“Dua: Liburan (1)”

"Liburan ke Bali!!?"

Geovani terbelalak histeris mendengar ucapan Drea dari telepon. Setelah adegan beberapa hari lalu itu ternyata belum bisa dilupakan Geovani, Drea berinisiatif mengajaknya liburan bersama ke Bali, berhubung Geovani sudah dianggap saudara jauh oleh keluarga Drea.

"Mau gak? Kalau mau ikut, lo prepare dari sekarang, lusa kita berangkat," jelasnya.

Ada binar terang di mata Geovani. Bali termasuk salah satu pulau impian yang ingin ia datangi. Seumur-umur, perjalanan terjauhnya hanya dari rumah ke rumah sakit saja, tempat mamanya dirawat.

"Memangnya tidak memberatkan Tante Rachel dan Om Angga?" tanya Geovani tidak enak dengan orang tua Drea.

Drea berdecak dari seberang.

"Kayak sama siapa aja, orang mereka yang ajak, kok. Ya udah, besok kita ke Nasa Market, ya." Geovani tersenyum lebar. Hal yang seperti ini saja sangat membuat dirinya bahagia.

"Siap!"

***

Nasa Market, salah satu pasar modern yang menjual lengkap kebutuhan sehari-hari. Sandang dan pangan ada di sana. Harganya pun terjangkau, tidak heran jika toko ini menjadi tujuan utama Drea dan Geovani untuk berbelanja.

Suasananya cukup ramai, mungkin karena faktor harga ekonomis yang mengundang banyak pengunjung.

"Wah ... hari ini membludak sekali pengunjungnya," gumam Geovani melihat banyaknya pengunjung sambil mengibaskan kerah bajunya gerah.

"Engap banget asli. Kita cepet-cepet aja udah, semalam udah gue list apa aja yang harus kita beli." Drea merogoh tas selempangnya, mengambil secarik kertas berisikan nama-nama barang yang akan mereka beli.

Geovani ternganga. Matanya sampai membulat melihat kertas itu.

"Drea, ini serius? Apa tidak terlalu banyak?"

"Hah? Banyak? Segini udah dikurangi malah."

"Begini saja, deh, kamu nomor satu sampai lima puluh. Kemudian, saya selanjutnya sampai habis." Geovani membagi dua kertas tersebut, dan menyerahkan salah satunya ke Drea.

"Tinggal ngomong setengah-setengah aja ribet banget sih lo, Geo," cetus Drea sambil menoyor pelan pundak Geovani, lalu dibalas dengan gelak tawa.

Usai itu, mereka berpisah mencari bagiannya masing-masing. Drea ke arah makanan, camilan, dan buah-buahan. Sedangkan Geovani ke arah barang-barang dan perlengkapan rumah.

Geovani menggeleng membaca satu per satu nama barang.

"Saya heran sama orang kaya ... barang yang belum lama dibeli, kenapa dibeli lagi? Memangnya secepat itu rusak? Huh ... pertama, termos ukuran sedang," gumamnya terheran-heran.

Gadis itu menatap ke sekeliling, mencari keberadaan termos. Setelah mendapati rak berisikan jajaran termos berbagai bentuk, Geovani kebingungan sendiri memilihnya. Dirinya berjalan ke samping sesuai deretan termos tanpa mengalihkan pandangan dari rak tersebut.

"Ah!" Tidak sengaja ia menginjak sesuatu. Gadis itu menunduk setelah menatap cleaning service memegang gagang pel. Dengan cepat, Geovani mengangkat kakinya.

"Saya minta maaf," ujarnya sambil membungkukan tubuh.

Sejak kecil, Geovani memang terbiasa meminta maaf dengan membungkukan punggungnya. Ia menganggap hal itu mengartikan betapa bersalah dirinya. Setelah mendapat respon dari orang yang ia memohonkan maaf, barulah dirinya menjulurkan tangan kanannya untuk berjabatan.

Namun, kali ini berbeda. Sekian menit terbuang untuk mempertahankan posisinya sekarang. Orang di hadapannya tidak mengucap apa pun, tetapi masih berada di depannya. Geovani masih melihat bayangan orang itu.

Sudah tidak sanggup lagi, perlahan gadis itu mendongak. Matanya bergetar melihat orang di hadapannya memasang wajah sangar, walaupun tidak seluruhnya jelas karena mengenakan masker. Buru-buru ia menunduk kembali.

"Ck!" Suara decakan dari orang itu sebelum akhirnya meninggalkan Geovani. Ia kembali berdiri tegak dengan wajah gelisah.

"Geo!" Drea yang datang tiba-tiba dari arah belakang langsung merangkul Geovani, lalu melihat isi kertas di tangannya. "Wah, wah! Lo masih nyari termos??!"

"Eh, Drea. Ya ampun, maaf–" ucapannya terputus ketika dirinya spontan membungkuk, tetapi kemudian punggungnya terasa nyeri. "Aw!"

"Loh?! Kenapa lo?"

Geovani menggeleng mengisyaratkan bahwa dirinya baik-baik saja.

"Yakin? Kalo gak enak badan, lo duduk aja, tinggal setengahnya ini. Sini gue lanjutin," tukas Drea merebut kertas dari genggaman Geovani.

"Benar, kok, saya gak kenapa-kenapa. Cuma tadi ada orang yang nyebelinnya kebangetan. Rasanya mau saya lemparin termos aja! Dasar A (semua hewan yang berawalan huruf 'A')."

Drea terbelalak kaget.

***

Seharian ini mereka menghabiskan waktu di Masa Market. Geovani ditawari menginap oleh Tante Rachel karena malam sudah hampir larut. Namun, ia merasa sudah sangat merepotkan dan memutuskan untuk pulang ke rumah.

"Kalau begitu biar diantar Pak Roni aja, ya. Tunggu di kamar Drea gih sana, Pak Roni masih menjemput Om Angga," ujar Tante Rachel mempersilakan Geovani memasuki kamar Drea.

Mereka berdua pun membawa beberapa barang belanjaan ke kamar Drea.

"Aah ... capek banget hari ini, ya, gak?" Drea yang terlihat kelelahan langsung menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang.

"Omong-omong, gue gak betah mandi keringet begini. Gue mau mandi dulu, kalo nanti Pak Roni datang, lo langsung balik aja. Jangan lupa bawa barang-barang lo," lanjutnya.

Geovani mengangguk paham sambil memilah-milah barang belanjaannya tadi.

"Lo udah bilang papa lo?" tanya Drea hati-hati dari balik pintu lemari, ia sedang menyiapkan pakaiannya dengan handuk yang melingkari leher.

"Belum."

"Eh ...."

"Iya juga, ya? Harusnya saya meminta izin beliau sebelum menerima ajakan kamu." Drea merasa sedikit ada aura berebda dari suara Geovani. Ia mengambil asal pakaian dan langsung menutup pintu lemarinya.

"Tapi, memangnya saya punya papa? Saya harus meminta izin ke siapa? Memangnya saya ada orang tua, Drea?" Pandangan Geovani tidak beralih dari barang-barang di lengannya, tetapi ucapan gadis itu seakan menusuk Drea yang telah bertanya seperti itu.

"Oh ... bukan begitu," sambungnya dengan suara yang semakin parau. "Memangnya ada yang menganggap saya 'anak'?" Drea mendekati Geovani, memeluk erat sahabat dekatnya dari SMP. Ia tahu akan kondisi keluarga Geovani, seharusnya sejak awal ia tidak perlu bertanya-tanya.

"Drea, saya tidak bermaksud apa-apa, hanya ingin meminta pendapat. Menurutmu, jika ada sesuatu yang terjadi kepada saya saat kita di Bali nanti, adakah seseorang yang mengkhawatirkan saya? Seseorang yang seperti dihunus pedang setiap mencemaskan saya. Seseorang yang melantunkan doa untuk saya ketika saya tidak di dekatnya."

Tidak terasa, pipi Geovani sudah dibasahi air matanya. Samar-samar ia melihat figura berisi foto Drea, Tante Rachel, dan Om Angga di hari kelulusan tempo hari. Semuanya terlihat senang. Raut wajah kedua orang tua Drea yang memberi makna bangga terhadap anaknya. Tangan kanan Om Angga di puncak kepala Drea, seperti habis mengelus kepalanya, hal sepele yang belum pernah Geovani dapatkan dari sosok seorang ayah baginya.

Dulu ia menghibur dirinya dengan mengelus kepalanya sendiri. Awalnya ia pikir itu hal yang biasa, jadi tidak perlu merasakan iri hati dan sebagainya. Kemudian, ketika dirinya mendapat peringkat kelas, Bu Ainun selaku wali kelas memberinya hadiah dan mengelus kepalanya. Berbeda dengan biasanya, sentuhan dari Bu Ainun seolah-olah berkomunikasi dengan hati kecilnya bahwa beliau sangat beruntung memiliki murid seperti Geovani ini.

Semakin dewasa, Geovani memahami betapa berharganya hal yang begitu sederhana, tetapi mahal untuknya.

***