"Ya sudah sih, kalau Mbak Hill nggak mau!" simpul Taruntum membuatku sedikit tergoda untuk memikirkan apa yang sebenarnya terjadi. Di balik rujakan mode on yang dia katakan itu tadi lho Guys, maksudku.
Pertama, Batik tidak sebodoh itu, tentu saja. Untuk apa dia mengajakku melakukan hal-hal yang berbahaya? Bukankah kami sedang dalam perjuangan untuk menyatukan jiwa dan raga dengan segenap cinta yang bertumbuh di pelataran hati? Apalah artinya segala perjuangan jika tiba-tiba Mama datang dan memaksaku untuk ikut dengannya? Nol Besar.
Ke dua, mungkin tidak sih Taruntum ini sebenarnya pengkhianat? Mata-mata bayaranlah, kalaupun tidak bisa dikatakan pengkhianat. Ya Tuhan! Dia kan tahu tentang semua pergerakan kami di sini?
Eh!
"Mbak Nilam?" sebisa mungkin aku mengutuhkan kekuatan diri untuk memanggilnya mendekat. "Gimana ini, Mbak?"Mbak Nilam memasang sikap diam. Menyebarkan pandangan ke sekitar setelah sejenak memandangku dengan sorot mata yang sulit untuk kuterjemahkan. "Biar Mbak masukkan tas sama koper kamu ke bagasi dulu ya, Hill?"Melihat sikap gigih Mbak Nilam, kekuatan dalam diriku kembali utuh dan besar sehingga inilah yang kulakukan dengan sepenuh kesadaran. Melepaskan cincin yang masih melingkari cincin manis sebelah kiri, menyerahkan pada Tante Ariane."Hill, oh Hill?""Maaf Tante, Hill nggak bisa melanjutkan semua ini. Hill nggak bisa menikah dengan Aldert." di sini aku sangat bersyukur, walaupun sempat ter
Oh Guys, rasanya hidupku sudah benar-benar hancur sekarang. Lebur, tergiling halus. Lebih halus dari pada daging sapi bakal adonan bakso beranak. Oh, sungguh aku tak tahu harus bagaimana?Bagaimana caranya untuk bangkit? Berdiri dengan tegak, membuka mata senormal mungkin---seperti waktu masih ada Batik di sini---menatap setiap penjuru dunia. Memandang jauh ke depan, merenda kembali harapan yang telah koyak di sana sini selayaknya pakaian para prajurit yang gugur di medan perang. Koyak-koyak, berlumur darah.Hahahaha … Dulu, dulu aku memilih untuk menolak Batik. Memutuskan untuk membenci setiap rasa sakit yang dihujamkannya, pergi dan mengubur dalam-dalam perasaan cinta yang kian subur bertumbuh. Melupakan segala yang pernah ada ataupun terjadi di antara kami selama ini. Menghilang.
Mama berniat menjengukku di kos siang ini jadi dia menelepon. Terus terang belum siap bertemu. Melihat pun belum siap, sungguh. Tahukah Mama, untuk bisa menerima teleponnya saja sudah merupakan sesuatu yang luar biasa bagiku?Oh, untung aku tidak memasukkan kontaknya ke dalam daftar hitam. Tidak juga screening pesan pendeknya. Mama juga masih bisa mengirimkan pesan di chat room. Ya, walaupun nyaris tak pernah membalasnya, sih. Tapi seharusnya dia bersyukur, kan?Hello, Guys!Seharusnya Mama tahu kan, sadar semua penderitaan yang kualami dalam hidup ini karena siapa? Karena Mama. Oh, kalian wajib tahu sekarang Guys, kalau ternyata meninggalnya Papa di tangan perampok dulu itu juga karena Mama.Bodoh
Sepulang dari rumah Uta aku lebih banyak berbaring di tempat tidur. Bergelung dalam selimut. Rasanya sakit di sekujur tubuh. Lemas. Mungkin karena tiga kali muntah-muntah hebat waktu di rumah Uta dan satu kali waktu baru sampai di rumah. Sebenarnya malam ini ada janji dengan Budhe, mau makan bersama di rumah makan Pelem Golek tapi kubatalkan. Selain lumayan jauh dari kos, tubuh juga sepertinya tidak memungkinkan. Budhe sempat kecewa sih tapi bagaimana lagi? Tidak mungkin kan, memaksakan diri? Alhasil, Budhe chat aku sekitar sepuluh menit yang lalu. Katanya dia mau ke kos, sekalian membawa makan malam untuk kami. Menu paling spesial di rumah makan Pelem Golek. Katanya lagi, kalau aku belum sembuh juga, mau menginap di kos. Sungguh, ini sangat sederhana tapi menjadi sangat berharga.
"Oh Hill, this is a book for you!" (Oh Hill, ini buku buat kamu!) Arnold meletakkan kantong plastik berwarna biru langit polos dengan gambar selembar daun maple hijau di tengah-tengahnya. "I bought it yesterday morning. Enjoy the story, Hill!" (Aku membelinya kemarin pagi. Selamat menikmati ceritanya, Hill!)YOUR RINGPenuh rasa terima kasih aku membaca judulnya. "So Arnold, when you bought me a tiket?" (Jadi Arnold, kapan kamu memberikan aku tiket?" tanyaku sambil memandang lekat-lekat manik matanya. "Almost three days I am here and really I don't want to make you ha
Uta membelalak tapi lalu melebarkan senyuman. Mengangkat kedua alis. "Ya, sekarang kembali ke kamunya saja sih Hill, kalau menurut aku. Bisa nggak kamu menjalankan semua pekerjaan itu pada waktu bersamaan? Terus, kita juga masih ada MMB, lho. Kalau kamu memang bisa bagi waktu, nggak merasa tertekan ya, kenapa nggak? Mumpung masih single ini, kan? Masih longgar lah, buat lompat sana sini!"Sejenak aku tercenung. Masalah ini memang terlihat sepele tapi aku tak mau menyepelekannya, tentu saja. Menjadi pebisnis tangguh memang cita-citaku sejak masih SMP dulu. Bukan hanya menekuni satu bisnis kalau perlu tetapi beberapa, banyak kalau perlu. Asyik saja ya kan, dua puluh empat jam terisi dengan hal-hal positif yang memberikan keuntungan. Seru sekali pasti, kan?Tapi entah mengapa, semakin Mbak Nilam mendekat dan percaya, justru aku semakin
"Gimana Hill, kata dokternya?" Uta dan Megan berdiri menyambut begitu aku keluar dari ruang periksa. "Kamu baik-baik saja, kan?" tanya Uta lagi dengan mimik wajah khawatir.Apakah aku baik-baik saja?Tergantung dari sisi mana melihatnya. Secara fisik, aku baik-baik saja, kata Dokter. Hanya butuh lebih banyak waktu untuk istirahat, makan yang cukup dan ya, membahagiakan diri. Jalan-jalan, refreshing lah. Lambungku juga baik-baik saja, tak ada yang cedera barang satu inci pun.Lalu, bagaimana bisa aku mengalami mual dan muntah yang cukup hebat akhir-akhir ini?Berdasarkan hasil pemeriksaan Dokter, semua itu karena aku masih belum bisa move on,
Aku bingung, Guys!Benar-benar bingung, mengapa Uta dan Megan malah memberi tahu Mama di mana alamat kosku? Apa itu bukan sebuah pengkhianatan namanya? Ya ampun! Uta kan, sahabat dekatku sejak bayi, mengapa malah berbohong seperti ini?"Oh, pantas saja mereka ke sini, Ta?" ketus, aku melontarkan sebuah kesimpulan. "Ternyata kamu ya yang ngasih tahu? Ckckckck, kok kamu tega kayak gitu sih Ta, sama aku? Aku kan, sudah bilang sama kamu … Sampai kapan pun, jangan kasih tahu Mama? Iya, kan? Karena aku tahu Ta, Mama pasti mengajak Tante Ariane!" dengan pengendalian diri yang gagal total, aku terus mencecar Uta. Ingin sekali rasanya mencakar-cajar wajahnya yang sedikit pucat karena morning sickness itu, sungguh.