"Arnold, I am here!" kataku setengah berbisik begitu dia mengangkat teleponku. "Infront of Albert Heijn. Where are you?" (Di depan Albert Heijn. Kamu di mana?)
Arnold terdengar lega saat menjawab pertanyaanku. Sepertinya dia juga tersenyum. Ah, dia pasti gembira karena aku bisa menjumpainya di sini. "OK, Hill. I'll go there as soon as possible. So wait for me, please? (Oke, Hill. Aku akan ke sana sesegera mungkin. Jadi, tolong tunggu aku, ya?)
Sedikit lebih tenang dari pada detik-detik sebelumnya aku mengangguk. Menyimpulkan senyum bahagia. "OK, Arnold
Arnold melekatkan pandangan padaku setelah meneguk minuman dingin bersodanya. Intinya dia menanyakan berapa lama waktu yang kebutuhan untuk bisa pergi dari sini sebelum Hari H pernikahan yang mereka rencanakan. Dengan air mata bersembulan---merasa nyawa sudah di ujung tanduk---aku mengatakan kalau waktuku kurang dari tiga minggu. Arnold menyeringai, entah apa artinya."Give me a pen, please?" (Beri aku pulpen, tolong?) permintaan Arnold membuat semangatku bangkit kembali. Tanpa sedikit pun berusaha untuk menghapus air mata, aku merogoh ke dalam tas. Mengambil pulpen dan buku diary."Here you are, Arnold." aku mengangsurkan dua benda kesayangan itu padanya. Memandang lekat-lekat mata biru laut yang terlihat sedikit menyipit. Seb
Tepat di depan rumah Batik---aku tahu alamatnya dari Ronu---dengan perasaan hancur lebur selebur-leburnya, aku turun dari taksi. Driver bergegas menurunkan koper dan tas punggung dari bagasi, menerima ongkos plus uang kembalian yang kuikhlaskan untuknya dengan mimik wajah gembira. Sementara aku semakin bingung, tak tahu harus berkata apa atau bagaimana ketika akhirnya berjumpa dengan Batik nanti.Apakah dia masih bisa menerima aku? Maksudku, setelah semua yang terjadi … Ya Tuhan! Tak pernah kusangka kalau ternyata Arnold seorang penjahat. Lebih jahat dari pada Frank Family, sungguh. Lebih gila, brengsek dan ganas dari pada Aldert, sumpah.Oh, bodohnya, aku justru mempercayai Arnold sampai seratus persen. Dari sejak awal bertemu dulu, bahkan. Padahal Tante Ariane juga sudah mengingatkan bukan, kalau Arnold buk
Mbak Nilam langsung memelukku erat-erat. Ekspresi kebahagiaan yang tak pernah tergambar sedikit pun dalam benakku. Bukan apa-apa. Aku takut kalau pada kenyataannya semua tak lagi sama.Ya ampun!Batik pasti sudah menceritakan tentang semuanya, kan? Oh, Mbak Nilam pasti juga sudah tahu kalau Mama ke sini, menekan Batik. Iya kan, Guys? Oh, apa sih yang sudah merasuki Mama? Bukankah selama ini dia selalu mengajarkan kepadaku untuk menikah bersama orang yang benar-benar mencintai aku? Bukan hanya orang yang benar-benar aku cintai? Karena hanya kekasih yang saling mencintai satu sama lainlah yang akan sama-sama bersetia dalam menjalani cerita kehidupan?Big bulshit!"Kapan dateng, sama si
Menggeleng lemah. Melepaskan tangan dari genggaman Batik. Menata perasaan agar lebih rapi. Minimal tidak seberantakan saat ini. "Mama nggak mungkin nyariin aku, B. Mama juga nggak tahu kalau aku kabur dari Netherlands."Ha, apa?Apa yang baru saja kukatakan pasa Batik, Kekasih Sejatiku? Mengapa kadang-kadang mulut ini tak bisa dikendalikan? Ya Tuhan!"Maaf, B …!" ucapku mulai terisak-isak lagi. Menyalami tangannya lagi. Berulang kali mengecup punggungnya. Punggung tangan preman kampus, ketua Geng MANGKRONG yang sudah secara alami mengkudeta seluruh hatiku. "Aku terpaksa melakukan ini, B. Sungguh, sumpah." lanjutku dengan air mata bersembulan dari pelupuknya, menambah pedih lahir dan batin. "Demi Tuhan!"
"Hill … Kamu kenapa, Hill?" Mbak Nilam mengguncang-guncang pundakku yang sudah basah oleh keringat dingin. "Kamu kenapa? Nggak apa-apa kan, Hill?"Jangankan menjawab pertanyaan Mbak Nilam, untuk sekedar menggetarkan bibir pun aku tak mampu lagi. Sungguh, hanya bisa bernapas, terengah-engah di antara bayang-bayang jahat Arnold. Menyakitkan, menakutkan. Oh, ooohhh, kenapa Arnold sampai hati melakukan hal sejahat itu padaku? Dia sendiri kan yang mengatakan kalau aku ini sahabatnya? Begitulah seorang sahabat?Jahat. Jahat. Jahat."Why do you help me, Arnold?" (Kenapa kamu membantuku, Arnold?) tanyaku pagi itu waktu dia mengantarkan makan pagi ke markas pelariannya.
"Ya sudah sih, kalau Mbak Hill nggak mau!" simpul Taruntum membuatku sedikit tergoda untuk memikirkan apa yang sebenarnya terjadi. Di balik rujakan mode on yang dia katakan itu tadi lho Guys, maksudku.Pertama, Batik tidak sebodoh itu, tentu saja. Untuk apa dia mengajakku melakukan hal-hal yang berbahaya? Bukankah kami sedang dalam perjuangan untuk menyatukan jiwa dan raga dengan segenap cinta yang bertumbuh di pelataran hati? Apalah artinya segala perjuangan jika tiba-tiba Mama datang dan memaksaku untuk ikut dengannya? Nol Besar.Ke dua, mungkin tidak sih Taruntum ini sebenarnya pengkhianat? Mata-mata bayaranlah, kalaupun tidak bisa dikatakan pengkhianat. Ya Tuhan! Dia kan tahu tentang semua pergerakan kami di sini?Eh!
"Mbak Nilam?" sebisa mungkin aku mengutuhkan kekuatan diri untuk memanggilnya mendekat. "Gimana ini, Mbak?"Mbak Nilam memasang sikap diam. Menyebarkan pandangan ke sekitar setelah sejenak memandangku dengan sorot mata yang sulit untuk kuterjemahkan. "Biar Mbak masukkan tas sama koper kamu ke bagasi dulu ya, Hill?"Melihat sikap gigih Mbak Nilam, kekuatan dalam diriku kembali utuh dan besar sehingga inilah yang kulakukan dengan sepenuh kesadaran. Melepaskan cincin yang masih melingkari cincin manis sebelah kiri, menyerahkan pada Tante Ariane."Hill, oh Hill?""Maaf Tante, Hill nggak bisa melanjutkan semua ini. Hill nggak bisa menikah dengan Aldert." di sini aku sangat bersyukur, walaupun sempat ter
Oh Guys, rasanya hidupku sudah benar-benar hancur sekarang. Lebur, tergiling halus. Lebih halus dari pada daging sapi bakal adonan bakso beranak. Oh, sungguh aku tak tahu harus bagaimana?Bagaimana caranya untuk bangkit? Berdiri dengan tegak, membuka mata senormal mungkin---seperti waktu masih ada Batik di sini---menatap setiap penjuru dunia. Memandang jauh ke depan, merenda kembali harapan yang telah koyak di sana sini selayaknya pakaian para prajurit yang gugur di medan perang. Koyak-koyak, berlumur darah.Hahahaha … Dulu, dulu aku memilih untuk menolak Batik. Memutuskan untuk membenci setiap rasa sakit yang dihujamkannya, pergi dan mengubur dalam-dalam perasaan cinta yang kian subur bertumbuh. Melupakan segala yang pernah ada ataupun terjadi di antara kami selama ini. Menghilang.
"Hill?"Aku tak menjawab panggilan Arnold. Canggung sekali rasanya berada dalam situasi ambigu seperti ini. Rasanya seperti terseret ke dalam sebuah film tanpa naskah. Aku yakin, aktris handal sekalipun akan kelimpungan, tak tahu harus bagaimana?"Hill?" Arnold menggenggam jari-jemari tanganku dan anehnya aku tak menolak. Padahal seharusnya seluruh rasa sakit dalam diri, mendorongku untuk menampiknya, bukan? Menampar, memukuli atau menendang. Aneh, aku memang aneh. Padahal sama sekali tidak minum wine lho. Tidak pernah. "I am very sorry for …?" Arnold mengusap-usap perutku dan entah bagaimana aku merasa nyaman.
Tidak tahu mengapa hari ini galau berat, Guys. Sampai-sampai aku menelepon Miss Kirana dan menceritakan semuanya dengan jujur, terbuka seperti biasa. Mulai dari pertemuan dengan Pak Verrel yang tak pernah kedua sebelumnya, sampai Arnold yang mangkir datang tadi pagi.Yeaaah!Dia tak mengirimkan breakfast tetapi tidak masalah. Toh, sudah menyediakan banyak persediaan makanan. Roti tawar, selai---coklat, kacang, strawberry---messes, butter, dan daging untuk isian. Roti tawarnya saja dua pack.Kalau aku mau memasak juga sudah ada bayam, jagung manis, brokoli, tomat, wortel, ayam tanpa tulang, bakso dan sosis. Nugget ayam sayur juga ada. Tadi aku sudah memeriksa lemari pendingin. Beras pun ada, lima kilo gram.
Arnold datang pagi-pagi sekali dan bukan hanya breakfast yang dia bawa melainkan TV, VCD dan beberapa kaset film. Semuanya baru. Katanya dia sengaja membelikan semua itu untukku, supaya tidak terlalu kesepian atau jenuh.Gombal!Katakan saja supaya aku tidak sempat berpikir untuk pergi ke luar rumah. Iya kan, Guys? Ingin tertawa tetapi takut tersedak dosa. Memangnya aku anak kecil yang polos?"To evening, I will bring you some story book." katanya lagi penuh percaya diri. "You still like reading book, don't you?"Aku mengangguk. "I do. Thanks."
"Hai, Hill!" kupikir Arnold akan mengingkari janji tapi ternyata tidak.Dia datang dengan membawa makan malam---kalkun panggang, nasi dan salad---juga satu kantong besar persediaan makanan dan minuman. Awalnya aku merasa baik-baik saja melihat semua itu. Terkesan baik, bertanggung jawab tetapi melihat gesture jahatnya, radar dalam diriku bekerja ekstra, memindai pengkhianatan."Hai, Arnold!" aku berusaha untuk tetap bersikap tenang saat menyapanya kembali. "You haven't bring me so many stocks of food and drink. I hold your promise in a long my life that you will here twice in a day. In the morning for sending me any breakfast dan in the evening for sending me any dinner."Arnold terlihat terkesiap, jadi aku me
Dalam bahasa Indonesia bercampur bahasa Inggris, aku memerangi si Bastard. "No, big no! Pokoknya aku nggak mau pergi. Kamu harus bisa menerima kami di sini, Arnold. This is your baby dan kamu harus bertanggung jawab. Jangan jadi laki-laki pengecut, Arnold!"Keledai saja tak mau terjatuh untuk yang ke dua kalinya, bukan? Takkan kubiarkan diri ini mengulangi kebodohan dan kesalahan yang sama. Aku wajib kuat dalam hal ini, sampai si Bastard mau menerima Adek Bayi. Setelah itu aku akan bebas, merdeka.Arnold terdesak. Terdiam. Jadi, aku melanjutkan, "You must know Arnold, there is not a man in the world touch me … Only you and that was very fierce! Kamu nggak akan bisa menhindar sekarang, Arnold. Hahahaha, jangan kamu pikir aku akan
"Hill, bangun Hill!" Pak Verrel mengguncang-guncang pundakku. "Kita sudah mendarat di Schiphol. Kamu baik-baik saja, kan?"Sebisa mungkin, aku membuka mata yang terasa lengket plus pedih. Sedikit menggeliat, mengusap-usap perut yang sedikit mengeras. Sakit."Eh, kamu nggak apa-apa kan, Hill?"Mengangguk kecil. Hanya itu yang bisa kulakukan."Oh, syukurlah." Pak Verrel terlihat lega. "Yuk, kita turun? Bytheway ini koper kamu, sudah saya ambillah tadi. Benar yang ini, kan?"Lagi, aku mengangguk. Berusaha untuk memberikan senyuman terima kasih. Membersihkan wajah dengan tisu basah, menyisir rambut. Merapikan sweater. Memastikan tak ada yang tertinggal.&n
"Ehem!" Pak Verrel berdeham menarik perhatian. "Kalau ditanya tapi nggak menjawab itu nggak sopan lho, Hill. Bisa jadi dosa juga."Eh?"Saya kan, bertanya karena perhatian sama kamu." blak-blakan Pak Verrel mengakui. "Ya, sebagai mantan karyawan, sih. Hehe. Sebagai sama-sama penumpang pesawat kelas bisnis jurusan Cengkareng - Schiphol. Mana seat kita bersebelahan lagi, kan? Tapi kalau kamu nggak suka saya perhatikan, ya nggak apa-apa."Aduh, apa yang harus aku katakan?"Saya, emh, sebenarnya …." kenyataan pahit membuatku tak mampu menyelesaikan kata-kata, tentu saja. Hanya mampu menggedikkan bahu, mati-mat
Mata Uta membulat besar. Mulutnya menganga sempurna seolah-olah aku baru saja mengatakan kalau aku akan pindah ke bulan dan takkan pernah berpijak di bumi lagi. "Nggak, nggak. Aduh … Sekali-kali jangan gila kenapa sih, Hill? Kali ini saja lah, please? Mana mungkin kamu ke sana? Emh, maksudku kamu kan nggak punya family di sana? Kemarin juga kan, ke sananya karena diundang Tante Ariane? Aduh Hill, percaya deh sama aku … Itu tuh, bahaya banget. Bahaya kuadrat."Aku tertawa cekikikan. "Yang gila tuh, siapa? Aku nggak gila kok Ta, hanya ingin finish the problem. Apa aku salah? Hanya di sana aku bisa finish the problem. Kamu tahu kan, Ta?"Uta meng
"Nggak Budhe, Hill nggak mau ketemu sama Mama!" aku berkeras. Memandang tajam dan dalam. Menunduk, membendung tangis. "Mama jahat, jahat. Hill jadi begini karena Mama. Papa meninggal juga karena Mama. Semua karena Mama." perlahan-lahan namun pasti aku mengangkat wajah, memandang dengan pandangan yang sama seperti tadi.Dua minggu sudah aku di rumah Bantul dan tidak menyangka sama sekali kalau ternyata Mama akan datang menjenguk. Lebih tidak menyangka lagi, dia tak sendiri melainkan bersama Tante Ariane dan Om Frank. Maksudnya? Ya ampun! Apa mereka masih belum sadar juga kalau merekalah sumber luka batinku? Sebenarnya mereka itu bodoh atau bagaimana, sih?"Budhe …?" antara sadar dan tidak, aku memanggilnya.Budhe tersenyum prihatin, sedih.