Home / Romansa / I Called You SNOW / 2. Lelaki yang Berasal dari Salju

Share

2. Lelaki yang Berasal dari Salju

Author: Intan SR
last update Last Updated: 2021-03-16 22:43:03

"Hei, bangun!" Aku menendang kaki lelaki itu dengan ujung jempolku karena kupikir akan menyakitkan jika dia kutendang dengan kekuatan kakiku.

Dia masih bergeming. Aku berniat mendekatinya, barangkali dia mati. Atau—tidak, dia tak boleh mati. Aku tak boleh menjadi pembunuh di usia muda. Ehm—maksudku meski tua nanti aku juga tak boleh jadi pembunuh.

"Hei, lelaki mesum. Bangun, atau akan kuguyur kau dengan air dingin," bisikku sedikit mengancam.

Dan anehnya lelaki itu langsung terduduk dan menatap ke arahku.

"Kau mengerti aku bilang apa?" tanyaku, aku berjongkok dengan jarak lima meter darinya setelah berhasil membuat dia tersadar.

Dia mengangguk.

"Darimana kau berasal?"

Wajahnya menengadah menatap ke arah langit.

"Pohon? Kau pikir aku akan percaya?"

Dia tersenyum.

Sial! Senyum itu sangat mematikan untuk jantungku. Senyum yang sangat polos itu dengan bibirnya yang kemerahan dan matanya yang biru. Rahangnya terpahat dengan sempurna.

Apa dia peri?

"Apa kau manusia?"

Dia berpikir sebentar kemudian menggelengkan kepalanya. Aku sontak sedikit menjauh darinya.

Jangan-jangan dia vampire.

"Kau—vampir?"

Dia menggelengkan kepalanya lagi.

"Hantu?"

Dia merengut, baru kali ini aku melihatnya merengut apa itu artinya dia tak suka jika kusebut hantu?

"Lalu kau ini apa?"

Kenapa dia tak mau berbicara? Apa dia bisu? Tapi—sayang sekali kalau lelaki setampan dia bisu. Aku langsung menggelengkan kepalaku sedetik kemudian. Mana mungkin aku menganggapnya tampan.

Aku tertawa samar. Dia tak boleh tahu kalau aku diam-diam memujinya.

Dan …

Tali itu terlepas dengan sendirinya. Mataku hampir melompat dari tempatnya. Kalau dia bisa melepaskan diri mengapa tidak dari tadi malam saja?

Dan setelah dia mampu melepaskan diri. Lelaki itu berlari ke halaman tanpa busana. Kemudian berbaring di atas tumpukan salju tebal dan tampak sangat bahagia.

"Hei! Setidaknya pakai baju!"

Aku langsung berlari. Pemandangan ini tak baik untuk kesucian mataku. Selama ini aku tak pernah melihat lelaki telanjang di depan mataku dengan begitu percaya diri.

Dengan gegas aku berlari masuk ke dalam kamar ayahku. Aku mencari baju lama ayahku yang mungkin masih ada di sana.

Dan ketika aku membuka sebuah peti tua, di sana ada beberapa baju ayahku ketika dia belum ke rumah baru.

Itu artinya baju ketika ayahku masih muda.

Aku mengambil celana panjang dan juga kaos yang mudah dikenakan. Sampai di halaman aku melihat lelaki itu menengadahkan wajahnya ke langit dan tersenyum.

Seakan dia menyukai salju yang masih turun hari ini.

"Hei! Pakai baju!" seruku dia menoleh ke arahku.

Sial! Setidaknya tutup dulu dong itumu.

Aku melemparkan baju dan celana dari tanganku. Dan menyangkut di wajahnya kemudian dia tersenyum.

Dia hanya memandangi baju itu, apa dia tidak menyukainya?

"Kau tak suka dengan pakaian itu?" tanyaku masih dengan berteriak. Tapi tiba-tiba dia berlari ke arahku sangat kencang.

Aku mengambil ancang-ancang kalau dia tiba-tiba memelukku.

Namun itu hanya delusiku saja. Dia menyerahkan baju itu padaku, dan memintaku untuk memakaikannya.

"Kau tak bisa memakainya?"

Dia mengangguk.

"Kau pasti mahkluk purba," gumamku dan dia langsung merengut lagi.

"Maaf, habisnya kau ini masa—pakai baju saja tidak bisa."

Wajahku memanas, mungkin saja saat ini merah. Melihat tubuhnya yang sangat sempurna. Tak hanya wajahnya yang sempurna, tapi tubuhnya juga.

Perutnya rata dengan kotak-kotak seperti lelaki yang kukagumi yang ada di layar ponselku. Apa dia juga rajin pergi ke tampat gym?

"Aku tak bisa memakaikanmu celana," gumamku menatap wajahnya.

Wajahnya tampak bertanya-tanya.

"Jangan bodoh, mana mungkin aku memakaikannya untukmu!"

Aku masuk ke dalam lagi, dan membawa celana pendekku. Aku mempraktikkan bagaimana cara mengenakan celana dan dia melihatnya begitu serius.

Aku ingin tertawa tapi kutahan ketika melihat wajah tampan itu seakan memperhatikan pelajaran fisika di mana ada banyak rumus yang membingungkan.

"Mengerti?"

Dia mengangguk cepat seperti anak anjing puddle. Lucunya.

"Aku akan masuk ke dalam dan aku akan ke sini setelah kau mengenakan celana, oke?!"

Dia mengangguk. Aku tak tahu dia siapa, hanya saja—aku merasa kalau dia bukanlah orang jahat. Dia sangat polos. Dan—jika dia hanya berpura-pura. Mana mungkin dia bisa tahan dengan suhu dingin di luaran sana tanpa menggigil?

Setelah aku selesai membuat teh hangat, aku kembali untuk menemuinya di beranda. Namun dia tidak ada.

"Apa sudah pergi," gumamku. 

Ketika aku hendak masuk sebuah lemparan salju melayang ke beranda. Dan aku melihat lelaki itu sedang tersenyum kepadaku.

"Berhentilah tersenyum seperti orang bodoh," gumamku.

Dia berlari ke arahku lalu menunjukkan salju padaku.

"Salju?"

Dia mengangguk. Aku masih tak mengerti waktu itu apa maksudnya dia menunjukkan salju putih itu.

"Mau main salju?"

Dia menggelengkan kepalanya.

Lalu tangannya menunjuk salju dan dirinya secara bergantian. "Oh kau mau aku menimpukmu dengan salju?"

Dia menggeleng cepat. Sungguh! Aku tak mengerti maksudnya.

Dan setelah dia menunjuk langit, salju lalu dirinya aku menebak. "Apa kau dari salju?" tanyaku.

Dia mengangguk. Sangat semangat seperti anak kecil yang baru saja diberikan permen loli.

"Jangan berbohong, aku bukan orang bodoh," desisku.

Lelaki itu membuang saljunya, lalu memegang kedua pipiku.

Dingin. Sangat dingin.

"Kau sakit?" tanyaku.

Dia menggelengkan kepalanya lagi. Lalu untuk pertama kalinya aku mendengarkan suaranya yang frustrasi karena harus berhadapan dengan perempuan bodoh sepertiku.

"A—ku—bera—sal—dari—sal—ju."

Dia masih terbata, menjelaskan siapa dirinya yang sebenarnya. Dan sialnya aku langsung percaya dengan apa yang dia katakan.

Ketika aku tertegun, kedua sudut bibirnya terangkat membuat senyum manis.

"Bo—doh." Ia berkata masih dengan senyum itu.

Lalu aku tersadar.

"Apa kau bilang! Kau mengatai aku bodoh! Awas kau! Akan kujadikan es serut kalau kau bilang aku bodoh lagi!"

Senyum itu—deretan giginya yang rapi—dan wajahnya yang tampan. Mana mungkin dia berasal dari salju.

Tetapi suhu dingin itu, tidak seperti suhu yang dimiliki manusia. Meskipun dia sedang mengalami hipotermia sekalipun.

PLAK!

Aku menamparnya pelan, agar aku tersadar.

"Sana menjauh dariku, aku kedinginan kalau kau di depanku."

Dia melangkah mundur ke belakang satu langkah.

"Lagi."

Dia mundur lagi seperti apa yang kusuruh.

"Lagi, masih kurang jauh."

Dia mundur dua langkah, sampai—

BRUUK!!

Aku membuatnya terjungkal dari beranda. Tawaku sangat lepas ketika melihat dia terjatuh di atas salju.

Dia tersenyum melihatku tertawa. Aku menghampirinya dan membersihkan wajahnya yang dipenuhi salju.

"Apa aku harus percaya padamu?"

Dia mengangguk. "Harus!"

Aku mengambil salju yang ada di rambutnya. Hati ini mengatakan kalau lelaki itu tak sedang berbohong.

"Oke, aku akan percaya padamu. Tapi kalau sampai kau berbohong—"

Dia memandangku sangat serius.

"Akan kujadikan es serut!"

Dia mengangguk cepat dan mantap.

"Bodoh," desisku.

"Bodoh." Dia membeo ucapanku dan aku dorong tubuh itu sampai terjungkal lagi di atas salju.

Saat itu aku berpikir, mungkin Snow adalah lelaki yang dikirim ayah dan ibuku untuk menemaniku di rumah itu.

Related chapters

  • I Called You SNOW   3. Banyak Bertanya

    "Waktu itu dia sangat senang ketika kuberikan nama Snow," ucapku pada Foster.Foster tampak menyukai dengan ceritaku ini."Yah, mungkin kalau kau yang memberikan nama itu padaku, aku akan lebih memilih untuk menjadi musuhmu saja," gumam Foster menyebalkan."Kau tau, Foster? Mengapa aku memberikan nama itu padanya?""Apa?"Aku tersenyum sambil membayangkan wajah cerah itu. "Karena dia putih dan sangat polos.""Mana ada lelaki polos, jangan mengelabuiku," ucap Foster tak percaya."Awalnya aku pikir dia berpura-pura, tapi ternyata dia benar-benar polos."**"Snow? Snow?" Dia mengucapkan nama itu berkali-kali seolah baru saja diberikan satu ton berlian."Hmm, Snow. Kau suka?"Dia mengangguk cepat. "Snow, Snowie.""Snow, cukup Snow jangan tambahkan apa-apa di belakang. Itu adalah merk pe

    Last Updated : 2021-03-16
  • I Called You SNOW   4. Kue Strawbery untuk Snow

    "Snow, kau ada di mana?" tanyaku sambil mencari Snow. Biasanya jam tujuh pagi dia sudah ada di dalam rumah tapi aku tidak melihatnya di mana-mana."Aku di dalam kamar mandi, Elena!" sahutnya.Tanpa berpikiran apa-apa aku pun langsung membuka pintu kamar mandi dan akan pamitan padanya kalau aku akan pergi ke kota pagi ini."Aku akan pergi ke ko—""Astaga! Kau tak perlu berdiri seperti itu bodoh! Dan tolong tutup itumu dulu!" Aku menutup pintu kamar mandi dengan tergesa.Malu rasanya karena sudah dua kali aku dipermainkan oleh Snow seperti ini."Kau mau ke kota, Elena?" Snow keluar dari kamar mandi. Dengan handuk melilit bagian bawahnya.Aku melirik sedikit dan kini bisa menatap wajahnya secara penuh."Kau mau beli kue strawberry untukku?"Dasar si rakus! Selalu saja makanan yang ada di dalam kepalanya!"B

    Last Updated : 2021-03-17
  • I Called You SNOW   5. Semanis Es Krim

    "Elena, ini siapa?" tanya Snow menunjuk foto kedua orang tuaku yang ada di atas perapian."Itu—orang tuaku," jawabku."Lalu gadis kecil ini?""Itu aku.""Kau cantik sejak kecil, Elena."Entah itu pujian atau hanya gombalan yang baru dipelajari oleh Snow. Tapi baru kali ini aku tidak menangis ketika ditanya mengenai orang tuaku.Orang tuaku yang meninggal ketika umurku masih delapan tahun. Kalau saja dulu aku ikut mereka, mungkin aku tak akan menjadi yatim piatu seperti ini."Mereka ada di mana, Elena? Mengapa aku tak pernah melihat mereka?""Mereka—" Akhirnya aku tak bisa menahan air mata yang sudah berkumpul di pelupuk mata.Aku melihat bayangan Snow bergerak menghampiriku yang saat ini sedang membersihkan debu di sofaku."Mereka—sudah meninggal, Snow," jawabku pelan lalu sekuat tenaga aku menahan agar tangisan ini

    Last Updated : 2021-03-18
  • I Called You SNOW   6. Kehidupan Baru Elena

    Untuk pertama kalinya, aku meninggalkan Snow berada di rumah itu sendirian. Bukan hanya satu atau dua jam, melainkan sampai enam jam lamanya karena aku harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan kami berdua.Apalagi akhir-akhir ini Snow sangat menyukai makanan manis yang harganya sebenarnya lumayan. Bisa untukku hidup selama satu minggu.Bus datang tak lama aku menunggu. Mulai hari ini aku akan menjalani hidup yang lumayan sibuk.“Dia sedang apa ya?” tanyaku pada diriku sendiri ketika menatap ke arah jendela. Tak mungkin dia akan bertahan menjadi batu selama seharian.Aku tersenyum tanpa sadar. Mengapa tingkah Snow bisa membuatku menjadi aneh seperti ini?Aku tidak tahu apakah dia benar-benar polos atau bagaimana. Tetapi yang aku rasakan selama tinggal dengannya dia itu sangat manis. Sikapnya sangat menggemaskan dan membuatku tidak merasa kesepian lagi.Namun ketika teringat jika dia ti

    Last Updated : 2021-03-26
  • I Called You SNOW   7. Cemburu

    “Harusnya tadi kita naik motor saja, Elena,” ucap Peter ketika kami baru saja turun dari bis yang mengantarkan kota sampai ke desa.Aku menoleh terkejut ke arahnya, tak mengerti sekaligus penasaran.“Memangnya kenapa? Aku lebih suka jalan kaki.”“Apa kau tak lelah?”Apa Peter sedang perhatian padaku. Mengapa dia bertanya hal itu padaku. Memang sih aku lelah, karena sudah berdiri seharian di belakang meja kasir. Bahkan tidak bisa duduk lantaran pengunjung yang tak ada hentinya.“Tidak.”Ya, aku menjawab seperti itu saja pada Peter.Ia kemudian mengedarkan pandangannya ke sekitar. Malam belum begitu larut. Padahal masih jam enam. Tetapi sudah mulai gelap karena lampu penerangan yang jarang.“Apa kau yakin akan terus pulang pergi dengan jalan ini?”“Iya, memangnya kenapa?”“Kupikir kau harus ditemani oleh seseorang Ele

    Last Updated : 2021-03-26
  • I Called You SNOW   8. Kupikir Cemburu

    “Apa kau marah padaku, Snow?” tanyaku ketika sejak tadi Snow diam dan tak banyak bicara seperti biasanya.“Tidak,” jawabnya singkat.“Jangan bohong makhluk jelek, aku tau kalau kau sedang marah padaku. Kenapa? Apa karena masalah kue strawberry, hah?”Snow diam, dia malah mendelik tajam ke arahku. Sesekali aku mendengar gumamannya yang tidak jelas dan seperti menggerutu. Aku masih tidak yakin penyebab dia marah kepadaku.Sampai akhirnya dia bertanya padaku dan pertanyaan itu membuatku menjadi bisu.“Apa kau menyukai lelaki tadi, Elena?” tanya Snow.Aku diam. Sama sekali tidak bisa berkata apa-apa atau pun menjawab pertanyaan dari Snow. Dari mana sih, dia bisa bertanya mengenai hal itu padaku?“Kenapa? Kenapa kau bertanya hal itu padaku.” Awalnya aku mengira kalau dia akan cemburu atau semacamnya, tapi ternyata tidak. Semua tidak seperti yang aku pikirkan.

    Last Updated : 2021-04-15
  • I Called You SNOW   9. Jangan Pergi

    Aku sempat pingsan sampai satu jam. Dan orang yang mengangkat tubuhku ke atas ranjang adalah Snow. Yah, siapa lagi kalau bukan dia, karena tak mungkin Peter yang akan menggendongku.Tapi, ngomong-ngomong soal Peter, aku masih tidak enak karena aku tidak masuk bekerja di hari keduaku.“Maafkan aku, Peter,” ucapku tadi ketika di telepon.“Tak apa-apa, Elena. Yang penting kau harus sembuh dulu.”Aku yakin jika Peter saat ini tidak baik-baik saja, sebab aku sempat mendengar suara pelanggan yang memanggilnya dan menanyakan stok roti gandum padanya.“Elena, maaf. Aku akan menghubungimu nanti, oke.” Suaranya sangat terburu-buru. Aku berani bertaruh kalau dia sangat sibuk sekarang.Aku menghela napasku, diikuti oleh bayangan yang sejak tadi melihatku di sofa di kamar tidurku.“Maafkan aku, Snow.” Aku memijat kepalaku yang masih pusing. “Aku tak bisa membuatkanmu sarapan sep

    Last Updated : 2021-04-15
  • I Called You SNOW   10. Dasar Bodoh

    Author POVSelama tinggal bersama dengan Elena, Snow tak pernah merasakan yang namanya terabaikan seperti tadi.Ia merasa jika Elena sangat jauh dengannya. Elena adalah seorang manusia biasa yang sudah terbiasa dengan hawa hangat di dalam tubuhnya.Elena bukan seperti dirinya yang hanya membutuhkan hawa dingin. Dan Snow menjadi sadar jika Elena dan dirinya itu tidaklah sama dan sangat berbeda.Snow bangkit dari duduknya ketika ia melihat Elena sangat asik mengobrol dengan Peter. Tawa Elena, tak pernah terdengar ketika bersama dengan Snow.Bahkan ketika dia keluar dari rumah itu pun. Elena tidak menyadarinya."Sepertinya kau tidak membutuhkanku lagi, Elena," gumam Snow.Ia menatap rumah itu dari depan halaman rumah Elena. Kakinya menapak tumpukan salju tebal."Kalau aku pergi, pasti kau tidak aka

    Last Updated : 2021-04-16

Latest chapter

  • I Called You SNOW   Membantu Mengeluarkannya

    "Snow.""Hmmm.""Malam ini … tidurlah di dalam rumah."Untuk pertama kalinya aku meminta permintaan bodoh itu pada Snow.**Hangat ...Rasanya sangat hangat. Sampai aku tak percaya jika yang ada di belakangku dan yang sedang memelukku saat ini adalah Snow.Ya, Snow. Lelaki yang sangat dingin itu tiba-tiba menjadi terasa sangat hangat.Pelukannya dan tangannya yang melingkar di tubuhku. Entah mengapa rasanya sangat aneh.Debaran jantungku terasa sangat cepat. Padahal aku tak pernah merasa seperti ini sebelumnya.Snow bergerak. Aku memilih untuk berpura-pura untuk memejamkan mataku. Lalu ... Snow seperti dengan sengaja mengecup pangkal leherku. Dan sekuat tenaga aku menahan rasa geli itu.Kemudian ... Aku merasakan ada yang janggal di bawah sana. Maksudku di bagian tubuh bawah Snow. Kenapa bisa

  • I Called You SNOW   15. Permintaan Pertama

    Snow tersenyum kepadaku. Dan anehnya rasa dingin yang ada di tangannya berubah menjadi sedikit hangat. Apa benar ciuman itu dapat membuatnya menjadi seperti ini?"Wah hebat!” Suara itu terdengar dari seseorang yang berada di depan kami. Seorang wanita yang tadi aku temui beberapa kali menatap kami sambil bertepuk tangan.Namun bukan tatapan senang—ada sedikit kebencian dari sorot mata itu.Sebenarnya dia siapa?---------------------------------Aku menoleh ke arah Snow. Bertanya padanya apakah dia mengenalnya?"Elena, kau tunggu di sini sebentar," ucap Snow.Setelah aku mengangguk. Snow kemudian menghampiri wanita yang masih berdiri tak jauh di depan kami.Tangan Snow menarik tangan wanita itu kemudian membawanya pergi menjauh dariku.Tampak dari kejauhan jika Snow sangat serius pada wanita yang mungkin

  • I Called You SNOW   14. Kehangatan

    Elena POVAku tidak tahu mengapa Peter seperti itu seharian. Maksudku, ia tampak tidak semangat seperti biasanya.Bahkan hari ini dia sudah sering membuat kesalahan dengan salah menghitung uang kembalian pada pelanggan ketika menggantikanku saat aku makan siang.“Maafkan saya,” ucap Peter merasa tidak enak pada pelanggan. Dia kemudian memberikan sisa uang yang seharusnya diberikan pada pelanggan yang kembali lagi karena merasa uang kembaliannya masih kurang.“Peter, apa kau tak apa-apa?” Aku bertanya pada Peter.“Kau sudah selesai makan?” Dia malah berbalik tanya kepadaku.Aku mengangguk, kemudian mengambil alih meja kasir.“Aku akan makan kalau begitu.” Peter langsung pergi begitu saja.Awalnya aku memang ingin tidak peduli pada Peter. Tetapi ini benar-benar mengangguku apalagi melihat dia menjadi seperti ini. Sebenarnya aku sama sekali tidak

  • I Called You SNOW   13. Kejutan dari Shopia Winter

    Author POVHATCHIII!!!!Elena pagi itu bersin-bersin, mungkin karena tadi malam dia lama dipeluk oleh Snow.Snow kini tengah duduk berada jauh dari Elena, mengetahui jika penyebab flu-nya saat ini adalah karena dirinya.Elena tersenyum, dia memandangi Snow dari tempatnya duduk sambil menyeruput kopinya. Rasanya tadi malam sangat aneh, apalagi ketika Snow memeluknya seperti itu.Elena merasakan bagaimana emosi mahkluk itu. Dia sudah jauh berbeda dari Snow waktu pertama kali ia temukan beberapa waktu yang lalu.“Snow aku akan berangkat sekarang, kau bisa jaga rumah lagi kan?” tanya Elena.Ia mendekati Snow kemudian sedikit membungkuk, wajahnya dan wajah Snow saling berhadapan. Tetapi entah mengapa Elena merasakan wajahnya memanas karena tatapan Snow saat itu.“Elena, maafkan aku.”Mata Elena membulat karena terkejut, mengapa Snow memi

  • I Called You SNOW   12. Manusia yang Egois

    Author POVBRUK!!!Elena terjatuh tepat ketika dia sudah sampai di depan rumahnya. Bayangan Snow muncul sesaat setelah suara itu terdengar di telinganya.“Elena!” panggil Snow.Ia berlari karena mencemaskan Elena. Karena dia tahu jika tadi malam kakinya terluka akibat hampir terjatuh ke dasar tebing.“Kau kenapa?” tanya Snow.Ia membantu Elena berdiri, mengangkat tubuh Elena dengan memegang kedua lengan Elena.“Snow,” panggil Elena lirih. “Aku—aku baru saja melihat kejadian aneh di rumah itu.” Elena menunjuk sebuah desa yang lumayan dekat dari rumahnya.Snow melihat apa yang ditunjuk oleh Elena kemudian melihatnya dengan wajah bingung. “Ada apa dengan rumah itu, Elena?”Elena diam. Ia mengamati wajah Snow dengan lekat. Ia ingin memastikan jika kejadian tadi tidak ada sangkut pautnya dengan lelaki yang ada di depannya saat ini.

  • I Called You SNOW   11. Kejadian Aneh

    Author POV"Apa kau tidak kedinginan?" tanya Snow.Ia memutuskan menggendong Elena ketika dia melihat kaki wanita itu mendapatkan sedikit luka di pergelangan kakinya."Tidak," jawab Elena.Snow hendak menceritakan dengan siapa ia bertemu barusan. Tetapi ia urungkan begitu tahu jika Elena tidak menyukai jika dia membahas mengenai kepergiannya nanti.Selama di perjalanan mereka berdua saling diam dan sibuk dengan pikiran masing-masing.Kepala Elena bersandar pada punggung Snow. Ia sama sekali tidak merasa dingin saat ini. Karena semuanya teralihkan pada pikirannya tentang Snow yang hendak pergi dari rumahnya tadi."Kau tak boleh pergi, apalagi seperti tadi," ucap Elena pelan."Iya.""Atau aku akan membencimu dalam seumur hidupku."

  • I Called You SNOW   10. Dasar Bodoh

    Author POVSelama tinggal bersama dengan Elena, Snow tak pernah merasakan yang namanya terabaikan seperti tadi.Ia merasa jika Elena sangat jauh dengannya. Elena adalah seorang manusia biasa yang sudah terbiasa dengan hawa hangat di dalam tubuhnya.Elena bukan seperti dirinya yang hanya membutuhkan hawa dingin. Dan Snow menjadi sadar jika Elena dan dirinya itu tidaklah sama dan sangat berbeda.Snow bangkit dari duduknya ketika ia melihat Elena sangat asik mengobrol dengan Peter. Tawa Elena, tak pernah terdengar ketika bersama dengan Snow.Bahkan ketika dia keluar dari rumah itu pun. Elena tidak menyadarinya."Sepertinya kau tidak membutuhkanku lagi, Elena," gumam Snow.Ia menatap rumah itu dari depan halaman rumah Elena. Kakinya menapak tumpukan salju tebal."Kalau aku pergi, pasti kau tidak aka

  • I Called You SNOW   9. Jangan Pergi

    Aku sempat pingsan sampai satu jam. Dan orang yang mengangkat tubuhku ke atas ranjang adalah Snow. Yah, siapa lagi kalau bukan dia, karena tak mungkin Peter yang akan menggendongku.Tapi, ngomong-ngomong soal Peter, aku masih tidak enak karena aku tidak masuk bekerja di hari keduaku.“Maafkan aku, Peter,” ucapku tadi ketika di telepon.“Tak apa-apa, Elena. Yang penting kau harus sembuh dulu.”Aku yakin jika Peter saat ini tidak baik-baik saja, sebab aku sempat mendengar suara pelanggan yang memanggilnya dan menanyakan stok roti gandum padanya.“Elena, maaf. Aku akan menghubungimu nanti, oke.” Suaranya sangat terburu-buru. Aku berani bertaruh kalau dia sangat sibuk sekarang.Aku menghela napasku, diikuti oleh bayangan yang sejak tadi melihatku di sofa di kamar tidurku.“Maafkan aku, Snow.” Aku memijat kepalaku yang masih pusing. “Aku tak bisa membuatkanmu sarapan sep

  • I Called You SNOW   8. Kupikir Cemburu

    “Apa kau marah padaku, Snow?” tanyaku ketika sejak tadi Snow diam dan tak banyak bicara seperti biasanya.“Tidak,” jawabnya singkat.“Jangan bohong makhluk jelek, aku tau kalau kau sedang marah padaku. Kenapa? Apa karena masalah kue strawberry, hah?”Snow diam, dia malah mendelik tajam ke arahku. Sesekali aku mendengar gumamannya yang tidak jelas dan seperti menggerutu. Aku masih tidak yakin penyebab dia marah kepadaku.Sampai akhirnya dia bertanya padaku dan pertanyaan itu membuatku menjadi bisu.“Apa kau menyukai lelaki tadi, Elena?” tanya Snow.Aku diam. Sama sekali tidak bisa berkata apa-apa atau pun menjawab pertanyaan dari Snow. Dari mana sih, dia bisa bertanya mengenai hal itu padaku?“Kenapa? Kenapa kau bertanya hal itu padaku.” Awalnya aku mengira kalau dia akan cemburu atau semacamnya, tapi ternyata tidak. Semua tidak seperti yang aku pikirkan.

DMCA.com Protection Status