Mbak Nilam langsung memelukku erat-erat. Ekspresi kebahagiaan yang tak pernah tergambar sedikit pun dalam benakku. Bukan apa-apa. Aku takut kalau pada kenyataannya semua tak lagi sama.
Ya ampun!
Batik pasti sudah menceritakan tentang semuanya, kan? Oh, Mbak Nilam pasti juga sudah tahu kalau Mama ke sini, menekan Batik. Iya kan, Guys? Oh, apa sih yang sudah merasuki Mama? Bukankah selama ini dia selalu mengajarkan kepadaku untuk menikah bersama orang yang benar-benar mencintai aku? Bukan hanya orang yang benar-benar aku cintai? Karena hanya kekasih yang saling mencintai satu sama lainlah yang akan sama-sama bersetia dalam menjalani cerita kehidupan?
Big bulshit!
"Kapan dateng, sama si
Menggeleng lemah. Melepaskan tangan dari genggaman Batik. Menata perasaan agar lebih rapi. Minimal tidak seberantakan saat ini. "Mama nggak mungkin nyariin aku, B. Mama juga nggak tahu kalau aku kabur dari Netherlands."Ha, apa?Apa yang baru saja kukatakan pasa Batik, Kekasih Sejatiku? Mengapa kadang-kadang mulut ini tak bisa dikendalikan? Ya Tuhan!"Maaf, B …!" ucapku mulai terisak-isak lagi. Menyalami tangannya lagi. Berulang kali mengecup punggungnya. Punggung tangan preman kampus, ketua Geng MANGKRONG yang sudah secara alami mengkudeta seluruh hatiku. "Aku terpaksa melakukan ini, B. Sungguh, sumpah." lanjutku dengan air mata bersembulan dari pelupuknya, menambah pedih lahir dan batin. "Demi Tuhan!"
"Hill … Kamu kenapa, Hill?" Mbak Nilam mengguncang-guncang pundakku yang sudah basah oleh keringat dingin. "Kamu kenapa? Nggak apa-apa kan, Hill?"Jangankan menjawab pertanyaan Mbak Nilam, untuk sekedar menggetarkan bibir pun aku tak mampu lagi. Sungguh, hanya bisa bernapas, terengah-engah di antara bayang-bayang jahat Arnold. Menyakitkan, menakutkan. Oh, ooohhh, kenapa Arnold sampai hati melakukan hal sejahat itu padaku? Dia sendiri kan yang mengatakan kalau aku ini sahabatnya? Begitulah seorang sahabat?Jahat. Jahat. Jahat."Why do you help me, Arnold?" (Kenapa kamu membantuku, Arnold?) tanyaku pagi itu waktu dia mengantarkan makan pagi ke markas pelariannya.
"Ya sudah sih, kalau Mbak Hill nggak mau!" simpul Taruntum membuatku sedikit tergoda untuk memikirkan apa yang sebenarnya terjadi. Di balik rujakan mode on yang dia katakan itu tadi lho Guys, maksudku.Pertama, Batik tidak sebodoh itu, tentu saja. Untuk apa dia mengajakku melakukan hal-hal yang berbahaya? Bukankah kami sedang dalam perjuangan untuk menyatukan jiwa dan raga dengan segenap cinta yang bertumbuh di pelataran hati? Apalah artinya segala perjuangan jika tiba-tiba Mama datang dan memaksaku untuk ikut dengannya? Nol Besar.Ke dua, mungkin tidak sih Taruntum ini sebenarnya pengkhianat? Mata-mata bayaranlah, kalaupun tidak bisa dikatakan pengkhianat. Ya Tuhan! Dia kan tahu tentang semua pergerakan kami di sini?Eh!
"Mbak Nilam?" sebisa mungkin aku mengutuhkan kekuatan diri untuk memanggilnya mendekat. "Gimana ini, Mbak?"Mbak Nilam memasang sikap diam. Menyebarkan pandangan ke sekitar setelah sejenak memandangku dengan sorot mata yang sulit untuk kuterjemahkan. "Biar Mbak masukkan tas sama koper kamu ke bagasi dulu ya, Hill?"Melihat sikap gigih Mbak Nilam, kekuatan dalam diriku kembali utuh dan besar sehingga inilah yang kulakukan dengan sepenuh kesadaran. Melepaskan cincin yang masih melingkari cincin manis sebelah kiri, menyerahkan pada Tante Ariane."Hill, oh Hill?""Maaf Tante, Hill nggak bisa melanjutkan semua ini. Hill nggak bisa menikah dengan Aldert." di sini aku sangat bersyukur, walaupun sempat ter
Oh Guys, rasanya hidupku sudah benar-benar hancur sekarang. Lebur, tergiling halus. Lebih halus dari pada daging sapi bakal adonan bakso beranak. Oh, sungguh aku tak tahu harus bagaimana?Bagaimana caranya untuk bangkit? Berdiri dengan tegak, membuka mata senormal mungkin---seperti waktu masih ada Batik di sini---menatap setiap penjuru dunia. Memandang jauh ke depan, merenda kembali harapan yang telah koyak di sana sini selayaknya pakaian para prajurit yang gugur di medan perang. Koyak-koyak, berlumur darah.Hahahaha … Dulu, dulu aku memilih untuk menolak Batik. Memutuskan untuk membenci setiap rasa sakit yang dihujamkannya, pergi dan mengubur dalam-dalam perasaan cinta yang kian subur bertumbuh. Melupakan segala yang pernah ada ataupun terjadi di antara kami selama ini. Menghilang.
Mama berniat menjengukku di kos siang ini jadi dia menelepon. Terus terang belum siap bertemu. Melihat pun belum siap, sungguh. Tahukah Mama, untuk bisa menerima teleponnya saja sudah merupakan sesuatu yang luar biasa bagiku?Oh, untung aku tidak memasukkan kontaknya ke dalam daftar hitam. Tidak juga screening pesan pendeknya. Mama juga masih bisa mengirimkan pesan di chat room. Ya, walaupun nyaris tak pernah membalasnya, sih. Tapi seharusnya dia bersyukur, kan?Hello, Guys!Seharusnya Mama tahu kan, sadar semua penderitaan yang kualami dalam hidup ini karena siapa? Karena Mama. Oh, kalian wajib tahu sekarang Guys, kalau ternyata meninggalnya Papa di tangan perampok dulu itu juga karena Mama.Bodoh
Sepulang dari rumah Uta aku lebih banyak berbaring di tempat tidur. Bergelung dalam selimut. Rasanya sakit di sekujur tubuh. Lemas. Mungkin karena tiga kali muntah-muntah hebat waktu di rumah Uta dan satu kali waktu baru sampai di rumah. Sebenarnya malam ini ada janji dengan Budhe, mau makan bersama di rumah makan Pelem Golek tapi kubatalkan. Selain lumayan jauh dari kos, tubuh juga sepertinya tidak memungkinkan. Budhe sempat kecewa sih tapi bagaimana lagi? Tidak mungkin kan, memaksakan diri? Alhasil, Budhe chat aku sekitar sepuluh menit yang lalu. Katanya dia mau ke kos, sekalian membawa makan malam untuk kami. Menu paling spesial di rumah makan Pelem Golek. Katanya lagi, kalau aku belum sembuh juga, mau menginap di kos. Sungguh, ini sangat sederhana tapi menjadi sangat berharga.
"Oh Hill, this is a book for you!" (Oh Hill, ini buku buat kamu!) Arnold meletakkan kantong plastik berwarna biru langit polos dengan gambar selembar daun maple hijau di tengah-tengahnya. "I bought it yesterday morning. Enjoy the story, Hill!" (Aku membelinya kemarin pagi. Selamat menikmati ceritanya, Hill!)YOUR RINGPenuh rasa terima kasih aku membaca judulnya. "So Arnold, when you bought me a tiket?" (Jadi Arnold, kapan kamu memberikan aku tiket?" tanyaku sambil memandang lekat-lekat manik matanya. "Almost three days I am here and really I don't want to make you ha