Giovano meletakan dua gelas berisi teh hangat di atas etalase. Lalu, laki-laki itu mengambil dua bangku dan menyerahkan salah satu ke seorang gadis yang tidak lain adalah Geovani.
"Apa ini?"
"Duduk." Seperti terhipnotis, Geovani langsung menduduki salah satu bangku itu. Ia sendiri pun kaget mengapa dirinya mengikuti perintah Giovano?
"Nih." Giovano menyerahkan segelas teh hangat tadi, membuat Geovani makin mengernyit heran.
Hubungan mereka tidak sedekat itu, bahkan bisa dibilang tidak pernah kenal jika saat di Bali lalu tidak bertemu Gumelar. Lantas, mengapa Giovano memberinya teh? Atau jangan-jangan ada serbuk racun yang dilarutkan dalam teh itu? Pikiran buruk Geovani mulai mengepul di kepalanya, ia buru-buru mengendus-endus aroma teh itu, meneliti warna serta kandungan di dalamnya.
"Kenapa, sih?" tanya Giovano risih.
"Ini untuk saya, kan? Saya harus memastikan kalau teh ini bersih dari racun, paling tidak higenis."
Giovano memutar bola matanya.
"Gue kalo lukain orang pake tangan sendiri, tanpa perantara." Geovani terbelalak.
Setelah itu, tidak ada pembahasan lagi. Keduanya menenggak teh hangat. Walau begitu, diam-diam Geovani memicingkan matanya menatap Giovano. Selain di kampus tadi pagi, baru kali ini ia melihat Giovano tanpa masker, dan bahkan sedekat ini.
Alis tebal dengan mata seperti elang, rahang yang kokoh, serta hidung mancung itu sangat mengundang tinju Geovani, sebab masih saja teringat kenangan terburuknya.
"Demi, deh! Gue gak suka dilihatin kayak gitu," tukas Giovano tanpa mengalihkan pandangan dari depan.
"Siapa yang lihatin kamu? Orang saya lagi ancang-ancang mukul kamu," balas Geovani tiada keraguan.
Giovano berdecak, kemudian kembali menyeruput tehnya.
"Omong-omong, kok, kita sering bertemu akhir-akhir ini?"
"Harusnya gue yang tanya."
"Sinting," sindir Geovani, lalu menenggak tehnya juga. Sontak, Giovano menoleh.
Mereka hanya saling menatap nyalang, walaupun dalam hati Giovano memakinya habis-habisan. Setelah itu, tidak ada percakapan lagi.
Sampai hujan mereda, Geovani pamit pulang.
***
"Bang, udah malam. Gue balik, deh." Giovano pamit kepada Andi, penjaga ruko barang-barang ATK.
"Balik? Ya udah sana."
Giovano menyusuri jalanan yang dihiasi genangan air sambil mendengarkan musik dari headphone-nya. Menyingkirkan penatnya dengan alunan merdu, hingga tidak terasa sudah sampai ke rumahnya. Rumah yang mungil.
Ia mengetuk pintu diiringi salam. Pintu dibuka, menampilkan dua anak kembar perempuan kecil. Keduanya tersenyum usai melihat kehadiran orang di depan pintunya. Mereka langsung memeluk Giovano, kakaknya.
"Kayla, Nayla, yuk makan."
"Abang bawa apa?" tanya Nayla melihat kantung plastik hitam di tangan Giovano.
"Ini ada sayur sop dari Bang Andi tadi, kayaknya sih udah dingin, Abang hangatin dulu, deh, ya?"
Kayla dan Nayla mengangguk, lalu mereka bertiga menutup pintu. Giovano beralih ke dapur.
"Kayla, Nayla ... udah, nih." Satu mangkuk untuk bertiga bukanlah hal merepotkan lagi bagi mereka, sebab kesehariannya memang seperti ini.
"Abang ... besok Bunda pulang?" tanya Kayla.
Sejujurnya, Giovano lebih memilih wanita yang dipanggil Bunda itu tidak kembali ke rumah. Setelah meninggalkan anak-anaknya dan berjanji hanya kembali di tanggal sebelas setiap bulannya, sejak hari itu Giovano memulai hari-hari penuh penderitaan.
"Enggak tau, Kay ... tunggu saja, ya." Kayla dan Nayla mengangguk senang.
"Ya udah, sekarang cepat habisin ini, abis itu tidur, udah malam."
***
Sorakan tiap tim berdentam keras saking semangatnya. Hari ini, mahasiswa baru ditugaskan membuat yel-yel sesuai tim masing-masing.
"Sip! Nanti, pas gue bilang 'bersama kita teguh', kalian langsung nyanyiin, ya!" Semua anggota mengangguk antusias menanggapi perintah laki-laki bernama Rafi di name tag-nya.
Namun, lain hal dengan Giovano yang terlihat biasa saja karena fokusnya berada di sebrang sana. Ia memperhatikan seorang gadis ceria yang diam-diam memperhatikan seseorang di dekatnya. Ya, itu Geovani.
"Dasar aneh," pekik Giovano pelan ketika Geovani melayangkan finger love kepada orang di dekatnya itu.
"Bro, diem-diem aja." Tiba-tiba pundaknya ditepuk seseorang. Giovano menoleh, rupanya itu Rafi.
"Oh, lo merhatiin dia?" tanyanya sambil menunjuk Geovani. "Gue rasa dia bakal famous di sini. Dari auranya, mukanya juga good looking. Kayaknya saingan lo banyak ntar, termasuk gue."
Sontak, Giovano terbelalak menatap mata Rafi yang tidak teralihkan dari sosok Geovani di sana.
"Gue gak gitu–"
"Oh, lo gak suka dia? Bagus, deh, Bro. Tapi, kalo gak salah dari barisan kemarin, Lo satu banjar sama dia. Lo satu SMA dulu?" Giovano berdeham. "Tau sosmed dia dong? Bagi-bagi lah."
Giovano menautkan alisnya, risih ditanya ini itu tentang gadis yang sebenarnya tidak saling kenal dengan dirinya. Akan tetapi, Giovano mengetahui akun sosial medianya Geovani.
"Qu ...." Suaranya terhenti. Dahulu, akun Geovani memang namanya, tetapi entah sejak kapan, Gumelar berkata bahwa nama akunnya berubah menjadi 'Queenapril'. Giovano sendiri tidak ada keinginan melihat akun itu.
"Qu apa, Bro?"
"Cari aja pake namanya."
"Iya juga, ya? Oke, deh. Thank you, Bro Gi–Giovano? Loh! Nama kalian mirip."
"Terus?"
"Kalo kalian nikah, nama anaknya Geografi." Rafi terkekeh sampai menepuk-nepuk pundak Giovano. Mengapa manusia receh ini satu tim dengan Giovano, Tuhan?
"Eh, gak boleh! Geovani kan nikahnya sama gue. Lah, lebih pantes sama gue jadi anaknya Geografi, ya? Anjayani, ngakak."
Tadi menepuk-nepuk pundak, kini Rafi mendorong punggung Giovano sambil tertawa geli. Anak-anak lain jika sadar pasti mengatakan ketuanya itu gila. Sayang sekali, mereka sedang serius latihan yel-yel.
Membahas anak beserta nama anak yang mengangkutkan nama pribadi ... sungguh pernyataan tidak berbobot bagi Giovano.
"Bang, lo tau ga?"
"Apa tuh?"
"Geografi artinya GEO Gak demen RAFI." Giovano berdiri dan beranjak meninggalkan Rafi. Ia memilih berlatih dengan mahasiswa lainnya.
"Aduh?!"
***
Kreekkk!
Giovano merenggangkan otot-otonya. Setelah pulang dari kampus tadi, ia langsung pergi ke salah satu toko baju untuk menggantikan temannya bekerja.
Kesehariannya memang begitu. Ia tidak bisa bekerja part time yang terfokus pada jadwal karena ada saat-saat tertentu ia tidak bisa hadir dan berbagai alasan lainnya terkait adik-adiknya. Jadi, ia bekerja dari teman-temannya, seperti menggantikan temannya bekerja, lalu di hari itu juga dibayar. Seperti itulah ia. Memang tidak banyak uang yang didapat, tetapi dalam satu hari selalu memegang paling sedikit dua puluh ribu rupiah. Kalau hanya untuk makan dan kebutuhan gas saja itu sudah cukup untuk dirinya dan kedua adiknya.
"Abang ...," lirih Nayla sambil mengintip Giovano yang duduk di balai bambu depan rumahnya.
"Bunda tadi datang, menitip ini." Nayla memberikan amplop yang sudah tersobek ujungnya, menampilkan lembaran rupiah tersebut.
Sesaat, Giovano memutar bola matanya disertai menghela napas panjang.
"Makasih, Nayla," ujarnya dengan senyuman pada akhirnya. "Nayla gak tidur? Udah malam. Kayla saja sudah mimpi."
"Abang, ceritain waktu Abang kecil dong."
"Apa, ya?" Giovano berpikir. Apa yang harus diceritakan kepada adiknya? Kisah-kisah penuh air mata itukah?
"Tadi Nayla dapat nilai jelek, terus diledekin sama teman sebangku." Oh ... untunglah Nayla hanya ingin meminta solusi. Giovano jadi teringat dirinya saat seusia adiknya itu, ketika kelas tiga di sekolah dasar mendapatkan nilai jelek.
"Diledekin kayak gimana?"
"Katanya Nayla gak bisa jadi orang sukses dan hebat, soalnya Nayla bodoh," lirihnya sambil terisak menahan tangis.
"Suksesnya orang itu enggak dipatokin dari nilai doang, Nay. Nilai bisa dibuat dari tinta, bisa dicetak dari mesin. Tapi, kesuksesan tercipta dari usaha. Biar aja mereka berpikir kalau dapat nilai besar, berarti mereka udah sukses. Nanti kalau kamu udah kayak Abang pasti paham." Nayla mengucek matanya yang mulai menitikan air mata.
Giovano tersenyum sendu, lalu menarik adiknya duduk di sampingnya.
"Tantang ke mereka untuk hidup tanpa orang tua. Yakin, mereka gak bakal sanggup karena kamu ini lebih hebat dari mereka, Nay."
Malam ini Nayla sangat sedih, sampai tertidur pun di sela-sela tangisan dan tentunya di rangkulan abangnya, Giovano.
***
"Dek?"Suara seseorang membangunkan Giovano dari tidur ayamnya. Matanya langsung membuka dan tersadar bahwa dirinya hampir terlelap di jam kerja. Saat ini ia menggantikan temannya yang bekerja menjadi penjaga toko baju.Kegiatan di kampus yang cukup menguras tenaga, ditambah satu jam yang lalu toko ini sangat ramai membuat laki-laki itu kehabisan stamina."Ah ... maaf, Bang," tukasnya seraya mengusap wajah."Ngantuk, ya? Cuci muka dulu sana." Giovano mengangguk, kemudian beranjak ke kamar mandi toko."Dia siapa, sih?""Temannya si Irfan, gak tahu gue juga.""Bisa-bisanya gantiin kerja tanpa daftar, interview, dan berurusan dengan atasan.""Katanya dia gantiin si Irfan hari ini doang, nanti dibayar sama Irfan.""Hadeh ... kalau gue gak punya hutang sama Irfan mah udah gue laporin."
Langkah tegap Giovano menghiasi kesunyian malam. Setelah bekerja sebagai kuli angkut di pasar sejak pagi tadi, bahunya terasa amat pegal, bahkan hampir keram. Sepanjang jalan ia mengelus belikatnya.Seberat inikah hidupnya, Tuhan? Dituntut keluarga, tetapi juga diasingkan dari hangatnya kasih sayang. Diperintah menjadi yang paling bisa di atas banyaknya kekurangan. Mampukah ia menjadi penyangga kokoh ketika separuh dari dirinya sudah rapuh? Namun, jika ia patah, bagaimana dengan nasib saudarinya? Bagaimana dengan keharmonisan rumah tangga yang ia impikan? Semesta seolah tidak memberikan jeda sejenak untuk laki-laki itu beristirahat. Seakan-akan ia diberi dua pilihan, antara bertahan dengan sulitnya di medan perang yang entah kapan berakhir, atau mengakhiri semuanya tanpa kemenangan apa pun.Giovano teringat dengan ayahnya. Ksatria tanpa kuda yang akan selalu melindungi tanpa tameng, di mana kehadiran sosok itu? Kata orang, ayah adalah super
"Terserah kamu, deh, aku gak peduli!"Tuuuut!Drea langsung menutup sambungan telepon bersama kekasihnya, Gumelar. Kali pertama menjalani hubungan jauh memang sangat menguras emosi baginya. Pasalnya, sering sekali akun sosial media Gumelar ditag gadis lain yang meng-upload foto bersamanya. Perempuan mana yang tidak geram melihat pasangannya bersanding dengan perempuan lain?Terlebih lagi, akhir-akhir ini Gumelar sulit dihubungi, membuat pikiran-pikiran buruk berdatangan."Ugh! Dasar cowok jelek!!!" teriak Drea memaki Gumelar setelah melihat foto mereka bersama saat di Bali."Oh iya ... Giovano kan teman dekatnya Gumelar. Apa gue tanya dia aja, ya?" bisik Drea sambil mencari kontak Giovano yang sempat dikasih Gumelar untuk jaga-jaga kalau ponselnya mati saat memiliki janji dengannya di Bali.Drea: “Gio?”Giovano: “Siapa?”
Geovani menatap layar ponselnya penuh duka. Sebuah snap di sosial media Erlangga Daniel yang menampilkan sepasang tangan dengan cincin couple yang saling bertaut satu sama lain."Apaan, sih, sok-sokan galau lo, Geo," celetuk Drea dari karpet bawah.Sejak pulang dari kampus tadi, Drea bermain di rumah Geovani. Ia juga izin untuk menginap."Diam, deh.""Geo, sebenernya lo tuh cuma sekadar kagum aja tau sama Daniel. Percaya, deh, kelihatan.""Ya, memang saya kagum.""Maksud gue, kagum sama prestasi dia, kagum sama kharisma dia, gitu doang. Enggak sampai yang suka terus bikin lo jadi bucin. Bisa dibilang, lo kesugesti aja sama perasaan lo. Buktinya, lo enggak ada niatan buat miliki dia, kan?""Sok tahu! Waktu itu kan sudah pernah, Drea, tetapi saya salah orang. Malah ... ke Giovano," lirih Geovani sedikit tersipu."Banyak kesempatan. Tapi, lo sengaja nunda-nunda. Cuma ngejar dia, bilang ke satu dunia lo suka sama dia, padahal lo cuma
"Makasih ya, Bang," ucap Giovano setelah Mark—temannya—membayar pemuda itu atas kerjanya."Yo, gue juga makasih banyak."Giovano pamit dan beranjak pulang. Untungnya, hujan deras tadi sudah reda, hanya menyisakan genangan-genangan sendu. Ia memasukan uang dari Mark ke dalam dompetnya. Kosong melompong. Benar-benar tidak ada selembar uang pun selain uang yamg baru saja didapat. Jelas begitu, setiap mendapat bayaran, ia langsung menyerahkannya untuk kedua adik perempuannya.Giovano mengulet.Andai saja jika ia memiliki pekerjaan tetap, walaupun gajinya kecil, setidaknya bisa mencukupi satu Minggu."Gio!" Teriakan dari belakang membuat Giovano berbalik badan.Mark mengejarnya dengan membawa kantung plastik hitam di tangannya."Eh, kenapa, Bang?""Ini, Nayla sama Kayla pasti belum makan, kan? Nih, lo makan bareng mereka.""Wih, makasih, Bang.""Udah, ya, gue balik. Hati-hati lo," ucap Mark menutup perbincangan, lalu be
"Aku enggak butuh, Bunda." Laki-laki itu menolak amplop cokelat dari Alesya. Bola mata yang dikaruniai pupil hitam pekat itu kini diselimuti air bening. Pelupuk matanya yang menghitam bak membendung telaga. Ia kembali berucap, "Aku enggak butuh apa-apa dari Bunda selain kasih sayang."Plakkk!"Selama ini Bunda bersusah-payah karena kamu dan demi kamu, tetapi kamu justru menganggap Bunda tidak menyayangi kamu?!" Alesya melayangkan tangannya ke arah rahang Giovano.Entah bagaimana cara mereka saling menjelaskan apa yang dirasakan satu sama lain. Rasa lelah Giovano mendadak hilang tergantikan luka yang tersulut ketika melihat Alesya tersenyum ramah tadi. Giovano tersakiti, lalu di atas kesengsaraannya, sang Bunda masih dapat mengayunkan senyuman? Memberikan uang bulanan yang nominalnya hanya cukup untuk SPP sekolah adik-adiknya, bahkan keperluan ia sendiri justru mendapat bantuan dari teman. Namun, Alesya masih dapat tersenyum seolah tidak terjadi apa-apa."
7 June xxxxAh, gila, sih!Hari ulang tahun gue ini, masa Alesya ngadoin buku diary?! Buset, kayak cewek gue. Mana warnanya merah muda. Cucok banget, astaga, Alesya!Tapi, gak apa-apa, dah. Walaupun gue isi ini buku cakep covernya dengan tulisan ceker bebek, tapi berguna banget buat gue. Apa lagi kalo mau ujian, lumayan jadi kertas contekan. Hahahaha.Makasih, Aley.18 Jully xxxxEh, sumpah udah lama gak nulis di sini. Gila, masih bersih banget ini buku, hahaha. Hari ini gue mau tulis apa, yak?Oh, iya ....Masa akhir-akhir ini gue kayak gak percaya diri setiap ketemu Aley alias si Alesya. Gak tau dah kenapa. Tiap gue konsultasi sama temen, dibilangnya gue demen sama dia. Gila, sih, masa iya gue suka sama sahabat kecil. Ngarang banget. Dah lah, pegel mata
Ceklek!Geovani membuka pintunya sangat pelan, berharap suaranya tidak terdengar Drea yang sedang menginap di rumahnya.Namun, usahanya gagal ketika mendapati Drea menunggunya sambil menonton TV di ruang tengah. Geovani berlari memeluk erat sahabatnya. Sampai-sampai Drea terkejut akan tingkahnya."Ge–Geo?""Maafin saya, Drea. Saya memang manusia yang kurang bersyukur. Terima kasih selalu ada untuk saya," celotehnya.Drea tersenyum simpul, ia mengelus punggung Geovani lembut. Tidak pernah menyangka bahwa seseorang yang berawal hanya teman sekelas, bisa membuatnya menganggap orang itu sebagai saudarinya.Bagi Drea, Geovani adalah role modelnya. Seorang gadis yang masih dapat berdiri dengan tangguh saat kehidupannya dikalut badai. Makanya, ia tidak ingin Geovani terus menerus mengambil langkah yang salah."Lo dari mana aja?""Tidak tahu, saya keliling kampus.""Hah?! Kampus? Ngapain?" tanya Drea seraya melepas pelukan Geovani.
"Cieeee! Yang makin hari makin deket!"Drea merangkul Geovani dari belakang. Hampir saja Geovani dibuat jantungan, pasalnya ia berjalan seorang diri sebelumnya."Drea! Saya kaget tahu!""Cie, Geo, ciee," ledek Drea seraya mencubit pelan pipi Geovani."Apaan, sih?""Kayaknya sebentar lagi ada yang bakal jadian, nih." Geovani bergidik ngeri menanggapi ucapan Drea. Namun, sahabatnya itu terus saja meledeknya."Sok tahu banget, sih. Siapa juga yang dekat?!""Ituloh, kemarin tiba-tiba jadi pasangan pesta. Udah gitu di tengah acara malah meninggalkan aula lagi berduaan. Ke mana lo kemarin?""Loh, kok kamu tahu?""Ya, jelas dong. Gue sama Gumelar merhatiin kalian. Mau negur dan nanya, tapi enggak jadi, ah. Males, lagian gue sama dia lagi seru kemarin. Hahahaha." Drea tertawa seraya menepuk-nepuk pahanya sendiri. Ia tahu bahwa Geovani memiliki luka di punggungnya, makanya ia menepuk pahanya sendiri, padahal biasanya pundak Geovani
Giovano menutup pintunya. Perasaan dan pikirannya menjadi lebih lega setelah memberi saran kepada Babeh Seno tadi. Namun, ketika mengingat-ingat ucapan Babeh Seno, jantungnya berdegup kencang lantaran menyadari bahwa ia menyukai Geovani, gadis yang sudah menyatakan perasaannya lebih dulu.Ia belum pernah menyukai seseorang yang bukan bagian dari keluarga ataupun sahabatnya. Geovani, kali pertamanya."Kalau gue ajakin dia, pasti ditolak karena udah janjian sama Dave Dave itu duluan," gumam Giovano memikirkan cara agar dirinya bisa menghadiri pesta ulang tahun Drea sebagai pasangan Geovani."Aduh! Gue juga belum nyiapin baju! Anjir, mana punya gue baju-baju bagus. Gimana, ya?"Giovano mengeluarkan ponselnya dan mencari kontak Gumelar. Ia menelepon sahabatnya."Halo, Van?" tanya dari seberang."Lo udah di sini? (Daerah Giovano)""Udah, Van, baru aja sampe. Lagi istirahat heula. Kunaon, Van?""Hm ... gue kayaknya gak ikut pesta Dre
Kericuhan di halaman depan rumah—istana—Drea dapat disalah artikan menjadi acara pembukaan bagi Giovano. Pasalnya, laki-laki itu secara tiba-tiba mengatakan bahwa Geovani adalah pasangannya di pesta malam ini. Sedangkan, Geovani sendiri datang bersama Dave.Teman-teman yang sudah lengkap dengan pasangannya menghiraukan dan langsung masuk, tetapi ada beberapa yang malah mengambil video cam di antara tiga orang itu. Selain itu, selebihnya ada yang sengaja berdiam di depan karena menunggu Geovani masuk."Pak! Saya tidak bohong, dia pasangan saya. Iya, kan, Van?" tanya Dave dengan nada tinggi.Geovani mendadak kikuk di tengah keramaian itu. Entah karena apa, ia merasa tidak enak jika mengatakan bukan pasangan Giovano. Apakah karena dress code mereka mirip?"Vani, jawab! Lo pasangan gue kan?" Ia mengulang kembali."Udahlah ... jelas-jelas dia cuma mau bareng lo aja. Minggir!" cetus Giovano seraya berjalan mendekat.Dengan sigap, Dave
"Hei! Kenapa kamu balik lagi?" tanya kepala bagian waiter itu setelah melihat Giovano yang kembali ke ruangan persajian dengan nampan yang masih penuh.Ditambah lagi, wajah Giovano yang kebingungan mengundang emosi kepala waiter."Saya salah meja, Pak. Pesanan ini untuk nomor berapa, ya?"Kepala waiter menatap tajam Giovano itu. Bahkan, ada aura menerkam yang ia pancarkan. Terlihat sekali bahwa kepala waiter geregetan."Kamu ini!! Sudah tiga kali seperti ini. Kalau kamu sedang sakit, tidak perlu memaksakan masuk!" Yup, benar sekali. Ini sudah yang ketiga kalinya Giovano seperti ini dalam satu hari.Laki-laki itu mengusap tengkuknya merasa semakin kurang profesional tingkahnya di hadapan waiter lainnya. Apa lagi, perihal ia yang menjadi bagian dari waiter tanpa interview dan segalanya sudah menyebar sejak kemarin. Bahkan, di sana pun Giovano tidak memiliki teman untuk sekadar mengobrol. Terkadang ada yang mengajaknya bicara, hanya bertanya ten
03:00 a.m.Giovano terbangun dari tidurnya. Walau matanya terasa berat, tetapi ia merasa ada yang janggal. Atap. Benar sekali, ia yakin yang ia lihat itu bukanlah atap rumahnya. Lalu? Sedang di mana ia?Kepalanya menoleh ke kiri dan ke kanan. Matanya membulat sempurna melihat Geovani terbaring nyenyak di sebelahnya dengan mata yang membengkak. Giovano langsung teringat tentang semalam, di mana Geovani menceritakan sedikit kisah hidupnya.Ia tidak menyangka, di hidupnya yang ia rasa paling suram, rupanya ada yang lebih kelam lagi. Selain itu, Geovani seorang perempuan, Giovano kagum dengan ketangguhan gadis itu. Ia mengelus puncak kepala Geovani."Kalau lo aja masih bisa semangat jalani hidup, kenapa gue enggak? Makasih, ya, Geo."Tiba-tiba, Geovani membuka matanya. Membuat Giovano sigap menarik tangannya dari kepala Geovani."Lo kok bangun?"Geovani menguap."Jam berapa sekarang? Saya terlambat, ya?" tanyanya masih dengan mata
Redup lampu malam menemani Papa berceramah panjang lebar kepada dua remaja itu di ruang tamu. Tidak, dari pada menceramahi, Papa lebih menyindir Geovani dan mengaitkan kelakuannya dengan kehidupan mamanya, sebelum sempat Geovani menjelaskan detail kejadiannya."Memang benar, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Ibunya murahan, sudah pasti anaknya murahan," gumam Papa dengan nada sinisme.Geovani yang sudah berkeringat dingin hanya bisa menunduk, menyembunyikan lukanya serta terlalu malu dengan Giovano di sebelahnya."Geovani, kalau sampai ada rumor tentangmu yang menjatuhkan harga diri saya, benar-benar tidak akan saya maafkan. Sudah cukup ibumu saja yang hampir menghancurkan hidup saya." Papa berganti menatap Giovano yang sama sekali tidak memasang raut wajah takut. Lalu, kembali berceloteh, "Kamu juga, apa orang tuamu tidak mendidikmu? Ini sudah malam, tidak bagus seorang lelaki mengunjungi rumah perempuan. Coba dengari kata-kata ibu ayahmu, jika mereka orang bai
Ceklek!Geovani membuka pintunya sangat pelan, berharap suaranya tidak terdengar Drea yang sedang menginap di rumahnya.Namun, usahanya gagal ketika mendapati Drea menunggunya sambil menonton TV di ruang tengah. Geovani berlari memeluk erat sahabatnya. Sampai-sampai Drea terkejut akan tingkahnya."Ge–Geo?""Maafin saya, Drea. Saya memang manusia yang kurang bersyukur. Terima kasih selalu ada untuk saya," celotehnya.Drea tersenyum simpul, ia mengelus punggung Geovani lembut. Tidak pernah menyangka bahwa seseorang yang berawal hanya teman sekelas, bisa membuatnya menganggap orang itu sebagai saudarinya.Bagi Drea, Geovani adalah role modelnya. Seorang gadis yang masih dapat berdiri dengan tangguh saat kehidupannya dikalut badai. Makanya, ia tidak ingin Geovani terus menerus mengambil langkah yang salah."Lo dari mana aja?""Tidak tahu, saya keliling kampus.""Hah?! Kampus? Ngapain?" tanya Drea seraya melepas pelukan Geovani.
7 June xxxxAh, gila, sih!Hari ulang tahun gue ini, masa Alesya ngadoin buku diary?! Buset, kayak cewek gue. Mana warnanya merah muda. Cucok banget, astaga, Alesya!Tapi, gak apa-apa, dah. Walaupun gue isi ini buku cakep covernya dengan tulisan ceker bebek, tapi berguna banget buat gue. Apa lagi kalo mau ujian, lumayan jadi kertas contekan. Hahahaha.Makasih, Aley.18 Jully xxxxEh, sumpah udah lama gak nulis di sini. Gila, masih bersih banget ini buku, hahaha. Hari ini gue mau tulis apa, yak?Oh, iya ....Masa akhir-akhir ini gue kayak gak percaya diri setiap ketemu Aley alias si Alesya. Gak tau dah kenapa. Tiap gue konsultasi sama temen, dibilangnya gue demen sama dia. Gila, sih, masa iya gue suka sama sahabat kecil. Ngarang banget. Dah lah, pegel mata
"Aku enggak butuh, Bunda." Laki-laki itu menolak amplop cokelat dari Alesya. Bola mata yang dikaruniai pupil hitam pekat itu kini diselimuti air bening. Pelupuk matanya yang menghitam bak membendung telaga. Ia kembali berucap, "Aku enggak butuh apa-apa dari Bunda selain kasih sayang."Plakkk!"Selama ini Bunda bersusah-payah karena kamu dan demi kamu, tetapi kamu justru menganggap Bunda tidak menyayangi kamu?!" Alesya melayangkan tangannya ke arah rahang Giovano.Entah bagaimana cara mereka saling menjelaskan apa yang dirasakan satu sama lain. Rasa lelah Giovano mendadak hilang tergantikan luka yang tersulut ketika melihat Alesya tersenyum ramah tadi. Giovano tersakiti, lalu di atas kesengsaraannya, sang Bunda masih dapat mengayunkan senyuman? Memberikan uang bulanan yang nominalnya hanya cukup untuk SPP sekolah adik-adiknya, bahkan keperluan ia sendiri justru mendapat bantuan dari teman. Namun, Alesya masih dapat tersenyum seolah tidak terjadi apa-apa."