Untuk pertama kalinya, aku meninggalkan Snow berada di rumah itu sendirian. Bukan hanya satu atau dua jam, melainkan sampai enam jam lamanya karena aku harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan kami berdua.
Apalagi akhir-akhir ini Snow sangat menyukai makanan manis yang harganya sebenarnya lumayan. Bisa untukku hidup selama satu minggu.
Bus datang tak lama aku menunggu. Mulai hari ini aku akan menjalani hidup yang lumayan sibuk.
“Dia sedang apa ya?” tanyaku pada diriku sendiri ketika menatap ke arah jendela. Tak mungkin dia akan bertahan menjadi batu selama seharian.
Aku tersenyum tanpa sadar. Mengapa tingkah Snow bisa membuatku menjadi aneh seperti ini?
Aku tidak tahu apakah dia benar-benar polos atau bagaimana. Tetapi yang aku rasakan selama tinggal dengannya dia itu sangat manis. Sikapnya sangat menggemaskan dan membuatku tidak merasa kesepian lagi.
Namun ketika teringat jika dia tidak akan bertahan lama di bumi. Apa yang bisa aku lakukan tanpa dirinya?
Sudah beberapa minggu ini aku terbiasa hidup dengan Snow. Membersihkan rumah, makan dan bahkan mencuci baju berdua.
Tiba-tiba aku tak ingin jika musim salju ini berakhir. Aku ingin musim salju ini akan terus ada agar Snow tidak pergi. Aku memang egois.
Dulu aku tidak menyukai musim salju. Bahkan membencinya, karena di saat musim salju orang tuaku meninggalkanku untuk selamanya.
Dan selama musim salju, aku sangat membenci ketika aku harus pergi dengan pakaian tebal. Bahkan aku tidak merasakan indahnya butiran salju yang turun seperti orang-orang. Lalu—Snow datang dan merubah semuanya termasuk merubah perasaan benciku.
Dua puluh menit perjalanan akhirnya aku sampai di sebuah minimarket tempatku bekerja.
Aku gugup, karena ini adalah pertama kalinya aku bekerja dan mencari uang.
“Selamat datang Elena Morrison!”
Penyambutan yang membuatku benar-benar merasa disambut.
“Hai Peter,” sapaku pada lelaki yang bernama Peter, dia adalah senior di sekolahku dulu. Dan sekarang dia juga sedang bekerja di tempat yang sama denganku.
“Aku senang karena kau yang akan menggantikan anak lama.” Dia memberikanku sebuah seragam, dan mengantarkanku ke dalam staff room. Atau lebih pantas disebut dengan gudang stok barang.
Minimarket ini milik Alexander, ayah Peter sendiri. Hanya ada satu minimarket di kota ini jadi banyak orang yang dari desa untuk membeli kebutuhan di toko ini.
“Aku baru tahu kalau kau yang akan menggantikan anak lama,” ucapnya.
Padahal dia sendiri yang kemarin menyambutku ketika aku sedang melihat tulisan lowongan pekerjaan di depan pintu.
“Oh ya, kau tinggal di mana?” tanya Peter.
Ia kemudian berjalan di belakang meja kasir dan mengajarkanku bagaimana cara menggunakannya.
“Aku tinggal di rumah orang tuaku yang lama, ada di desa bawah sana.”
“Wah, desa itu sangat bagus Elena. Apalagi kalau musim semi datang!” decaknya senang.
Tetapi aku tidak ingin memikirkan musim semi dulu, aku ingin menikmati musim salju bersama Snow.
Sesaat kemudian aku melirik ponselku. Aku baru ingat jika Snow tidak memiliki ponsel dan tak bisa menghubunginya kapanpun aku mau.
“Pasti kau sedang menunggu pesan dari pacar,” tebaknya membuatku tersenyum tipis.
Pacar? Memangnya seperti ini rasanya menunggu pesan dari pacar? Tidak, aku tidak sedang menunggu pesan dari pacar.
“Aku akan mengambil stok barang dari gudang, kau tunggu di sini. Dan jika tidak ada yang dimengerti kau bisa memanggilku, oke.”
Aku mengangguk dan melihat punggung Peter menghilang masuk ke dalam gudang.
Rasanya sangat aneh ketika berhadapan dengan Peter. Rasanya sangat berbeda ketika aku berbicara dengan mahkluk polos itu.
Aku melamun sebentar, sebelum akhirnya terkejut ketika mendengar nada dering dari ponselku sendiri.
“Mia?” Aku melihat nama Mia ada di layar ponselku. “Ada apa dia? Tumben sekali menghubungiku.”
“Kenapa?” tanyaku.
“Elene Morrison, lebih baik kau jelaskan padaku apa yang sedang terjadi atau aku akan menghubungi ayah karena kau membawa masuk lelaki ke dalam rumahmu!”
Mataku membulat. Aku lupa jika ada Snow di dalam rumah.
“Oh—itu. Itu dia temanku, dia sedang ada masalah dengan keluarganya makanya dia menginap di tempatku hari ini.”
“Lalu kau berharap aku akan percaya padamu?”
Tidak sih.
“Oh ya Mia, dia sedang apa?”
“Dia mematung di depan televisi, tingkahnya sangat aneh meskipun wajahnya tampan.”
Aku tersenyum. Snow ternyata tidak berbohong padaku. Dia benar-benar membatu di depan televisi seperti janjinya.
“Bisakah kau berikan ponselmu padanya sebentar?”
“Uhmm—oke.”
‘Hei, ada telepon dari Elena.’ Terdengar suara Mia sedang mengajak bicara pada Snow.
‘Elena? Mana Elena?’
‘Di sini, kau cukup bicara dengan alat ini.’
Aku yakin Mia pasti emosi karena tingkah Snow.
‘Jangan berbohong, kau pikir aku bodoh?’
‘Kau memang bodoh,’ desis Mia.
“Snow?” panggilku dan barulah setelah itu mau berbicara denganku.
“Elena, itukah kau? Kau ada di mana? Bisakah kau pulang? Ada orang aneh di rumah kita.”
‘Siapa yang kau bilang aneh!’
“Dia adalah sepupuku Snow, kau harus baik padanya. Dia sepertinya membawa sesuatu untuk kita.”
“Benarkah?”
“Hmm, Mia sudah bilang padaku. Dia sedang membawakan beberapa makanan dari pamanku.”
“Tapi dia sangat pemarah Elena, aku tidak suka,” bisiknya.
‘Aku bisa mendengarmu!’
“Tunggu ya, nanti aku akan kembali lima jam lagi.”
“Elena cepatlah pulang! Aku takut ada wanita asing di dalam rumah ini!”
“Hei, siapa dia? Kenapa dia sangat aneh?”
Aku diam, aku belum menyiapkan jawaban untuk pertanyaan ini. Snow memang terlalu mencolok. Dia masih belum mengerti perkembangan zaman sekarang.
“Bisakah kau tidak mengatakan pada paman untuk masalah ini, Mia. Kumohon,” pintaku.
Lama Mia tidak menjawab, hingga akhirnya dia mengiyakan permintaanku.
“Oke.”
Aku kemudian memutuskan sambungan telepon ketika melihat ada seseorang yang hendak masuk ke dalam toko. Sepertinya dia sedang mengantarkan barang untuk minimarket.
Aku berjalan menghampiri pintu dan membukakan pintu untuknya. Ada beberapa kardus yang berisi beberapa makanan cepat saji. Haruskah kubelikan untuk Snow?
Ah, kenapa aku jadi teringat dengan Snow? Sejak aku keluar dari rumah itu aku selalu teringat dengan lelaki itu.
Padahal ketika ada di rumah kami berdua selalu saja bertengkar dan meributkan hal yang tidak penting.
“Terima kasih, Joseph!” seru Peter yang entah sejak kapan sudah berdiri di sampingku. Membantuku membawakan dua kardus makanan instan yang ada di tanganku.
“Ini berat, lebih baik kau berdiri saja di belakang meja kasir Elena,” ucapnya dengan santai.
“Tapi kan—“
“Ini adalah tugas lelaki.” Peter tersenyum padaku.
Senyum macam apa itu? Kenapa bisa terlihat sangat manis?
“Nanti—aku akan mengantarkan kau pulang. Boleh kan? Karena kau pulang setelah matahari tenggelam jadi kupikir itu sangat berbahaya untukmu.”
Baru kali ini ada seseorang yang menawariku seperti ini. Tetapi kalau dia melihat Snow. Pasti dia akan curiga.
“Sepertinya tidak per—“
“Ayahku yang menyuruh.” Senyum itu mengembang lagi sepertinya kelebihan baking soda.
“Harusnya tadi kita naik motor saja, Elena,” ucap Peter ketika kami baru saja turun dari bis yang mengantarkan kota sampai ke desa.Aku menoleh terkejut ke arahnya, tak mengerti sekaligus penasaran.“Memangnya kenapa? Aku lebih suka jalan kaki.”“Apa kau tak lelah?”Apa Peter sedang perhatian padaku. Mengapa dia bertanya hal itu padaku. Memang sih aku lelah, karena sudah berdiri seharian di belakang meja kasir. Bahkan tidak bisa duduk lantaran pengunjung yang tak ada hentinya.“Tidak.”Ya, aku menjawab seperti itu saja pada Peter.Ia kemudian mengedarkan pandangannya ke sekitar. Malam belum begitu larut. Padahal masih jam enam. Tetapi sudah mulai gelap karena lampu penerangan yang jarang.“Apa kau yakin akan terus pulang pergi dengan jalan ini?”“Iya, memangnya kenapa?”“Kupikir kau harus ditemani oleh seseorang Ele
“Apa kau marah padaku, Snow?” tanyaku ketika sejak tadi Snow diam dan tak banyak bicara seperti biasanya.“Tidak,” jawabnya singkat.“Jangan bohong makhluk jelek, aku tau kalau kau sedang marah padaku. Kenapa? Apa karena masalah kue strawberry, hah?”Snow diam, dia malah mendelik tajam ke arahku. Sesekali aku mendengar gumamannya yang tidak jelas dan seperti menggerutu. Aku masih tidak yakin penyebab dia marah kepadaku.Sampai akhirnya dia bertanya padaku dan pertanyaan itu membuatku menjadi bisu.“Apa kau menyukai lelaki tadi, Elena?” tanya Snow.Aku diam. Sama sekali tidak bisa berkata apa-apa atau pun menjawab pertanyaan dari Snow. Dari mana sih, dia bisa bertanya mengenai hal itu padaku?“Kenapa? Kenapa kau bertanya hal itu padaku.” Awalnya aku mengira kalau dia akan cemburu atau semacamnya, tapi ternyata tidak. Semua tidak seperti yang aku pikirkan.
Aku sempat pingsan sampai satu jam. Dan orang yang mengangkat tubuhku ke atas ranjang adalah Snow. Yah, siapa lagi kalau bukan dia, karena tak mungkin Peter yang akan menggendongku.Tapi, ngomong-ngomong soal Peter, aku masih tidak enak karena aku tidak masuk bekerja di hari keduaku.“Maafkan aku, Peter,” ucapku tadi ketika di telepon.“Tak apa-apa, Elena. Yang penting kau harus sembuh dulu.”Aku yakin jika Peter saat ini tidak baik-baik saja, sebab aku sempat mendengar suara pelanggan yang memanggilnya dan menanyakan stok roti gandum padanya.“Elena, maaf. Aku akan menghubungimu nanti, oke.” Suaranya sangat terburu-buru. Aku berani bertaruh kalau dia sangat sibuk sekarang.Aku menghela napasku, diikuti oleh bayangan yang sejak tadi melihatku di sofa di kamar tidurku.“Maafkan aku, Snow.” Aku memijat kepalaku yang masih pusing. “Aku tak bisa membuatkanmu sarapan sep
Author POVSelama tinggal bersama dengan Elena, Snow tak pernah merasakan yang namanya terabaikan seperti tadi.Ia merasa jika Elena sangat jauh dengannya. Elena adalah seorang manusia biasa yang sudah terbiasa dengan hawa hangat di dalam tubuhnya.Elena bukan seperti dirinya yang hanya membutuhkan hawa dingin. Dan Snow menjadi sadar jika Elena dan dirinya itu tidaklah sama dan sangat berbeda.Snow bangkit dari duduknya ketika ia melihat Elena sangat asik mengobrol dengan Peter. Tawa Elena, tak pernah terdengar ketika bersama dengan Snow.Bahkan ketika dia keluar dari rumah itu pun. Elena tidak menyadarinya."Sepertinya kau tidak membutuhkanku lagi, Elena," gumam Snow.Ia menatap rumah itu dari depan halaman rumah Elena. Kakinya menapak tumpukan salju tebal."Kalau aku pergi, pasti kau tidak aka
Author POV"Apa kau tidak kedinginan?" tanya Snow.Ia memutuskan menggendong Elena ketika dia melihat kaki wanita itu mendapatkan sedikit luka di pergelangan kakinya."Tidak," jawab Elena.Snow hendak menceritakan dengan siapa ia bertemu barusan. Tetapi ia urungkan begitu tahu jika Elena tidak menyukai jika dia membahas mengenai kepergiannya nanti.Selama di perjalanan mereka berdua saling diam dan sibuk dengan pikiran masing-masing.Kepala Elena bersandar pada punggung Snow. Ia sama sekali tidak merasa dingin saat ini. Karena semuanya teralihkan pada pikirannya tentang Snow yang hendak pergi dari rumahnya tadi."Kau tak boleh pergi, apalagi seperti tadi," ucap Elena pelan."Iya.""Atau aku akan membencimu dalam seumur hidupku."
Author POVBRUK!!!Elena terjatuh tepat ketika dia sudah sampai di depan rumahnya. Bayangan Snow muncul sesaat setelah suara itu terdengar di telinganya.“Elena!” panggil Snow.Ia berlari karena mencemaskan Elena. Karena dia tahu jika tadi malam kakinya terluka akibat hampir terjatuh ke dasar tebing.“Kau kenapa?” tanya Snow.Ia membantu Elena berdiri, mengangkat tubuh Elena dengan memegang kedua lengan Elena.“Snow,” panggil Elena lirih. “Aku—aku baru saja melihat kejadian aneh di rumah itu.” Elena menunjuk sebuah desa yang lumayan dekat dari rumahnya.Snow melihat apa yang ditunjuk oleh Elena kemudian melihatnya dengan wajah bingung. “Ada apa dengan rumah itu, Elena?”Elena diam. Ia mengamati wajah Snow dengan lekat. Ia ingin memastikan jika kejadian tadi tidak ada sangkut pautnya dengan lelaki yang ada di depannya saat ini.
Author POVHATCHIII!!!!Elena pagi itu bersin-bersin, mungkin karena tadi malam dia lama dipeluk oleh Snow.Snow kini tengah duduk berada jauh dari Elena, mengetahui jika penyebab flu-nya saat ini adalah karena dirinya.Elena tersenyum, dia memandangi Snow dari tempatnya duduk sambil menyeruput kopinya. Rasanya tadi malam sangat aneh, apalagi ketika Snow memeluknya seperti itu.Elena merasakan bagaimana emosi mahkluk itu. Dia sudah jauh berbeda dari Snow waktu pertama kali ia temukan beberapa waktu yang lalu.“Snow aku akan berangkat sekarang, kau bisa jaga rumah lagi kan?” tanya Elena.Ia mendekati Snow kemudian sedikit membungkuk, wajahnya dan wajah Snow saling berhadapan. Tetapi entah mengapa Elena merasakan wajahnya memanas karena tatapan Snow saat itu.“Elena, maafkan aku.”Mata Elena membulat karena terkejut, mengapa Snow memi
Elena POVAku tidak tahu mengapa Peter seperti itu seharian. Maksudku, ia tampak tidak semangat seperti biasanya.Bahkan hari ini dia sudah sering membuat kesalahan dengan salah menghitung uang kembalian pada pelanggan ketika menggantikanku saat aku makan siang.“Maafkan saya,” ucap Peter merasa tidak enak pada pelanggan. Dia kemudian memberikan sisa uang yang seharusnya diberikan pada pelanggan yang kembali lagi karena merasa uang kembaliannya masih kurang.“Peter, apa kau tak apa-apa?” Aku bertanya pada Peter.“Kau sudah selesai makan?” Dia malah berbalik tanya kepadaku.Aku mengangguk, kemudian mengambil alih meja kasir.“Aku akan makan kalau begitu.” Peter langsung pergi begitu saja.Awalnya aku memang ingin tidak peduli pada Peter. Tetapi ini benar-benar mengangguku apalagi melihat dia menjadi seperti ini. Sebenarnya aku sama sekali tidak
"Snow.""Hmmm.""Malam ini … tidurlah di dalam rumah."Untuk pertama kalinya aku meminta permintaan bodoh itu pada Snow.**Hangat ...Rasanya sangat hangat. Sampai aku tak percaya jika yang ada di belakangku dan yang sedang memelukku saat ini adalah Snow.Ya, Snow. Lelaki yang sangat dingin itu tiba-tiba menjadi terasa sangat hangat.Pelukannya dan tangannya yang melingkar di tubuhku. Entah mengapa rasanya sangat aneh.Debaran jantungku terasa sangat cepat. Padahal aku tak pernah merasa seperti ini sebelumnya.Snow bergerak. Aku memilih untuk berpura-pura untuk memejamkan mataku. Lalu ... Snow seperti dengan sengaja mengecup pangkal leherku. Dan sekuat tenaga aku menahan rasa geli itu.Kemudian ... Aku merasakan ada yang janggal di bawah sana. Maksudku di bagian tubuh bawah Snow. Kenapa bisa
Snow tersenyum kepadaku. Dan anehnya rasa dingin yang ada di tangannya berubah menjadi sedikit hangat. Apa benar ciuman itu dapat membuatnya menjadi seperti ini?"Wah hebat!” Suara itu terdengar dari seseorang yang berada di depan kami. Seorang wanita yang tadi aku temui beberapa kali menatap kami sambil bertepuk tangan.Namun bukan tatapan senang—ada sedikit kebencian dari sorot mata itu.Sebenarnya dia siapa?---------------------------------Aku menoleh ke arah Snow. Bertanya padanya apakah dia mengenalnya?"Elena, kau tunggu di sini sebentar," ucap Snow.Setelah aku mengangguk. Snow kemudian menghampiri wanita yang masih berdiri tak jauh di depan kami.Tangan Snow menarik tangan wanita itu kemudian membawanya pergi menjauh dariku.Tampak dari kejauhan jika Snow sangat serius pada wanita yang mungkin
Elena POVAku tidak tahu mengapa Peter seperti itu seharian. Maksudku, ia tampak tidak semangat seperti biasanya.Bahkan hari ini dia sudah sering membuat kesalahan dengan salah menghitung uang kembalian pada pelanggan ketika menggantikanku saat aku makan siang.“Maafkan saya,” ucap Peter merasa tidak enak pada pelanggan. Dia kemudian memberikan sisa uang yang seharusnya diberikan pada pelanggan yang kembali lagi karena merasa uang kembaliannya masih kurang.“Peter, apa kau tak apa-apa?” Aku bertanya pada Peter.“Kau sudah selesai makan?” Dia malah berbalik tanya kepadaku.Aku mengangguk, kemudian mengambil alih meja kasir.“Aku akan makan kalau begitu.” Peter langsung pergi begitu saja.Awalnya aku memang ingin tidak peduli pada Peter. Tetapi ini benar-benar mengangguku apalagi melihat dia menjadi seperti ini. Sebenarnya aku sama sekali tidak
Author POVHATCHIII!!!!Elena pagi itu bersin-bersin, mungkin karena tadi malam dia lama dipeluk oleh Snow.Snow kini tengah duduk berada jauh dari Elena, mengetahui jika penyebab flu-nya saat ini adalah karena dirinya.Elena tersenyum, dia memandangi Snow dari tempatnya duduk sambil menyeruput kopinya. Rasanya tadi malam sangat aneh, apalagi ketika Snow memeluknya seperti itu.Elena merasakan bagaimana emosi mahkluk itu. Dia sudah jauh berbeda dari Snow waktu pertama kali ia temukan beberapa waktu yang lalu.“Snow aku akan berangkat sekarang, kau bisa jaga rumah lagi kan?” tanya Elena.Ia mendekati Snow kemudian sedikit membungkuk, wajahnya dan wajah Snow saling berhadapan. Tetapi entah mengapa Elena merasakan wajahnya memanas karena tatapan Snow saat itu.“Elena, maafkan aku.”Mata Elena membulat karena terkejut, mengapa Snow memi
Author POVBRUK!!!Elena terjatuh tepat ketika dia sudah sampai di depan rumahnya. Bayangan Snow muncul sesaat setelah suara itu terdengar di telinganya.“Elena!” panggil Snow.Ia berlari karena mencemaskan Elena. Karena dia tahu jika tadi malam kakinya terluka akibat hampir terjatuh ke dasar tebing.“Kau kenapa?” tanya Snow.Ia membantu Elena berdiri, mengangkat tubuh Elena dengan memegang kedua lengan Elena.“Snow,” panggil Elena lirih. “Aku—aku baru saja melihat kejadian aneh di rumah itu.” Elena menunjuk sebuah desa yang lumayan dekat dari rumahnya.Snow melihat apa yang ditunjuk oleh Elena kemudian melihatnya dengan wajah bingung. “Ada apa dengan rumah itu, Elena?”Elena diam. Ia mengamati wajah Snow dengan lekat. Ia ingin memastikan jika kejadian tadi tidak ada sangkut pautnya dengan lelaki yang ada di depannya saat ini.
Author POV"Apa kau tidak kedinginan?" tanya Snow.Ia memutuskan menggendong Elena ketika dia melihat kaki wanita itu mendapatkan sedikit luka di pergelangan kakinya."Tidak," jawab Elena.Snow hendak menceritakan dengan siapa ia bertemu barusan. Tetapi ia urungkan begitu tahu jika Elena tidak menyukai jika dia membahas mengenai kepergiannya nanti.Selama di perjalanan mereka berdua saling diam dan sibuk dengan pikiran masing-masing.Kepala Elena bersandar pada punggung Snow. Ia sama sekali tidak merasa dingin saat ini. Karena semuanya teralihkan pada pikirannya tentang Snow yang hendak pergi dari rumahnya tadi."Kau tak boleh pergi, apalagi seperti tadi," ucap Elena pelan."Iya.""Atau aku akan membencimu dalam seumur hidupku."
Author POVSelama tinggal bersama dengan Elena, Snow tak pernah merasakan yang namanya terabaikan seperti tadi.Ia merasa jika Elena sangat jauh dengannya. Elena adalah seorang manusia biasa yang sudah terbiasa dengan hawa hangat di dalam tubuhnya.Elena bukan seperti dirinya yang hanya membutuhkan hawa dingin. Dan Snow menjadi sadar jika Elena dan dirinya itu tidaklah sama dan sangat berbeda.Snow bangkit dari duduknya ketika ia melihat Elena sangat asik mengobrol dengan Peter. Tawa Elena, tak pernah terdengar ketika bersama dengan Snow.Bahkan ketika dia keluar dari rumah itu pun. Elena tidak menyadarinya."Sepertinya kau tidak membutuhkanku lagi, Elena," gumam Snow.Ia menatap rumah itu dari depan halaman rumah Elena. Kakinya menapak tumpukan salju tebal."Kalau aku pergi, pasti kau tidak aka
Aku sempat pingsan sampai satu jam. Dan orang yang mengangkat tubuhku ke atas ranjang adalah Snow. Yah, siapa lagi kalau bukan dia, karena tak mungkin Peter yang akan menggendongku.Tapi, ngomong-ngomong soal Peter, aku masih tidak enak karena aku tidak masuk bekerja di hari keduaku.“Maafkan aku, Peter,” ucapku tadi ketika di telepon.“Tak apa-apa, Elena. Yang penting kau harus sembuh dulu.”Aku yakin jika Peter saat ini tidak baik-baik saja, sebab aku sempat mendengar suara pelanggan yang memanggilnya dan menanyakan stok roti gandum padanya.“Elena, maaf. Aku akan menghubungimu nanti, oke.” Suaranya sangat terburu-buru. Aku berani bertaruh kalau dia sangat sibuk sekarang.Aku menghela napasku, diikuti oleh bayangan yang sejak tadi melihatku di sofa di kamar tidurku.“Maafkan aku, Snow.” Aku memijat kepalaku yang masih pusing. “Aku tak bisa membuatkanmu sarapan sep
“Apa kau marah padaku, Snow?” tanyaku ketika sejak tadi Snow diam dan tak banyak bicara seperti biasanya.“Tidak,” jawabnya singkat.“Jangan bohong makhluk jelek, aku tau kalau kau sedang marah padaku. Kenapa? Apa karena masalah kue strawberry, hah?”Snow diam, dia malah mendelik tajam ke arahku. Sesekali aku mendengar gumamannya yang tidak jelas dan seperti menggerutu. Aku masih tidak yakin penyebab dia marah kepadaku.Sampai akhirnya dia bertanya padaku dan pertanyaan itu membuatku menjadi bisu.“Apa kau menyukai lelaki tadi, Elena?” tanya Snow.Aku diam. Sama sekali tidak bisa berkata apa-apa atau pun menjawab pertanyaan dari Snow. Dari mana sih, dia bisa bertanya mengenai hal itu padaku?“Kenapa? Kenapa kau bertanya hal itu padaku.” Awalnya aku mengira kalau dia akan cemburu atau semacamnya, tapi ternyata tidak. Semua tidak seperti yang aku pikirkan.