Share

8. Saksi Kematian

Di sebuah kamar yang terletak di bagian teratas lantai kastel dari struktur bangunan megah tersebut, lilin – lilin menyala redup tersebar di sekitar ruangan. Di tengah ruangan terdapat tempat tidur besar dengan baldaquin yang dilapisi dengan kain sutra emas berpadu merah. Di atasnya, seorang gadis terbaring dengan mata terpejam. Wajahnya dipenuhi ekspresi gelisah yang membuat tidurnya tampak sangat terganggu.

“Jadi, kalian membuat keributan di luar hanya untuk melihatnya kesakitan?” tanya Theron dengan nada rendah yang terdengar mencemooh.

Corvina – pingsan di hadapan mereka semua tak lama setelah mendengar pernyataan yang di debatkan para fairy beberapa saat lalu. Rasa sakit di dada – sebenarnya adalah tanda jika potongan ingatan yang lain akan segera menghampiri Corvina.

“Setidaknya kami harus memastikan kondisi ratu,” balas Leucos dengan wajah tak ramah. Lucien tidak banyak bicara di sebelahnya. Namun, tidak dapat dibantah jika tidak ada yang bisa mereka lakukan saat sang ratu kesakitan. Esensi gelap mereka tidak akan mempengaruhi Corvina, bahkan raja iblis harus menanamkan sihirnya sendiri di tubuh sang ratu, tapi rasa sakit itu hanya berkurang sedikit.

Namun, sang ratu tidak mengetahui hal itu. Ratu tidak akan suka jika mengetahui fakta bahwa sebagian esensi gelapnya yang melimpah adalah esensi milik raja iblis yang berusaha menyelamatkannya dari kematian tiga ratus tahun yang lalu.

Theron Eryx. Tidak tahu bagaimana perasaan sebenarnya dari pria itu? Apa yang ia inginkan dari sang ratu? Apa tujuannya mendekati ratu? Bagaimanapun raja iblis terkenal dengan kekejamannya. Tidak mungkin jika raja iblis itu jatuh cinta, kan? Mereka – ras iblis, sangat jarang memiliki perasaan pada lawan jenis.

Leucos tidak dapat menebaknya, namun apa yang ia lihat sekarang masih ekspresi yang sama setiap kali gadis itu kesakitan. Ekspresi campuran antara kekhawatiran dan harapan? Pria itu seperti dipenuhi oleh kasih sayang di balik matanya yang tajam.

Tidak mungkin, Leucos segera menyangkal keterdugaan itu. Raja iblis itu hanya tidak suka ada seseorang yang lebih kuat darinya. Itu sebabnya ia mengawasi sang ratu agar selalu berada di dalam kendalinya.

“Kapan dia akan bangun?” tanya Theron tak sabar.

“Saat ingatannya selesai.”

***

Ramai.

Corvina mengedarkan pandangan di antara keramaian yang ada di sekelilingnya. Ia berdiri di antara para rakyat yang ikut menyaksikan eksekusi seorang gadis yang berdiri tegak di atas panggung dengan kedua tangan terikat di belakang tubuhnya. Rambut perak panjang gadis itu tergerai bebas – hampir menutupi setengah wajahnya. Kulit putihnya dipenuhi dengan luka yang masih basah dan juga mengering, menunjukkan bahwa tidak ada yang baik dari gadis itu. Di depannya, terdapat sebuah alat eksekusi berupa alat penggal yang telah merenggut banyak nyawa.

Corvina hanya diam menyaksikan tanpa melakukan apa pun, mengabaikan sorakan ramai semua orang yang menyuruh gadis itu agar segera mati.

“Bunuh monster itu!” Orang – orang berteriak dengan sangat lantang.

Gadis itu hanya menatap ke bawah bersama kepalanya yang menunduk, namun Corvina dapat menemukan tatapan itu terisi oleh kepasrahan. Mata sembab dan layu, pipi dan bibir yang pucat disertai lebam – semakin menegaskan betapa orang – orang membenci keberadaannya.

Jelas sekali gadis itu disiksa saat di penjara.

Saat langkah lemahnya diseret dengan paksa menuju alat penggal, tubuhnya di dorong hingga berlutut, kemudian rambut panjang itu ditarik ke depan agar kepalanya berada di tempat seharusnya – ekspresi Corvina mulai berubah. Kakinya yang hanya berdiri diam mulai bergerak perlahan.

Tidak! Corvina semakin bergerak cepat. Ia yakin ... gadis itu sempat menatap ke matanya. Gadis itu menatap Corvina seperti Corvina yang menontonnya dari bawah sana. Meski gadis itu tampak sangat lemah, senyum tipis diikuti tatapan dingin menunjukkan sebaliknya. Sebelum hidupnya benar – benar berakhir, gadis itu sempat mengucapkan sesuatu yang tidak dapat terdengar oleh siapa pun.

Dan sampailah pada puncak eksekusi. Benda tajam yang diluncurkan dari atas membuat kepala gadis itu terlepas seketika, membuat Corvina spontan menyentuh lehernya kuat seolah ia berada di posisi gadis itu.

Ia tidak menyukai ini. Mengapa gadis itu diam saja? Mengapa gadis itu membiarkan dirinya sendiri terbunuh? Padahal ada banyak kekuatan dalam dirinya yang bisa melawan semua orang – orang itu. Di saat bersamaan – cairan merah kental merembes keluar dari balik jemari tangannya yang mencekik leher.

Corvina terbangun – terkejut sambil menyentuh lehernya sendiri. Itu hanyalah mimpi – bukan, tapi potongan dari masa lalunya. Batas itu terlalu nyata untuk ia sadari sebagai sesuatu yang pernah terjadi.

“Aku tidak mengerti ... kenapa aku membiarkan mereka membunuhku?” Dengan nafas terengah – rengah. Satu tangannya tanpa sadar mencengkeram leher.

Kemudian, ia teringat oleh ucapan gadis itu. "Bagaimana rasanya disingkirkan berkali-kali? Ingatlah ini di kehidupan selanjutnya, Achlys."

Berdasarkan apa yang diucapkan gadis itu yang adalah dirinya sendiri di masa lalu — menunjukkan jika saat itu merupakan kehidupan yang telah sekian kali ia jalani. Tidak heran jika dirinya di masa itu tidak berniat untuk melawan kematiannya.

Namun, ada ucapan terakhir dari gadis itu yang membuatnya berpikir. "Sampai bertemu lagi dengan diriku yang baru — " Siapa? Untuk siapa ucapan itu ditunjukkan? Ia tidak dapat mendengar nama itu dengan jelas.

Corvina menghela nafas pelan. "Setiap diriku bereinkarnasi ... apakah aku selalu dilahirkan dengan status putri?" tanya Corvina seraya mengarahkan pandangannya kepala empat orang di ujung ruangan.

Para iblis itu — tanpa sadar ia hidup di antara mereka. Padahal mereka adalah ras kegelapan yang sangat dihindari oleh ras manusia. Mau bagaimana lagi? Seluruh pekerja di kastel ini merupakan bangsa iblis, kecuali tiga fairy yang melayaninya secara pribadi.

Leucos mendekat padanya, sedikit menundukkan kepala sebagai tanda hormatnya. "Benar, Ratuku."

"Tiga ratus tahun yang lalu ... apa aku mati dengan terpenggal?"

"Ratu sudah mengingatnya?" Lucien ikut mendekat padanya.

"Siapa saja yang menyaksikan kematianku diantara kalian?"

"Hari itu Ratu menyegel kami semua di hutan ini agar tidak ada yang bisa membantu." Terlihat iblis yang satu ini sedikit kesal saat mengatakannya.

"Kami tidak pernah melihat anda mati, Ratu. Tapi, kami akan mengetahui saat itu terjadi," sambung Leucos.

"Jadi, begitu ...," gumam Corvina. Pantas saja tidak ada siapa pun di sana. Wajar saja, ia lebih suka mati sendirian. Kehadiran mereka hanya akan membuatnya tampak menyedihkan.

Tapi, gadis itu jelas-jelas menyapa seseorang yang ia kenal — seseorang yang mengenal sosoknya di masa lalu. Siapa dia?

"Dia selalu tersenyum di akhir hidupnya. Bukankah dia senang menjemput kematian?" sahut Theron. Mendekat, pria itu mencoba menyentuh leher Corvina.

"Aku telah membunuh banyak orang. Darah dan mayat seperti makanan sehari-hari, tapi saat kau mati — aku ingin menghancurkan kerajaan yang meletakkan tangannya padamu," ucap pria itu dingin.

Theron? Apa itu dia? Pria yang berdiri sebagai saksi menyaksikan kematiannya?

Corvina meraih tangan Theron yang masih menyentuh lehernya. Tanpa ekspresi di wajahnya ia berkata, "Kau bilang bisa menunjukkan hal yang berbeda di kehidupan kali ini, kan? Show me ...."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status