Share

Bab 2. Diajak Nikah

Author: Fiska Aimma
last update Last Updated: 2022-04-13 15:35:21

"Saaah!"

Byuuur! 

"Kakaaak! Banguuun!" 

Astaghfirullah! Aku sontak terlonjak ketika kurasakan hawa dingin menyerang tubuhku.

Seketika itu juga mataku terbuka, bayangan Pak Rifat dan Pak Gilar berganti dengan bayangan Rani yang sedang memegang ember dengan wajah kesal. 

"Rani? Ngapain kamu di kantor Kakak?" tanyaku linglung.

Perasaan tadi aku sedang berada di ruangan Pak Gilar yang bagus dan aku sedang dilamar.

Lah, kok sekarang malah ada si Rani? Mana bajuku basah lagi.

"Kantor? Kantor apa, Kak? Wah, kacau! Bangun, Kak, woy! Elaah ... harus dibanjur terus biar sadar kalau kita kere! Lihat tuh udah jam berapa? Udah jam 12.00," omel Rani sambil menunjuk ke arah jam dinding yang ada di dalam rumah.

"Ih kamu mah serius atuh, tadi Kakak di kantor. Terus mana itu si ganteng yang auranya aura syurga? Mana?" kataku meracau.

Aku celingukan heboh mencari ke kanan dan ke kiri tapi yang kutemukan hanya kursi rotan dan jemuran. Bisa kupastikan kalau ini rumahku dan aku bukan berada di kantor.

Apa aku bermimpi? Apa lamaran itu hanya mimpi di siang bolong?

Melihat tingkahku yang kayak orang semaput Rani menggelengkan kepalanya.

"Nggak ada orang ganteng Kak, apaan sih Kak? Aneh deh," kata Rani lagi.

"Ck! Ck! Parah nih orang miskin, jam segini ngehalu. Udah ah, Kak sana berangkat, bukannya Kakak mau ada janji datang ke kantor karena diterima kerja?" 

"Hah? Kerja?"

"Iya, tadi Kakak bilang diterima kerja di perusahaan Inti Karyamuda dan disuruh ke sana jam 1 siang. Eh, Rani cek kok malah molor? Cepetan gih! Kali aja Rani bisa bayar SPP karena gaji Kakak, Rani kan ingin masuk sekolah lagi Kak," celoteh Rani menyadarkanku kalau kejadian di ruangan Pak Gilar itu tak nyata.

Amsyong ... syong! Sungguh disayangkan.

Aku ingat sekarang. Setelah menerima telepon dari Mbak-Mbak yang suaranya kayak resepsionis mungkin aku langsung tertidur di kursi rotan karena kelelahan menagih hutang dan sekarang ....

Aku terlambat.

(***)

Nelangsa. Mimpi manisku ternyata halusinasi yang terasa sangat nyata.  

Gimana aku bisa mimpi sejelas itu? Muka dan nada suara mereka masih terekam jelas di otakku. Tapi, masa iya kan almarhumah Ibu punya teman kayak Pak Gilar? Seingatku Ibu itu mainnya hanya sama ibu-ibu PKK dan tetangga yang amnesia kalau ditagih hutang.

Ah, bodo amat-lah! Kayaknya aku kelamaan jomblo dan nonton yang nggak jelas jadi efeknya alam bawah sadarku itu agak konslet.

Sadar, Lu! Sadar! Ingat Rani butuh biaya sekolah, jangan sampai dia bolos sekolah lagi kayak tadi karena malu akibat biaya SPP menunggak.

Aku memukul kepalaku berulang kali untuk mengembalikan kewarasanku sepenuhnya. Saat ini, aku sedang diminta Mbak resepsionis untuk menunggu di ruang tunggu kantor Inti untuk bertemu Pak Direktur.

"Siang Mbak, Mbak pasti Mbak Ludia yang tadi kami telepon, ya?" tanya seorang wanita bergigi gingsul dan berpakaian formal padaku.

"Iya, Mbak saya."

"Baik, Mbak. Silahkan pergi ke ruangan Pak Rifat, ya? Karena Pak Rifat sudah menunggu di ruangannya."

Aku melotot. "Eh, Pak Rifat? Jadi, Pak Direkturnya namanya Pak Rifat, ya Mbak?" 

Hampir saja bola mataku keluar dari kelopaknya ketika mendengar nama si Bos yang disebutkan sekretaris itu.

Si Mbak gingsul tersenyum ramah. "Iya, Mbak. Namanya Pak Rifat. Ruangannya ada di pojok sebelah kiri ya Mbak," kata Si Mbak menunjukan arah ruangan si Bos yang namanya sama seperti dalam mimpi.

(***)

"Ceritakan tentang diri Anda."

"Si-siap Pak, nama saya Ludia Hanifah. Bapak bisa panggil saya Lulu, Ifah atau Sayang. Eh, maksudnya Lulu aja Pak," kataku dengan wajah super tegang.

Tak kusangka mimpi ini jadi nyata. Wajah Pak Rifat yang kulihat di mimpi sama banget dengan yang kulihat di dunia nyata.

Apa mungkin ini yang dinamakan jojodog eh jodohku?

Alis Pak Rifat terangkat satu. "Oke, saya panggil Anda Lulu saja, ya?" tanya Pak Bos ganteng yang cambangnya tercukur rapi itu padaku.

Aku mengangguk. "Iya, Pak."

"Oke, Lu. To the point saja. Jadi, sebenarnya, bukan tanpa alasan saya memanggil kamu ke sini. Perkenalkan saya Rifat Andika, di sini saya bertindak sebagai Direktur dan sebelum kita bekerja saya ingin bertanya. Apa benar Ibu kamu bernama Bu Suminah Fatmawati dan tinggalnya di gang Kelinci?"

"I-iya Pak."

"Dia punya toko kelontong yang nama tokonya Maju Kena Mundur Kena?"

"Iya, juga Pak. Emang kenapa, Pak?" tanyaku dengan dada yang mulai berdebar kencang.

Jangan-jangan, sebentar lagi aku akan dilamar?! Kayak mimpiku tadi. Udah mulai nyerempet masalah Ibu soalnya.

"Ah, syukurlah, tebakan saya benar. Akhirnya saya bertemu dengan anaknya," kata Pak Rifat dengan nada lega.

Aku mengerjapkan mata berulang kali. Seingatku, di mimpi yang bertanya begini Pak Gilar namanya bukan Pak Rifat.

"Ba-Bapak kenal Ibu saya?" tanyaku terbata.

Aku berharap ending dari pertanyaan ini sama dengan yang ada di mimpiku.

"Iya, Saya kenal. Heum ... lebih tepatnya mendiang Ayah saya kenal dengan Bu Minah. Oh iya, ini foto Ayah saya." Pak Rifat menunjukan foto di ponselnya.

Gila, sih! Sama banget. Aku menelan ludah, bisa-bisanya hantu si Pak Gilar masuk ke mimpiku. Eh, tapi menurut mitos kalau aku bermimpi bertemu orang yang meninggal berarti ada yang ingin dia sampaikan.

Apa ini maksudnya?

"Sekarang kamu percaya, kan? Oh iya, gimana sekarang kabar Bu Minah?" 

"Ibu saya sudah meninggal Pak. Saya sekarang tinggal berdua dengan adik saya."

"Innallilahi w* inna ilaihi rojiun. Saya turut berduka cita ya, Lu? Lalu, gimana kabar toko kelontong milik Ibu kamu?"

"Sepi banget Pak, barang dagangan modal juga habis dipinjam makhluk yang tak bertanggung jawab. Nggak ada perputaran juga saya bingung mau jualan apa Pak."

Pak Rifat manggut-manggut seolah paham. Lelaki yang tampaknya berusia jauh lebih tua dariku itu mengusap rahangnya yang lancip berulang kali. 

"Heum ... baik-baik. Saya paham kok. Nah, Lu, sebenarnya saya sudah lama mencari kamu. Awalnya saya ragu yang melamar ke perusahaan ini adalah anak almarhumah Bu Suminah tapi ternyata benar."

"Maaf Pak tapi ngapain Bapak nyari saya?" tanyaku penasaran.

"Saya ... saya ... diminta nikahin kamu."

"Apa? Serius, Pak?" Seolah dejavu, tubuhku sontak berdiri. Mataku memandang tak percaya pada Pak Rifat yang tetap memasang wajah datar.

Aku mencubit lenganku kuat. "Awww!" Sakit. Aku tidak bermimpi.

"Saya serius. Saya tidak boleh menikah dengan siapa pun selain sama kamu. Bahkan meski saya mencintai wanita lain." Pak Rifat sejenak menarik napas dalam. "Jika saya tidak menikah dengan kamu maka warisan saya gak akan cair. Karena mendiang Bapak bilang saya gak punya hak sebelum membalas budi dan membayarkan hutang untuknya."

"Balas budi?"

"Iya. Balas budi. Dulu alm. Bapak saya meminjam uang pada Ibu kamu dan jika bukan karena uang Ibu kamu, usaha kami tak akan jadi sebesar ini. Jadi, ini bukan masalah uang Lu, tapi sebuah harga diri dan komitmen," jelas Pak Rifat panjang kali lebar sama dengan membingungkan.

Aku terpaku mendengar penjelasan Pak Rifat. Tubuhku kembali terduduk di atas kursi.

Jika ini bukan mimpi berarti ini nyata dan apabila ini nyata aku harus sedikit jaga gengsi, agar tak terlihat gampangan dan tidak waspada.

"Jadi, kamu mau kan menikah dengan saya? Tenang kamu gak perlu hamil atau melahirkan, kamu juga gak perlu melayani saya karena saya terbiasa mandiri dan saya juga sebenarnya tidak suka menjalin hubungan. Terutama saya tidak suka anak kecil," katanya tegas dan menggelitik jiwaku untuk tertawa miris.

"Apa? Jadi Bapak butuh saya cuman buat warisan? Ogah! Miskin begini saya punya harga diri, ya. Saya emang suka drama, tapi saya bukan ratu drama."

"Iya. Saya tahu. Makanya saya minta baik-baik. Lagi pula saya tahu kamu butuh uang dan cari kerjaan sekarang susah. Bagaimana? Tolonglah! Saya tidak mau berhutang seumur hidup saya dan didatangi almarhum Bapak setiap tidur. Kamu mau nolong saya, kan?" tanya Pak Rifat dengan nada setengah frustasi.

Aku menggigit bibir sambil memilin ujung rambut. Berpikir dan menimbang di segala situasi.

Ternyata kalau di dunia nyata aku lebih punya harga diri dibanding di mimpi. Tapi, kapan lagi aku punya kesempatan emas ini? Aku tidak perlu hamil dan melahirkan tapi bisa punya banyak uang, bagus! Itu berarti keperawananku akan terjaga.

"Gimana? Oke? Anggap saja kita saling tolong menolong," nego Pak Rifat lagi.

Aku menggaruk kening yang ngga gatal.

"Gimana, ya? Ya udah, oke saya mau nolong Bapak tapi dengan satu syarat!" seringaiku licik.

"Apa syaratnya?"

"Saya mau Bapak, bikin 25 orang yang berhutang sama almarhumah Ibu saya membayar hutangnya meski sebiji jarah pun. Deal? Apa Bapak bisa?" 

"25 orang? Itu yang berhutang serius?"

"Yes serius! Jigo! Jigo! 25 orang gak kurang gak lebih! Gimana Deal?"

"Deal? Alah ... bikin orang bayar hutang doang itu kecil. Saya bisa. Kalau perlu saya yang bayarin utang mereka."

"Gak! Saya mau mereka sendiri yang bayar! Dalam rangka menolong mereka dari kesusahan di akhirat nanti."

"Oke, no problem! Saya bisa kok buat mereka bayar. Tapi, setelah setelah mereka bayar hutang, kita sah, ya?" tanyanya bersemangat.

Sungguh matre sekali Kisanak satu ini.

"Sah, nggak?! Dibayar hutang, sah?"

"Oke," kataku tersenyum licik.

Dia tidak tahu saja, emak-emak yang berhutang padaku itu ganasnya minta ampun. Mana mungkin mereka membayar? Mustahil! Apalagi Bu Tukijem dan Bu Tejo, alamat darah tinggi nagih mereka.

"Tapi, sebelum saya bantu kamu nagih hutang. Saya mau kita nikah dulu sebagai jaminan saya gak rugi," kata Pak Rifat lebih licik lagi.

"Kapan?"

"Dua minggu lagi!"

Sinting!

Related chapters

  • Hutang Dibayar, Nikah!   Bab 3. Penghutang Pertama

    Penghutang satu. Namanya Bu Selamet, kebiasaan pamer jalan-jalan tapi mundur kalau bayar hutang. Kalau di WA alasannya lagi ada bayaran kontrakan-lah dan nggak ada duit, tapi kalau di medsos liarnya suka pamer dolar dan foto belanja barang mahal.Enaknya, penghutang kayak gini diapakan, ya?Aku mengerutkan kening berpikir. Entah apa salah dan dosaku hingga setelah Ibu meninggal aku malah dapat amanah dari mendiang Ibu untuk menagih hutang dari orang-orang macam Bu Selamet, Bu Tejo, Bu Tukijem, Bu Ijah, Mak Wedok, Ceu Isoh, Ceu Neneng dan kawan-kawan.Setelah diblokir Bu Tukijem, mangsaku balik lagi ke nomor satu yaitu Bu Selamet, dia tetangga jauh yang rumahnya paling pojok menghadap pohon palem.Sebenarnya, hutang dia terhitung nggak terlalu besar bagi orang kaya yaitu senilai 500ribu tapi bagi kami yang hidup di ambang kemiskinan itu sangat berarti apalagi tabunganku sudah menipis.Mau makan apa nanti, kalau nggak nagih hutang?

    Last Updated : 2022-04-13
  • Hutang Dibayar, Nikah!   Bab 4. Keseriusan Rifat

    Misi berhasil. Berkat mulut pedes Pak Rifat yang mengalahkan kepedesan cabe domba, akhirnya Bu Selamet mengibarkan bendera putih dan uang lima ratus ribu sudah di tangan. Sekarang tinggal kehidupanku saja yang terancam. Siapa sangka, sepulangnya aku dan Pak Rifat dari menagih hutang, kulihat di depan rumahku sudah banyak orang. Astaghfirullah! Aku dan Pak Rifat langsung kompak melotot dengan mulut menganga karena sama-sama tercengang. Ada apa gerangan? Perasaan nggak ada acara bagi-bagi sembako. Heran ... sampai ada Pak RT segala. Hash!"Kakaaak! Buruan sini! Tanggung jawab!" teriak Rani. Tubuh kecilnya tiba-tiba menyeruak dari dalam kerumunan. Kerudung sekolah yang ia pakai sampai miring-miring saking emosi melihatku yang bengong di halaman rumah. "Eh, bentar! Bentar! Ada apa ini? Kok, jadi rame begini Ran?" Aku menelan ludah sambil berpandangan dengan Pak Rifat yang memandangku tak mengerti. "

    Last Updated : 2022-04-13
  • Hutang Dibayar, Nikah!   Balada Penghutang Marni

    Namanya Marni tinggi 160 cm dengan berat 50. Sungguh ideal bagi janda yang suka merebut kekasih orang. Dia suka shopping dan juga foto alay. Minusnya Marni ini galak dan cepat tersulut emosi.Hash! Mas Gagah oh, Mas Gagah! Kejamnya dikau padaku hingga kau nikah lebih dulu. Sampai sekarang aku masih tak percaya kalau guru SD itu lebih memilih Marni dibanding aku. Apa aku kurang seksi? Aku menatap nelangsa janur kuning yang ada di depan rumah Marni. Tak kusangka teman sepermainanku malah sudah nikah dua kali.Ya, Marni adalah sahabatku dulu yang nikah karena MBA lalu setelah cerai dia berhutang kepada almarhumah sebesar lima juta. Saat itu dia beralasan mau memasukan anaknya ke TK dan dipakai usaha. Disebabkan Ibu itu baik dan kebetulan ketika itu toko lagi maju diberikanlah atas dasar dia temanku--kasian.Eh, dasar manusia mars, sampai anaknya Marni mau kelas dua sd, tuh janda nggak ada itikad

    Last Updated : 2022-04-13
  • Hutang Dibayar, Nikah!   Bab 6. Sayang?

    Wak Romlah tersangkanya.  Dia yang membuat Pak Rifat bisa masuk ke toko dan mengumpulkan bukti hutang dari temanku Marni si janda seksi tapi suka emosi. Tak kuduga tanpa sepengetahuanku, Pak Rifat sudah colong start lebih dulu dengan menemui Wak Romlah dan akhirnya Kakak tertua Ibu bersekutu dengan Pak Rifat.Licik.Lelaki berahang tegas itu memang benar-benar serigala berbulu domba. Dia akan melakukan apa saja demi tercapainya keinginan untuk mempercepat pernikahan kami dan hasilnya ... rumit.Apa yang dia lakukan demi memenuhi syaratku membuat semua orang tercengang. Apalagi si Marni akhirnya pingsan dan Mas Gagah berjanji membayar hutang Marni-istrinya dua hari lagi.Bagus sih tapi nyesek. Semua gara-gara satu nama yaitu Rifat.Arrrrh! Ingin kuteriak."Gimana, Lu? Kapan kamu mau nepatin janji kamu? Saya sudah menjalankan dua misi dan dua-duanya berhasil. Sekarang giliran kamu yang n

    Last Updated : 2022-04-14
  • Hutang Dibayar, Nikah!   Bab 7. Ketemu Camer

    Udah pernah ketemu calon mertua dalam kondisi setengah gembel belum? Kalau belum coba deh, ah ... ngenes.Sungguh, aku nggak tahu kalau mamanya Pak Rifat ikut fitting juga hingga bajuku tak ubahnya seperti pakaian mahasiswa miskin yang lagi stress menghadapi tanggal tuaAku hanya memakai kaus oblong dan jins sobek dengan muka berminyak. Andai aku tahu mamanya Pak Rifat datang, mungkin aku akan meminjam dress ke si Oneng bukan malah begini.Memalukan.Aku menundukan kepala dalam di depan seorang wanita setengah baya yang mengenakan baju blazer lengkap dengan rambut jambul perkututnya. Dia adalah Bu Aida-- wanita yang membuat Pak Rifat mendadak memanggilku 'Sayang' biar dinilai cowok penyayang.Apes. Apes. Akhirnya aku tahu sikap bar-bar Pak Rifat di depan Mas Davin tadi dikarenakan pencitraan. Siapa sangka, Pak Rifat juga sama saja ingin cari muka di depan mamanya biar segera di-acc menikah.Aku hanya

    Last Updated : 2022-04-14
  • Hutang Dibayar, Nikah!   Bab 8. Ampun Bang Jago!

    "Ampun Bang Jago!"Begitulah slogan yang seringkali diucapkan para warga di sini, kalau udah mulai berbicara tentang kegalakan Bang Jago. Tak ada satu pun warga yang berani dekat-dekat rumahnya apalagi nyari perkara.Soalnya sekali salah ngomong takutnya senggol bacok. Itulah yang mendasari Ibu jarang menagih hutang pada Bang Jago karena nggak berani, sementara aku berurusan dengan dia saja belum pernah.Hash! Ngeri.Lalu sekarang, setelah lima purnama terlewati dan ibuku meninggal, aku terpaksa harus  datang menagih hutang. Apa tidak nyari mati namanya? Kenal musuh aja nggak, sok-sok-an mau nagih preman yang jelas-jelas galakan dia.Asem. Asem."Pak! Ayo, dah! Balik aja yuk, saya masih perawan nih Pak takut kenapa-napa," kataku sambil menarik kausnya Pak Rifat.Sudah sepuluh menit kami berdiri mengawasi rumah Bang Jago dan sudah sepuluh menit juga kami menunggu si preman pulang ke ruma

    Last Updated : 2022-04-15
  • Hutang Dibayar, Nikah!   Bab 9. Sah?

    [Lu, gimana akadnya lancar? Oh iya, maaf ya Lu Bibi gak bisa datang si Om sakit.][Iya gak apa-apa.][Oh, iya apa boleh Bibi minjem duit, Lu?][Berapa, Bi?][10 juta aja ada? Calon suami kamu kan kaya. Bisa lah, ya?]Astaghfirullah! Makhluk Mars kembali bertambah satu. Setelah hampir satu tahun menghilang  tiba-tiba Bi Cicih menghubungiku dan bukannya datang memberi selamat eh, dia malah mau meminjam uang.Astaga! Ada ya saudara model begini? Banyak.Sebenarnya, Bi Cicih itu adalah adik bungsu dari almarhum ayah. Dulu saat usaha kami sedang maju dia sering sekali berkunjung tapi pas kami lagi mundur sampai nelangsa mana ada dia nongol. Bahkan saat aku meminjam uang untuk sekolah Rani saja dia bilang selalu tak ada padahal aku tahu dia baru membeli tas yang harganya mahal.Kemudian sekarang, setelah aku mau menikah, eh dia baru nge-Wa lagi untuk hal yang tak

    Last Updated : 2022-04-15
  • Hutang Dibayar, Nikah!   Bab 10. Oow Ketahuan!

    Jika ada yang bertanya padaku. Malam pertama ngapain aja? Jawabannya adalah mencari daftar nama hutang. Astaghfirullah! Aku heran. Kapan penderitaan sebagai debt collector cantik ini berakhir? Belum juga gaun dilepas aku sudah mulai kebingungan karena buku kramat milik almarhumah Ibu hilang. Perasaan aku menyimpannya di koperku sehari yang lalu tapi karena persiapan yang menyita waktu aku lupa memeriksanya lagi.Bahaya! Aku bisa berdosa jika buku itu raib.Aku sudah mencari di seantero rumah Pak Rifat yang menjadi tempat resepsi sampai ke kamar pengantin hasilnya NOL. Aku tidak menemukan buku kramat mendiang Ibu. Gawat! Kalau hilang bagaimana aku akan melacak nama penghutang nomor 16-25? Siapa sih yang ngambil? Penunggu rumah Pak Rifat? Atau Pak Rifat? Nah! Pasti dia. Enggak salah lagi, soalnya hari ini telah terjadi keanehan yaitu 12 orang penghutang mendadak taubat. Kejadian langka ini pasti ada hubungannya dengan lelaki ya

    Last Updated : 2022-04-16

Latest chapter

  • Hutang Dibayar, Nikah!   Bab. 38. The Last But Not Least (Tamat)

    Dua puluh lima penghutang selesai sudah. Mulai hari ini posisiku sebagai debt collector akibat warisan akhirnya lengser. Tidak ada lagi misi.Tidak ada lagi nama penghutang.Tidak ada lagi adu mulut dan tidak ada lagi rencana-rencana absurd. Pokoknya semua beres, beres dan beres ...! Keluarga almarhumah Ibu pun telah damai sentosa tanpa berdebat lagi gara-gara wasiat.Sekarang, tinggal saatnya aku mengkalkulasikan semua dan kembali ke kehidupan awal.Menjadi seorang istri dari Rifat yang senantiasa ada untuknya. Seperti sekarang, siang-siang begini aku sengaja datang ke kantor Mas Rifat untuk makan siang bareng.Kata Mas Rifat, dia kangen masakanku. Jadi, meski tidak terlalu yakin tentang makanan yang kubawa, di sinilah aku sedang menunggu Mas Rifat karena dia masih ada tamu.Namun, sungguh kebetulan di sela waktuku menunggu tiba-tiba mataku menangkap ada seorang wanita yang kukenal berjalan lurus melintas menuju ke arah lift dengan tergesa.Sosok itu melangkah lebar melewati ruang

  • Hutang Dibayar, Nikah!   Bab 37. Penghutang ke-25

    Waktu itu relatif. Rasanya baru kemarin nasib sebagai gadis miskin yang ditugaskan untuk menjadi debt collector dadakan bagi 25 orang penghutang. Sekarang aku sudah menikah dan bahkan dinyatakan hamil. Jika Ibu masih ada pasti dia akan bilang padaku, 'Ini sih namanya anak yang beranak.'Duh sedihnya jika ingat Ibu. Andai Ibu ada di sini pasti dia akan sangat senang, bukan hanya karena menyaksikanku mendapatkan suami yang baik dan bertanggung jawab macam Mas Rifat tapi karena dari dua puluh lima itu sekarang hanya tinggal satu penghutang yaitu Wak Onah. Wak Onah, anaknya almarhumah Bu Daroyah. Wak Onah sebenarnya baik tapi suka menunda-nuda untuk membayar hutang dan pintar berkelit, dengan dalih kemanusiaan dia berulang kali berhasil membujuk tetangganya untuk meminjamkan bahan dapur sampai duit. "Ih, masa sama tetangga aja perhitungan!" Begitulah dalih yang kuingat saat dulu almarhumah Ibuku pernah menagihnya dan itu terjadi berulang kali. Sampai total hutangnya sebesar tiga juta

  • Hutang Dibayar, Nikah!   Bab 36. Penghutang Ke-24

    Pagi yang aneh, hari ini aku terbangun dengan perasaan yang melow dan perut yang bergejolak. Entah mungkin karena semalam aku baru tertidur jam 2 pagi selepas selesai membereskan semua barang sepulang dari Yogya untuk honeymoon selama dua minggu. Jadi, perutku aneh, serasa dikocok berulang kali.Sebenarnya, aku tidak menduga akan selama itu di Yogya. Karena pada awalnya rencanaku hanya satu minggu. Kupikir waktu itu cukup untuk membuat Rani percaya kalau aku dan Mas Rifat tidak main-main tapi dikarenakan Mas Rifat membujuk akhirnya kami kebablasan, kata Mas Rifat takut dikira bercanda kalau hanya sebentar.Bercanda? Hah! Pret!Gila aja kalau kami bercanda. Ini pernikahan yang sakral, bisa dikutuk jika aku mempermainkan.Ya, memang sih awalnya ada modus-modus warisan tapi itu kan dulu, sekarang kami sudah taubat kepada Allah.Nggak lagi deh mikir cerai. Apalagi setelah tahu kalau biang kerok pertingkaian dan kesalahpahaman semua ini itu Flo, kupikir mulai sekarang aku gak boleh lengah

  • Hutang Dibayar, Nikah!   Bab 35. POV RIFAT

    Pov Author.Rifat masih menatap istrinya yang entah kenapa tampak berbeda. Melihat Lulu menampar adiknya benar-benar menjadi hal yang mengejutkan.Rani memang sudah keterlaluan. Rifat sudah sepatutnya tak hanya diam karena Lulu pun sudah sebegitu marahnya, terkadang istrinya yang lucu itu mendadak sulit dikendalikan.Rifat mencoba meraih lengan Lulu tapi istrinya itu menolak. Wanita cantik itu masih tidak ingin meninggalkan pijakannya saat ini."Keluar Mas! Ini sudah bukan masalah adik dan kakak lagi tapi ini masalah wanita dengan wanita. Tampaknya adikku ini tidak bisa lagi diajarkan dengan cara kelembutan."Lulu berbicara tegas tanpa menatap Rifat. Wanita yang terbiasa bercanda itu masih menatap tajam sosok yang ada di depannya. Sementara tubuh Rani bergetar karena menahan amarah."Kenapa Kakak menamparku?" desis Rani."Kamu masih bertanya kenapa Kakak nampar kamu, hah? Menurut kamu apa yang akan terjadi jika seorang istri menemukan suaminya diteror dan digoda oleh adiknya sendiri? A

  • Hutang Dibayar, Nikah!   Bab 34. Keanehan Adikku

    Aku pikir sebagai Kakak selama ini aku cukup menjaga adikku dari perbuatan yang salah. Namun, itu hanya perasaanku saja.Aku pikir sebagai Kakak aku cukup memberikan kasih sayang bagi Rani bahkan sejak kecil dia kumanja.Aku pikir sebagai Kakak, aku telah memahami adikku itu. Setelah kami jadi yatim-piatu hanya dia keluargaku.Aku pikir ya ... aku pikir terus sampai mentok dan terbentur. Nyatanya aku tak cukup layak menjadi Kakak bagi Rani. Nyatanya aku tak tahu perasaannya. Nyatanya dia mencintai suamiku sendiri. Nyatanya bibit pelakor yang kukira orang lain sialnya keluargaku sendiri. Oh, sungguh plot twist dari drama hidup. Untungnya aku bukanlah pemeran suara hati seorang istri yang diam saja ketika dianiaya dan terpenting Mas rifat bukan tipe lelaki hidung belang yang siwer ketika melihat mangsa empuk. Aaah, nonsense! Tetap saja sekarang aku merasa wanita paling bodoh di dunia. Bisa-bisanya aku dikelabui adikku yang bocah ini."Waaah! Rumahnya bagusss!" seru Rani ketika dia men

  • Hutang Dibayar, Nikah!   Bab 33. Jangan Ambil Suamiku!

    Setelah sudah lama aku tidak insomnia. Akhirnya semalam tadi aku sukses kembali mengikuti jam kerja Kunti. Gara-gara teror gila yang selama ini mengganggu pikiranku, kepalaku kembali berdenyut dan mataku tidak dapat terpejam karena gelisah. Efek kurang tidur emang berbahaya.Lemah, lesu, lunglai dan lambat menjadi padanan yang pas untukku sekarang, karena akibat vertigo aku nggak bisa bangun dari kasur.Dasar paket sialan! Kenapa sih ada orang yang tega kirim paket serupa tanah kuburan? Ditambah ada boneka santet lagi di dalamnya?Sungguh kurang kerjaan! Udah tahu aku parnoan, dikit-dikit mikir takut ada cunil-cunil.Apa itu cunil-cunil? Ya, itulah semacam Wewe Gombel dan sebangsanya.Pada mulanya, aku ingin sekali bilang pada Mas Rifat tentang teror seram ini tapi kupikir belum saatnya. Sebagai penggemar Sailormoon dan Detective Conan mungkin aku bisa menyelidiki ini sendiri."Kamu kenapa sih tiba-tiba sakit? Apa karena serangan dadakan dari Mas kemarin?" tanya Mas Rifat saat menyuap

  • Hutang Dibayar, Nikah!   Bab 32. Takut Kehilangan

    Aku berlari tanpa perduli lututku yang gemetar, rasanya diri ini tak bertenaga tapi aku harus kuat. Setelah memacu motor yang kupinjam dari Rani selama empat puluh lima menit akhirnya aku tiba di rumah sakit.Waktu ini kurasakan pikiranku melayang entah ke mana. Perasaan kosong yang semula penuh amarah dan menjadi alasanku menghindari Mas Rifat seketika berganti dengan perasaan yang penuh dengan penyesalan juga sedih yang teramat setelah aku mendengar berita buruk tentangnya.Aku yang bodoh. Aku yang tolol dan aku yang tak pantas menjadi istrinya. Bagaimana bisa aku membiarkan suamiku menderita hanya karena keegoisanku?Jika saja tadi aku tak mengusirnya, mungkin kecelakaan itu tak akan terjadi. Jika saja aku mau bertanya dan bersikap dewasa tentu saja dia akan baik-baik saja. Namun, sampai kapan aku akan berandai-andai? Bukankah menyalahkan takdir termasuk salah satu tanda perbuatan syetan? Astaghfirullah. Aku kalut. Ya Allah. Kumohon selamatkan dia, kumohon jangan ambil dia. Bany

  • Hutang Dibayar, Nikah!   Bab 31. Kabar Buruk

    .Banyak yang bilang kalau kita memutuskan jatuh cinta itu berarti kita siap untuk terluka. itu yang selalu didendangkan teman-temanku ketika mereka jadi korban perasaan.Para pria terbiasa bermulut manis tapi hasilnya najis. Tadinya aku pikir, Mas Rifat berbeda dia memandangku bukan dari status sosial atau asas manfaat tapi ternyata manusia licik tetaplah manusia licik.Apa katanya warisan?Cuih! Mendengarnya saja membuatku ingin segera berlari dan mempertanyakan semua pada suamiku.Tanpa terasa air mataku menitik, mengingat semua kata-kata manis. Baru saja dia bilang mau menghabiskan waktu denganku nyatanya bullshit!Mas Rifat tak lebih dari penipu ulung yang gemar mempermainkan perasaan, dia bersikap lembut bak super hero selama ini tapi di balik itu dia memiliki rencana yang di luar nalar. Terus sekarang sesudah aku percaya, beragam kebusukan mulai nampak. Teror chat dari nomor yang terus berganti terus saja berdatangan membuatku semakin ragu.Apakah benar suamiku sejahat itu? Ah,

  • Hutang Dibayar, Nikah!   Bab 30. Kejutan Menyakitkan

    Kata orang tua zaman dulu, jika mau lihat pengantin baru berhasil atau tidaknya di malam pertama, lihatlah raut wajahnya madesu atau layaknya bulan purnama? Dan ... kukira pendapat itu tak sepenuhnya salah.Setelah melewati pertempuran panjang di ranjang semalam di villa, Mas Rifatku sayang tampak lebih cerah dan ceria. Siapa pun yang ditemuinya hari ini dia lempar dengan senyuman hingga hawa positif itu terbawa ketika kami kembali ke kota. Meski cuman sehari berbulan madu tapi entah mengapa kenangannya menancap di hati. Bagaikan dua pemuda yang sedang dimabuk cinta, kami melaluinya dengan berpegangan tangan seraya sesekali mencuri pandang. Dari sepanjang jalan sampai ke toko klontong almarhumah Ibu, tak henti suamiku memperlakukanku bagaikan Ratu. Kalau diibaratkan lebaynya, Mas Rifat menjagaku terlalu over sampai nyamuk pun tak ia biarkan menggigit. Bucin banget emang, tapi aku suka. Hari ini tak seperti biasanya, dia mau menemaniku membuka toko dan membereskannya. Si pria dewas

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status