Megan melepas tag nama yang menempel didadanya dan menyerahkan pada manajer kafe didepannya.
"Megan, Megan. Kamu salah mencari lawan. Papa perempuan yang datang bersama pacarnya kesini adalah sahabat dari pemilik kafe ini. Maaf saya tidak bisa membantu kamu," ucap manajer itu.
Megan melangkah gontai keluar dari ruangan manajernya. Pacar Tristan benar-benar melaporkan Megan pada pemilik kafe yang membuat Megan dipecat saat itu juga.
Galang yang melihat itu mencegat Megan. "Dipecat?"
"Semangat ya!" Megan mengepalkan tangannya layaknya seorang motivator.
Raut wajah Megan dan ucapannya sudah menjadi jawaban atas pertanyaan Galang.
Galang memeluk Megan, memberi semangat padanya. Satu tahun menjadi partner bekerjanya membuat Galang menyayangi Megan seperti adiknya sendiri.
Megan menatap bangunan ini untuk yang terakhir kalinya. Bangunan yang banyak memberinya cerita, pengalaman dan tentunya bangunan yang memberinya biaya untuk melanjutkan hidup.
'Semangat Megan! Kamu harus bisa!'
Desahan kecewa lolos dari bibirnya. Walaupun Megan sudah bekerja sebagai penyebar brosur juga, namun itu pekerjaan tidak tetap yang sewaktu-waktu pekerjaannya bisa dihentikan.
Megan tengah mencari lowongan pekerjaan tetap yang pas untuk dirinya. Kriteria usia menjadi penghalang utama Megan mendapatkan pekerjaan yang baru. Ada batas maksimal usia untuk tiap lowongan yang ia minati.
Matilah Megan kalau sampai minggu depan ia belum mendapatkan pekerjaan yang baru.
***
"Megan," panggil Arista.
Megan yang baru pulang itu kaget mendapati mamanya duduk di sofa dengan luka lebam di pipi.
Tasnya dilempar begitu saja dan Megan segera menghampiri mamanya. "Mama dipukul?" tanya Megan.
"Mama jatuh tadi. Kamu kok udah pulang?" tanya Arista mencoba mengalihkan perhatian Megan tapi sepertinya Megan tidak terpengaruh.
Tangan Megan masih menjelajahi wajah mamanya, memeriksa apakah ada luka lain lagi. Wajah mamanya masih nampak cantik, walaupun sudah mulai berkeriput.
Tidak ada lagi bulu mata disana, tidak ada lagi perona pipi dan mata, tidak ada gincu menghias bibirnya. Semua hilang bersamaan dengan bangkrutnya usaha Bastian.
Namun, Megan tahu mamanya bukan orang yang segampang itu mengeluh. Bahkan saat dititik terendah sekalipun, Arista masih bisa tersenyum dan menenangkan, berkata bahwa semua akan baik-baik saja.
"Mama bohong. Mama dipukul kan sama orang itu?"
"Mana lagi yang dipukul, Ma?"
"Anting Mama dimana? Diambil sama dia?"
Arista terdiam, ia seperti menahan sakit pada badannya. Tubuhnya sudah tidak sesegar dulu, kini habis digerogoti penyakit.
Brak.
Arista terjatuh. Ia tidak sadarkan diri di pelukan Megan. Megan yang kaget dan panik, lalu berteriak meminta pertolongan.
Satu jam kemudian...
Langkah setengah berlari disertai isakan dan panggilan Megan untuk mamanya, berharap mamanya membuka mata untuk menjawab panggilannya.
Harapannya pupus saat tiba didepan ruang ICU. Megan melihat dengan mata kepalanya, defibrilator* itu diletakan di dada. Gerakan berulang itu terjadi dua hingga tiga kali, hingga akhirnya tim medis meletakan alat itu di meja.
Megan meluruh melihat itu. Kakinya seakan tidak kuat menopang badannya, Megan jatuh terduduk.
Pintu ICU terbuka dan kata maaf yang diucapkan oleh Dokter itu cukup mewakili rentetan kalimat yang selanjutnya.
Dunia Megan rasanya runtuh. Setelah cobaan yang bertubi-tubi, bahkan semesta dengan teganya mengambil satu-satunya semangat hidupnya.
Jadi untuk apa Megan melanjutkan hidup?
***
Sudah dua hari berlalu semenjak kematian ibunya yang disebabkan pecahnya pembuluh darah karena benturan di kepala.
Lelaki bernama Bastian yang menyandang status sebagai ayah biologisnya tidak juga nampak.
Megan terdiam dikamar, memandang seutas tambang yang terletak didepannya. Setan berlomba-lomba membakat emosi Megan dan mematikan akal sehatnya untuk meraih tambang itu.
Sampai pintu kamarnya didorong dengan keras dari luar. Megan tersentak, bau minuman keras menyebar kemana-mana, membuat Megan refleks menutup hidungnya.
Panjang umur!
Baru diomongin udah datang orangnya.
"Minta duit!"
Apa yang kelakuan seperti ini pantas disebut orang tua?
"Nggak ada duit," jawab Megan ketus.
Uangnya benar-benar sudah habis. Bahkan untuk biaya pemakaman ibunya, Megan meminjam uang pada Galang.
"Cepetan! Minta duit!"
"MEGAN NGGAK PUNYA DUIT LAGI, PA!" teriak Megan, marah. Bahkan ia sampai berdiri saat berteriak.
Gemuruh di dadanya membuat emosinya meledak. Semua yang dipendam Megan selama ini seperti bom waktu dan saat ini siap diledakan.
"BERANI NGELAWAN YA?!"
Tangan Bastian sudah terangkat untuk menampar Megan, tapi satu suara dibelakangnya menghentikan gerakan tangan lelaki itu.
"Wah, anak lo boleh juga. Kenapa nggak bilang kalo punya anak cewek?"
Seorang lelaki dengan tampilan preman dan kacamata di atas kepala menyela. Mata itu menatap tajam pada Megan seakan ingin mengulitinya.
Megan yang dilihat seperti itu langsung meraih jaket untuk menutupi badannya dari padangan liar lelaki itu.
"Lo mau? Gue jual nih," ujar Bastian.
Antara sadar atau tidak dengan ucapannya, yang jelas ucapan Bastian membuat Megan mengutuk perbuatan lelaki yang ia sebut papa itu.
"Lo masih punya utang sama Bos Marco. Sebutin aja butuh berapa, gue bawa anak lo. Sisa duitnya lo ambil di tempat biasa."
Tawa sumbang Bastian terdengar memuakan di telinga Megan. Ia masih berharap semoga sisi kemanusiaan papanya masih berfungsi untuk tidak menjualnya, biar bagaimanapun Megan ini darah dagingnya.
Megan menggeleng berulang kali, sebagau isyarat ia memohon pada papanya agar tidak dijual.
Tapi Bastian tidak mempedulikan Megan, ia malah mengulurkan tangan pada lelaki preman itu dan terucap kata deal. Sebagai tanda bahwa kesepakatan sudah diambil.
***
Megan meronta saat diseret paksa oleh dua orang lelaki. Tidak ada satupun warga yang berani menolongnya, karena sama saja bunuh diri jika mereka menolong Megan. Terdapat luka disudut bibir Megan karena tamparan saat ia hendak melarikan diri.
Sedangkan Bastian? Ia tertawa seakan tidak ada rasa bersalah sedikitpun setelah kematian istrinya dan menjual anaknya.
"Kalau anak lo bagus. Bos Marco pasti berani bayar mahal," kata lelaki preman itu.
"Pasti bagus! Gue jamin!" balas Bastian dengan penuh keyakinan.
Megan didorong paksa masuk kedalam mobil dan didalam mobil ia diapit oleh dua orang.
Sepertinya penderitaan Megan tidak berhenti sampai disini.
***
Mobil itu memasuki sebuah pekarangan rumah yang sangat luas. Terdapat beberapa pengawal yang berjaga disana, pintu mobil dibuka dari luar begitu mobil itu berhenti.
Megan yang tidak mau keluar membuatnya mendapat satu tamparan lagi dipipinya, membuat Megan meringis kesakitan. Mau tidak mau Megan keluar dari mobil.
Terlihat sebuah tangga didepannya begitu Megan keluar dan diakhir tangga itu terdapat pintu dua sisi yang berwarna putih gading. Megan menaiki tangga itu dengan lambat-lambat, ia tidak tahu ini tempat apa.
Begitu pintu dibuka, sebuah ruangan yang cukup besar terpampang di depan mata. Lantainya terbuat dari batu marmer dan sebuah lampu gantung yang sangat indah menghiasi bagian atas ruangan itu. Beberapa kursi layaknya kursi kerajaan tertata apik disana, terdapat juga beberapa meja yang diatasnya berisi gelas kosong, beberapa botol minuman keras bermerk terletak disisi gelas itu.
Dindingnya didominasi warna putih dan emas, membuat ruangan itu nampak semakin mewah dan elegan.
Ternyata diujung ruangan ada sebuah panggung kecil dengan tirai berwarna merah disana. Membuat Megan berpikir tempat ini seperti tempat pertunjukan teater.
Megan digiring masuk ke dalam sebuah kamar. "Jangan kabur kalau nggak mau mati," ucap lelaki yang membawanya.
Pintu kamar itu tertutup menyisakan Megan sendirian di dalam kamar itu. Disana hanya terdapat satu jendela dan jendela itu dilapisi teralis besi. Megan tidak bisa kabur dari sana.
Megan harus memutar otak untuk melarikan diri dari sini. Jika berujung sama-sama mati, Megan tidak mau mati konyol di tempat asing ini.
***
Bersambung...
Perkataan Angela berpengaruh dalam sisa hari Mark. Pernyataan bersedia gadis itu yang artinya mau tidak mau Mark harus mengikuti permainan Angela untuk berpura-pura dan itu membuat mood Mark terjun bebas."Pedro, apa malam ini La Hosta buka?" tanya Mark.Pedro yang sedang berdiri mengamati sekitar, lalu menjawab, "buka, Tuan. Tuan Mark ingin kesana?"Mark berdehem sebagai jawabannya lalu ia kembali mengokang pistolnya, menutup satu matanya dan menekan pelatuk.Menembak adalah salah satu pelampiasan yang Mark lakukan saat pikirannya dan emosinya tidak stabil. Seperti saat ini, ia butuh pelampiasan agar suasana hatinya membaik.Selain menembak ada satu cara pelampiasan lain yang biasa Mark lakukan.***Pintu kamar dibuka dari luar, badan Megan diguncangkan beberapa kali. Begitu matanya terbuka, sebuah pakaian dilemparkan padanya.&nb
"Kenapa tidak sekalian saja kau buka bajumu?" Megan berhenti. Netra hazelnya menatap pada lelaki yang tadi menyebutkan angka satu milyar. Apa maksud perkataan lelaki ini? Ini sudah termasuk pelecehan bukan? "Maaf, anda bilang apa?" tanya Megan. Mark memandang sinis ke arah Megan. Anda katanya? Apa perempuan ini sedang bermain drama? Berpura-pura tidak mengenalinya? Memang tidak salah jika julukan Ratu Drama disematkan padanya semasa kuliah. Baiklah, Mark akan meladeni sampai dimana ia mampu bermain drama. "Kenapa tidak sekalian kau buka bajumu?" tanya Mark. Gelas wine ditangannya sudah berpindah di meja. Mark memutar kursinya menghadap Megan, tangannya bersidekap, kakinya menyilang dan matanya intens terfokus pada Megan yang terlihat kebingungan dengan ucapannya. "Aku sudah membelimu satu milyar, jadi
Megan terbangun di sebuah ruangan yang berbeda, ruangannya tidak sebesar yang sebelumnya. Setelah kejadian semalam, Mark dengan tidak berperasaan mengusir Megan begitu saja keluar dari kamarnya. Ternyata ruangan sebelumnya yang ditempati Megan itu adalah kamar Mark, pantas saja luasnya membuat berdecak kagum. Tapi ruangan yang Megan tempati sekarang pun tidak kalah luas dan mewah untuk ukuran kamar tidur, bahkan lebih luas jika dibandingkan dengan kamar tidur dirumah mewah Megan dulu. Nuansa putih dan krem mendominasi disana, satu lampu gantung raksasa berkilau menancap di plafon tengah ruangan, dua lemari besar ada di sisi ranjang, satu sofa terletak di depan ranjang ditambah tv layar datar yang tiba-tiba muncul dari dalam tembok jika Megan memencet remotenya. Tok... Tok... Tok... Megan belum selesai mengagumi kamar yang ia tempati saat pintu diketuk. Ia mengerjapkan mata beberapa kali untuk
Megan adalah perempuan pertama yang dibawa Mark ke mansion ini selama Paula bekerja untuk Mark. "Pau? Mark itu orangnya seperti apa?" tanya Megan pada Paula yang sedang sibuk merapikan tanaman hias gantung. "Tuan Mark itu tidak bisa dibantah Nona. Tapi sebenarnya dia baik," jawab Paula. Huh, baik? Paula mengatakan itu karena Mark menggajinya. "Dia menakutkan ya?" Paula tertawa, lalu menoleh menatap Megan. "Nada bicara Tuan Mark memang seperti itu." "Boleh aku berkeliling tempat ini?" tanya Megan. Paula mengangguk. "Asal jangan naik ke lantai 3," Paula mengingatkan, jikalau Megan lupa. "Memang ada apa di lantai 3?" Megan ini tipe yang rasa penasarannya tinggi. Jika dilarang maka ia akan semakin penasaran. "Saya juga tidak tahu. Tapi sejak pertama saya bekerj
"Peraturan ketiga segera dimulai." Megan tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya. Ia ingin bergerak namun tubuh Mark mengunci pergerakannya. "Mau melakukan disini atau dikamarku?" tanya Mark. Suara rendah Mark penuh gairah dan tuntutan. Megan mati kutu. Lagipula kenapa ia bisa tertidur disini? Alih-alih masuk kamar dan mengunci pintunya. Tatapan tajam Mark masih setia mengintimidasi Megan yang berada dibawahnya. Mark fokus menelusuri wajah Megan, matanya, hidungnya, bibirnya dan senyum Megan yang dulu membuat Mark merasakan luka. Karena senyum itu yang menjerat Mark dan berakhir menjadi bahan taruhan. "Bangun!" sentak Mark tiba-tiba. Ia menarik bahu Megan kasar sehingga perempuan itu terduduk. Pergelangan tangan Megan di cengkeram Mark, terlihat bahwa Mark berupaya menarik Megan memasuki kamarnya. Megan mati-matian melawa
Ruangan yang dipenuhi warna hitam dan coklat itu hening. Lima belas orang yang hadir disana, sudah duduk dikursi masing-masing tanpa suara. Fokus mata mereka berada di satu titik, didepan. Theo, asisten dan orang kepercayaan Mark bersuara didepan, memimpin rapat siang ini. Mark tidak akan bicara jika tidak diperlukan atau ada yang salah. Jadi selama Mark diam itu tandanya laporan yang mereka setorkan baik-baik saja, Mark tidak mentolerir kesalahan dalam laporan yang digunakan untuk bahan evaluasi dalam meeting. Sekecil apapun itu. 45 menit waktu meeting akhirnya selesai juga. Ditutup dengan hasil akhir bahwa proyek salah satu hotel yang ada di Negeri Gajah Putih akan selesai tiga bulan kedepan, setelah itu Mark dan beberapa petinggi perusahaan akan terbang kesana untuk melakukan peresmian. Mark meninggalkan ruang meeting terlebih dahulu. Sambil berjalan, Mark meraih ponsel didalam saku, ia memencet nomor tele
Tamatlah riwayatmu, Megan! Megan meringis saat Mark menariknya paksa. "Sedang apa disini? Menjual diri pada lelaki lain?" sindir Mark tajam. Perkataan Mark itu membuat Galang geram, kasar sekali laki-laki ini. Galang maju dan mendorong dada Mark namun cekalannya pada Megan tidak terlepas. "Jangan kasar sama cewek!" Mark yang terdorong mundur, maju kembali, dengan tatapan merendahkan ia melihat pada Galang. Biasa saja. Apa selera Megan sudah anjlok? Galang sudah mengepalkan tangan dan hampir melayangkan tinjunya pada Mark, namun Megan secara mendadak berdiri dihadapan Mark. Kedua tangan Megan terentang dan matanya terpejam, menanti tinju yang mendarat di wajahnya namun Megan tidak merasakan apapun. Saat matanya terbuka, Megan melihat kepalan tangan Galang menggantung diudara. "Lo ngapain disitu? Minggir!" bentak Galang.
Dua perempuan itu sama terkejutnya dengan Megan, apalagi melihat bibir Megan yang membengkak dan sedikit mengeluarkan darah."Perempuan liar manalagi yang kau bawa, Mark?"Megan yakin kata-kata itu merujuk padanya, Megan ingin membuka mulut untuk mengeluarkan bantahan bahwa ia tidak seperti itu.Namun perintah Mark lebih dahulu terdengar. "Pedro, bawa dia ke bilik."Pedro yang memang selalu siap untuk menerima perintah apapun dari Mark —bahkan ketika Mark meminta nyawanya, mungkin Pedro akan dengan senang hati memberikan, menunduk patuh.Teriakan Megan menghilang bersamaan dengan pintu ruang meeting yang tertutup, begitu juga gawai Mark yang kembali masuk ke sakunya."Mama, kenapa mendadak kesini bersama Angela?"Angela, yang sedari tadi berdiri tidak jauh dari Thalia, kini berjalan menghampiri Mark. "Memangnya aku tidak boleh
"Can you feel it?" tanya Mark seraya menekan sesuatu yang sudah mengeras dibawah sana ke tubuh Megan.Mark kembali melumat bibir Megan ketika tahu perempuan itu akan melayangkan protes. Sementara jemarinya bergerak kebawah, mengusap dan membelai inti Megan, membuat perempuan itu melenguh dan menggeliat di tempatnya.Tok... Tok... Tok..."Tuan Mark, meetingnya sudah bisa dimulai."Terdengar panggilan dari luar sana, membuat Mark menggeram tertahan. Mark melihat jam tangannya, sudah jam 1 siang lewat, pantas saja Theo memanggilnya.Gilanya, Mark bukannya berhenti tapi malah semakin gencar melakukan aksinya."No moan, Megan." Mark menyeringai melihat Megan yang panik karena panggilan Theo."Kau ambil alih dulu meetingnya, 15 menit lagi aku kesana," jawab Mark cukup lantang."Baik," balas Theo, kemudian terdengar suara langkah kaki yang menjauh dari sana.Megan menatap nanar Mark, memohon agar lelaki itu berhenti yang tentu saja diabaikan oleh Mark."Kau sudah basah. Aku akan melakukannya
["Bawa laporan yang kuminta ke ruanganku sekarang!"]Rasanya Megan ingin mengumpat setelah menerima telepon. Bukan karena laporannya belum selesai, namun karena Mark langsung mematikan telepon begitu saja tanpa menunggu jawaban Megan.Perempuan itu bergegas mengambil beberapa lembar kertas yang sudah ia cetak, terdapat beberapa angka yang ia tandai dengan stabilo berwarna."Kau mau kemana?"Ah, Megan hampir saja melupakan Luke kalau pria itu tidak buka suara."Mark meminta laporanku, aku harus kedalam," jawab Megan seraya berjalan menjauhi Luke."Aku ikut!" sahut Luke cepat sambil berjalan mengekori Megan.Megan hanya mengangkat bahu acuh dengan permintaan Luke itu.Tangan Megan mengetuk pintu ruangan Mark, ia tidak mau langsung masuk ke ruangan itu. Biar bagaimanapun ia masih bisa menjaga etika saat bekerja, apalagi kesalahan sekecil apapun yang Megan buat selalu dimanfaatkan oleh Mark."Masuk!" Tanpa menunggu perintah dua kali, Megan membuka pintu itu."Sedang apa kau disitu?"Dahi
"Pau!" teriak Mark dari ruang makan.Tergopoh-gopoh, Paula datang menghampiri tuannya yang baru saja selesai menghabiskan sarapan. "Iya,Tuan?""Aku sudah terlambat meeting. Jika Megan keluar dari kamarnya, suruh ia menunggu. Pedro akan menjemputnya."Paula mengangguk. "Baik, Tuan."Setelah mempertimbangkan beberapa hal, Mark mengambil keputusan yang dianggapnya paling baik.Ia tidak mau mengambil resiko Megan kabur lagi jika membiarkan perempuan itu pergi ke kantornya sendiri. Mark juga tidak mau terlambat menghadiri pertemuan pentingnya lantaran harus menunggu Megan.Terkadang Mark berpikir, siapa sebenarnya bos disini? Ia atau Megan? Mark mengemudikan mobilnya sendiri ke sebuah hotel yang dijadikan tempat pertemuan. Ia batal meminta Pedro untuk mengantarnya karena lelaki itu harus menjemput Megan.Beberapa hari belakangan ini sikap Megan sudah melunak, hal itu juga yang membuat Mark sedikit bersikap lembut pada perempuan itu. Tapi tetap saja,
Angela sudah lebih dulu tiba di sebuah kafe dan tidak lama kemudian seorang lelaki setinggi 180 senti masuk ke dalam kafe juga. Lelaki itu tampan, mengenakan kemeja lengan pendek berwarna biru langit, dipadukan dengan celana jins berwarna senada.Saat melangkah masuk pun lelaki itu mencuri atensi sebagian pengunjung perempuan, setiap mata memandang dan mengikuti gerak langkah dari lelaki itu. Namun terlihat gurat kecewa saat pandangan lelaki itu tertuju kepada satu perempuan cantik yang duduk seorang diri.Satu senyuman manis terbit dari bibir lelaki itu saat melihat Angela, dengan cepat ia berjalan menuju kursi Angela. Saat Angela berdiri, lelaki itu langsung menarik Angela masuk dalam pelukannya seraya menghujani keningnya dengan kecupan."Maaf telat," ujar lelaki itu."It's okay, Jo."Angela menarik lelaki bernama Jovan itu agar duduk disampingnya. Dimata Angela, Jovan sempurn
Mark menggeliat karena hangat cahaya matahari yang menembus masuk melalui gorden jendelanya.Lengan kanan Mark rasanya kebas sekali. Tangan kirinya bergerak mengambil gawai dan melihat jam berapa sekarang.Mark terkejut mendapati jam sudah di angka 7 pagi. Lebih terkejut lagi saat ia mendapati Megan masih meringkuk di sampingnya.Perempuan itu menjadikan lengan Mark sebagai bantal dan wajahnya menghadap pada Mark. Bisa Mark rasakan hembusan napas hangat Megan menerpa dada telanjangnya.Wajah Megan terlihat damai dan manis saat terlelap seperti ini. Tangan Mark menggantung didepan wajah Megan, tepat ketika ia ingin mengusap pipinya. Mark takut Megan akan terbangun karena sentuhannya.
"Ehem!" Deheman Mark menghentikan obrolan Megan dan Luke. Dua respon berbeda di tampilkan untuk menyambut Mark. Luke dengan wajah sumringahnya dan Megan dengan wajah terkejutnya. "Oh, kau kesini dengan tunanganmu?" tanya Luke, sepertinya ia sengaja mengeraskan suaranya. Angela tersenyum ramah pada Luke saat melihatnya, kemudian ia mengangguk. "Ayo, duduk! Pesanlah makan. Aku dan Megan sudah memesan duluan tadi, mungkin sebentar lagi pesanan kami datang."
Megan masih berkutat dengan laporan-laporannya kemarin yang salah. Sedangkan Mark, ia pergi bersama dengan Pedro setelah menurunkan Megan di lobi kantor. Sedikit lagi laporannya selesai dan Megan bisa bernafas lega untuk istirahat. Tenggorokan Megan kering, mungkin karena ia terlalu fokus dengan pekerjaannya hingga lupa minum. Megan melakukan peregangan sebentar pada tubuhnya, lalu ia beranjak menuju dispenser air yang terletak tidak jauh dari meja kerjanya. "Ck! Habis," gerutu Megan saat tahu galonnya kosong. Ia menelengkan kepalanya ke pojok ruangan, ternyata juga sama. Cadangan air minum disana habis semua.
Megan diam di kamarnya dan baru keluar saat jam makan malam. Menurut Megan, di mansion ini hanya kamarnya tempat teraman. Walaupun sebenarnya tidak ada tempat yang betul-betul aman disini.Mark tidak nampak di ruang makan saat Megan tiba disana, hanya ada Paula yang sedang menyiapkan makan malam."Pau, ada yang bisa kubantu?"Paula yang mendengar suara Megan menggelengkan kepala. "Tidak ada. Nona duduk saja disana, itu sudah membantu."Berada di mansion ini cukup lama membuat Megan tahu jika mendebat Paula itu percuma. Jadi Megan menuruti Paula dengan mendaratkan bokongnya di salah satu kursi.Di atas meja sudah terdapat beberapa menu seperti Soupe a l'oignon alias sup bawang perancis, Gratin Dauphinois yang berbahan dasar kentang, Carbonara dan Ravioli juga ada disana. Selain itu ada dessert yang membuat Megan tergoda karena bentuknya yang cantik, Creme Brulee atau kue lumpurnya
Megan berjalan dengan cepat menuju ruang VIP di kantin, ia membuka pintu dan segera duduk dikursi yang ada. Mark yang melihat penampilan Megan mengerutkan dahinya. Perempuan ini habis melakukan apa di toilet? "Kenapa lama sekali?" tanya Mark. "Antri," jawab Megan asal. Apa toilet perusahaannya kurang banyak sampai membutuhkan waktu tiga puluh menit untuk disana? "Kenapa bajumu?" "Basah. Terkena cipratan air," jawab Megan, kali ini ia tidak menjawab asal. "Baiklah. Aku akan menghubungi tukang ledeng untuk memeriksanya." "Ini kesalahanku. Tidak ada yang salah dengan toiletnya." Megan mendongak yang otomatis membuat tubuh bagian depannya terekspose. Mark menelan ludah melihatnya. Ia meletakan sendoknya cukup keras hingga membentur piring, lalu berdiri dan meng