Uta membelalak tapi lalu melebarkan senyuman. Mengangkat kedua alis. "Ya, sekarang kembali ke kamunya saja sih Hill, kalau menurut aku. Bisa nggak kamu menjalankan semua pekerjaan itu pada waktu bersamaan? Terus, kita juga masih ada MMB, lho. Kalau kamu memang bisa bagi waktu, nggak merasa tertekan ya, kenapa nggak? Mumpung masih single ini, kan? Masih longgar lah, buat lompat sana sini!"
Sejenak aku tercenung. Masalah ini memang terlihat sepele tapi aku tak mau menyepelekannya, tentu saja. Menjadi pebisnis tangguh memang cita-citaku sejak masih SMP dulu. Bukan hanya menekuni satu bisnis kalau perlu tetapi beberapa, banyak kalau perlu. Asyik saja ya kan, dua puluh empat jam terisi dengan hal-hal positif yang memberikan keuntungan. Seru sekali pasti, kan?
Tapi entah mengapa, semakin Mbak Nilam mendekat dan percaya, justru aku semakin
"Gimana Hill, kata dokternya?" Uta dan Megan berdiri menyambut begitu aku keluar dari ruang periksa. "Kamu baik-baik saja, kan?" tanya Uta lagi dengan mimik wajah khawatir.Apakah aku baik-baik saja?Tergantung dari sisi mana melihatnya. Secara fisik, aku baik-baik saja, kata Dokter. Hanya butuh lebih banyak waktu untuk istirahat, makan yang cukup dan ya, membahagiakan diri. Jalan-jalan, refreshing lah. Lambungku juga baik-baik saja, tak ada yang cedera barang satu inci pun.Lalu, bagaimana bisa aku mengalami mual dan muntah yang cukup hebat akhir-akhir ini?Berdasarkan hasil pemeriksaan Dokter, semua itu karena aku masih belum bisa move on,
Aku bingung, Guys!Benar-benar bingung, mengapa Uta dan Megan malah memberi tahu Mama di mana alamat kosku? Apa itu bukan sebuah pengkhianatan namanya? Ya ampun! Uta kan, sahabat dekatku sejak bayi, mengapa malah berbohong seperti ini?"Oh, pantas saja mereka ke sini, Ta?" ketus, aku melontarkan sebuah kesimpulan. "Ternyata kamu ya yang ngasih tahu? Ckckckck, kok kamu tega kayak gitu sih Ta, sama aku? Aku kan, sudah bilang sama kamu … Sampai kapan pun, jangan kasih tahu Mama? Iya, kan? Karena aku tahu Ta, Mama pasti mengajak Tante Ariane!" dengan pengendalian diri yang gagal total, aku terus mencecar Uta. Ingin sekali rasanya mencakar-cajar wajahnya yang sedikit pucat karena morning sickness itu, sungguh.
Lemah, aku menggeleng-gelengkan kepala. Semua yang ditanyakan Uta itu tidak ada yang ingin aku lakukan. Hanya satu inginku saat ini, segera pulang ke kos. Di sanalah aku bisa menemukan segala bentuk kebebasan sekaligus kemerdekaan hidup. Tanpa drama, pengkhianatan dan kejahatan. Satu lagi, serangkaian tekanan dan paksaan."Oke, Hill." Uta menepuk-nepuk pundakku, melekatkan pandangan yang aku tak mengerti mengapa. Apakah dia tak percaya kalau aku memang tak ingin ke toilet, minum ataupun mengemil? Aneh!"Ta, kamu tahu nggak?" sederet kata tanya itu meluncur bebas dari mulutku.Uta mengerutkan dahi. "Nggak. Kenapa Hill, ada apa?"Entah mengapa aku malah tertawa cekikikan. Sadar tapi tak kuasa untuk m
Setengah sadar, aku menerima gelas putih transparan dari petugas laboratorium. Seramah dan sehangat apa pun dia melayani, tetap saja hatiku hancur. Remuk. Aku benar-benar takut sekarang. Bagaimana kalau perbuatan jahanam biadab Arnold dulu itu benar-benar membuahkan hasil?Maksudku, bagaimana kalau aku benar-benar hamil? Ya Tuhan! Apa yang harus aku lakukan sekarang?"Nanti kalau sudah ditampung, tolong diserahkan ke loket yang tadi ya, Mbak?""Eh, oh, iya Bu. Sa---ya ke toilet dulu. Permisi?"Petugas laboratorium itu tersenyum ramah. "Iya, silakan Mbak. Hati-hati, ya?"Aku tak menjawab. Tak mampu berkata-kata lagi untuk lebih tepatn
"Tapi aku nggak mau anak iblis ini, Ta!" jeritku tertahan sambil memukul-mukul perut. Benci, muak sekali rasanya. "Nggak mau, Ta. Arnold jahat, jahat banget! Oh, Batik pasti kecewa banget sama aku kan, Ta? Batik pasti marah banget!"Uta melepaskan pelukan, memegang erat-erat kedua tanganku. "Jangan, jangan kamu pukuli dia Hill! Bayi ini nggak salah apa-apa, Hill. Bayi ini suci dan kamu … Ya ampun Hill, Tuhan pasti tahu kalau ini kecelakaan. Karena Tuhan Maha Melihat, Maha Mendengar."Sampai di sini air mataku justru semakin membanjir bandang. Sakit, sesak seluruh rongga dadaku. Masih tidak terima rasanya dengan apa yang sudah terjadi. "Lepaskan tanganku Ta, lepaskan. Aku, aku … Malu, malu banget. Rasanya nggak sanggup lagi buat ngelanjutin hidup ini, Ta. Nggak sanggup!"
Ha, apa dunia ini sudah mengkerut?Bagaimana bisa Budhe tahu kalau aku depresi berat? Bagaimana juga bisa tahu kalau ternyata aku hamil karena kecelakaan? Maksudku, akibat perbuatan biadab jahanam si Bangsat Arnold. Aduh, pusing tujuh keliling dunia memikirkan beberapa kemungkinan yang ada.Uta memberitahu Budhe?Tidak mungkin Miss Kirana. Ya ampun! Dia kan, sudah berjanji untuk merahasiakan semua yang kuceritakan?Mama? Hahahaha, aku yakin dia bahkan tidak tahu apa yang sebenarnya menimpa anak perempuan semata wayangnya ini, sungguh.Nah Guys, kemungkinan yang paling besar dalam hal ini Uta, kan? Aduh, Uta! Kenapa malah memberitahu mereka, sih? Eh! Tapi mungkin maks
"Budhe sama Eyang Putri ngajak aku pindah ke Bantul, Ta." jujurku sambil menyelam ke dalam bola matanya. Berusaha untuk tersenyum tegar. "Budhe yang bakalan nganterin aku konsultasi psikiater dan kontrol kandungan. Mereka ngedukung aku, Ta. Mereka juga nggak nyalahin aku atau gimana."Uta juga memandangku lekat-lekat, menyelam hingga ke dasar bola mata. Bukan untuk memindai dusta tetapi sebagai bentuk empati, perhatian dan kasih sayang. "Wah, syukurlah Hill. Aku ikut senang. Megan juga pasti senang. Si Baby juga. Hehe, hehe."Aku menggeleng-gelengkan kepala. Menyeka air mata yang memaksa keluar. Merembes hangat. "Ajaib banget ya, Ta? Keren!""He'emh, Hill." Uta mengangguk-anggukkan kepala. "Luar biasalah pokoknya, kuasa Tuhan."
"Hill, Hill … Lihat aku, Hill!" Uta memekik ketakutan. "Ya Tuhan! Sadar Hill, sadar!"Megan menimpali, "Hill, kamu nggak perlu ke mana-mana, oke? Di sini saja bersama kami. Kami semua sayang banget sama kamu lho, Hill. Kami nggak mau kehilangan kamu dalam bentuk apa pun."Uta merangkulku dari samping. Napasnya terdengar memburu, panas. "Iya Hill, apa yang dibilang Megan tadi tuh bener banget. Kamu nggak perlu ke mana-mana, di sini saja. Lagian, buat apa juga nyariin laki-laki brengsek itu? Biarin dia pergi sesuka hati. Biar dia diurus Tuhan. Kamu percaya kan sama Tuhan?"Dug!Aku merasa ada benda tak kasat mata yang terjatuh dengan sangat ke keras di rongga dada. Tapi sayangnya, meskipun