Hiruk-pikuk ramainya suasana sudah mendominasi sekolah. Pasukan putih abu-abu yang biasanya berbaur memenuhi koridor, kini berbalut busana kelulusan. Lapangan yang biasa menjadi tempat perkumpulan pun dipenuhi warna-warni kebaya bertoga bagi para siswi, dan jas hitam bagi siswa.
Beberapa sanak saudara dari murid ikut meramaikan agenda ini. Hingga tiba acara penghargaan untuk murid dengan nilai tertinggi, keadaan hening sejenak.
Kepala sekolah menaiki mimbar, lalu memberikan sedikit sambutan sebelum memulai membacakan nama-nama murid berprestasi tersebut.
"Siswi dengan skor akhir tiga puluh lima koma kosong lima, yaitu Ananda Diva Olivia!" Suara tepukan tangan mengantar siswi bernama Diva Olivia menaiki mimbar.
"Siswa dengan skor akhir tiga puluh enam koma kosong kosong, yaitu Ananda Kevin!" Lagi-lagi hal yang sama dilakukan sampai siswa bernama Kevin itu berjabat tangan dengan kepala sekolah.
"Siswa dengan skor akhir tiga puluh delapan koma sembilan delapan, yaitu ...." Kepala sekolah sengaja menggantung ucapannya, berniat membuat semua orang penasaran, tetapi sebenarnya mereka sudah tahu sosok itu.
"Ananda Erlangga Daniel!"
Laki-laki pemilik nama itu tidak menunjukan wajah yang berseri-seri seperti yang lainnya, ia berjalan seolah tidak ada suara tepukan tangan yang mengiringinya, atau bahkan seakan-akan tidak ada acara tersebut.
***
"Geovani, tunggu!"
Geovani menghiraukan Drea, sahabat dekatnya yang mengejarnya sejak tadi. Ya, saat ini acara bebas, mereka bebas melakukan apa pun dalam lingkup sekolah. Ada yang foto bersama keluarga dan teman, makan di kantin sekolah, juga yang anti mainstream, yaitu menembak orang yang disukai, seperti rencana Geovani sekarang.
"Geo, stop!" Drea berhasil menarik pergelangan tangan Geovani, menahannya sebelum melangkah semakin jauh.
"Drea, lepasin! Coba lihat," ujar Geovani sambil menunjuk seseorang yang duduk di atas motor hitam beberapa langkah di depan mereka. "Daniel sudah mau pulang, nanti keburu terlambat."
Memang acara bebas ini disatukan dengan penutupan, sehingga mereka dipersilakan jika ingin pulang.
"Kamu tahu kan, gimana geregetannya saya selama ini?! Mengagumi cowok yang cuek setengah nolep itu beneran gemesin. Facebook gak punya, Instagram gak ada, terus WhatsApp juga gak pakai?! Gila kali dia!" celoteh Geovani mendeskripsikan sosok Daniel di matanya. Drea melongo mendengar Geovani berucap demikian. Pasalnya, Geovani adalah tipe orang yang hampir tidak pernah berkata kasar, apalagi memaki orang lain. Gadis itu justru lebih sering berbahasa formal layaknya KBBI berjalan.
Geovani ingin mengacak-acak rambutnya, tetapi tidak jadi karena tudung toganya menjadi tameng kepala. Gadis itu geram mengingat kejadian selama enam tahun ini, di mana dirinya menyukai Daniel yang pribadinya sangat tertutup, ditambah sikapnya yang dingin. Entah apa yang membuat hatinya terpikat, yang jelas selama ini sudah berbagai cara ia lakukan untuk mendekati Daniel, mulai dari mengejar prestasi, menjadi sok dewasa, mengikuti ekstrakurikuler yang sama, dan lainnya. Namun, satu cara pun tidak ada yang berhasil. Jangankan mengajaknya bicara, Geovani ketahuan sedang menatapnya saja langsung ditinggalkan.
"Ah! Lepas!" Drea terlonjak kaget, rupanya sahabat dekatnya itu memiliki tenaga yang kuat, padahal ia sudah menggenggamnya erat.
"Tunggu dulu, Ge–" ucapannya terputus ketika lengannya ditarik seseorang dari belakang.
"Drea! Lo ke mana aja, sih?! Sini kumpul mau foto bareng." Itu Adel, ketua grup ekstrakulikulernya, Fotografi. Walau seangkatan, tetapi Adel sangat amanah dengan tanggung jawab itu.
Drea menatap punggung sahabatnya nanar, berharap ada secercah cahaya untuk Geovani yang semakin mendekati sosok tadi. Satu detik kemudian, dirinya pasrah mengikuti Adel.
***
Degup jantung yang tak berirama pun kian menyelimuti langkah Geovani, tetapi itu bukan penghalang baginya.
"Paling tidak, jika saya ditolak ... saya bisa memberikan ucapan selamat, terus foto bersama, dan bertukar salam perpisahan," gumamnya dalam hati. Ia menghela napas sambil mengumpulkan keberanian lagi.
Sepanjang koridor, banyak sekali gerombolan siswi yang berencana mengajak Daniel foto bersama. Jelas saja, bukan hanya prestasi, tetapi wajahnya pun mendukung laki-laki itu menjadi bintang sekolah. Hal ini semakin menambah semangat Geovani.
Bruggg!!!
Geovani memukul jok motor lumayan keras, sampai tidak sedikit orang lain menoleh ke arahnya. Ia telah sampai di belakang motor Daniel.Jaket hitam, helm full face, dan tentunya punggung yang pelukable itu semakin mengacaukan irama jantungnya. Ia menghela napas sembari mengumpul sejumlah keberanian.
"Saya suka sama kamu. Suka sekali sejak lama."
Sejurus kemudian, bisik-bisik dari sekeliling Geovani mulai berdentuman menusuk telinganya. Namun, ia tidak peduli, mereka hanya iri karena tidak seberani dirinya, begitu pikir gadis itu.
Sekian detik berlalu tanpa balasan dari orang di hadapannya. Rasa geram dan malu sudah memeluk Geovani. Lalu, motor itu perlahan mundur, membuat dirinya bergeser ke samping.
Sampai ketika ia sejajar dengan sang Penunggang Kuda Mesin, orang itu menaikan sedikit helm-nya.
"Berisik!" Geovani terbelalak.
"Eh!?" Ia berbalik badan melihat barisan parkiran di depan barisannya saat ini, di mana orang yang ia tuju sebenarnya baru saja menjalankan motornya.
Geovani mendadak lemas. Tidak berani berbalik badan kembali menghadap orang yang ia kira adalah Daniel. Rasanya, seperti ada duri dari tangkai mawar yang menancap di urat malunya, ia ingin di telan bumi saat itu juga.
***
Detik demi detik berlalu. Senja pun sudah hampir pudar. Geovani duduk di meja belajarnya sambil menatap kosong langit jingga kebiruan lewat jendela kamar.
Kacau. Pikirannya masih terpaku dengan kejadian tadi siang. Alih-alih menutup masa putih abu-abu dengan indah, yang ada sangat memuakan. Harapan foto bersama pun sirna. Di samping itu, walaupun sudah terpaut enam tahun, Geovani masih tidak mengetahui rumah Daniel. Sering sekali Geovani mengikutinya diam-diam ketika pulang sekolah, tetapi selalu saja kehilangan jejak di tengah jalan, dan berujung tersesat.
Geovani juga merutuki kesalahannya hari ini karena tidak menuruti ucapan Drea. Gadis itu mengusap kasar wajahnya. Tiba-tiba, klakson mobil nyaring memasuki pendengarannya. Ia melongok ke arah bawah dari jendela kamarnya yang terletak di lantai dua.
"Papa!" Geovani bergegas mengambil kebayanya tadi siang yang masih tergantung di balik pintu, toga beserta piagamnya, dan tidak lupa ijazah kelulusan. Setelah itu, ia langsung beranjak menemui papanya.
Senyuman hangat gadis itu terukir melihat papanya membuka pintu. Geovani mencium tangan Papa.
"Pa, boleh tidak saya foto bersama Papa? Sebentar saja, hanya satu kali dan saya tidak akan berdandan lama," ujar Geovani penuh harap.
Papa melirik semua benda di tangan anaknya itu. Ia baru ingat agenda kelulusan Geovani hari ini. Sayang sekali rapat bersama petinggi perusahaan tidak bisa ditunda, sehingga ia harus membiarkan anaknya merayakan kelulusan tanpa wali.
"Geo ...."
"Iya, Pa?"
"Bagaimana kalau kita makan malam bersama saja? Saya lapar," ujar Papa, kemudian berlalu pergi ke kamar mandi.
Geovani masih membatu di tempat. Matanya berkaca-kaca membendung hujan yang akan jatuh dengan deras. Ia bertanya kepada kesunyian, "apakah permintaan saya terlalu berat? Untuk apa saya menabung membeli bingkai foto jika saya tahu tidak akan pernah terisi kenangan di dalamnya, selain dalam angan."
***
"Liburan ke Bali!!?"Geovani terbelalak histeris mendengar ucapan Drea dari telepon. Setelah adegan beberapa hari lalu itu ternyata belum bisa dilupakan Geovani, Drea berinisiatif mengajaknya liburan bersama ke Bali, berhubung Geovani sudah dianggap saudara jauh oleh keluarga Drea."Mau gak? Kalau mau ikut, lo prepare dari sekarang, lusa kita berangkat," jelasnya.Ada binar terang di mata Geovani. Bali termasuk salah satu pulau impian yang ingin ia datangi. Seumur-umur, perjalanan terjauhnya hanya dari rumah ke rumah sakit saja, tempat mamanya dirawat."Memangnya tidak memberatkan Tante Rachel dan Om Angga?" tanya Geovani tidak enak dengan orang tua Drea.Drea berdecak dari seberang."Kayak sama siapa aja, orang mereka yang ajak, kok. Ya udah, besok kita ke Nasa Market, ya." Geovani tersenyum lebar. Hal yang seperti ini saja sangat membuat dirinya bahagia.
Siang hari yang terik tidak menumbangkan semangat Geovani ketika sampai di Bali. Demi apa, dirinya tidak percaya dapat menginjakan kaki ke salah satu tempat impiannya."Nah! Ini kamar kalian. Ingat, ya, jangan ke mana-mana dulu. Kita istirahat sampai sore," ucap Tante Rachel, lalu menyerahkan kunci kamar ke Drea.Dikarenakan satu kamar hotel hanya boleh diisi tiga penghuni, maka Drea memilih satu kamar dengan Geovani dan Adinda, adik sepupunya. Mereka bertiga langsung mengunci pintu dari dalam, kemudian menyalakan AC. Terkapar bebas di atas ranjang yang luas. Namun, lain hal dengan Geovani yang langsung ke balkon kamar, memandangi betapa indahnya dunia ciptaan Tuhan. Ia tidak ingin membayangi jika harus pulang kembali. Loh, memangnya gadis itu punya tempat berpulang?"Geo, lo gak capek apa?" tanya Drea dengan suara lantang.Seketika itu, kakinya melemas. Entahlah, ia baru merasa lelah usai mendengar p
Tidak diragukan lagi, Bali memang salah satu kota yang teramat cantik. Bahkan, penduduknya terhitung ramah, di samping banyaknya turis dari mancanegara yang berwisata, Bali sendiri memiliki banyak ragam budaya yang tidak pudar terbawa zaman.Geovani sangat menikmati liburannya. Tidak apa-apa saat ini ia menjadi yang terasing dari keluarga Drea, setidaknya dari sini Geovani akan berusaha membayar semuanya kepada keluarga Drea di masa depan kelak. Apakah ada yang mengira bahwa ia berharap suatu saat nanti mengunjungi kota ini kembali bersama keluarganya? Mamanya? Papanya? Oh, itu salah besar.Mengapa? Sebab ia tidak ingin mengunjungi kota seindah Bali dengan membawa siaran perdebatan yang tidak lain adalah orang tuanya sendiri. Mengingat wajah mereka saja rasanya sungguh menyayat hati.Tuhan memang adil. Tidak merasakan hangatnya keluarga, Geovani mendapatkan kehangatan itu dari keluarga sahabatnya. Paling tidak, ia masih dapat
Satu Minggu lebih sudah Geovani menginjakan kakinya di Bali. Segala macam kuliner sudah ia cicip bersama Drea. Kini, tibalah saat mereka harus kembali ke kota asal."Eh!!? Geo, Geo, Geo!!! Sini, deh!" Geovani yang sangat sibuk mengurusi kopernya tidak terlalu fokus dengan suara Drea. Hingga akhirnya Drea mengulurkan layar ponselnya tepat ke depan wajah Geovani."Apa ini?""Ini Gumelar lagi nunggu kita di pantai, mau ucapin salam perpisahan kali. Yuk, ke sana!""Ih, lebay banget, sih. Kamu saja sana, saya sibuk.""Gak mau! Pokoknya lo anterin gue, Geo, anterin gueeeeee!" Percakapan itu pun berulang-ulang sampai Drea merasa jengah dan membuka kartunya sendiri."Gue jadian sama Gumelar!" Sontak, Geovani langsung menoleh menatapnya. Melihat Drea yang berwajah merah, sudah dipastikan ia tidak sedang berbohong."Sejak kapan?""Setelah kita makan malam p
"Geoooo! Lo udah baca chat grup?!"Drea langsung berlari mengejar Geovani usai turun dari mobilnya. Mereka berdua menempati gedung yang sama lagi untuk belajar. Walau begitu, tidak akan sering mereka berpapasan saat memasuki kampus, bisa jadi Drea yang lebih awal datang atau Geovani yang menaiki ojek online dahulu."Sudah! Saya jadi kesulitan tidur semalam! Ditambah lagi dia satu jurusan sama kita." Sambil melanjutkan langkahnya, mereka terkekeh. Tentu saja yang mereka maksud adalah Daniel."Bisa jadi ini kesempatan lo buat dapat Daniel," celetuk Drea membuat hati Geovani berbunga-bunga. Pipinya pun bersemu malu kepada hal yang belum jelas kebenarannya."Ih!? Pipi lo merah," ledek sahabatnya itu sambil menunjuk wajah Geovani. "Huaaa! Andai aja Daniel-nya gue juga di sini.""Maksud kamu Daniel Gumelar?""Ya, siapa lagi?""Bukannya kamu belum menceritakan
Giovano meletakan dua gelas berisi teh hangat di atas etalase. Lalu, laki-laki itu mengambil dua bangku dan menyerahkan salah satu ke seorang gadis yang tidak lain adalah Geovani."Apa ini?""Duduk." Seperti terhipnotis, Geovani langsung menduduki salah satu bangku itu. Ia sendiri pun kaget mengapa dirinya mengikuti perintah Giovano?"Nih." Giovano menyerahkan segelas teh hangat tadi, membuat Geovani makin mengernyit heran.Hubungan mereka tidak sedekat itu, bahkan bisa dibilang tidak pernah kenal jika saat di Bali lalu tidak bertemu Gumelar. Lantas, mengapa Giovano memberinya teh? Atau jangan-jangan ada serbuk racun yang dilarutkan dalam teh itu? Pikiran buruk Geovani mulai mengepul di kepalanya, ia buru-buru mengendus-endus aroma teh itu, meneliti warna serta kandungan di dalamnya."Kenapa, sih?" tanya Giovano risih."Ini untuk saya, kan? Saya harus memastikan kalau teh ini be
"Dek?"Suara seseorang membangunkan Giovano dari tidur ayamnya. Matanya langsung membuka dan tersadar bahwa dirinya hampir terlelap di jam kerja. Saat ini ia menggantikan temannya yang bekerja menjadi penjaga toko baju.Kegiatan di kampus yang cukup menguras tenaga, ditambah satu jam yang lalu toko ini sangat ramai membuat laki-laki itu kehabisan stamina."Ah ... maaf, Bang," tukasnya seraya mengusap wajah."Ngantuk, ya? Cuci muka dulu sana." Giovano mengangguk, kemudian beranjak ke kamar mandi toko."Dia siapa, sih?""Temannya si Irfan, gak tahu gue juga.""Bisa-bisanya gantiin kerja tanpa daftar, interview, dan berurusan dengan atasan.""Katanya dia gantiin si Irfan hari ini doang, nanti dibayar sama Irfan.""Hadeh ... kalau gue gak punya hutang sama Irfan mah udah gue laporin."
Langkah tegap Giovano menghiasi kesunyian malam. Setelah bekerja sebagai kuli angkut di pasar sejak pagi tadi, bahunya terasa amat pegal, bahkan hampir keram. Sepanjang jalan ia mengelus belikatnya.Seberat inikah hidupnya, Tuhan? Dituntut keluarga, tetapi juga diasingkan dari hangatnya kasih sayang. Diperintah menjadi yang paling bisa di atas banyaknya kekurangan. Mampukah ia menjadi penyangga kokoh ketika separuh dari dirinya sudah rapuh? Namun, jika ia patah, bagaimana dengan nasib saudarinya? Bagaimana dengan keharmonisan rumah tangga yang ia impikan? Semesta seolah tidak memberikan jeda sejenak untuk laki-laki itu beristirahat. Seakan-akan ia diberi dua pilihan, antara bertahan dengan sulitnya di medan perang yang entah kapan berakhir, atau mengakhiri semuanya tanpa kemenangan apa pun.Giovano teringat dengan ayahnya. Ksatria tanpa kuda yang akan selalu melindungi tanpa tameng, di mana kehadiran sosok itu? Kata orang, ayah adalah super
"Cieeee! Yang makin hari makin deket!"Drea merangkul Geovani dari belakang. Hampir saja Geovani dibuat jantungan, pasalnya ia berjalan seorang diri sebelumnya."Drea! Saya kaget tahu!""Cie, Geo, ciee," ledek Drea seraya mencubit pelan pipi Geovani."Apaan, sih?""Kayaknya sebentar lagi ada yang bakal jadian, nih." Geovani bergidik ngeri menanggapi ucapan Drea. Namun, sahabatnya itu terus saja meledeknya."Sok tahu banget, sih. Siapa juga yang dekat?!""Ituloh, kemarin tiba-tiba jadi pasangan pesta. Udah gitu di tengah acara malah meninggalkan aula lagi berduaan. Ke mana lo kemarin?""Loh, kok kamu tahu?""Ya, jelas dong. Gue sama Gumelar merhatiin kalian. Mau negur dan nanya, tapi enggak jadi, ah. Males, lagian gue sama dia lagi seru kemarin. Hahahaha." Drea tertawa seraya menepuk-nepuk pahanya sendiri. Ia tahu bahwa Geovani memiliki luka di punggungnya, makanya ia menepuk pahanya sendiri, padahal biasanya pundak Geovani
Giovano menutup pintunya. Perasaan dan pikirannya menjadi lebih lega setelah memberi saran kepada Babeh Seno tadi. Namun, ketika mengingat-ingat ucapan Babeh Seno, jantungnya berdegup kencang lantaran menyadari bahwa ia menyukai Geovani, gadis yang sudah menyatakan perasaannya lebih dulu.Ia belum pernah menyukai seseorang yang bukan bagian dari keluarga ataupun sahabatnya. Geovani, kali pertamanya."Kalau gue ajakin dia, pasti ditolak karena udah janjian sama Dave Dave itu duluan," gumam Giovano memikirkan cara agar dirinya bisa menghadiri pesta ulang tahun Drea sebagai pasangan Geovani."Aduh! Gue juga belum nyiapin baju! Anjir, mana punya gue baju-baju bagus. Gimana, ya?"Giovano mengeluarkan ponselnya dan mencari kontak Gumelar. Ia menelepon sahabatnya."Halo, Van?" tanya dari seberang."Lo udah di sini? (Daerah Giovano)""Udah, Van, baru aja sampe. Lagi istirahat heula. Kunaon, Van?""Hm ... gue kayaknya gak ikut pesta Dre
Kericuhan di halaman depan rumah—istana—Drea dapat disalah artikan menjadi acara pembukaan bagi Giovano. Pasalnya, laki-laki itu secara tiba-tiba mengatakan bahwa Geovani adalah pasangannya di pesta malam ini. Sedangkan, Geovani sendiri datang bersama Dave.Teman-teman yang sudah lengkap dengan pasangannya menghiraukan dan langsung masuk, tetapi ada beberapa yang malah mengambil video cam di antara tiga orang itu. Selain itu, selebihnya ada yang sengaja berdiam di depan karena menunggu Geovani masuk."Pak! Saya tidak bohong, dia pasangan saya. Iya, kan, Van?" tanya Dave dengan nada tinggi.Geovani mendadak kikuk di tengah keramaian itu. Entah karena apa, ia merasa tidak enak jika mengatakan bukan pasangan Giovano. Apakah karena dress code mereka mirip?"Vani, jawab! Lo pasangan gue kan?" Ia mengulang kembali."Udahlah ... jelas-jelas dia cuma mau bareng lo aja. Minggir!" cetus Giovano seraya berjalan mendekat.Dengan sigap, Dave
"Hei! Kenapa kamu balik lagi?" tanya kepala bagian waiter itu setelah melihat Giovano yang kembali ke ruangan persajian dengan nampan yang masih penuh.Ditambah lagi, wajah Giovano yang kebingungan mengundang emosi kepala waiter."Saya salah meja, Pak. Pesanan ini untuk nomor berapa, ya?"Kepala waiter menatap tajam Giovano itu. Bahkan, ada aura menerkam yang ia pancarkan. Terlihat sekali bahwa kepala waiter geregetan."Kamu ini!! Sudah tiga kali seperti ini. Kalau kamu sedang sakit, tidak perlu memaksakan masuk!" Yup, benar sekali. Ini sudah yang ketiga kalinya Giovano seperti ini dalam satu hari.Laki-laki itu mengusap tengkuknya merasa semakin kurang profesional tingkahnya di hadapan waiter lainnya. Apa lagi, perihal ia yang menjadi bagian dari waiter tanpa interview dan segalanya sudah menyebar sejak kemarin. Bahkan, di sana pun Giovano tidak memiliki teman untuk sekadar mengobrol. Terkadang ada yang mengajaknya bicara, hanya bertanya ten
03:00 a.m.Giovano terbangun dari tidurnya. Walau matanya terasa berat, tetapi ia merasa ada yang janggal. Atap. Benar sekali, ia yakin yang ia lihat itu bukanlah atap rumahnya. Lalu? Sedang di mana ia?Kepalanya menoleh ke kiri dan ke kanan. Matanya membulat sempurna melihat Geovani terbaring nyenyak di sebelahnya dengan mata yang membengkak. Giovano langsung teringat tentang semalam, di mana Geovani menceritakan sedikit kisah hidupnya.Ia tidak menyangka, di hidupnya yang ia rasa paling suram, rupanya ada yang lebih kelam lagi. Selain itu, Geovani seorang perempuan, Giovano kagum dengan ketangguhan gadis itu. Ia mengelus puncak kepala Geovani."Kalau lo aja masih bisa semangat jalani hidup, kenapa gue enggak? Makasih, ya, Geo."Tiba-tiba, Geovani membuka matanya. Membuat Giovano sigap menarik tangannya dari kepala Geovani."Lo kok bangun?"Geovani menguap."Jam berapa sekarang? Saya terlambat, ya?" tanyanya masih dengan mata
Redup lampu malam menemani Papa berceramah panjang lebar kepada dua remaja itu di ruang tamu. Tidak, dari pada menceramahi, Papa lebih menyindir Geovani dan mengaitkan kelakuannya dengan kehidupan mamanya, sebelum sempat Geovani menjelaskan detail kejadiannya."Memang benar, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Ibunya murahan, sudah pasti anaknya murahan," gumam Papa dengan nada sinisme.Geovani yang sudah berkeringat dingin hanya bisa menunduk, menyembunyikan lukanya serta terlalu malu dengan Giovano di sebelahnya."Geovani, kalau sampai ada rumor tentangmu yang menjatuhkan harga diri saya, benar-benar tidak akan saya maafkan. Sudah cukup ibumu saja yang hampir menghancurkan hidup saya." Papa berganti menatap Giovano yang sama sekali tidak memasang raut wajah takut. Lalu, kembali berceloteh, "Kamu juga, apa orang tuamu tidak mendidikmu? Ini sudah malam, tidak bagus seorang lelaki mengunjungi rumah perempuan. Coba dengari kata-kata ibu ayahmu, jika mereka orang bai
Ceklek!Geovani membuka pintunya sangat pelan, berharap suaranya tidak terdengar Drea yang sedang menginap di rumahnya.Namun, usahanya gagal ketika mendapati Drea menunggunya sambil menonton TV di ruang tengah. Geovani berlari memeluk erat sahabatnya. Sampai-sampai Drea terkejut akan tingkahnya."Ge–Geo?""Maafin saya, Drea. Saya memang manusia yang kurang bersyukur. Terima kasih selalu ada untuk saya," celotehnya.Drea tersenyum simpul, ia mengelus punggung Geovani lembut. Tidak pernah menyangka bahwa seseorang yang berawal hanya teman sekelas, bisa membuatnya menganggap orang itu sebagai saudarinya.Bagi Drea, Geovani adalah role modelnya. Seorang gadis yang masih dapat berdiri dengan tangguh saat kehidupannya dikalut badai. Makanya, ia tidak ingin Geovani terus menerus mengambil langkah yang salah."Lo dari mana aja?""Tidak tahu, saya keliling kampus.""Hah?! Kampus? Ngapain?" tanya Drea seraya melepas pelukan Geovani.
7 June xxxxAh, gila, sih!Hari ulang tahun gue ini, masa Alesya ngadoin buku diary?! Buset, kayak cewek gue. Mana warnanya merah muda. Cucok banget, astaga, Alesya!Tapi, gak apa-apa, dah. Walaupun gue isi ini buku cakep covernya dengan tulisan ceker bebek, tapi berguna banget buat gue. Apa lagi kalo mau ujian, lumayan jadi kertas contekan. Hahahaha.Makasih, Aley.18 Jully xxxxEh, sumpah udah lama gak nulis di sini. Gila, masih bersih banget ini buku, hahaha. Hari ini gue mau tulis apa, yak?Oh, iya ....Masa akhir-akhir ini gue kayak gak percaya diri setiap ketemu Aley alias si Alesya. Gak tau dah kenapa. Tiap gue konsultasi sama temen, dibilangnya gue demen sama dia. Gila, sih, masa iya gue suka sama sahabat kecil. Ngarang banget. Dah lah, pegel mata
"Aku enggak butuh, Bunda." Laki-laki itu menolak amplop cokelat dari Alesya. Bola mata yang dikaruniai pupil hitam pekat itu kini diselimuti air bening. Pelupuk matanya yang menghitam bak membendung telaga. Ia kembali berucap, "Aku enggak butuh apa-apa dari Bunda selain kasih sayang."Plakkk!"Selama ini Bunda bersusah-payah karena kamu dan demi kamu, tetapi kamu justru menganggap Bunda tidak menyayangi kamu?!" Alesya melayangkan tangannya ke arah rahang Giovano.Entah bagaimana cara mereka saling menjelaskan apa yang dirasakan satu sama lain. Rasa lelah Giovano mendadak hilang tergantikan luka yang tersulut ketika melihat Alesya tersenyum ramah tadi. Giovano tersakiti, lalu di atas kesengsaraannya, sang Bunda masih dapat mengayunkan senyuman? Memberikan uang bulanan yang nominalnya hanya cukup untuk SPP sekolah adik-adiknya, bahkan keperluan ia sendiri justru mendapat bantuan dari teman. Namun, Alesya masih dapat tersenyum seolah tidak terjadi apa-apa."