diam, dia malah mendelik tajam ke arahku. Sesekali aku mendengar gumamannya yang tidak jelas dan seperti menggerutu. Aku masih tidak yakin penyebab dia marah kepadaku.Sampai akhirnya dia bertanya padaku dan pertanyaan itu membuatku menjadi bisu.“Apa kau menyukai lelaki tadi, Elena?” tanya Snow.Aku diam. Sama sekali tidak bisa berkata apa-apa atau pun menjawab pertanyaan dari Snow. Dari mana sih, dia bisa bertanya mengenai hal itu padaku?“Kenapa? Kenapa kau bertanya hal itu padaku.” Awalnya aku mengira kalau dia akan cemburu atau semacamnya, tapi ternyata tidak. Semua tidak seperti yang aku pikirkan.

  • I Called You SNOW   9. Jangan Pergi

    Aku sempat pingsan sampai satu jam. Dan orang yang mengangkat tubuhku ke atas ranjang adalah Snow. Yah, siapa lagi kalau bukan dia, karena tak mungkin Peter yang akan menggendongku.Tapi, ngomong-ngomong soal Peter, aku masih tidak enak karena aku tidak masuk bekerja di hari keduaku.“Maafkan aku, Peter,” ucapku tadi ketika di telepon.“Tak apa-apa, Elena. Yang penting kau harus sembuh dulu.”Aku yakin jika Peter saat ini tidak baik-baik saja, sebab aku sempat mendengar suara pelanggan yang memanggilnya dan menanyakan stok roti gandum padanya.“Elena, maaf. Aku akan menghubungimu nanti, oke.” Suaranya sangat terburu-buru. Aku berani bertaruh kalau dia sangat sibuk sekarang.Aku menghela napasku, diikuti oleh bayangan yang sejak tadi melihatku di sofa di kamar tidurku.“Maafkan aku, Snow.” Aku memijat kepalaku yang masih pusing. “Aku tak bisa membuatkanmu sarapan sep

  • I Called You SNOW   10. Dasar Bodoh

    Author POVSelama tinggal bersama dengan Elena, Snow tak pernah merasakan yang namanya terabaikan seperti tadi.Ia merasa jika Elena sangat jauh dengannya. Elena adalah seorang manusia biasa yang sudah terbiasa dengan hawa hangat di dalam tubuhnya.Elena bukan seperti dirinya yang hanya membutuhkan hawa dingin. Dan Snow menjadi sadar jika Elena dan dirinya itu tidaklah sama dan sangat berbeda.Snow bangkit dari duduknya ketika ia melihat Elena sangat asik mengobrol dengan Peter. Tawa Elena, tak pernah terdengar ketika bersama dengan Snow.Bahkan ketika dia keluar dari rumah itu pun. Elena tidak menyadarinya."Sepertinya kau tidak membutuhkanku lagi, Elena," gumam Snow.Ia menatap rumah itu dari depan halaman rumah Elena. Kakinya menapak tumpukan salju tebal."Kalau aku pergi, pasti kau tidak aka

  • I Called You SNOW   11. Kejadian Aneh

    Author POV"Apa kau tidak kedinginan?" tanya Snow.Ia memutuskan menggendong Elena ketika dia melihat kaki wanita itu mendapatkan sedikit luka di pergelangan kakinya."Tidak," jawab Elena.Snow hendak menceritakan dengan siapa ia bertemu barusan. Tetapi ia urungkan begitu tahu jika Elena tidak menyukai jika dia membahas mengenai kepergiannya nanti.Selama di perjalanan mereka berdua saling diam dan sibuk dengan pikiran masing-masing.Kepala Elena bersandar pada punggung Snow. Ia sama sekali tidak merasa dingin saat ini. Karena semuanya teralihkan pada pikirannya tentang Snow yang hendak pergi dari rumahnya tadi."Kau tak boleh pergi, apalagi seperti tadi," ucap Elena pelan."Iya.""Atau aku akan membencimu dalam seumur hidupku."

  • I Called You SNOW   12. Manusia yang Egois

    Author POVBRUK!!!Elena terjatuh tepat ketika dia sudah sampai di depan rumahnya. Bayangan Snow muncul sesaat setelah suara itu terdengar di telinganya.“Elena!” panggil Snow.Ia berlari karena mencemaskan Elena. Karena dia tahu jika tadi malam kakinya terluka akibat hampir terjatuh ke dasar tebing.“Kau kenapa?” tanya Snow.Ia membantu Elena berdiri, mengangkat tubuh Elena dengan memegang kedua lengan Elena.“Snow,” panggil Elena lirih. “Aku—aku baru saja melihat kejadian aneh di rumah itu.” Elena menunjuk sebuah desa yang lumayan dekat dari rumahnya.Snow melihat apa yang ditunjuk oleh Elena kemudian melihatnya dengan wajah bingung. “Ada apa dengan rumah itu, Elena?”Elena diam. Ia mengamati wajah Snow dengan lekat. Ia ingin memastikan jika kejadian tadi tidak ada sangkut pautnya dengan lelaki yang ada di depannya saat ini.

Latest chapter

  • I Called You SNOW   Membantu Mengeluarkannya

    "Snow.""Hmmm.""Malam ini … tidurlah di dalam rumah."Untuk pertama kalinya aku meminta permintaan bodoh itu pada Snow.**Hangat ...Rasanya sangat hangat. Sampai aku tak percaya jika yang ada di belakangku dan yang sedang memelukku saat ini adalah Snow.Ya, Snow. Lelaki yang sangat dingin itu tiba-tiba menjadi terasa sangat hangat.Pelukannya dan tangannya yang melingkar di tubuhku. Entah mengapa rasanya sangat aneh.Debaran jantungku terasa sangat cepat. Padahal aku tak pernah merasa seperti ini sebelumnya.Snow bergerak. Aku memilih untuk berpura-pura untuk memejamkan mataku. Lalu ... Snow seperti dengan sengaja mengecup pangkal leherku. Dan sekuat tenaga aku menahan rasa geli itu.Kemudian ... Aku merasakan ada yang janggal di bawah sana. Maksudku di bagian tubuh bawah Snow. Kenapa bisa

  • I Called You SNOW   15. Permintaan Pertama

    Snow tersenyum kepadaku. Dan anehnya rasa dingin yang ada di tangannya berubah menjadi sedikit hangat. Apa benar ciuman itu dapat membuatnya menjadi seperti ini?"Wah hebat!” Suara itu terdengar dari seseorang yang berada di depan kami. Seorang wanita yang tadi aku temui beberapa kali menatap kami sambil bertepuk tangan.Namun bukan tatapan senang—ada sedikit kebencian dari sorot mata itu.Sebenarnya dia siapa?---------------------------------Aku menoleh ke arah Snow. Bertanya padanya apakah dia mengenalnya?"Elena, kau tunggu di sini sebentar," ucap Snow.Setelah aku mengangguk. Snow kemudian menghampiri wanita yang masih berdiri tak jauh di depan kami.Tangan Snow menarik tangan wanita itu kemudian membawanya pergi menjauh dariku.Tampak dari kejauhan jika Snow sangat serius pada wanita yang mungkin

  • I Called You SNOW   14. Kehangatan

    Elena POVAku tidak tahu mengapa Peter seperti itu seharian. Maksudku, ia tampak tidak semangat seperti biasanya.Bahkan hari ini dia sudah sering membuat kesalahan dengan salah menghitung uang kembalian pada pelanggan ketika menggantikanku saat aku makan siang.“Maafkan saya,” ucap Peter merasa tidak enak pada pelanggan. Dia kemudian memberikan sisa uang yang seharusnya diberikan pada pelanggan yang kembali lagi karena merasa uang kembaliannya masih kurang.“Peter, apa kau tak apa-apa?” Aku bertanya pada Peter.“Kau sudah selesai makan?” Dia malah berbalik tanya kepadaku.Aku mengangguk, kemudian mengambil alih meja kasir.“Aku akan makan kalau begitu.” Peter langsung pergi begitu saja.Awalnya aku memang ingin tidak peduli pada Peter. Tetapi ini benar-benar mengangguku apalagi melihat dia menjadi seperti ini. Sebenarnya aku sama sekali tidak

  • I Called You SNOW   13. Kejutan dari Shopia Winter

    Author POVHATCHIII!!!!Elena pagi itu bersin-bersin, mungkin karena tadi malam dia lama dipeluk oleh Snow.Snow kini tengah duduk berada jauh dari Elena, mengetahui jika penyebab flu-nya saat ini adalah karena dirinya.Elena tersenyum, dia memandangi Snow dari tempatnya duduk sambil menyeruput kopinya. Rasanya tadi malam sangat aneh, apalagi ketika Snow memeluknya seperti itu.Elena merasakan bagaimana emosi mahkluk itu. Dia sudah jauh berbeda dari Snow waktu pertama kali ia temukan beberapa waktu yang lalu.“Snow aku akan berangkat sekarang, kau bisa jaga rumah lagi kan?” tanya Elena.Ia mendekati Snow kemudian sedikit membungkuk, wajahnya dan wajah Snow saling berhadapan. Tetapi entah mengapa Elena merasakan wajahnya memanas karena tatapan Snow saat itu.“Elena, maafkan aku.”Mata Elena membulat karena terkejut, mengapa Snow memi

  • I Called You SNOW   12. Manusia yang Egois

    Author POVBRUK!!!Elena terjatuh tepat ketika dia sudah sampai di depan rumahnya. Bayangan Snow muncul sesaat setelah suara itu terdengar di telinganya.“Elena!” panggil Snow.Ia berlari karena mencemaskan Elena. Karena dia tahu jika tadi malam kakinya terluka akibat hampir terjatuh ke dasar tebing.“Kau kenapa?” tanya Snow.Ia membantu Elena berdiri, mengangkat tubuh Elena dengan memegang kedua lengan Elena.“Snow,” panggil Elena lirih. “Aku—aku baru saja melihat kejadian aneh di rumah itu.” Elena menunjuk sebuah desa yang lumayan dekat dari rumahnya.Snow melihat apa yang ditunjuk oleh Elena kemudian melihatnya dengan wajah bingung. “Ada apa dengan rumah itu, Elena?”Elena diam. Ia mengamati wajah Snow dengan lekat. Ia ingin memastikan jika kejadian tadi tidak ada sangkut pautnya dengan lelaki yang ada di depannya saat ini.

  • I Called You SNOW   11. Kejadian Aneh

    Author POV"Apa kau tidak kedinginan?" tanya Snow.Ia memutuskan menggendong Elena ketika dia melihat kaki wanita itu mendapatkan sedikit luka di pergelangan kakinya."Tidak," jawab Elena.Snow hendak menceritakan dengan siapa ia bertemu barusan. Tetapi ia urungkan begitu tahu jika Elena tidak menyukai jika dia membahas mengenai kepergiannya nanti.Selama di perjalanan mereka berdua saling diam dan sibuk dengan pikiran masing-masing.Kepala Elena bersandar pada punggung Snow. Ia sama sekali tidak merasa dingin saat ini. Karena semuanya teralihkan pada pikirannya tentang Snow yang hendak pergi dari rumahnya tadi."Kau tak boleh pergi, apalagi seperti tadi," ucap Elena pelan."Iya.""Atau aku akan membencimu dalam seumur hidupku."

  • I Called You SNOW   10. Dasar Bodoh

    Author POVSelama tinggal bersama dengan Elena, Snow tak pernah merasakan yang namanya terabaikan seperti tadi.Ia merasa jika Elena sangat jauh dengannya. Elena adalah seorang manusia biasa yang sudah terbiasa dengan hawa hangat di dalam tubuhnya.Elena bukan seperti dirinya yang hanya membutuhkan hawa dingin. Dan Snow menjadi sadar jika Elena dan dirinya itu tidaklah sama dan sangat berbeda.Snow bangkit dari duduknya ketika ia melihat Elena sangat asik mengobrol dengan Peter. Tawa Elena, tak pernah terdengar ketika bersama dengan Snow.Bahkan ketika dia keluar dari rumah itu pun. Elena tidak menyadarinya."Sepertinya kau tidak membutuhkanku lagi, Elena," gumam Snow.Ia menatap rumah itu dari depan halaman rumah Elena. Kakinya menapak tumpukan salju tebal."Kalau aku pergi, pasti kau tidak aka

  • I Called You SNOW   9. Jangan Pergi

    Aku sempat pingsan sampai satu jam. Dan orang yang mengangkat tubuhku ke atas ranjang adalah Snow. Yah, siapa lagi kalau bukan dia, karena tak mungkin Peter yang akan menggendongku.Tapi, ngomong-ngomong soal Peter, aku masih tidak enak karena aku tidak masuk bekerja di hari keduaku.“Maafkan aku, Peter,” ucapku tadi ketika di telepon.“Tak apa-apa, Elena. Yang penting kau harus sembuh dulu.”Aku yakin jika Peter saat ini tidak baik-baik saja, sebab aku sempat mendengar suara pelanggan yang memanggilnya dan menanyakan stok roti gandum padanya.“Elena, maaf. Aku akan menghubungimu nanti, oke.” Suaranya sangat terburu-buru. Aku berani bertaruh kalau dia sangat sibuk sekarang.Aku menghela napasku, diikuti oleh bayangan yang sejak tadi melihatku di sofa di kamar tidurku.“Maafkan aku, Snow.” Aku memijat kepalaku yang masih pusing. “Aku tak bisa membuatkanmu sarapan sep

  • I Called You SNOW   8. Kupikir Cemburu

    “Apa kau marah padaku, Snow?” tanyaku ketika sejak tadi Snow diam dan tak banyak bicara seperti biasanya.“Tidak,” jawabnya singkat.“Jangan bohong makhluk jelek, aku tau kalau kau sedang marah padaku. Kenapa? Apa karena masalah kue strawberry, hah?”Snow diam, dia malah mendelik tajam ke arahku. Sesekali aku mendengar gumamannya yang tidak jelas dan seperti menggerutu. Aku masih tidak yakin penyebab dia marah kepadaku.Sampai akhirnya dia bertanya padaku dan pertanyaan itu membuatku menjadi bisu.“Apa kau menyukai lelaki tadi, Elena?” tanya Snow.Aku diam. Sama sekali tidak bisa berkata apa-apa atau pun menjawab pertanyaan dari Snow. Dari mana sih, dia bisa bertanya mengenai hal itu padaku?“Kenapa? Kenapa kau bertanya hal itu padaku.” Awalnya aku mengira kalau dia akan cemburu atau semacamnya, tapi ternyata tidak. Semua tidak seperti yang aku pikirkan.

DMCA.com Protection Status