"Waktu itu dia sangat senang ketika kuberikan nama Snow," ucapku pada Foster.
Foster tampak menyukai dengan ceritaku ini.
"Yah, mungkin kalau kau yang memberikan nama itu padaku, aku akan lebih memilih untuk menjadi musuhmu saja," gumam Foster menyebalkan.
"Kau tau, Foster? Mengapa aku memberikan nama itu padanya?"
"Apa?"
Aku tersenyum sambil membayangkan wajah cerah itu. "Karena dia putih dan sangat polos."
"Mana ada lelaki polos, jangan mengelabuiku," ucap Foster tak percaya.
"Awalnya aku pikir dia berpura-pura, tapi ternyata dia benar-benar polos."
**
"Snow? Snow?" Dia mengucapkan nama itu berkali-kali seolah baru saja diberikan satu ton berlian.
"Hmm, Snow. Kau suka?"
Dia mengangguk cepat. "Snow, Snowie."
"Snow, cukup Snow jangan tambahkan apa-apa di belakang. Itu adalah merk penggiling es serut, kau mau jadi es serut, hah?"
Snow hanya tersenyum.
Satu Minggu bersamanya, dan bicaranya sudah cukup lancar. Awalnya aku kesal karena dia terus membeo ucapanku. Namun setelah listrik disalurkan ke dalam rumah, aku mulai menyalakan televisi itu untuknya.
Dan karena itulah dia menjadi banyak bertanya.
"Elena, itu apa?" tanya Snow pada makanan pizza yang berada di dalam iklan.
"Pizza, kenapa? Kau mau?"
"Apa enak?"
"Kalau tak enak tak akan ada yang mau menjual," balasku.
"Aku mau telur dadar buatanmu saja."
Aku tersenyum. "Anak baik," pujiku. Dan dia selalu bangga tiap kali aku mengatakan pujian itu padanya.
Ia sangat menyukai telur dadar, tapi yang dingin. Jangan coba-coba memberikannya sesuatu yang hangat apalagi panas, karena dia akan marah dan yang lebih buruk dari itu adalah dia akan merengut padaku.
Dia akan menunggu sampai dingin, atau terkadang dia akan memberikan es batu di atas telur dadar itu.
"Elena, kau tak bekerja seperti itu?" tanya Snow yang sangat ingin tahu. Layaknya anak empat tahun yang selalu menanyakan apa saja pada ibunya.
Aku menarik satu sudut bibirku, itu bukan mirip seperti permintaan. Melainkan suruhan untukku agar bekerja dan tidak menjadi pengangguran.
"Snow?" panggilku.
"Ya, Elena?"
"Apa kau pernah dipanggang di atas api kompor?" tanyaku sambil menghadap di depan teflon.
"Elena, sepertinya bekerja di rumah itu lebih cocok untukmu."
"Nah, kau tau kan apa maksudku," gumamku dan tersenyum sinis.
Aku malas untuk bekerja di luar. Apalagi kalau harus menghadapi cuaca dingin seperti ini.
Apa aku melanjutkan menulis novel? Tapi aku tak memiliki insiprasi lagi sejak saat ini.
"Snow?"
"Ya, Elena."
"Apa kau tahu kalau aku suka membuat novel?"
"Tidak."
"Makanya aku memberitahumu, bodoh!"
"Oh oke. Novel apa?"
Tiba-tiba aku berpikir, bagaimana kalau aku membuat novel mengenai Snow. Ya, Snow.
"Bagaimana kalau aku membuat novel tentangmu, boleh?" tanyaku sambil membawa telur untuknya dan kopi panas untukku.
Dia melihat cangkir itu seperti melihat ibu tiri yang sedang membawa cambuk.
"Bagus, Elena. Tapi bisakah kau jauhkan kopi itu dariku?" Snow mundur perlahan sambil melihat kopi yang ada di tanganku.
Aku tertawa pelan, dan tahu apa kelemahan Snow. Dia masih ancang-ancang untuk kabur kalau aku sedang sial dan menumpahkan kopi di tubuhnya.
"Oh, oke Snow." Aku meletakkan cangkir di atas meja dan menyerahkan telur itu pada Snow.
"Jadi bagaimana? Kau mau?"
Snow tidak mendengar ucapanku. Dia sibuk makan dengan lahap.
"Elena, itu apa?"
"Strawberry Cake, kenapa? Kau suka?"
"Kau mau membelikannya untukku?"
"Tentu."
Senyumnya mengembang.
"Tapi ada syaratnya."
Dia merengut.
"Elena licik," gumamnya dengan pipi mengembung karena ada isi telur dadar.
"Hei! Tahu darimana kata licik! Wah! Jangan-jangan dari drama di televisi ya!"
"Aku kan harus banyak menonton itu, Elena. Agar bisa banyak bicara."
"Kalau kau mengatakan kata-kata buruk lagi, akan kujual televisi ini," ancamku.
Snow menatapku dengan tatapan layaknya anak anjing yang hendak dibuang pemiliknya. Dan tiba-tiba aku tersihir dan luluh lagi.
"Oke, aku maafkan kali ini. Tapi tidak nanti, mengerti."
Snow mengangguk.
Dasar mahkluk salju polos.
"Jadi tadi bagaimana?" tanya Snow.
"Oh novel itu—jadi—"
"Bukan, strawberry cake maksudku."
"Snow," geramku sambil menjambak rambut Snow yang sangat dingin. Aku sudah kesal setengah mati karena sejak tadi dia hanya mengurus makanan dan perutnya saja.
"Jangan menyentuhku terlalu lama, Elena. Nanti kau bisa sakit."
DEGG!!
Kata-kata itu—kenapa dia mengatakan hal sederhana yang bisa membuat jantungku berdebar.
Aku memang pernah sakit karena terlalu lama berada di dekat Snow. Karena dia berasal dari salju, maka suhunya pun sama seperti itu. Dan sanggup membuatku untuk flu dan meriang beberapa hari.
Dan dia mulai mengerti jika aku dan dia tak bisa berdekatan terlalu lama.
Snow selalu tidur di luar, bersama dengan tumpukan salju. Dan jika sudah pagi, sebelum matahari muncul dia akan masuk ke dalam.
Terkadang dia akan berdiri di depan kulkas begitu lama untuk mendinginkan tubuhnya.
Dan aku juga sadar jika Snow tidak menyukai hawa panas.
"Jadi tadi bagaimana novelmu?" tanyanya kali ini dengan serius, karena makanannya telah habis.
Dasar rakus.
"Aku ingin membuat kisah tentangmu. Bagaimana kamu bisa terjatuh dan terbentuk seperti ini."
"Seperti apa?" tanyanya seakan mengetesku, aku tahu dari wajah penuh harap itu.
"Seperti manusia purba," ledekku.
Kupikir dia akan marah, tapi ternyata tidak.
"Kalau kau memanggilku manusia purba lagi maka kau harus membelikanku kue itu."
"Sejak kapan kau membuat peraturan yang menguntungkanmu?"
"Mulai sekarang."
"Bilang saja kalau kau mau kue itu," desahku sambil menyandarkan punggungku di kursi.
Tabunganku sebentar lagi hampir habis. Mungkin akan cukup jika aku saja yang makan. Namun ini aku harus memberikan makanan pada manusia salju itu setiap hari.
Aku melirik ke arahnya, dia melirik ke arahku dengan iler dimulutnya.
"Lap ilermu dong!"
Dia tersenyum.
"Snow, jadi begini."
"Apa, Elena."
"Di dunia ini tak ada yang gratis."
Dia mengangguk sok mengerti.
"Lalu?"
"Lalu kalau kau mau makan makanan enak, maka kau harus bekerja dulu!" Aku menyentil dahinya, dia tidak mengaduh kesakitan.
Dia malah balik menyentilku. Kurang ajar.
"Oke, Elena. Aku akan bekerja untukmu. Jadi apa yang bisa kulakukan untukmu?"
"Hei, jangan bilang seperti itu. Kalau tetangga dengar mereka akan mengira kau itu budakku."
"Budak? Apa itu budak? Apa rasanya enak?"
"Hmm, sangat enak."
Aku harus melatih kesabaranku setiap hari. Karena seperti hidup dengan anak pendidikan dini. Namun bedanya ini dalam king size.
"Oke Snow, kalau nanti novelku sukses. Kau akan kuberikan kue strawberry itu sampai satu rumah. Sampai kau minta ampun padaku, jadi bagaimana?"
Snow mengangguk seperti orang bodoh lagi. Dan hal itulah yang membuatku sangat ingin melindunginya. Dari dunia luar—karena dia tidak akan pernah tahu hidup di dunia luar itu seperti apa-apa.
"Elena?"
"Hmm."
"Ciuman itu apa?"
Aku meliriknya dengan ekor mataku.
"Snow! Matikan tv dan bersihkan rumah ini!" suruhku dengan wajah yang memerah dan panas.
Tv terkutuk! Akan kubakar nanti kalau Snow tidur.
"Snow, kau ada di mana?" tanyaku sambil mencari Snow. Biasanya jam tujuh pagi dia sudah ada di dalam rumah tapi aku tidak melihatnya di mana-mana."Aku di dalam kamar mandi, Elena!" sahutnya.Tanpa berpikiran apa-apa aku pun langsung membuka pintu kamar mandi dan akan pamitan padanya kalau aku akan pergi ke kota pagi ini."Aku akan pergi ke ko—""Astaga! Kau tak perlu berdiri seperti itu bodoh! Dan tolong tutup itumu dulu!" Aku menutup pintu kamar mandi dengan tergesa.Malu rasanya karena sudah dua kali aku dipermainkan oleh Snow seperti ini."Kau mau ke kota, Elena?" Snow keluar dari kamar mandi. Dengan handuk melilit bagian bawahnya.Aku melirik sedikit dan kini bisa menatap wajahnya secara penuh."Kau mau beli kue strawberry untukku?"Dasar si rakus! Selalu saja makanan yang ada di dalam kepalanya!"B
"Elena, ini siapa?" tanya Snow menunjuk foto kedua orang tuaku yang ada di atas perapian."Itu—orang tuaku," jawabku."Lalu gadis kecil ini?""Itu aku.""Kau cantik sejak kecil, Elena."Entah itu pujian atau hanya gombalan yang baru dipelajari oleh Snow. Tapi baru kali ini aku tidak menangis ketika ditanya mengenai orang tuaku.Orang tuaku yang meninggal ketika umurku masih delapan tahun. Kalau saja dulu aku ikut mereka, mungkin aku tak akan menjadi yatim piatu seperti ini."Mereka ada di mana, Elena? Mengapa aku tak pernah melihat mereka?""Mereka—" Akhirnya aku tak bisa menahan air mata yang sudah berkumpul di pelupuk mata.Aku melihat bayangan Snow bergerak menghampiriku yang saat ini sedang membersihkan debu di sofaku."Mereka—sudah meninggal, Snow," jawabku pelan lalu sekuat tenaga aku menahan agar tangisan ini
Untuk pertama kalinya, aku meninggalkan Snow berada di rumah itu sendirian. Bukan hanya satu atau dua jam, melainkan sampai enam jam lamanya karena aku harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan kami berdua.Apalagi akhir-akhir ini Snow sangat menyukai makanan manis yang harganya sebenarnya lumayan. Bisa untukku hidup selama satu minggu.Bus datang tak lama aku menunggu. Mulai hari ini aku akan menjalani hidup yang lumayan sibuk.“Dia sedang apa ya?” tanyaku pada diriku sendiri ketika menatap ke arah jendela. Tak mungkin dia akan bertahan menjadi batu selama seharian.Aku tersenyum tanpa sadar. Mengapa tingkah Snow bisa membuatku menjadi aneh seperti ini?Aku tidak tahu apakah dia benar-benar polos atau bagaimana. Tetapi yang aku rasakan selama tinggal dengannya dia itu sangat manis. Sikapnya sangat menggemaskan dan membuatku tidak merasa kesepian lagi.Namun ketika teringat jika dia ti
“Harusnya tadi kita naik motor saja, Elena,” ucap Peter ketika kami baru saja turun dari bis yang mengantarkan kota sampai ke desa.Aku menoleh terkejut ke arahnya, tak mengerti sekaligus penasaran.“Memangnya kenapa? Aku lebih suka jalan kaki.”“Apa kau tak lelah?”Apa Peter sedang perhatian padaku. Mengapa dia bertanya hal itu padaku. Memang sih aku lelah, karena sudah berdiri seharian di belakang meja kasir. Bahkan tidak bisa duduk lantaran pengunjung yang tak ada hentinya.“Tidak.”Ya, aku menjawab seperti itu saja pada Peter.Ia kemudian mengedarkan pandangannya ke sekitar. Malam belum begitu larut. Padahal masih jam enam. Tetapi sudah mulai gelap karena lampu penerangan yang jarang.“Apa kau yakin akan terus pulang pergi dengan jalan ini?”“Iya, memangnya kenapa?”“Kupikir kau harus ditemani oleh seseorang Ele
“Apa kau marah padaku, Snow?” tanyaku ketika sejak tadi Snow diam dan tak banyak bicara seperti biasanya.“Tidak,” jawabnya singkat.“Jangan bohong makhluk jelek, aku tau kalau kau sedang marah padaku. Kenapa? Apa karena masalah kue strawberry, hah?”Snow diam, dia malah mendelik tajam ke arahku. Sesekali aku mendengar gumamannya yang tidak jelas dan seperti menggerutu. Aku masih tidak yakin penyebab dia marah kepadaku.Sampai akhirnya dia bertanya padaku dan pertanyaan itu membuatku menjadi bisu.“Apa kau menyukai lelaki tadi, Elena?” tanya Snow.Aku diam. Sama sekali tidak bisa berkata apa-apa atau pun menjawab pertanyaan dari Snow. Dari mana sih, dia bisa bertanya mengenai hal itu padaku?“Kenapa? Kenapa kau bertanya hal itu padaku.” Awalnya aku mengira kalau dia akan cemburu atau semacamnya, tapi ternyata tidak. Semua tidak seperti yang aku pikirkan.
Aku sempat pingsan sampai satu jam. Dan orang yang mengangkat tubuhku ke atas ranjang adalah Snow. Yah, siapa lagi kalau bukan dia, karena tak mungkin Peter yang akan menggendongku.Tapi, ngomong-ngomong soal Peter, aku masih tidak enak karena aku tidak masuk bekerja di hari keduaku.“Maafkan aku, Peter,” ucapku tadi ketika di telepon.“Tak apa-apa, Elena. Yang penting kau harus sembuh dulu.”Aku yakin jika Peter saat ini tidak baik-baik saja, sebab aku sempat mendengar suara pelanggan yang memanggilnya dan menanyakan stok roti gandum padanya.“Elena, maaf. Aku akan menghubungimu nanti, oke.” Suaranya sangat terburu-buru. Aku berani bertaruh kalau dia sangat sibuk sekarang.Aku menghela napasku, diikuti oleh bayangan yang sejak tadi melihatku di sofa di kamar tidurku.“Maafkan aku, Snow.” Aku memijat kepalaku yang masih pusing. “Aku tak bisa membuatkanmu sarapan sep
Author POVSelama tinggal bersama dengan Elena, Snow tak pernah merasakan yang namanya terabaikan seperti tadi.Ia merasa jika Elena sangat jauh dengannya. Elena adalah seorang manusia biasa yang sudah terbiasa dengan hawa hangat di dalam tubuhnya.Elena bukan seperti dirinya yang hanya membutuhkan hawa dingin. Dan Snow menjadi sadar jika Elena dan dirinya itu tidaklah sama dan sangat berbeda.Snow bangkit dari duduknya ketika ia melihat Elena sangat asik mengobrol dengan Peter. Tawa Elena, tak pernah terdengar ketika bersama dengan Snow.Bahkan ketika dia keluar dari rumah itu pun. Elena tidak menyadarinya."Sepertinya kau tidak membutuhkanku lagi, Elena," gumam Snow.Ia menatap rumah itu dari depan halaman rumah Elena. Kakinya menapak tumpukan salju tebal."Kalau aku pergi, pasti kau tidak aka
Author POV"Apa kau tidak kedinginan?" tanya Snow.Ia memutuskan menggendong Elena ketika dia melihat kaki wanita itu mendapatkan sedikit luka di pergelangan kakinya."Tidak," jawab Elena.Snow hendak menceritakan dengan siapa ia bertemu barusan. Tetapi ia urungkan begitu tahu jika Elena tidak menyukai jika dia membahas mengenai kepergiannya nanti.Selama di perjalanan mereka berdua saling diam dan sibuk dengan pikiran masing-masing.Kepala Elena bersandar pada punggung Snow. Ia sama sekali tidak merasa dingin saat ini. Karena semuanya teralihkan pada pikirannya tentang Snow yang hendak pergi dari rumahnya tadi."Kau tak boleh pergi, apalagi seperti tadi," ucap Elena pelan."Iya.""Atau aku akan membencimu dalam seumur hidupku."
"Snow.""Hmmm.""Malam ini … tidurlah di dalam rumah."Untuk pertama kalinya aku meminta permintaan bodoh itu pada Snow.**Hangat ...Rasanya sangat hangat. Sampai aku tak percaya jika yang ada di belakangku dan yang sedang memelukku saat ini adalah Snow.Ya, Snow. Lelaki yang sangat dingin itu tiba-tiba menjadi terasa sangat hangat.Pelukannya dan tangannya yang melingkar di tubuhku. Entah mengapa rasanya sangat aneh.Debaran jantungku terasa sangat cepat. Padahal aku tak pernah merasa seperti ini sebelumnya.Snow bergerak. Aku memilih untuk berpura-pura untuk memejamkan mataku. Lalu ... Snow seperti dengan sengaja mengecup pangkal leherku. Dan sekuat tenaga aku menahan rasa geli itu.Kemudian ... Aku merasakan ada yang janggal di bawah sana. Maksudku di bagian tubuh bawah Snow. Kenapa bisa
Snow tersenyum kepadaku. Dan anehnya rasa dingin yang ada di tangannya berubah menjadi sedikit hangat. Apa benar ciuman itu dapat membuatnya menjadi seperti ini?"Wah hebat!” Suara itu terdengar dari seseorang yang berada di depan kami. Seorang wanita yang tadi aku temui beberapa kali menatap kami sambil bertepuk tangan.Namun bukan tatapan senang—ada sedikit kebencian dari sorot mata itu.Sebenarnya dia siapa?---------------------------------Aku menoleh ke arah Snow. Bertanya padanya apakah dia mengenalnya?"Elena, kau tunggu di sini sebentar," ucap Snow.Setelah aku mengangguk. Snow kemudian menghampiri wanita yang masih berdiri tak jauh di depan kami.Tangan Snow menarik tangan wanita itu kemudian membawanya pergi menjauh dariku.Tampak dari kejauhan jika Snow sangat serius pada wanita yang mungkin
Elena POVAku tidak tahu mengapa Peter seperti itu seharian. Maksudku, ia tampak tidak semangat seperti biasanya.Bahkan hari ini dia sudah sering membuat kesalahan dengan salah menghitung uang kembalian pada pelanggan ketika menggantikanku saat aku makan siang.“Maafkan saya,” ucap Peter merasa tidak enak pada pelanggan. Dia kemudian memberikan sisa uang yang seharusnya diberikan pada pelanggan yang kembali lagi karena merasa uang kembaliannya masih kurang.“Peter, apa kau tak apa-apa?” Aku bertanya pada Peter.“Kau sudah selesai makan?” Dia malah berbalik tanya kepadaku.Aku mengangguk, kemudian mengambil alih meja kasir.“Aku akan makan kalau begitu.” Peter langsung pergi begitu saja.Awalnya aku memang ingin tidak peduli pada Peter. Tetapi ini benar-benar mengangguku apalagi melihat dia menjadi seperti ini. Sebenarnya aku sama sekali tidak
Author POVHATCHIII!!!!Elena pagi itu bersin-bersin, mungkin karena tadi malam dia lama dipeluk oleh Snow.Snow kini tengah duduk berada jauh dari Elena, mengetahui jika penyebab flu-nya saat ini adalah karena dirinya.Elena tersenyum, dia memandangi Snow dari tempatnya duduk sambil menyeruput kopinya. Rasanya tadi malam sangat aneh, apalagi ketika Snow memeluknya seperti itu.Elena merasakan bagaimana emosi mahkluk itu. Dia sudah jauh berbeda dari Snow waktu pertama kali ia temukan beberapa waktu yang lalu.“Snow aku akan berangkat sekarang, kau bisa jaga rumah lagi kan?” tanya Elena.Ia mendekati Snow kemudian sedikit membungkuk, wajahnya dan wajah Snow saling berhadapan. Tetapi entah mengapa Elena merasakan wajahnya memanas karena tatapan Snow saat itu.“Elena, maafkan aku.”Mata Elena membulat karena terkejut, mengapa Snow memi
Author POVBRUK!!!Elena terjatuh tepat ketika dia sudah sampai di depan rumahnya. Bayangan Snow muncul sesaat setelah suara itu terdengar di telinganya.“Elena!” panggil Snow.Ia berlari karena mencemaskan Elena. Karena dia tahu jika tadi malam kakinya terluka akibat hampir terjatuh ke dasar tebing.“Kau kenapa?” tanya Snow.Ia membantu Elena berdiri, mengangkat tubuh Elena dengan memegang kedua lengan Elena.“Snow,” panggil Elena lirih. “Aku—aku baru saja melihat kejadian aneh di rumah itu.” Elena menunjuk sebuah desa yang lumayan dekat dari rumahnya.Snow melihat apa yang ditunjuk oleh Elena kemudian melihatnya dengan wajah bingung. “Ada apa dengan rumah itu, Elena?”Elena diam. Ia mengamati wajah Snow dengan lekat. Ia ingin memastikan jika kejadian tadi tidak ada sangkut pautnya dengan lelaki yang ada di depannya saat ini.
Author POV"Apa kau tidak kedinginan?" tanya Snow.Ia memutuskan menggendong Elena ketika dia melihat kaki wanita itu mendapatkan sedikit luka di pergelangan kakinya."Tidak," jawab Elena.Snow hendak menceritakan dengan siapa ia bertemu barusan. Tetapi ia urungkan begitu tahu jika Elena tidak menyukai jika dia membahas mengenai kepergiannya nanti.Selama di perjalanan mereka berdua saling diam dan sibuk dengan pikiran masing-masing.Kepala Elena bersandar pada punggung Snow. Ia sama sekali tidak merasa dingin saat ini. Karena semuanya teralihkan pada pikirannya tentang Snow yang hendak pergi dari rumahnya tadi."Kau tak boleh pergi, apalagi seperti tadi," ucap Elena pelan."Iya.""Atau aku akan membencimu dalam seumur hidupku."
Author POVSelama tinggal bersama dengan Elena, Snow tak pernah merasakan yang namanya terabaikan seperti tadi.Ia merasa jika Elena sangat jauh dengannya. Elena adalah seorang manusia biasa yang sudah terbiasa dengan hawa hangat di dalam tubuhnya.Elena bukan seperti dirinya yang hanya membutuhkan hawa dingin. Dan Snow menjadi sadar jika Elena dan dirinya itu tidaklah sama dan sangat berbeda.Snow bangkit dari duduknya ketika ia melihat Elena sangat asik mengobrol dengan Peter. Tawa Elena, tak pernah terdengar ketika bersama dengan Snow.Bahkan ketika dia keluar dari rumah itu pun. Elena tidak menyadarinya."Sepertinya kau tidak membutuhkanku lagi, Elena," gumam Snow.Ia menatap rumah itu dari depan halaman rumah Elena. Kakinya menapak tumpukan salju tebal."Kalau aku pergi, pasti kau tidak aka
Aku sempat pingsan sampai satu jam. Dan orang yang mengangkat tubuhku ke atas ranjang adalah Snow. Yah, siapa lagi kalau bukan dia, karena tak mungkin Peter yang akan menggendongku.Tapi, ngomong-ngomong soal Peter, aku masih tidak enak karena aku tidak masuk bekerja di hari keduaku.“Maafkan aku, Peter,” ucapku tadi ketika di telepon.“Tak apa-apa, Elena. Yang penting kau harus sembuh dulu.”Aku yakin jika Peter saat ini tidak baik-baik saja, sebab aku sempat mendengar suara pelanggan yang memanggilnya dan menanyakan stok roti gandum padanya.“Elena, maaf. Aku akan menghubungimu nanti, oke.” Suaranya sangat terburu-buru. Aku berani bertaruh kalau dia sangat sibuk sekarang.Aku menghela napasku, diikuti oleh bayangan yang sejak tadi melihatku di sofa di kamar tidurku.“Maafkan aku, Snow.” Aku memijat kepalaku yang masih pusing. “Aku tak bisa membuatkanmu sarapan sep
“Apa kau marah padaku, Snow?” tanyaku ketika sejak tadi Snow diam dan tak banyak bicara seperti biasanya.“Tidak,” jawabnya singkat.“Jangan bohong makhluk jelek, aku tau kalau kau sedang marah padaku. Kenapa? Apa karena masalah kue strawberry, hah?”Snow diam, dia malah mendelik tajam ke arahku. Sesekali aku mendengar gumamannya yang tidak jelas dan seperti menggerutu. Aku masih tidak yakin penyebab dia marah kepadaku.Sampai akhirnya dia bertanya padaku dan pertanyaan itu membuatku menjadi bisu.“Apa kau menyukai lelaki tadi, Elena?” tanya Snow.Aku diam. Sama sekali tidak bisa berkata apa-apa atau pun menjawab pertanyaan dari Snow. Dari mana sih, dia bisa bertanya mengenai hal itu padaku?“Kenapa? Kenapa kau bertanya hal itu padaku.” Awalnya aku mengira kalau dia akan cemburu atau semacamnya, tapi ternyata tidak. Semua tidak seperti yang aku pikirkan.