Oh Guys, rasanya hidupku sudah benar-benar hancur sekarang. Lebur, tergiling halus. Lebih halus dari pada daging sapi bakal adonan bakso beranak. Oh, sungguh aku tak tahu harus bagaimana?
Bagaimana caranya untuk bangkit? Berdiri dengan tegak, membuka mata senormal mungkin---seperti waktu masih ada Batik di sini---menatap setiap penjuru dunia. Memandang jauh ke depan, merenda kembali harapan yang telah koyak di sana sini selayaknya pakaian para prajurit yang gugur di medan perang. Koyak-koyak, berlumur darah.
Hahahaha … Dulu, dulu aku memilih untuk menolak Batik. Memutuskan untuk membenci setiap rasa sakit yang dihujamkannya, pergi dan mengubur dalam-dalam perasaan cinta yang kian subur bertumbuh. Melupakan segala yang pernah ada ataupun terjadi di antara kami selama ini. Menghilang.
Mama berniat menjengukku di kos siang ini jadi dia menelepon. Terus terang belum siap bertemu. Melihat pun belum siap, sungguh. Tahukah Mama, untuk bisa menerima teleponnya saja sudah merupakan sesuatu yang luar biasa bagiku?Oh, untung aku tidak memasukkan kontaknya ke dalam daftar hitam. Tidak juga screening pesan pendeknya. Mama juga masih bisa mengirimkan pesan di chat room. Ya, walaupun nyaris tak pernah membalasnya, sih. Tapi seharusnya dia bersyukur, kan?Hello, Guys!Seharusnya Mama tahu kan, sadar semua penderitaan yang kualami dalam hidup ini karena siapa? Karena Mama. Oh, kalian wajib tahu sekarang Guys, kalau ternyata meninggalnya Papa di tangan perampok dulu itu juga karena Mama.Bodoh
Sepulang dari rumah Uta aku lebih banyak berbaring di tempat tidur. Bergelung dalam selimut. Rasanya sakit di sekujur tubuh. Lemas. Mungkin karena tiga kali muntah-muntah hebat waktu di rumah Uta dan satu kali waktu baru sampai di rumah. Sebenarnya malam ini ada janji dengan Budhe, mau makan bersama di rumah makan Pelem Golek tapi kubatalkan. Selain lumayan jauh dari kos, tubuh juga sepertinya tidak memungkinkan. Budhe sempat kecewa sih tapi bagaimana lagi? Tidak mungkin kan, memaksakan diri? Alhasil, Budhe chat aku sekitar sepuluh menit yang lalu. Katanya dia mau ke kos, sekalian membawa makan malam untuk kami. Menu paling spesial di rumah makan Pelem Golek. Katanya lagi, kalau aku belum sembuh juga, mau menginap di kos. Sungguh, ini sangat sederhana tapi menjadi sangat berharga.
"Oh Hill, this is a book for you!" (Oh Hill, ini buku buat kamu!) Arnold meletakkan kantong plastik berwarna biru langit polos dengan gambar selembar daun maple hijau di tengah-tengahnya. "I bought it yesterday morning. Enjoy the story, Hill!" (Aku membelinya kemarin pagi. Selamat menikmati ceritanya, Hill!)YOUR RINGPenuh rasa terima kasih aku membaca judulnya. "So Arnold, when you bought me a tiket?" (Jadi Arnold, kapan kamu memberikan aku tiket?" tanyaku sambil memandang lekat-lekat manik matanya. "Almost three days I am here and really I don't want to make you ha
Uta membelalak tapi lalu melebarkan senyuman. Mengangkat kedua alis. "Ya, sekarang kembali ke kamunya saja sih Hill, kalau menurut aku. Bisa nggak kamu menjalankan semua pekerjaan itu pada waktu bersamaan? Terus, kita juga masih ada MMB, lho. Kalau kamu memang bisa bagi waktu, nggak merasa tertekan ya, kenapa nggak? Mumpung masih single ini, kan? Masih longgar lah, buat lompat sana sini!"Sejenak aku tercenung. Masalah ini memang terlihat sepele tapi aku tak mau menyepelekannya, tentu saja. Menjadi pebisnis tangguh memang cita-citaku sejak masih SMP dulu. Bukan hanya menekuni satu bisnis kalau perlu tetapi beberapa, banyak kalau perlu. Asyik saja ya kan, dua puluh empat jam terisi dengan hal-hal positif yang memberikan keuntungan. Seru sekali pasti, kan?Tapi entah mengapa, semakin Mbak Nilam mendekat dan percaya, justru aku semakin
"Gimana Hill, kata dokternya?" Uta dan Megan berdiri menyambut begitu aku keluar dari ruang periksa. "Kamu baik-baik saja, kan?" tanya Uta lagi dengan mimik wajah khawatir.Apakah aku baik-baik saja?Tergantung dari sisi mana melihatnya. Secara fisik, aku baik-baik saja, kata Dokter. Hanya butuh lebih banyak waktu untuk istirahat, makan yang cukup dan ya, membahagiakan diri. Jalan-jalan, refreshing lah. Lambungku juga baik-baik saja, tak ada yang cedera barang satu inci pun.Lalu, bagaimana bisa aku mengalami mual dan muntah yang cukup hebat akhir-akhir ini?Berdasarkan hasil pemeriksaan Dokter, semua itu karena aku masih belum bisa move on,
Aku bingung, Guys!Benar-benar bingung, mengapa Uta dan Megan malah memberi tahu Mama di mana alamat kosku? Apa itu bukan sebuah pengkhianatan namanya? Ya ampun! Uta kan, sahabat dekatku sejak bayi, mengapa malah berbohong seperti ini?"Oh, pantas saja mereka ke sini, Ta?" ketus, aku melontarkan sebuah kesimpulan. "Ternyata kamu ya yang ngasih tahu? Ckckckck, kok kamu tega kayak gitu sih Ta, sama aku? Aku kan, sudah bilang sama kamu … Sampai kapan pun, jangan kasih tahu Mama? Iya, kan? Karena aku tahu Ta, Mama pasti mengajak Tante Ariane!" dengan pengendalian diri yang gagal total, aku terus mencecar Uta. Ingin sekali rasanya mencakar-cajar wajahnya yang sedikit pucat karena morning sickness itu, sungguh.
Lemah, aku menggeleng-gelengkan kepala. Semua yang ditanyakan Uta itu tidak ada yang ingin aku lakukan. Hanya satu inginku saat ini, segera pulang ke kos. Di sanalah aku bisa menemukan segala bentuk kebebasan sekaligus kemerdekaan hidup. Tanpa drama, pengkhianatan dan kejahatan. Satu lagi, serangkaian tekanan dan paksaan."Oke, Hill." Uta menepuk-nepuk pundakku, melekatkan pandangan yang aku tak mengerti mengapa. Apakah dia tak percaya kalau aku memang tak ingin ke toilet, minum ataupun mengemil? Aneh!"Ta, kamu tahu nggak?" sederet kata tanya itu meluncur bebas dari mulutku.Uta mengerutkan dahi. "Nggak. Kenapa Hill, ada apa?"Entah mengapa aku malah tertawa cekikikan. Sadar tapi tak kuasa untuk m
Setengah sadar, aku menerima gelas putih transparan dari petugas laboratorium. Seramah dan sehangat apa pun dia melayani, tetap saja hatiku hancur. Remuk. Aku benar-benar takut sekarang. Bagaimana kalau perbuatan jahanam biadab Arnold dulu itu benar-benar membuahkan hasil?Maksudku, bagaimana kalau aku benar-benar hamil? Ya Tuhan! Apa yang harus aku lakukan sekarang?"Nanti kalau sudah ditampung, tolong diserahkan ke loket yang tadi ya, Mbak?""Eh, oh, iya Bu. Sa---ya ke toilet dulu. Permisi?"Petugas laboratorium itu tersenyum ramah. "Iya, silakan Mbak. Hati-hati, ya?"Aku tak menjawab. Tak mampu berkata-kata lagi untuk lebih tepatn
"Hill?"Aku tak menjawab panggilan Arnold. Canggung sekali rasanya berada dalam situasi ambigu seperti ini. Rasanya seperti terseret ke dalam sebuah film tanpa naskah. Aku yakin, aktris handal sekalipun akan kelimpungan, tak tahu harus bagaimana?"Hill?" Arnold menggenggam jari-jemari tanganku dan anehnya aku tak menolak. Padahal seharusnya seluruh rasa sakit dalam diri, mendorongku untuk menampiknya, bukan? Menampar, memukuli atau menendang. Aneh, aku memang aneh. Padahal sama sekali tidak minum wine lho. Tidak pernah. "I am very sorry for …?" Arnold mengusap-usap perutku dan entah bagaimana aku merasa nyaman.
Tidak tahu mengapa hari ini galau berat, Guys. Sampai-sampai aku menelepon Miss Kirana dan menceritakan semuanya dengan jujur, terbuka seperti biasa. Mulai dari pertemuan dengan Pak Verrel yang tak pernah kedua sebelumnya, sampai Arnold yang mangkir datang tadi pagi.Yeaaah!Dia tak mengirimkan breakfast tetapi tidak masalah. Toh, sudah menyediakan banyak persediaan makanan. Roti tawar, selai---coklat, kacang, strawberry---messes, butter, dan daging untuk isian. Roti tawarnya saja dua pack.Kalau aku mau memasak juga sudah ada bayam, jagung manis, brokoli, tomat, wortel, ayam tanpa tulang, bakso dan sosis. Nugget ayam sayur juga ada. Tadi aku sudah memeriksa lemari pendingin. Beras pun ada, lima kilo gram.
Arnold datang pagi-pagi sekali dan bukan hanya breakfast yang dia bawa melainkan TV, VCD dan beberapa kaset film. Semuanya baru. Katanya dia sengaja membelikan semua itu untukku, supaya tidak terlalu kesepian atau jenuh.Gombal!Katakan saja supaya aku tidak sempat berpikir untuk pergi ke luar rumah. Iya kan, Guys? Ingin tertawa tetapi takut tersedak dosa. Memangnya aku anak kecil yang polos?"To evening, I will bring you some story book." katanya lagi penuh percaya diri. "You still like reading book, don't you?"Aku mengangguk. "I do. Thanks."
"Hai, Hill!" kupikir Arnold akan mengingkari janji tapi ternyata tidak.Dia datang dengan membawa makan malam---kalkun panggang, nasi dan salad---juga satu kantong besar persediaan makanan dan minuman. Awalnya aku merasa baik-baik saja melihat semua itu. Terkesan baik, bertanggung jawab tetapi melihat gesture jahatnya, radar dalam diriku bekerja ekstra, memindai pengkhianatan."Hai, Arnold!" aku berusaha untuk tetap bersikap tenang saat menyapanya kembali. "You haven't bring me so many stocks of food and drink. I hold your promise in a long my life that you will here twice in a day. In the morning for sending me any breakfast dan in the evening for sending me any dinner."Arnold terlihat terkesiap, jadi aku me
Dalam bahasa Indonesia bercampur bahasa Inggris, aku memerangi si Bastard. "No, big no! Pokoknya aku nggak mau pergi. Kamu harus bisa menerima kami di sini, Arnold. This is your baby dan kamu harus bertanggung jawab. Jangan jadi laki-laki pengecut, Arnold!"Keledai saja tak mau terjatuh untuk yang ke dua kalinya, bukan? Takkan kubiarkan diri ini mengulangi kebodohan dan kesalahan yang sama. Aku wajib kuat dalam hal ini, sampai si Bastard mau menerima Adek Bayi. Setelah itu aku akan bebas, merdeka.Arnold terdesak. Terdiam. Jadi, aku melanjutkan, "You must know Arnold, there is not a man in the world touch me … Only you and that was very fierce! Kamu nggak akan bisa menhindar sekarang, Arnold. Hahahaha, jangan kamu pikir aku akan
"Hill, bangun Hill!" Pak Verrel mengguncang-guncang pundakku. "Kita sudah mendarat di Schiphol. Kamu baik-baik saja, kan?"Sebisa mungkin, aku membuka mata yang terasa lengket plus pedih. Sedikit menggeliat, mengusap-usap perut yang sedikit mengeras. Sakit."Eh, kamu nggak apa-apa kan, Hill?"Mengangguk kecil. Hanya itu yang bisa kulakukan."Oh, syukurlah." Pak Verrel terlihat lega. "Yuk, kita turun? Bytheway ini koper kamu, sudah saya ambillah tadi. Benar yang ini, kan?"Lagi, aku mengangguk. Berusaha untuk memberikan senyuman terima kasih. Membersihkan wajah dengan tisu basah, menyisir rambut. Merapikan sweater. Memastikan tak ada yang tertinggal.&n
"Ehem!" Pak Verrel berdeham menarik perhatian. "Kalau ditanya tapi nggak menjawab itu nggak sopan lho, Hill. Bisa jadi dosa juga."Eh?"Saya kan, bertanya karena perhatian sama kamu." blak-blakan Pak Verrel mengakui. "Ya, sebagai mantan karyawan, sih. Hehe. Sebagai sama-sama penumpang pesawat kelas bisnis jurusan Cengkareng - Schiphol. Mana seat kita bersebelahan lagi, kan? Tapi kalau kamu nggak suka saya perhatikan, ya nggak apa-apa."Aduh, apa yang harus aku katakan?"Saya, emh, sebenarnya …." kenyataan pahit membuatku tak mampu menyelesaikan kata-kata, tentu saja. Hanya mampu menggedikkan bahu, mati-mat
Mata Uta membulat besar. Mulutnya menganga sempurna seolah-olah aku baru saja mengatakan kalau aku akan pindah ke bulan dan takkan pernah berpijak di bumi lagi. "Nggak, nggak. Aduh … Sekali-kali jangan gila kenapa sih, Hill? Kali ini saja lah, please? Mana mungkin kamu ke sana? Emh, maksudku kamu kan nggak punya family di sana? Kemarin juga kan, ke sananya karena diundang Tante Ariane? Aduh Hill, percaya deh sama aku … Itu tuh, bahaya banget. Bahaya kuadrat."Aku tertawa cekikikan. "Yang gila tuh, siapa? Aku nggak gila kok Ta, hanya ingin finish the problem. Apa aku salah? Hanya di sana aku bisa finish the problem. Kamu tahu kan, Ta?"Uta meng
"Nggak Budhe, Hill nggak mau ketemu sama Mama!" aku berkeras. Memandang tajam dan dalam. Menunduk, membendung tangis. "Mama jahat, jahat. Hill jadi begini karena Mama. Papa meninggal juga karena Mama. Semua karena Mama." perlahan-lahan namun pasti aku mengangkat wajah, memandang dengan pandangan yang sama seperti tadi.Dua minggu sudah aku di rumah Bantul dan tidak menyangka sama sekali kalau ternyata Mama akan datang menjenguk. Lebih tidak menyangka lagi, dia tak sendiri melainkan bersama Tante Ariane dan Om Frank. Maksudnya? Ya ampun! Apa mereka masih belum sadar juga kalau merekalah sumber luka batinku? Sebenarnya mereka itu bodoh atau bagaimana, sih?"Budhe …?" antara sadar dan tidak, aku memanggilnya.Budhe tersenyum prihatin, sedih.