⚜️Selamat Membaca⚜️
Tetesan darah yang mengalir di tubuhnya terus menetes ke tanah, pria 28 tahun itu terus berjalan tertatih mencari tempat yang aman untuk dia bersembunyi dari kejaran rombongan di belakangnya. Karena luka di bagian perut dan kepalanya cukup parah, pandangannya jadi sedikit buram hingga tubuhnya terjatuh ke tanah. Matanya masih bisa melihat area sekitar, pepohonan yang tinggi, udara yang dingin serta kicauan burung yang terus memekakkan telinga. Pria itu perlahan memejamkan mata, tanah di dekat hidungnya terus beterbangan mengikuti dengan deru napas si pria. “Sudahlah, jika memang ini akhir, aku terima.” Cukup lama dia tertidur, pria itu bangun di sebuah kamar yang begitu mewah dan sangat rapi, jelas pemilik kamar itu orang yang sangat kaya raya. “Kau sudah bangun? Ada baiknya kau istirahat dulu,” sapa seorang gadis yang kini duduk di tepi ranjang. “Di mana ini?” “Rumahku, tadi aku sedang berburu dengan ayahku dan melihat kau terkapar di tengah hutan, kau masih hidup dan aku bawa ke sini,” jelas gadis itu. “Terima kasih.” “Siapa namamu?” “Luca, Luca Vaughan.” “Aku Alexa Thorry, hm jika kau butuh sesuatu, panggil saja aku dan lukamu sudah diobati oleh ayahku.” “Ayahmu dokter?” Alexa mengangguk. “Oke, aku harus pergi.” “Kau belum sembuh.” “Aku sudah lebih baik.” Luca berjalan keluar kamar diikuti oleh Alexa, di ruang tamu, dia bertemu dengan ayah Alexa dan mengucapkan terima kasih. “Aku bisa meminta sopir mengantarkanmu, kau ingin ke mana?” tanya ayah Alexa. “Aku akan ke Chicago,” jawabnya singkat dan dingin. “Apa yang kau lakukan di Belanda? Kau seperti habis dianiaya seseorang.” “Aku sedang menjalankan tugas dari tuanku, kalau begitu aku permisi dan tidak perlu diantar.” Luca meninggalkan rumah Alexa dan menaiki taksi, dia akan menuju ke bandara karena tugasnya sudah selesai. Rumah Alexa cukup jauh dari perkotaan, Luca memegangi kepalanya yang masih terasa sakit. Dia memilih untuk memejamkan mata dan menikmati perjalanan yang akan menghabiskan waktu selama empat jam menuju bandara. Jalanan kiri kanan hanya dihiasi pepohonan besar dan tinggi, tiba-tiba sopir itu melakukan rem mendadak yang membuat tubuh Luca terdorong ke depan dan kepalanya terbentur ke bangku depan. “Ada apa?” “Maaf, gadis di depan menghalangi jalan kita.” Luca melihat ke depan dan gadis itu sudah berada di sampingnya. “Mau apa kau hah?” bentak Luca pada gadis yang sudah duduk di sampingnya. “Sudahlah diam, aku sedang dalam misi penyelamatan diri, ayo cepat jalan, mereka sedang mengejarku.” Sopir itu menatap Luca dan dibalas anggukan oleh Luca. “Siapa yang mengejarmu?” “Ayahku,” bisik gadis itu di telinga Luca. “Kenapa dia mengejarmu?” “Dia selalu memaksa aku untuk belajar, belajar dan belajar. Otakku ini butuh istirahat juga dan dengan belajar terus membuat aku ini gila.” Luca menautkan alisnya dan menjauhkan sedikit dari gadis itu. “Siapa namamu?” “Brielle.” “Rumit sekali namamu.” “Panggil saja aku Byby atau Bubu atau apapun yang terdengar lebih sweet.” Luca memalingkan wajahnya dari Brielle dan kembali memejamkan mata. “Aku mau turun di mall ya.” Brielle berkata pada sopir dan hanya dibalas anggukan. Mereka di dalam mobil hanya diam, tak ada yang memulai pembicaraan satu sama lain. Luca juga sudah tertidur karena lelah dan tubuhnya sakit. *** Mereka sampai di kota, Brielle diturunkan tepat di depan Magna Plaza, pusat perbelanjaan ikonik di Amsterdam dengan arsitektur Neo-Gotik karya Cornelis Hendrik Peters, yang memadukan elemen Gotik dan romantis, mirip gedung Parlemen di London. Bangunan ini dulunya kantor pos utama sebelum bertransformasi menjadi pusat perbelanjaan bergengsi. “Temani aku belanja ya,” pinta Brielle dengan tatapan berbinar pada Luca, pria itu menaikkan sudut bibirnya dan menautkan alis. “Aku?” ulang Luca menunjuk dirinya sendiri. “Yaaa, memang pandangan mataku ini ke mana? Sopir taksi ini?” “Dengar ya, aku bukan bodyguard pribadimu.” Brielle menautkan kedua telapak tangannya memohon pada Luca. “Pleaseee, aku butuh teman dan sekarang aku sedang stres tingkat dewa.” Luca menggeleng mantap dan sedikit mendorong tubuh Brielle keluar dari mobil. “Kau ini tega sekali, pasti kau tidak punya saudara perempuan ya, makanya kau ini sangat kasar. Kalau nanti di dalam sana aku dijahati dan dianiaya orang lain, terus kau melihat berita kematianku di televisi, apa kau tidak akan menyesal?” Luca menganga, dia tidak menyangka akan bertemu gadis seperti Brielle. “Turunlah sebelum aku menembak kepalamu.” “Ya sudah, kau tembak saja kepalaku, aku memang sudah bosan hidup.” Luca menghela napasnya. “Baiklah, jangan lama-lama karena aku harus pergi.” Brielle tersenyum bahagia lalu memegang tangan Luca memasuki pusat perbelanjaan itu. “Kenapa kau harus memegang tanganku begini?” “Memangnya kau mau dikira bodyguard? Secara tampangmu itu hmmm...” Brielle menatap Luca dari atas sampai bawah. “Kenapa?” Luca membelalakkan matanya. “Ah tidak ada, kau tampan, ayo jalan.” Luca menghela napas dan berjalan memasuki gedung besar itu. Brielle memilih beberapa barang yang dia inginkan, saat akan membayar, dia menarik Luca. “Ayo bayar.” “Aku?” “Iya, siapa lagi? Kan yang pergi denganku, kamu.” Dengan kesal Luca membayar semua belanjaan Brielle. “Kita ke sana ya, aku mau beli jam tangan.” Brielle kembali belanja dan dibayar oleh Luca tanpa membantah. “Waaah terima kasih ya, kau baik sekali, namamu siapa?” tanya Brielle dengan ceria pada Luca sambil menenteng belanjaannya. “Dari tadi kau jalan dan menguras isi dompetku, baru sekarang kau menanyakan namaku hah?” nada kesal Luca tidak bisa lagi dia sembunyikan. “Ya sudah kalau tidak mau memberitahu aku, sini belanjaanku, aku mau pulang.” Luca melongo ketika Brielle mengambil belanjaan itu dari tangannya. “Aku benar-benar sudah seperti pesuruhmu ya, aku yang bayar dan bawa semua belanjaanmu itu.” “Sekali-sekali, sudahlah, aku pergi dulu, terima kasih sudah membayar semuanya.” “Kau mau ke mana?” “Pulang.” “Tapi kau lari dari ayahmu?” “Iya, kan sudah lari dan sekarang aku harus pulang. Sebenarnya saat aku lari tadi, aku tidak bawa uang dan nanti setelah sampai di rumah, aku akan transfer uangmu, mana nomor rekeningmu?” Luca menatap malas Brielle. “Lebih baik kau pulang, aku juga harus pergi.” Luca kembali menaiki taksinya tadi menuju bandara. “Ini gila, aku seperti sedang dikerjai oleh seorang gadis kecil. Sialan,” kesal Luca. Penerbangan kali ini cukup melelahkan bagi Luca, dia sampai di mansion milik majikannya yaitu Nico Grimald. Dia langsung tidur di dalam kamarnya sendiri, tubuhnya butuh istirahat karena misi kali ini cukup berbahaya dan menguras tenaganya. “Brielle, kenapa aku harus bertemu gadis tidak sopan itu?” lirih Luca lalu memejamkan matanya. ⚜️Bersambung⚜️⚜️Selamat Membaca⚜️“Aku suka dengan pekerjaanmu, selama empat tahun kau menjadi orang kepercayaanku, aku lihat kau tidak pernah mau dekat dengan wanita? Kau masih normal kan?” Luca hanya tersenyum tipis lalu meneguk minumannya. “Aku normal,” jawabnya singkat. “Oke, apa aku harus mencarikan gadis untukmu?” Luca kembali mengingat pertemuannya dengan Brielle seminggu yang lalu dan menggeleng mantap. “Aku tidak mau, lebih baik kau cari saja untuk dirimu sendiri, kau juga belum memiliki kekasih kan.” Nico menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi lalu melipat kaki kirinya ke atas kaki kanan dengan gagah. Tangan kanannya mengusap bibir gelas dan tangan kirinya mengetuk pelan meja. “Aku sudah memiliki gadis incaran, dari dia berusia 15 tahun dan aku masih menginginkan dia.” “Oh ya, sekarang berapa usianya?”“Sudah dewasa, mungkin sekitar 20 tahun.” Luca mengangguk. “Haha kenapa kau tidak mendekati dia?”“Dia masih dalam masa pendidikan, aku belum ingin mendekati dia dan saat waktunya p
⚜️Selamat Membaca⚜️Brielle berhasil turun dari kamarnya, dia berpikir sejenak bagaimana cara kabur dari penjaga di mansion itu. Brielle bersembunyi di balik tiang dan tersenyum karena menemukan sebuah ide cemerlang. Brielle berlari ke arah halaman depan dan berteriak histeris. “Tolong, Nico diserang musuhnya di dalam kamar, mereka sangat ramai dan masuk melalui rooftop, cepat kalian semua tolong dia.”Para penjaga langsung bergegas dengan senjata masing-masing ke lantai atas untuk menyelamatkan Nico, dengan cepat Brielle kabur dari sana. Dia berjalan pelan ketika sampai di sebuah taman yang cukup jauh dari mansion Nico, kakinya terasa sakit karena berlari dari tadi. “Perutku lapar, aku haus dan aku tidak bawa uang.” Brielle menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan lalu mengusap kasar wajah itu. Pandangannya tertuju pada Luca yang duduk tak jauh dari tempatnya sekarang. “Dia lagi, apa dia itu sosok seorang dewa yang dikirim untuk menyelamatkan aku?” Brielle dengan langkah c
⚜️Selamat Membaca⚜️Selama empat jam perjalanan, akhirnya mereka sampai di apotik pusat kota yaitu Apotheek Van De Lan yang terletak dekat dengan tempat wisata. Luca keluar dari mobilnya sambil membawa resep obat milik Brielle, dia sana sekali tidak mengerti dengan obat apa yang dikonsumsi oleh Brielle saat ini. “Obat ini jangan dikonsumsi terus ya, minum saja ketika sakit dan lebih baik diperiksa lagi ke dokter. Karena obat ini bukan untuk menyembuhkan penyakit yang diderita oleh pasien, melainkan hanya untuk menghilangkan rasa sakit saja.” Luca mengangguk lalu membayar dan mengambil obat tersebut. Dia kembali ke mobil dan memberikan obat itu pada Brielle. “Dia bilang, obat ini tidak untuk dikonsumsi terus menerus, minum setiap kali merasa sakit saja,” terang Luca. “Iya, aku tau.” Brielle meminum obat itu lalu memejamkan matanya, sisa air mata itu kembali meluncur dan cepat dia hapus. “Kita cari tempat makan dulu, aku juga lapar.” Brielle menatap Luca lalu tersenyum. “Oke, aku
⚜️Selamat Membaca⚜️Luca duduk di kamar sambil memainkan ponsel ditemani secangkir kopi panas, asapnya masih mengepul dan aromanya begitu kuat hingga Brielle terbangun. Mereka tidak tidur satu kasur, Luca membebaskan gadis itu dengan dirinya sendiri, dari semalam Brielle terus dihubungi oleh ayah dan ibunya namun Nico sudah memberitahu kalau gadis itu dia yang culik dan suruh Luca untuk membawa. Luca meminta anak buahnya untuk mengirimkan motornya ke Belanda, ia hanya mau memakai motornya sendiri jika akan melakukan perjalanan jauh begini—BMW R Nine T Motorcycle. Dia juga menyiapkan beberapa berkas yang akan dia dan Brielle perlukan jika memasuki berbagai negara yang akan mereka lakukan nantinya. “Aroma kopimu mengganggu tidurku, minta ya,” ujar Brielle lalu menyeruput kopi panas milik Luca. Brrusshh! Luca langsung berdiri ketika Brielle menyemburkan kopi itu ke tubuhnya. “Kau gila ya, jelas kopi itu masih panas,” bentak Luca sambil mengusap tubuhnya. “Ya mana aku tau, lidahku
⚜️Selamat Membaca⚜️Luca duduk di kamar sambil memainkan ponsel ditemani secangkir kopi panas, asapnya masih mengepul dan aromanya begitu kuat hingga Brielle terbangun. Mereka tidak tidur satu kasur, Luca membebaskan gadis itu dengan dirinya sendiri, dari semalam Brielle terus dihubungi oleh ayah dan ibunya namun Nico sudah memberitahu kalau gadis itu dia yang culik dan suruh Luca untuk membawa. Luca meminta anak buahnya untuk mengirimkan motornya ke Belanda, ia hanya mau memakai motornya sendiri jika akan melakukan perjalanan jauh begini—BMW R Nine T Motorcycle. Dia juga menyiapkan beberapa berkas yang akan dia dan Brielle perlukan jika memasuki berbagai negara yang akan mereka lakukan nantinya. “Aroma kopimu mengganggu tidurku, minta ya,” ujar Brielle lalu menyeruput kopi panas milik Luca. Brrusshh! Luca langsung berdiri ketika Brielle menyemburkan kopi itu ke tubuhnya. “Kau gila ya, jelas kopi itu masih panas,” bentak Luca sambil mengusap tubuhnya. “Ya mana aku tau, lidahku
⚜️Selamat Membaca⚜️Selama empat jam perjalanan, akhirnya mereka sampai di apotik pusat kota yaitu Apotheek Van De Lan yang terletak dekat dengan tempat wisata. Luca keluar dari mobilnya sambil membawa resep obat milik Brielle, dia sana sekali tidak mengerti dengan obat apa yang dikonsumsi oleh Brielle saat ini. “Obat ini jangan dikonsumsi terus ya, minum saja ketika sakit dan lebih baik diperiksa lagi ke dokter. Karena obat ini bukan untuk menyembuhkan penyakit yang diderita oleh pasien, melainkan hanya untuk menghilangkan rasa sakit saja.” Luca mengangguk lalu membayar dan mengambil obat tersebut. Dia kembali ke mobil dan memberikan obat itu pada Brielle. “Dia bilang, obat ini tidak untuk dikonsumsi terus menerus, minum setiap kali merasa sakit saja,” terang Luca. “Iya, aku tau.” Brielle meminum obat itu lalu memejamkan matanya, sisa air mata itu kembali meluncur dan cepat dia hapus. “Kita cari tempat makan dulu, aku juga lapar.” Brielle menatap Luca lalu tersenyum. “Oke, aku
⚜️Selamat Membaca⚜️Brielle berhasil turun dari kamarnya, dia berpikir sejenak bagaimana cara kabur dari penjaga di mansion itu. Brielle bersembunyi di balik tiang dan tersenyum karena menemukan sebuah ide cemerlang. Brielle berlari ke arah halaman depan dan berteriak histeris. “Tolong, Nico diserang musuhnya di dalam kamar, mereka sangat ramai dan masuk melalui rooftop, cepat kalian semua tolong dia.”Para penjaga langsung bergegas dengan senjata masing-masing ke lantai atas untuk menyelamatkan Nico, dengan cepat Brielle kabur dari sana. Dia berjalan pelan ketika sampai di sebuah taman yang cukup jauh dari mansion Nico, kakinya terasa sakit karena berlari dari tadi. “Perutku lapar, aku haus dan aku tidak bawa uang.” Brielle menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan lalu mengusap kasar wajah itu. Pandangannya tertuju pada Luca yang duduk tak jauh dari tempatnya sekarang. “Dia lagi, apa dia itu sosok seorang dewa yang dikirim untuk menyelamatkan aku?” Brielle dengan langkah c
⚜️Selamat Membaca⚜️“Aku suka dengan pekerjaanmu, selama empat tahun kau menjadi orang kepercayaanku, aku lihat kau tidak pernah mau dekat dengan wanita? Kau masih normal kan?” Luca hanya tersenyum tipis lalu meneguk minumannya. “Aku normal,” jawabnya singkat. “Oke, apa aku harus mencarikan gadis untukmu?” Luca kembali mengingat pertemuannya dengan Brielle seminggu yang lalu dan menggeleng mantap. “Aku tidak mau, lebih baik kau cari saja untuk dirimu sendiri, kau juga belum memiliki kekasih kan.” Nico menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi lalu melipat kaki kirinya ke atas kaki kanan dengan gagah. Tangan kanannya mengusap bibir gelas dan tangan kirinya mengetuk pelan meja. “Aku sudah memiliki gadis incaran, dari dia berusia 15 tahun dan aku masih menginginkan dia.” “Oh ya, sekarang berapa usianya?”“Sudah dewasa, mungkin sekitar 20 tahun.” Luca mengangguk. “Haha kenapa kau tidak mendekati dia?”“Dia masih dalam masa pendidikan, aku belum ingin mendekati dia dan saat waktunya p
⚜️Selamat Membaca⚜️ Tetesan darah yang mengalir di tubuhnya terus menetes ke tanah, pria 28 tahun itu terus berjalan tertatih mencari tempat yang aman untuk dia bersembunyi dari kejaran rombongan di belakangnya. Karena luka di bagian perut dan kepalanya cukup parah, pandangannya jadi sedikit buram hingga tubuhnya terjatuh ke tanah. Matanya masih bisa melihat area sekitar, pepohonan yang tinggi, udara yang dingin serta kicauan burung yang terus memekakkan telinga. Pria itu perlahan memejamkan mata, tanah di dekat hidungnya terus beterbangan mengikuti dengan deru napas si pria. “Sudahlah, jika memang ini akhir, aku terima.” Cukup lama dia tertidur, pria itu bangun di sebuah kamar yang begitu mewah dan sangat rapi, jelas pemilik kamar itu orang yang sangat kaya raya. “Kau sudah bangun? Ada baiknya kau istirahat dulu,” sapa seorang gadis yang kini duduk di tepi ranjang. “Di mana ini?” “Rumahku, tadi aku sedang berburu dengan ayahku dan melihat kau terkapar di tengah hutan, k