Home / Rumah Tangga / Hutang Dibayar, Nikah! / Bab 3. Penghutang Pertama

Share

Bab 3. Penghutang Pertama

Author: Fiska Aimma
last update Last Updated: 2022-04-13 15:36:33

Penghutang satu. Namanya Bu Selamet, kebiasaan pamer jalan-jalan tapi mundur kalau bayar hutang. Kalau di W* alasannya lagi ada bayaran kontrakan-lah dan nggak ada duit, tapi kalau di medsos liarnya suka pamer dolar dan foto belanja barang mahal.

Enaknya, penghutang kayak gini diapakan, ya?

Aku mengerutkan kening berpikir. Entah apa salah dan dosaku hingga setelah Ibu meninggal aku malah dapat amanah dari mendiang Ibu untuk menagih hutang dari orang-orang macam Bu Selamet, Bu Tejo, Bu Tukijem, Bu Ijah, Mak Wedok, Ceu Isoh, Ceu Neneng dan kawan-kawan.

Setelah diblokir Bu Tukijem, mangsaku balik lagi ke nomor satu yaitu Bu Selamet, dia tetangga jauh yang rumahnya paling pojok menghadap pohon palem.

Sebenarnya, hutang dia terhitung nggak terlalu besar bagi orang kaya yaitu senilai 500ribu tapi bagi kami yang hidup di ambang kemiskinan itu sangat berarti apalagi tabunganku sudah menipis.

Mau makan apa nanti, kalau nggak nagih hutang?

"Mau nagih lagi, Kak? Yakin gak akan dicuekin?" tanya Rani sambil duduk di sampingku. Dia tampaknya baru pulang dari agenda eskul karena masih mengenakan seragam sekolah.

Gadis SMA itu akhirnya mau masuk lagi setelah aku membayar spp dengan menjual cincin dan kalung peninggalan Ibu untukku.

"Namanya wasiat Ran, Kakak coba aja dulu, kali aja sekarang dia dapat hidayah," kataku sambil melihat buku catatan nama-nama penghutang warisan dari Ibu.

Rani mendesis sebal. "Ya. Ya semoga aja, Kakak gak diusir lagi kayak dulu.

Tapi Rani kesel tuh Kak sama Bu Selamet, di status W* nya pamer mulu pake skin care terus tapi pas Rani tanya, dia malah nawarin tupperware. Apaan coba gak nyambung? Oh ya, Kakak gak apa-apa kan nagihnya sendirian? Rani males ketemu dia," keluh Rani dengan wajah cemberut.

Terlihat sekali tanda-tanda kalau dia mau menumbalkan aku menghadapi Bu Selamet yang ceriwisnya ... yo wis itu sendirian. Namun, kali ini aku tak perlu khawatir.

Aku menggelengkan kepala. "Nggak apa-apa, kamu istirahat aja. Kakak ada yang nemenin kok," jawabku santai sambil merapikan ikatan rambut.

Kupikir mumpung belum maghrib, aku harus bergegas ke rumah Bu Selamet karena kalau siang dia selalu beralasan antar anaklah-itulah. Cape deh.

"Siapa? Emang Kakak punya temen? Perasaan pas kita miskin, temen-temen Kakak udah jarang main ke sini," kata Rani sarkastik.

"Eng ... itu ...."

"Assalammu'alaikum."

Tok. Tok. Tok.

Tepat di saat aku mau menjawab Rani, suara pria di luar rumah membuat dadaku seketika berdebar kencang.

Dia datang. Lelaki itu menepati janjinya untuk membantuku menagih hutang sesuai pembicaraan kami kemarin di kantornya.

Perasaan tadi biasa saja sebelum dia ke sini, tapi pas denger suaranya yang seksi seketika jantungku serasa diajak lari.

"W*'alaikumsalam, siapa ya?" tanya Rani sambil beranjak dari kursi.

Adikku yang tidak tahu apa-apa dengan polosnya membuka pintu tanpa tahu kalau sang tamu akan menjadi calon Kakak iparnya--atas asas balas budi.

Dialah Pak Rifat.

Cklek.

"Astaghfirullah! Bapak siapa? Kok ganteng?" tanya Rani dengan mata melotot.

"Halo, Dek, Kak Lulu-nya ada?" Terdengar suara ramah nan nge-bass menyapa gendang telinga.

"Ada Pak, hadir!"

Aku bergegas beranjak untuk menemuinya karena adikku malah melongo, ekspresi biasa kalau lihat orang ganteng.

Pak Rifat tampak lega saat aku hadir di belakang Rani. Pria dewasa yang sore itu berpakaian lebih santai dengan menggunakan kaus tersebut tersenyum padaku.

Oh ya Allah! Tolong jangan senyum, Pak! Jangan senyum! Aku takut diabetes.

"Hay, Lu. Saya nepatin janji saya, kan? Oh ya, sekalian saya mau kasih contoh und--"

"Eh, Pak ayo pergi! Kita bahas itu nanti," potongku langsung ketika kulihat dia mau menyodorkan kartu undangan.

Bahaya! Aku tidak boleh memberitahu Rani sekarang tentang rencana pernikahanku dua minggu lagi bisa berabe. Dia baru pulang soalnya.

"Eh, tapi ini penting Lu, buat kita," kata Pak Rifat terlihat bingung melihat sikapku.

"Iya, nanti saja! Oke, Ran, Kakak berangkat nagih utang dulu, assalammu'alaikum!" pamitku segera sambil menarik kuat tubuh Pak Rifat agar langsung melangkah meninggalkan rumah. Tanpa memperdulikan Rani yang masih bengong.

(***)

Aku ini anak sulung. Banyak sekali pertimbangan yang harus kulakukan dalam memutuskan suatu perkara. Termasuk masalah nikah, terutama statusku sekarang multi fungsi, selain menjadi Ibu aku pun harus menjadi Ayah bagi Rani dan ... Gian adik angkat kami yang sedang di pesantren. Kasian Gian, dia diangkat anak sama almarhumah Ibu karena ibunya tidak bertanggung jawab.

Inilah alasan aku belum bilang pada Rani dan keluarga besarku tentang rencana pernikahanku dengan Pak Rifat. Aku masih bingung harus menjelaskannya dari mana.

Sejujurnya, sampai sekarang aku masih tak percaya kalau interview kerjaku kemarin malah berakhir dengan lamaran, bukannya kerja eh, malah dapat calon suami. Masih terasa mimpi sih, ada yang bayar hutang dengan perjodohan.

"Kenapa kamu tadi melarang saya nunjukin undangan?" tanya Pak Rifat saat kami berjalan bersisian menuju rumah Bu Selamet.

"Saya belum bilang sama keluarga, Pak, saya harus mengatur kalimatnya agar tidak terkesan pernikahan kita terburu-buru," jelasku.

"Kalau kamu gak mau bilang, biar saya yang melamar kamu. Bisa kan? Kemarin kan saya sudah mengajukan diri tapi kamu nolak," kata Pak Rifat sangsi.

Aku mendelik ke arahnya.

"Ya-iyalah Pak, kalau Bapak langsung datang bisa kejang-kejang mereka. Udahlah, beri saya waktu dua hari ini saya coba ngobrolin tentang pernikahan kita," jawabku tetap pada pendirian.

"Kamu gak bohong, kan? Inget loh, kita udah sepakat dan saya udah jauh-jauh datang ke sini."

"Ya, saya gak bohong. Lagian Bapak juga belum tentu berhasil ngerjain syarat saya. Pake yakin banget bakal nikah, tunjukin dulu dong!"

"Tunjukin apa?"

"Tunjukin kalau Bapak bisa nagih para penghutang itu. Dimulai dari ibu itu!"

Tunjukku pada Bu Selamet yang kebetulan sore itu sedang memamerkan gelang perhiasaannya pada emak-emak yang sedang berkumpul di depan pos ronda. Bagus! Tak perlu jauh-jauh ternyata mangsa ada di depan mata.

(***)

"Maaf, Bu, mengganggu?" sapaku pada Bu Selamet dan ketiga dayangnya.

Aku memutuskan menghampiri Bu Selamet di pos ronda sementara Pak Rifat mengamati dari jarak jauh dengan dalih  ingin tahu dulu usahaku.

Ck! Dasar orang kaya! Bilang aja kalau dia mau melarikan diri dan hanya membual.

Melihatku hadir di antara mereka, wajah Bu Selamet langsung berubah jutek.

"Eh, Lulu! Mau apa Lu, ke sini? Tumben mau gabung sama kami? Biasanya jadi kepompong aja tuh gak mau main sama warga gang," sindirnya telak menusuk sampai ke organ dalam.

"Iya, semenjak Bu Minah meninggal kamu dan adikmu itu udah kek makhluk Alien Lu, jarang lewat sini," timpal Bu Nur yang diaminkan oleh kedua ibu lain.

Aku tersenyum masam sambil beristighfar. Sebenarnya alasanku tak suka gabung ghibah di pos ronda adalah aku takut menambah dosa.

"Maaf, bu-ibu maklumlah kalau saya gak gabung, saya harus nyari nafkah. Soalnya toko kelontong almarhumah Ibu lagi sepi. Oh ya, saya ke sini mau ngobrol sama Bu Selamet. Bu, boleh kita ngobrol?" tanyaku mengarahkan pandangan pada Bu Selamet dengan sopan. Bagaimana pun dia lebih tua, aku harus menjaga harga dirinya.

"Ngobrol apa? Gak, ah! Saya lagi sibuk, entar aja ngobrolnya," kilah Bu Selamet.

"Tapi Bu, ini penting atau saya ngomong di sini aja. Di depan semuanya?" tantangku kesal.

Sudah dua tahun dia terus mengelak dan sewaktu Ibu ada tak pernah dia membayar hutangnya.

"Ngomong! Ngomong aja, saya gak takut. Kenapa kamu mau ngomongin soal hutang lagi, ya? Aneh deh kamu itu Lu, masalah hutang sedikit saja dibesar-besarin."

"Bukan dibesar-besarin Bu tapi saya lagi butuh buat makan dan kehidupan sehari-hari," jelasku sambil mengepalkan tangan menahan emosi.

"Ya Allah Lu, kamu itu masih muda masa masalah duit segitu mah buat kamu kecil. Saya mah Lu, beli perhiasan juga harus nunggu anak saya. Saya ini janda Lu, udah tua lagi," kata Bu Selamet memasang wajah sedihnya dan itu membuatku muak.

"Iya, Lu. Kasian Bu Selamet, udah ikhlasin aja. Orang Ibu kamu udah meninggal ini. Biar jadi pahala," timpal yang lainnya menyudutkanku.

Aku masih ingat, dulu saat Bu Selamet butuh dia sampai mohon-mohon ke almarhumah, tapi pas ditagih kita yang malah kayak penjahat. Padahal dia yang jahat menahan harta anak yatim-piatu sepertiku.

"Eheum! Maaf, ganggu!"

Tiba-tiba di antara perdebatan alot kami, ada suara laki-laki menyela.

Mataku membelalak lebar. Pak Rifat?

Melihat ada cowok ganteng, rapi, wangi dan tampak kaya hadir di pos ronda. Mata ibu-ibu langsung terang-benderang semacam melihat bintang jatuh.

"Eh, ada orang ganteng. Iya, Bang ada yang bisa dibantu?" sapa Bu Nur sambil mengedip manja begitu juga yang lainnya.

"Nggak ada Bu, saya ke sini mau jemput calon istri saya," jawab Pak Rifat kalem.

"Emang, siapa Bang calon istrinya? Aduh sayang ya, udah punya calon, tadinya mau saya jodohin sama anak saya, dia dokter loh," kata Bu Selamet sambil merangsek maju ke depan Pak Rifat.

Aku berdiri gugup karena bingung harus berekspresi apa. Diam-diam aku berdoa semoga Pak Rifat tak mengatakan hal yang aneh tapi doaku lagi-lagi tak terkabul.

"Calon istri saya ya ... Lulu. Gadis yatim-piatu yang Bu Selamet hutangin selama dua tahun dengan alasan gak punya uang tapi bisa beli gelang imitasi sambil pamer di medsos habis belanja di mall. So, to the point saja, jadi kapan Ibu mau bayar pada calon istri saya? Karena kalau nggak bayar, saya nggak yakin kalau Ibu akan selamat di dunia dan akhirat," seringai Pak Rifat membuat semua orang terkejut.

Termasuk aku.

Ya Allah, Pak! Nggak gitu cara mainnya.

Tepok pantat eh ... jidat.

==

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ati Husni
ha ha ha rifat rifattt
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Hutang Dibayar, Nikah!   Bab 4. Keseriusan Rifat

    Misi berhasil. Berkat mulut pedes Pak Rifat yang mengalahkan kepedesan cabe domba, akhirnya Bu Selamet mengibarkan bendera putih dan uang lima ratus ribu sudah di tangan. Sekarang tinggal kehidupanku saja yang terancam. Siapa sangka, sepulangnya aku dan Pak Rifat dari menagih hutang, kulihat di depan rumahku sudah banyak orang. Astaghfirullah! Aku dan Pak Rifat langsung kompak melotot dengan mulut menganga karena sama-sama tercengang. Ada apa gerangan? Perasaan nggak ada acara bagi-bagi sembako. Heran ... sampai ada Pak RT segala. Hash!"Kakaaak! Buruan sini! Tanggung jawab!" teriak Rani. Tubuh kecilnya tiba-tiba menyeruak dari dalam kerumunan. Kerudung sekolah yang ia pakai sampai miring-miring saking emosi melihatku yang bengong di halaman rumah. "Eh, bentar! Bentar! Ada apa ini? Kok, jadi rame begini Ran?" Aku menelan ludah sambil berpandangan dengan Pak Rifat yang memandangku tak mengerti. "

    Last Updated : 2022-04-13
  • Hutang Dibayar, Nikah!   Balada Penghutang Marni

    Namanya Marni tinggi 160 cm dengan berat 50. Sungguh ideal bagi janda yang suka merebut kekasih orang. Dia suka shopping dan juga foto alay. Minusnya Marni ini galak dan cepat tersulut emosi.Hash! Mas Gagah oh, Mas Gagah! Kejamnya dikau padaku hingga kau nikah lebih dulu. Sampai sekarang aku masih tak percaya kalau guru SD itu lebih memilih Marni dibanding aku. Apa aku kurang seksi? Aku menatap nelangsa janur kuning yang ada di depan rumah Marni. Tak kusangka teman sepermainanku malah sudah nikah dua kali.Ya, Marni adalah sahabatku dulu yang nikah karena MBA lalu setelah cerai dia berhutang kepada almarhumah sebesar lima juta. Saat itu dia beralasan mau memasukan anaknya ke TK dan dipakai usaha. Disebabkan Ibu itu baik dan kebetulan ketika itu toko lagi maju diberikanlah atas dasar dia temanku--kasian.Eh, dasar manusia mars, sampai anaknya Marni mau kelas dua sd, tuh janda nggak ada itikad

    Last Updated : 2022-04-13
  • Hutang Dibayar, Nikah!   Bab 6. Sayang?

    Wak Romlah tersangkanya.  Dia yang membuat Pak Rifat bisa masuk ke toko dan mengumpulkan bukti hutang dari temanku Marni si janda seksi tapi suka emosi. Tak kuduga tanpa sepengetahuanku, Pak Rifat sudah colong start lebih dulu dengan menemui Wak Romlah dan akhirnya Kakak tertua Ibu bersekutu dengan Pak Rifat.Licik.Lelaki berahang tegas itu memang benar-benar serigala berbulu domba. Dia akan melakukan apa saja demi tercapainya keinginan untuk mempercepat pernikahan kami dan hasilnya ... rumit.Apa yang dia lakukan demi memenuhi syaratku membuat semua orang tercengang. Apalagi si Marni akhirnya pingsan dan Mas Gagah berjanji membayar hutang Marni-istrinya dua hari lagi.Bagus sih tapi nyesek. Semua gara-gara satu nama yaitu Rifat.Arrrrh! Ingin kuteriak."Gimana, Lu? Kapan kamu mau nepatin janji kamu? Saya sudah menjalankan dua misi dan dua-duanya berhasil. Sekarang giliran kamu yang n

    Last Updated : 2022-04-14
  • Hutang Dibayar, Nikah!   Bab 7. Ketemu Camer

    Udah pernah ketemu calon mertua dalam kondisi setengah gembel belum? Kalau belum coba deh, ah ... ngenes.Sungguh, aku nggak tahu kalau mamanya Pak Rifat ikut fitting juga hingga bajuku tak ubahnya seperti pakaian mahasiswa miskin yang lagi stress menghadapi tanggal tuaAku hanya memakai kaus oblong dan jins sobek dengan muka berminyak. Andai aku tahu mamanya Pak Rifat datang, mungkin aku akan meminjam dress ke si Oneng bukan malah begini.Memalukan.Aku menundukan kepala dalam di depan seorang wanita setengah baya yang mengenakan baju blazer lengkap dengan rambut jambul perkututnya. Dia adalah Bu Aida-- wanita yang membuat Pak Rifat mendadak memanggilku 'Sayang' biar dinilai cowok penyayang.Apes. Apes. Akhirnya aku tahu sikap bar-bar Pak Rifat di depan Mas Davin tadi dikarenakan pencitraan. Siapa sangka, Pak Rifat juga sama saja ingin cari muka di depan mamanya biar segera di-acc menikah.Aku hanya

    Last Updated : 2022-04-14
  • Hutang Dibayar, Nikah!   Bab 8. Ampun Bang Jago!

    "Ampun Bang Jago!"Begitulah slogan yang seringkali diucapkan para warga di sini, kalau udah mulai berbicara tentang kegalakan Bang Jago. Tak ada satu pun warga yang berani dekat-dekat rumahnya apalagi nyari perkara.Soalnya sekali salah ngomong takutnya senggol bacok. Itulah yang mendasari Ibu jarang menagih hutang pada Bang Jago karena nggak berani, sementara aku berurusan dengan dia saja belum pernah.Hash! Ngeri.Lalu sekarang, setelah lima purnama terlewati dan ibuku meninggal, aku terpaksa harus  datang menagih hutang. Apa tidak nyari mati namanya? Kenal musuh aja nggak, sok-sok-an mau nagih preman yang jelas-jelas galakan dia.Asem. Asem."Pak! Ayo, dah! Balik aja yuk, saya masih perawan nih Pak takut kenapa-napa," kataku sambil menarik kausnya Pak Rifat.Sudah sepuluh menit kami berdiri mengawasi rumah Bang Jago dan sudah sepuluh menit juga kami menunggu si preman pulang ke ruma

    Last Updated : 2022-04-15
  • Hutang Dibayar, Nikah!   Bab 9. Sah?

    [Lu, gimana akadnya lancar? Oh iya, maaf ya Lu Bibi gak bisa datang si Om sakit.][Iya gak apa-apa.][Oh, iya apa boleh Bibi minjem duit, Lu?][Berapa, Bi?][10 juta aja ada? Calon suami kamu kan kaya. Bisa lah, ya?]Astaghfirullah! Makhluk Mars kembali bertambah satu. Setelah hampir satu tahun menghilang  tiba-tiba Bi Cicih menghubungiku dan bukannya datang memberi selamat eh, dia malah mau meminjam uang.Astaga! Ada ya saudara model begini? Banyak.Sebenarnya, Bi Cicih itu adalah adik bungsu dari almarhum ayah. Dulu saat usaha kami sedang maju dia sering sekali berkunjung tapi pas kami lagi mundur sampai nelangsa mana ada dia nongol. Bahkan saat aku meminjam uang untuk sekolah Rani saja dia bilang selalu tak ada padahal aku tahu dia baru membeli tas yang harganya mahal.Kemudian sekarang, setelah aku mau menikah, eh dia baru nge-Wa lagi untuk hal yang tak

    Last Updated : 2022-04-15
  • Hutang Dibayar, Nikah!   Bab 10. Oow Ketahuan!

    Jika ada yang bertanya padaku. Malam pertama ngapain aja? Jawabannya adalah mencari daftar nama hutang. Astaghfirullah! Aku heran. Kapan penderitaan sebagai debt collector cantik ini berakhir? Belum juga gaun dilepas aku sudah mulai kebingungan karena buku kramat milik almarhumah Ibu hilang. Perasaan aku menyimpannya di koperku sehari yang lalu tapi karena persiapan yang menyita waktu aku lupa memeriksanya lagi.Bahaya! Aku bisa berdosa jika buku itu raib.Aku sudah mencari di seantero rumah Pak Rifat yang menjadi tempat resepsi sampai ke kamar pengantin hasilnya NOL. Aku tidak menemukan buku kramat mendiang Ibu. Gawat! Kalau hilang bagaimana aku akan melacak nama penghutang nomor 16-25? Siapa sih yang ngambil? Penunggu rumah Pak Rifat? Atau Pak Rifat? Nah! Pasti dia. Enggak salah lagi, soalnya hari ini telah terjadi keanehan yaitu 12 orang penghutang mendadak taubat. Kejadian langka ini pasti ada hubungannya dengan lelaki ya

    Last Updated : 2022-04-16
  • Hutang Dibayar, Nikah!   Bab 11. Lelaki Licik Yang Disayang

    =======Tidurku tak nyenyak karena terlalu lelah dan masih memikirkan omelan Pak Rifat akibat dia sebal telah aku tuduh mencuri buku almarhumah Ibu, padahal itu buku ada di atas tumpukan bajuku sendiri. Lebih tepatnya buku kramat itu terjebak di antara lingerie dan celana dalam yang menjadi hadiah dari ibu mertua. Pantas aku tak sadar. Heran aku tuh. Bagaimana bisa itu buku nyasar ke sana? Astaga! Ceroboh sekali. Dengan rasa kantuk yang teramat, kupaksakan diriku bangkit karena kulihat keluar jendela tampaknya sudah siang. Padahal aku merasa baru tidur sebentar, itu pun setelah shalat subuh.Namun, saat kesadaranku mulai pulih aku merasa ada yang ganjil, aku tertegun.Sebentar! Perasaan sebelumnya aku tidur di sofa karena tidak mungkin sekasur sama Pak Rifat. Kok, aku ada di kasur sih? Siapa yang memindahkan? Pasti dia. Enggak salah lagi. Terus, di mana dia sekarang?Aku menyisir seluruh sisi kamar

    Last Updated : 2022-04-19

Latest chapter

  • Hutang Dibayar, Nikah!   Bab. 38. The Last But Not Least (Tamat)

    Dua puluh lima penghutang selesai sudah. Mulai hari ini posisiku sebagai debt collector akibat warisan akhirnya lengser. Tidak ada lagi misi.Tidak ada lagi nama penghutang.Tidak ada lagi adu mulut dan tidak ada lagi rencana-rencana absurd. Pokoknya semua beres, beres dan beres ...! Keluarga almarhumah Ibu pun telah damai sentosa tanpa berdebat lagi gara-gara wasiat.Sekarang, tinggal saatnya aku mengkalkulasikan semua dan kembali ke kehidupan awal.Menjadi seorang istri dari Rifat yang senantiasa ada untuknya. Seperti sekarang, siang-siang begini aku sengaja datang ke kantor Mas Rifat untuk makan siang bareng.Kata Mas Rifat, dia kangen masakanku. Jadi, meski tidak terlalu yakin tentang makanan yang kubawa, di sinilah aku sedang menunggu Mas Rifat karena dia masih ada tamu.Namun, sungguh kebetulan di sela waktuku menunggu tiba-tiba mataku menangkap ada seorang wanita yang kukenal berjalan lurus melintas menuju ke arah lift dengan tergesa.Sosok itu melangkah lebar melewati ruang

  • Hutang Dibayar, Nikah!   Bab 37. Penghutang ke-25

    Waktu itu relatif. Rasanya baru kemarin nasib sebagai gadis miskin yang ditugaskan untuk menjadi debt collector dadakan bagi 25 orang penghutang. Sekarang aku sudah menikah dan bahkan dinyatakan hamil. Jika Ibu masih ada pasti dia akan bilang padaku, 'Ini sih namanya anak yang beranak.'Duh sedihnya jika ingat Ibu. Andai Ibu ada di sini pasti dia akan sangat senang, bukan hanya karena menyaksikanku mendapatkan suami yang baik dan bertanggung jawab macam Mas Rifat tapi karena dari dua puluh lima itu sekarang hanya tinggal satu penghutang yaitu Wak Onah. Wak Onah, anaknya almarhumah Bu Daroyah. Wak Onah sebenarnya baik tapi suka menunda-nuda untuk membayar hutang dan pintar berkelit, dengan dalih kemanusiaan dia berulang kali berhasil membujuk tetangganya untuk meminjamkan bahan dapur sampai duit. "Ih, masa sama tetangga aja perhitungan!" Begitulah dalih yang kuingat saat dulu almarhumah Ibuku pernah menagihnya dan itu terjadi berulang kali. Sampai total hutangnya sebesar tiga juta

  • Hutang Dibayar, Nikah!   Bab 36. Penghutang Ke-24

    Pagi yang aneh, hari ini aku terbangun dengan perasaan yang melow dan perut yang bergejolak. Entah mungkin karena semalam aku baru tertidur jam 2 pagi selepas selesai membereskan semua barang sepulang dari Yogya untuk honeymoon selama dua minggu. Jadi, perutku aneh, serasa dikocok berulang kali.Sebenarnya, aku tidak menduga akan selama itu di Yogya. Karena pada awalnya rencanaku hanya satu minggu. Kupikir waktu itu cukup untuk membuat Rani percaya kalau aku dan Mas Rifat tidak main-main tapi dikarenakan Mas Rifat membujuk akhirnya kami kebablasan, kata Mas Rifat takut dikira bercanda kalau hanya sebentar.Bercanda? Hah! Pret!Gila aja kalau kami bercanda. Ini pernikahan yang sakral, bisa dikutuk jika aku mempermainkan.Ya, memang sih awalnya ada modus-modus warisan tapi itu kan dulu, sekarang kami sudah taubat kepada Allah.Nggak lagi deh mikir cerai. Apalagi setelah tahu kalau biang kerok pertingkaian dan kesalahpahaman semua ini itu Flo, kupikir mulai sekarang aku gak boleh lengah

  • Hutang Dibayar, Nikah!   Bab 35. POV RIFAT

    Pov Author.Rifat masih menatap istrinya yang entah kenapa tampak berbeda. Melihat Lulu menampar adiknya benar-benar menjadi hal yang mengejutkan.Rani memang sudah keterlaluan. Rifat sudah sepatutnya tak hanya diam karena Lulu pun sudah sebegitu marahnya, terkadang istrinya yang lucu itu mendadak sulit dikendalikan.Rifat mencoba meraih lengan Lulu tapi istrinya itu menolak. Wanita cantik itu masih tidak ingin meninggalkan pijakannya saat ini."Keluar Mas! Ini sudah bukan masalah adik dan kakak lagi tapi ini masalah wanita dengan wanita. Tampaknya adikku ini tidak bisa lagi diajarkan dengan cara kelembutan."Lulu berbicara tegas tanpa menatap Rifat. Wanita yang terbiasa bercanda itu masih menatap tajam sosok yang ada di depannya. Sementara tubuh Rani bergetar karena menahan amarah."Kenapa Kakak menamparku?" desis Rani."Kamu masih bertanya kenapa Kakak nampar kamu, hah? Menurut kamu apa yang akan terjadi jika seorang istri menemukan suaminya diteror dan digoda oleh adiknya sendiri? A

  • Hutang Dibayar, Nikah!   Bab 34. Keanehan Adikku

    Aku pikir sebagai Kakak selama ini aku cukup menjaga adikku dari perbuatan yang salah. Namun, itu hanya perasaanku saja.Aku pikir sebagai Kakak aku cukup memberikan kasih sayang bagi Rani bahkan sejak kecil dia kumanja.Aku pikir sebagai Kakak, aku telah memahami adikku itu. Setelah kami jadi yatim-piatu hanya dia keluargaku.Aku pikir ya ... aku pikir terus sampai mentok dan terbentur. Nyatanya aku tak cukup layak menjadi Kakak bagi Rani. Nyatanya aku tak tahu perasaannya. Nyatanya dia mencintai suamiku sendiri. Nyatanya bibit pelakor yang kukira orang lain sialnya keluargaku sendiri. Oh, sungguh plot twist dari drama hidup. Untungnya aku bukanlah pemeran suara hati seorang istri yang diam saja ketika dianiaya dan terpenting Mas rifat bukan tipe lelaki hidung belang yang siwer ketika melihat mangsa empuk. Aaah, nonsense! Tetap saja sekarang aku merasa wanita paling bodoh di dunia. Bisa-bisanya aku dikelabui adikku yang bocah ini."Waaah! Rumahnya bagusss!" seru Rani ketika dia men

  • Hutang Dibayar, Nikah!   Bab 33. Jangan Ambil Suamiku!

    Setelah sudah lama aku tidak insomnia. Akhirnya semalam tadi aku sukses kembali mengikuti jam kerja Kunti. Gara-gara teror gila yang selama ini mengganggu pikiranku, kepalaku kembali berdenyut dan mataku tidak dapat terpejam karena gelisah. Efek kurang tidur emang berbahaya.Lemah, lesu, lunglai dan lambat menjadi padanan yang pas untukku sekarang, karena akibat vertigo aku nggak bisa bangun dari kasur.Dasar paket sialan! Kenapa sih ada orang yang tega kirim paket serupa tanah kuburan? Ditambah ada boneka santet lagi di dalamnya?Sungguh kurang kerjaan! Udah tahu aku parnoan, dikit-dikit mikir takut ada cunil-cunil.Apa itu cunil-cunil? Ya, itulah semacam Wewe Gombel dan sebangsanya.Pada mulanya, aku ingin sekali bilang pada Mas Rifat tentang teror seram ini tapi kupikir belum saatnya. Sebagai penggemar Sailormoon dan Detective Conan mungkin aku bisa menyelidiki ini sendiri."Kamu kenapa sih tiba-tiba sakit? Apa karena serangan dadakan dari Mas kemarin?" tanya Mas Rifat saat menyuap

  • Hutang Dibayar, Nikah!   Bab 32. Takut Kehilangan

    Aku berlari tanpa perduli lututku yang gemetar, rasanya diri ini tak bertenaga tapi aku harus kuat. Setelah memacu motor yang kupinjam dari Rani selama empat puluh lima menit akhirnya aku tiba di rumah sakit.Waktu ini kurasakan pikiranku melayang entah ke mana. Perasaan kosong yang semula penuh amarah dan menjadi alasanku menghindari Mas Rifat seketika berganti dengan perasaan yang penuh dengan penyesalan juga sedih yang teramat setelah aku mendengar berita buruk tentangnya.Aku yang bodoh. Aku yang tolol dan aku yang tak pantas menjadi istrinya. Bagaimana bisa aku membiarkan suamiku menderita hanya karena keegoisanku?Jika saja tadi aku tak mengusirnya, mungkin kecelakaan itu tak akan terjadi. Jika saja aku mau bertanya dan bersikap dewasa tentu saja dia akan baik-baik saja. Namun, sampai kapan aku akan berandai-andai? Bukankah menyalahkan takdir termasuk salah satu tanda perbuatan syetan? Astaghfirullah. Aku kalut. Ya Allah. Kumohon selamatkan dia, kumohon jangan ambil dia. Bany

  • Hutang Dibayar, Nikah!   Bab 31. Kabar Buruk

    .Banyak yang bilang kalau kita memutuskan jatuh cinta itu berarti kita siap untuk terluka. itu yang selalu didendangkan teman-temanku ketika mereka jadi korban perasaan.Para pria terbiasa bermulut manis tapi hasilnya najis. Tadinya aku pikir, Mas Rifat berbeda dia memandangku bukan dari status sosial atau asas manfaat tapi ternyata manusia licik tetaplah manusia licik.Apa katanya warisan?Cuih! Mendengarnya saja membuatku ingin segera berlari dan mempertanyakan semua pada suamiku.Tanpa terasa air mataku menitik, mengingat semua kata-kata manis. Baru saja dia bilang mau menghabiskan waktu denganku nyatanya bullshit!Mas Rifat tak lebih dari penipu ulung yang gemar mempermainkan perasaan, dia bersikap lembut bak super hero selama ini tapi di balik itu dia memiliki rencana yang di luar nalar. Terus sekarang sesudah aku percaya, beragam kebusukan mulai nampak. Teror chat dari nomor yang terus berganti terus saja berdatangan membuatku semakin ragu.Apakah benar suamiku sejahat itu? Ah,

  • Hutang Dibayar, Nikah!   Bab 30. Kejutan Menyakitkan

    Kata orang tua zaman dulu, jika mau lihat pengantin baru berhasil atau tidaknya di malam pertama, lihatlah raut wajahnya madesu atau layaknya bulan purnama? Dan ... kukira pendapat itu tak sepenuhnya salah.Setelah melewati pertempuran panjang di ranjang semalam di villa, Mas Rifatku sayang tampak lebih cerah dan ceria. Siapa pun yang ditemuinya hari ini dia lempar dengan senyuman hingga hawa positif itu terbawa ketika kami kembali ke kota. Meski cuman sehari berbulan madu tapi entah mengapa kenangannya menancap di hati. Bagaikan dua pemuda yang sedang dimabuk cinta, kami melaluinya dengan berpegangan tangan seraya sesekali mencuri pandang. Dari sepanjang jalan sampai ke toko klontong almarhumah Ibu, tak henti suamiku memperlakukanku bagaikan Ratu. Kalau diibaratkan lebaynya, Mas Rifat menjagaku terlalu over sampai nyamuk pun tak ia biarkan menggigit. Bucin banget emang, tapi aku suka. Hari ini tak seperti biasanya, dia mau menemaniku membuka toko dan membereskannya. Si pria dewas

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status