Siang hari yang terik tidak menumbangkan semangat Geovani ketika sampai di Bali. Demi apa, dirinya tidak percaya dapat menginjakan kaki ke salah satu tempat impiannya.
"Nah! Ini kamar kalian. Ingat, ya, jangan ke mana-mana dulu. Kita istirahat sampai sore," ucap Tante Rachel, lalu menyerahkan kunci kamar ke Drea.
Dikarenakan satu kamar hotel hanya boleh diisi tiga penghuni, maka Drea memilih satu kamar dengan Geovani dan Adinda, adik sepupunya. Mereka bertiga langsung mengunci pintu dari dalam, kemudian menyalakan AC. Terkapar bebas di atas ranjang yang luas. Namun, lain hal dengan Geovani yang langsung ke balkon kamar, memandangi betapa indahnya dunia ciptaan Tuhan. Ia tidak ingin membayangi jika harus pulang kembali. Loh, memangnya gadis itu punya tempat berpulang?
"Geo, lo gak capek apa?" tanya Drea dengan suara lantang.
Seketika itu, kakinya melemas. Entahlah, ia baru merasa lelah usai mendengar pertanyaan Drea.
"Iya, capek."
***
"Kan kata Om Rachel dan Tante Angga, kita gak boleh ke luar kamar," celetuk Adinda saat melihat Drea dan Geovani sedang berpoles. Adinda adalah sepupu Drea yang paling muda, masih berusia enam tahun, bahkan memanggil sebutan 'Om' dan 'Tante' saja masih sering tertukar.
Namun, justru karena Adinda masih kecil, makanya Drea memilih satu kamar dengannya agar mudah melakukan tipu daya. Menurut Drea, ini adalah liburan, jadi tidak perlu aturan ke luar masuk kamar. Bagaimana dengan Geovani? Tentu mendukung pendapat Drea.
"Kita mau beli es krim, Adinda. Kamu mau gak?" Alibi Drea sambil menyisir rambutnya di depan cermin.
"Mau," balas Adinda. "Tapi, kan, kita gak boleh ke luar kamar sampai sore, Kak."
"Tante Rachel cuma bilang kita harus istirahat sampai sore, kok." Geovani yang sedang mengikat rambutnya ikut mendukung sahabatnya. Adinda terdiam seraya berpikir.
"Kalau gitu aku mau ikut, ya, Kak."
"Eh, gak boleh ... nanti yang jagain kamar siapa?"
"Kan ada kunci kamar."
"Teteh lupa taro kuncinya di mana tadi." Geovani yang mendengarkan ocehan mereka hanya bisa menahan tawa dan berlaku seolah pernyataan Drea benar semua.
"Ya udah, titipin ke petugasnya aja."
"Hahahaha ...." Drea dan Geovani tertawa terbahak-bahak. Yang benar saja, tidak kuat menahan tawa ketika membayangkan menitip kamar kepada petugas. Memang dikira menitip rumah sama tetangga?
"Adinda, di luar itu banyak turis, loh. Nanti kamu ditanya 'what is your name'? Begitu, bagaimana?" ledek Geovani yang akhirnya membuka suara.
"Memang aku bakal diajak bicara sama turis? Kata Tante Angga mukaku lokal, kok."
Drea dan Geovani saling tatap, juga menahan tawa. Satu detik kemudian, suara tawa keduanya meledak, sampai Adinda sendiri tidak mengerti apa yang membuat kedua kakaknya tertawa.
***
Setelah berhasil mengelabui Adinda, Geovani dan Drea ke luar kamar sambil terkekeh geli. Apa yang mereka lakukan kepada Adinda? Hanya memberi tontonan pembelajaran Bahasa Inggris dari laptop Drea yang selalu ia bawa.
Mereka mengunci kamar, lalu bergegas pergi ke tempat tujuan, yaitu Pasar Sukawati.
Perjalanan yang lumayan jauh cukup menguras keringat mereka sekalipun berangkat menggunakan taxi online.
"Wah! Estetik banget gak sih itu lukisannya!!!" Drea menunjuk salah satu lukisan di salah satu toko.
Geovani pun tidak kalah takjub melihat lukisan itu. Dirinya yang menyukai seni lukis merasa termotivasi dengan lukisan tersebut.
"Saya mau lihat lebih dekat, ah." Gadis itu melangkah mendekati toko yang memamerkan banyak lukisan. Drea mengikutinya dari belakang sambil melihat sekeliling.
Duggg!
Tiba-tiba pundaknya disenggol seseorang. Sontak Geovani berbalik badan, melihat seseorang yang menabrak dirinya."Maaf–" Rupanya seorang laki-laki yang sedikit lebih tinggi darinya. Dia juga membalik badan dan sadar telah menabrak seseorang ternyata. Namun, ucapannya terputus saat bertukar tatap dengan Geovani.
"Ya?"
"Eh! Maaf, Teh," ucapnya meralat yang sebelumnya. Dia membisikan sesuatu kepada dua temannya yang kemudian mereka meninggalkannya sendiri.
"Pendatang ya, Teh?"
"Geo! Masa gue hampir nyasar! Eh, siapa ini?" Drea menghampiri Geovani. Suasana pun mendadak canggung.
***
"Oalah ... jadi lo ini asli Bandung, terus baru setahun di sini. Siapa namanya?" Sekarang mereka bertiga berada di tempat makan yang tidak jauh dari pasar tadi.
Melihat wajah orang asing tadi yang canggung, begitu juga dengan wajah Geovani yang tidak terbaca, Drea memutuskan untuk mengajak mereka makan bersama.
"Daniel." Geovani batuk keselek dan bergegas mengambil minumnya. Drea terkekeh pelan memahami situasi ini, pasti sahabatnya sedang teringat beberapa hari kemarin.
"Okelah okelah ... Kang Daniel di sini ngapain?"
"Maaf menyela! Kamu ...." Geovani menunjuk Daniel secara tidak sopan. "Siapa nama panjang kamu?"
"Daniel Gumelar, Teh, kunaon?" Geovani menghembuskan napas lega.
"Kami minta izin untuk memanggil kamu Gumelar saja, boleh?"
Seketika itu Drea menutup mulutnya karena menahan tawa. Dasar, ada saja hari ini hal-hal yang mengundang gelak tawa. Sedangkan Daniel yang diminta izin untuk dipanggil Gumelar saja menganga kebingungan.
"Boleh tidak!?" Ulang Geovani dengan sedikit membentak.
"Bo–boleh, Teh." Alhasil, mereka sepakat memanggilnya Gumelar. Bisa dipastikan oleh laki-laki itu, bahwa baru kali ini ia dipanggil Gumelar.
Setelah itu, mereka kembali berbincang-bincang terkait kedatangan Gumelar ke Bali ini, dan semua pengalamannya selama di sini. Geovani cukup terkejut mendengar ceritanya, di mana orang tuanya bercerai dan ia dituntut untuk tinggal bersama ayahnya. Bukannya diberi kehidupan yang layak, laki-laki itu justru seperti ditelantarkan oleh sang ayah.
Geovani menatapnya nanar sambil menenggak minuman lewat sedotan. Gumelar masih bisa menyelipkan jenaka dalam ceritanya yang memprihatinkan itu.
"Sebentar ya, Teh, ada telepon." Gumelar beranjak mencari tempat yang pas untuk mengangkat telepon.
"Drea, setelah ini kita pulang, yuk." Drea memicingkan matanya, meneliti sesuatu dalam diri Geovani. "Apa?"
"Kok di chapter ini lo rada cuek?" Geovani menautkan alisnya. Belum sempat dijawab oleh Geovani, Gumelar sudah kembali duduk di tempatnya. "Dahlah, abaikan."
"Teteh-teteh, boleh tukeran kontak, gak? Saya ada teman yang mau ke Bali juga, biar tambah relasi aja gitu," tutur Gumelar sambil perlahan menyerahkan ponselnya.
"Karena namamu Daniel, saya tidak bisa memberi kontak saya. Jadi biar kontak Drea saja," sergah Geovani membuat Gumelar melongo. Apa hubungannya nama dengan bertukar kontak?
"Ada apa, Teh?"
"Kamu masih tanya?! Hei, Daniel! Saya saja enam tahun gak mengenal kata lelah mencari tahu tentang kamu! Terus kamu seenaknya aja langsung minta kontak saya di sini? Cupu–" Drea membungkam mulut Geovani dengan tangannya. Menyusahkan sekali sahabatnya ini kalau sudah kumat.
"Ssssstttt! Dia suka kambuh gitu kalo kecapekan, hehehe. Ini, ketik aja nomor gue, kosong delapan ...." Akhirnya Drea memberikan nomor teleponnya kepada Gumelar.
Tidak lama kemudian, Gumelar pamit pulang karena ada yang mencarinya. Ketika mereka tinggal berdua, barulah Drea dengan leluasa menertawai Geovani.
"Lo oon juga ternyata, bwahahaha. Jelas-jelas mereka orang yang beda, dari tampangnya juga beda, Buset!"
"Ya habisnya namanya sama, kan jadi teringat kesalahan saya kemarin. Ugh! Sebel banget kalau diingat-ingat!" Drea terkekeh.
Dering ponsel Drea menyeka percakapan keduanya. Nomor asing yang sepertinya punya Gumelar itu langsung diangkat Drea.
"Halo?"
"Halo, Teh? ini saya, Daniel. Eh! Gu–Gumelar."
"Hahaha ... iya. Kenapa?"
"Teteh ada waktu gak lusa besok? Ini teman saya udah sampai ternyata."
"Hm ... kalau malam, sih, ada. Mau ketemu?"
"Ayo, Teh. Tempatnya Teteh yang tentuin aja, nanti sharelock.",
"Oke, deh. Anyway, teman lo siapa?"
"Giovano."
***
Tidak diragukan lagi, Bali memang salah satu kota yang teramat cantik. Bahkan, penduduknya terhitung ramah, di samping banyaknya turis dari mancanegara yang berwisata, Bali sendiri memiliki banyak ragam budaya yang tidak pudar terbawa zaman.Geovani sangat menikmati liburannya. Tidak apa-apa saat ini ia menjadi yang terasing dari keluarga Drea, setidaknya dari sini Geovani akan berusaha membayar semuanya kepada keluarga Drea di masa depan kelak. Apakah ada yang mengira bahwa ia berharap suatu saat nanti mengunjungi kota ini kembali bersama keluarganya? Mamanya? Papanya? Oh, itu salah besar.Mengapa? Sebab ia tidak ingin mengunjungi kota seindah Bali dengan membawa siaran perdebatan yang tidak lain adalah orang tuanya sendiri. Mengingat wajah mereka saja rasanya sungguh menyayat hati.Tuhan memang adil. Tidak merasakan hangatnya keluarga, Geovani mendapatkan kehangatan itu dari keluarga sahabatnya. Paling tidak, ia masih dapat
Satu Minggu lebih sudah Geovani menginjakan kakinya di Bali. Segala macam kuliner sudah ia cicip bersama Drea. Kini, tibalah saat mereka harus kembali ke kota asal."Eh!!? Geo, Geo, Geo!!! Sini, deh!" Geovani yang sangat sibuk mengurusi kopernya tidak terlalu fokus dengan suara Drea. Hingga akhirnya Drea mengulurkan layar ponselnya tepat ke depan wajah Geovani."Apa ini?""Ini Gumelar lagi nunggu kita di pantai, mau ucapin salam perpisahan kali. Yuk, ke sana!""Ih, lebay banget, sih. Kamu saja sana, saya sibuk.""Gak mau! Pokoknya lo anterin gue, Geo, anterin gueeeeee!" Percakapan itu pun berulang-ulang sampai Drea merasa jengah dan membuka kartunya sendiri."Gue jadian sama Gumelar!" Sontak, Geovani langsung menoleh menatapnya. Melihat Drea yang berwajah merah, sudah dipastikan ia tidak sedang berbohong."Sejak kapan?""Setelah kita makan malam p
"Geoooo! Lo udah baca chat grup?!"Drea langsung berlari mengejar Geovani usai turun dari mobilnya. Mereka berdua menempati gedung yang sama lagi untuk belajar. Walau begitu, tidak akan sering mereka berpapasan saat memasuki kampus, bisa jadi Drea yang lebih awal datang atau Geovani yang menaiki ojek online dahulu."Sudah! Saya jadi kesulitan tidur semalam! Ditambah lagi dia satu jurusan sama kita." Sambil melanjutkan langkahnya, mereka terkekeh. Tentu saja yang mereka maksud adalah Daniel."Bisa jadi ini kesempatan lo buat dapat Daniel," celetuk Drea membuat hati Geovani berbunga-bunga. Pipinya pun bersemu malu kepada hal yang belum jelas kebenarannya."Ih!? Pipi lo merah," ledek sahabatnya itu sambil menunjuk wajah Geovani. "Huaaa! Andai aja Daniel-nya gue juga di sini.""Maksud kamu Daniel Gumelar?""Ya, siapa lagi?""Bukannya kamu belum menceritakan
Giovano meletakan dua gelas berisi teh hangat di atas etalase. Lalu, laki-laki itu mengambil dua bangku dan menyerahkan salah satu ke seorang gadis yang tidak lain adalah Geovani."Apa ini?""Duduk." Seperti terhipnotis, Geovani langsung menduduki salah satu bangku itu. Ia sendiri pun kaget mengapa dirinya mengikuti perintah Giovano?"Nih." Giovano menyerahkan segelas teh hangat tadi, membuat Geovani makin mengernyit heran.Hubungan mereka tidak sedekat itu, bahkan bisa dibilang tidak pernah kenal jika saat di Bali lalu tidak bertemu Gumelar. Lantas, mengapa Giovano memberinya teh? Atau jangan-jangan ada serbuk racun yang dilarutkan dalam teh itu? Pikiran buruk Geovani mulai mengepul di kepalanya, ia buru-buru mengendus-endus aroma teh itu, meneliti warna serta kandungan di dalamnya."Kenapa, sih?" tanya Giovano risih."Ini untuk saya, kan? Saya harus memastikan kalau teh ini be
"Dek?"Suara seseorang membangunkan Giovano dari tidur ayamnya. Matanya langsung membuka dan tersadar bahwa dirinya hampir terlelap di jam kerja. Saat ini ia menggantikan temannya yang bekerja menjadi penjaga toko baju.Kegiatan di kampus yang cukup menguras tenaga, ditambah satu jam yang lalu toko ini sangat ramai membuat laki-laki itu kehabisan stamina."Ah ... maaf, Bang," tukasnya seraya mengusap wajah."Ngantuk, ya? Cuci muka dulu sana." Giovano mengangguk, kemudian beranjak ke kamar mandi toko."Dia siapa, sih?""Temannya si Irfan, gak tahu gue juga.""Bisa-bisanya gantiin kerja tanpa daftar, interview, dan berurusan dengan atasan.""Katanya dia gantiin si Irfan hari ini doang, nanti dibayar sama Irfan.""Hadeh ... kalau gue gak punya hutang sama Irfan mah udah gue laporin."
Langkah tegap Giovano menghiasi kesunyian malam. Setelah bekerja sebagai kuli angkut di pasar sejak pagi tadi, bahunya terasa amat pegal, bahkan hampir keram. Sepanjang jalan ia mengelus belikatnya.Seberat inikah hidupnya, Tuhan? Dituntut keluarga, tetapi juga diasingkan dari hangatnya kasih sayang. Diperintah menjadi yang paling bisa di atas banyaknya kekurangan. Mampukah ia menjadi penyangga kokoh ketika separuh dari dirinya sudah rapuh? Namun, jika ia patah, bagaimana dengan nasib saudarinya? Bagaimana dengan keharmonisan rumah tangga yang ia impikan? Semesta seolah tidak memberikan jeda sejenak untuk laki-laki itu beristirahat. Seakan-akan ia diberi dua pilihan, antara bertahan dengan sulitnya di medan perang yang entah kapan berakhir, atau mengakhiri semuanya tanpa kemenangan apa pun.Giovano teringat dengan ayahnya. Ksatria tanpa kuda yang akan selalu melindungi tanpa tameng, di mana kehadiran sosok itu? Kata orang, ayah adalah super
"Terserah kamu, deh, aku gak peduli!"Tuuuut!Drea langsung menutup sambungan telepon bersama kekasihnya, Gumelar. Kali pertama menjalani hubungan jauh memang sangat menguras emosi baginya. Pasalnya, sering sekali akun sosial media Gumelar ditag gadis lain yang meng-upload foto bersamanya. Perempuan mana yang tidak geram melihat pasangannya bersanding dengan perempuan lain?Terlebih lagi, akhir-akhir ini Gumelar sulit dihubungi, membuat pikiran-pikiran buruk berdatangan."Ugh! Dasar cowok jelek!!!" teriak Drea memaki Gumelar setelah melihat foto mereka bersama saat di Bali."Oh iya ... Giovano kan teman dekatnya Gumelar. Apa gue tanya dia aja, ya?" bisik Drea sambil mencari kontak Giovano yang sempat dikasih Gumelar untuk jaga-jaga kalau ponselnya mati saat memiliki janji dengannya di Bali.Drea: “Gio?”Giovano: “Siapa?”
Geovani menatap layar ponselnya penuh duka. Sebuah snap di sosial media Erlangga Daniel yang menampilkan sepasang tangan dengan cincin couple yang saling bertaut satu sama lain."Apaan, sih, sok-sokan galau lo, Geo," celetuk Drea dari karpet bawah.Sejak pulang dari kampus tadi, Drea bermain di rumah Geovani. Ia juga izin untuk menginap."Diam, deh.""Geo, sebenernya lo tuh cuma sekadar kagum aja tau sama Daniel. Percaya, deh, kelihatan.""Ya, memang saya kagum.""Maksud gue, kagum sama prestasi dia, kagum sama kharisma dia, gitu doang. Enggak sampai yang suka terus bikin lo jadi bucin. Bisa dibilang, lo kesugesti aja sama perasaan lo. Buktinya, lo enggak ada niatan buat miliki dia, kan?""Sok tahu! Waktu itu kan sudah pernah, Drea, tetapi saya salah orang. Malah ... ke Giovano," lirih Geovani sedikit tersipu."Banyak kesempatan. Tapi, lo sengaja nunda-nunda. Cuma ngejar dia, bilang ke satu dunia lo suka sama dia, padahal lo cuma
"Cieeee! Yang makin hari makin deket!"Drea merangkul Geovani dari belakang. Hampir saja Geovani dibuat jantungan, pasalnya ia berjalan seorang diri sebelumnya."Drea! Saya kaget tahu!""Cie, Geo, ciee," ledek Drea seraya mencubit pelan pipi Geovani."Apaan, sih?""Kayaknya sebentar lagi ada yang bakal jadian, nih." Geovani bergidik ngeri menanggapi ucapan Drea. Namun, sahabatnya itu terus saja meledeknya."Sok tahu banget, sih. Siapa juga yang dekat?!""Ituloh, kemarin tiba-tiba jadi pasangan pesta. Udah gitu di tengah acara malah meninggalkan aula lagi berduaan. Ke mana lo kemarin?""Loh, kok kamu tahu?""Ya, jelas dong. Gue sama Gumelar merhatiin kalian. Mau negur dan nanya, tapi enggak jadi, ah. Males, lagian gue sama dia lagi seru kemarin. Hahahaha." Drea tertawa seraya menepuk-nepuk pahanya sendiri. Ia tahu bahwa Geovani memiliki luka di punggungnya, makanya ia menepuk pahanya sendiri, padahal biasanya pundak Geovani
Giovano menutup pintunya. Perasaan dan pikirannya menjadi lebih lega setelah memberi saran kepada Babeh Seno tadi. Namun, ketika mengingat-ingat ucapan Babeh Seno, jantungnya berdegup kencang lantaran menyadari bahwa ia menyukai Geovani, gadis yang sudah menyatakan perasaannya lebih dulu.Ia belum pernah menyukai seseorang yang bukan bagian dari keluarga ataupun sahabatnya. Geovani, kali pertamanya."Kalau gue ajakin dia, pasti ditolak karena udah janjian sama Dave Dave itu duluan," gumam Giovano memikirkan cara agar dirinya bisa menghadiri pesta ulang tahun Drea sebagai pasangan Geovani."Aduh! Gue juga belum nyiapin baju! Anjir, mana punya gue baju-baju bagus. Gimana, ya?"Giovano mengeluarkan ponselnya dan mencari kontak Gumelar. Ia menelepon sahabatnya."Halo, Van?" tanya dari seberang."Lo udah di sini? (Daerah Giovano)""Udah, Van, baru aja sampe. Lagi istirahat heula. Kunaon, Van?""Hm ... gue kayaknya gak ikut pesta Dre
Kericuhan di halaman depan rumah—istana—Drea dapat disalah artikan menjadi acara pembukaan bagi Giovano. Pasalnya, laki-laki itu secara tiba-tiba mengatakan bahwa Geovani adalah pasangannya di pesta malam ini. Sedangkan, Geovani sendiri datang bersama Dave.Teman-teman yang sudah lengkap dengan pasangannya menghiraukan dan langsung masuk, tetapi ada beberapa yang malah mengambil video cam di antara tiga orang itu. Selain itu, selebihnya ada yang sengaja berdiam di depan karena menunggu Geovani masuk."Pak! Saya tidak bohong, dia pasangan saya. Iya, kan, Van?" tanya Dave dengan nada tinggi.Geovani mendadak kikuk di tengah keramaian itu. Entah karena apa, ia merasa tidak enak jika mengatakan bukan pasangan Giovano. Apakah karena dress code mereka mirip?"Vani, jawab! Lo pasangan gue kan?" Ia mengulang kembali."Udahlah ... jelas-jelas dia cuma mau bareng lo aja. Minggir!" cetus Giovano seraya berjalan mendekat.Dengan sigap, Dave
"Hei! Kenapa kamu balik lagi?" tanya kepala bagian waiter itu setelah melihat Giovano yang kembali ke ruangan persajian dengan nampan yang masih penuh.Ditambah lagi, wajah Giovano yang kebingungan mengundang emosi kepala waiter."Saya salah meja, Pak. Pesanan ini untuk nomor berapa, ya?"Kepala waiter menatap tajam Giovano itu. Bahkan, ada aura menerkam yang ia pancarkan. Terlihat sekali bahwa kepala waiter geregetan."Kamu ini!! Sudah tiga kali seperti ini. Kalau kamu sedang sakit, tidak perlu memaksakan masuk!" Yup, benar sekali. Ini sudah yang ketiga kalinya Giovano seperti ini dalam satu hari.Laki-laki itu mengusap tengkuknya merasa semakin kurang profesional tingkahnya di hadapan waiter lainnya. Apa lagi, perihal ia yang menjadi bagian dari waiter tanpa interview dan segalanya sudah menyebar sejak kemarin. Bahkan, di sana pun Giovano tidak memiliki teman untuk sekadar mengobrol. Terkadang ada yang mengajaknya bicara, hanya bertanya ten
03:00 a.m.Giovano terbangun dari tidurnya. Walau matanya terasa berat, tetapi ia merasa ada yang janggal. Atap. Benar sekali, ia yakin yang ia lihat itu bukanlah atap rumahnya. Lalu? Sedang di mana ia?Kepalanya menoleh ke kiri dan ke kanan. Matanya membulat sempurna melihat Geovani terbaring nyenyak di sebelahnya dengan mata yang membengkak. Giovano langsung teringat tentang semalam, di mana Geovani menceritakan sedikit kisah hidupnya.Ia tidak menyangka, di hidupnya yang ia rasa paling suram, rupanya ada yang lebih kelam lagi. Selain itu, Geovani seorang perempuan, Giovano kagum dengan ketangguhan gadis itu. Ia mengelus puncak kepala Geovani."Kalau lo aja masih bisa semangat jalani hidup, kenapa gue enggak? Makasih, ya, Geo."Tiba-tiba, Geovani membuka matanya. Membuat Giovano sigap menarik tangannya dari kepala Geovani."Lo kok bangun?"Geovani menguap."Jam berapa sekarang? Saya terlambat, ya?" tanyanya masih dengan mata
Redup lampu malam menemani Papa berceramah panjang lebar kepada dua remaja itu di ruang tamu. Tidak, dari pada menceramahi, Papa lebih menyindir Geovani dan mengaitkan kelakuannya dengan kehidupan mamanya, sebelum sempat Geovani menjelaskan detail kejadiannya."Memang benar, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Ibunya murahan, sudah pasti anaknya murahan," gumam Papa dengan nada sinisme.Geovani yang sudah berkeringat dingin hanya bisa menunduk, menyembunyikan lukanya serta terlalu malu dengan Giovano di sebelahnya."Geovani, kalau sampai ada rumor tentangmu yang menjatuhkan harga diri saya, benar-benar tidak akan saya maafkan. Sudah cukup ibumu saja yang hampir menghancurkan hidup saya." Papa berganti menatap Giovano yang sama sekali tidak memasang raut wajah takut. Lalu, kembali berceloteh, "Kamu juga, apa orang tuamu tidak mendidikmu? Ini sudah malam, tidak bagus seorang lelaki mengunjungi rumah perempuan. Coba dengari kata-kata ibu ayahmu, jika mereka orang bai
Ceklek!Geovani membuka pintunya sangat pelan, berharap suaranya tidak terdengar Drea yang sedang menginap di rumahnya.Namun, usahanya gagal ketika mendapati Drea menunggunya sambil menonton TV di ruang tengah. Geovani berlari memeluk erat sahabatnya. Sampai-sampai Drea terkejut akan tingkahnya."Ge–Geo?""Maafin saya, Drea. Saya memang manusia yang kurang bersyukur. Terima kasih selalu ada untuk saya," celotehnya.Drea tersenyum simpul, ia mengelus punggung Geovani lembut. Tidak pernah menyangka bahwa seseorang yang berawal hanya teman sekelas, bisa membuatnya menganggap orang itu sebagai saudarinya.Bagi Drea, Geovani adalah role modelnya. Seorang gadis yang masih dapat berdiri dengan tangguh saat kehidupannya dikalut badai. Makanya, ia tidak ingin Geovani terus menerus mengambil langkah yang salah."Lo dari mana aja?""Tidak tahu, saya keliling kampus.""Hah?! Kampus? Ngapain?" tanya Drea seraya melepas pelukan Geovani.
7 June xxxxAh, gila, sih!Hari ulang tahun gue ini, masa Alesya ngadoin buku diary?! Buset, kayak cewek gue. Mana warnanya merah muda. Cucok banget, astaga, Alesya!Tapi, gak apa-apa, dah. Walaupun gue isi ini buku cakep covernya dengan tulisan ceker bebek, tapi berguna banget buat gue. Apa lagi kalo mau ujian, lumayan jadi kertas contekan. Hahahaha.Makasih, Aley.18 Jully xxxxEh, sumpah udah lama gak nulis di sini. Gila, masih bersih banget ini buku, hahaha. Hari ini gue mau tulis apa, yak?Oh, iya ....Masa akhir-akhir ini gue kayak gak percaya diri setiap ketemu Aley alias si Alesya. Gak tau dah kenapa. Tiap gue konsultasi sama temen, dibilangnya gue demen sama dia. Gila, sih, masa iya gue suka sama sahabat kecil. Ngarang banget. Dah lah, pegel mata
"Aku enggak butuh, Bunda." Laki-laki itu menolak amplop cokelat dari Alesya. Bola mata yang dikaruniai pupil hitam pekat itu kini diselimuti air bening. Pelupuk matanya yang menghitam bak membendung telaga. Ia kembali berucap, "Aku enggak butuh apa-apa dari Bunda selain kasih sayang."Plakkk!"Selama ini Bunda bersusah-payah karena kamu dan demi kamu, tetapi kamu justru menganggap Bunda tidak menyayangi kamu?!" Alesya melayangkan tangannya ke arah rahang Giovano.Entah bagaimana cara mereka saling menjelaskan apa yang dirasakan satu sama lain. Rasa lelah Giovano mendadak hilang tergantikan luka yang tersulut ketika melihat Alesya tersenyum ramah tadi. Giovano tersakiti, lalu di atas kesengsaraannya, sang Bunda masih dapat mengayunkan senyuman? Memberikan uang bulanan yang nominalnya hanya cukup untuk SPP sekolah adik-adiknya, bahkan keperluan ia sendiri justru mendapat bantuan dari teman. Namun, Alesya masih dapat tersenyum seolah tidak terjadi apa-apa."