Angela sudah lebih dulu tiba di sebuah kafe dan tidak lama kemudian seorang lelaki setinggi 180 senti masuk ke dalam kafe juga. Lelaki itu tampan, mengenakan kemeja lengan pendek berwarna biru langit, dipadukan dengan celana jins berwarna senada.
Saat melangkah masuk pun lelaki itu mencuri atensi sebagian pengunjung perempuan, setiap mata memandang dan mengikuti gerak langkah dari lelaki itu. Namun terlihat gurat kecewa saat pandangan lelaki itu tertuju kepada satu perempuan cantik yang duduk seorang diri.
Satu senyuman manis terbit dari bibir lelaki itu saat melihat Angela, dengan cepat ia berjalan menuju kursi Angela. Saat Angela berdiri, lelaki itu langsung menarik Angela masuk dalam pelukannya seraya menghujani keningnya dengan kecupan.
"Maaf telat," ujar lelaki itu.
"It's okay, Jo."
Angela menarik lelaki bernama Jovan itu agar duduk disampingnya. Dimata Angela, Jovan sempurn
"Pau!" teriak Mark dari ruang makan.Tergopoh-gopoh, Paula datang menghampiri tuannya yang baru saja selesai menghabiskan sarapan. "Iya,Tuan?""Aku sudah terlambat meeting. Jika Megan keluar dari kamarnya, suruh ia menunggu. Pedro akan menjemputnya."Paula mengangguk. "Baik, Tuan."Setelah mempertimbangkan beberapa hal, Mark mengambil keputusan yang dianggapnya paling baik.Ia tidak mau mengambil resiko Megan kabur lagi jika membiarkan perempuan itu pergi ke kantornya sendiri. Mark juga tidak mau terlambat menghadiri pertemuan pentingnya lantaran harus menunggu Megan.Terkadang Mark berpikir, siapa sebenarnya bos disini? Ia atau Megan? Mark mengemudikan mobilnya sendiri ke sebuah hotel yang dijadikan tempat pertemuan. Ia batal meminta Pedro untuk mengantarnya karena lelaki itu harus menjemput Megan.Beberapa hari belakangan ini sikap Megan sudah melunak, hal itu juga yang membuat Mark sedikit bersikap lembut pada perempuan itu. Tapi tetap saja,
["Bawa laporan yang kuminta ke ruanganku sekarang!"]Rasanya Megan ingin mengumpat setelah menerima telepon. Bukan karena laporannya belum selesai, namun karena Mark langsung mematikan telepon begitu saja tanpa menunggu jawaban Megan.Perempuan itu bergegas mengambil beberapa lembar kertas yang sudah ia cetak, terdapat beberapa angka yang ia tandai dengan stabilo berwarna."Kau mau kemana?"Ah, Megan hampir saja melupakan Luke kalau pria itu tidak buka suara."Mark meminta laporanku, aku harus kedalam," jawab Megan seraya berjalan menjauhi Luke."Aku ikut!" sahut Luke cepat sambil berjalan mengekori Megan.Megan hanya mengangkat bahu acuh dengan permintaan Luke itu.Tangan Megan mengetuk pintu ruangan Mark, ia tidak mau langsung masuk ke ruangan itu. Biar bagaimanapun ia masih bisa menjaga etika saat bekerja, apalagi kesalahan sekecil apapun yang Megan buat selalu dimanfaatkan oleh Mark."Masuk!" Tanpa menunggu perintah dua kali, Megan membuka pintu itu."Sedang apa kau disitu?"Dahi
"Can you feel it?" tanya Mark seraya menekan sesuatu yang sudah mengeras dibawah sana ke tubuh Megan.Mark kembali melumat bibir Megan ketika tahu perempuan itu akan melayangkan protes. Sementara jemarinya bergerak kebawah, mengusap dan membelai inti Megan, membuat perempuan itu melenguh dan menggeliat di tempatnya.Tok... Tok... Tok..."Tuan Mark, meetingnya sudah bisa dimulai."Terdengar panggilan dari luar sana, membuat Mark menggeram tertahan. Mark melihat jam tangannya, sudah jam 1 siang lewat, pantas saja Theo memanggilnya.Gilanya, Mark bukannya berhenti tapi malah semakin gencar melakukan aksinya."No moan, Megan." Mark menyeringai melihat Megan yang panik karena panggilan Theo."Kau ambil alih dulu meetingnya, 15 menit lagi aku kesana," jawab Mark cukup lantang."Baik," balas Theo, kemudian terdengar suara langkah kaki yang menjauh dari sana.Megan menatap nanar Mark, memohon agar lelaki itu berhenti yang tentu saja diabaikan oleh Mark."Kau sudah basah. Aku akan melakukannya
Ranjang itu bergoyang tanpa decitan. Temaram lampu kamar menambah panasnya suasana, sekalipun pendingin ruangan sudah dinyalakan. Dan diatas ranjang, dua sosok manusia bergerak, berpacu, berlomba menuntaskan hasratnya.Pakaian yang berserakan begitu saja dilantai menjadi bukti ganasnya pertarungan mereka. Tubuh yang nampak basah akibat keringat, tidak membuat aktifitas itu berhenti.Malah membuat lelaki yang ada disana mempercepat gerakannya, menghajar lawan mainnya tanpa ampun. Hingga tiba masa pelepasannya.Lelaki itu tidak bergerak, hanya napas memburulah yang menjadi tanda bahwa ia masih hidup. Matanya terpejam, entah ini wanita keberapa yang ia bawa naik ke atas ranjangnya, ia lupa."Kenakan pakaianmu dan lekas pergi dari sini."Suara tegas dan rendah itu tidak bisa membuat siapapun yang mendengarnya untuk berkata tidak.***"Tuan Ma
Dahinya berkeringat, kepalanya bergerak kekiri dan kanan seiring napasnya yang memburu. Seakan-akan dua pendingin ruangan yang dipasang disana tidak ada gunanya.Kakinya mulai bergerak, menjejak apapun yang ada dibawahnya, bahkan selimut ia tendang hingga terjatuh di lantai.Kilatan kejadian masa lampau yang membuatnya mengalami hal buruk ini setiap malam. Mimpi buruk perlakuan seorang gadis yang menjadi pusat lukanya.'Kamu pikir, aku mau menjadi kekasihmu? Dengar, jika bukan karena supercar itu, aku tidak sudi, bahkan berjalan beriringan denganmu saja aku jijik!'Kalimat itu selalu terngiang setiap Mark memejamkan mata, diikuti riuh sorakan dari orang-orang yang menontonnya. Tidak ada satupun dari mereka berniat membantunya, menyelamatkannya dari hinaan dan cacian dari seorang gadis yang berdiri angkuh didepannya."TIDAK!"Mark terbangun, lagi. 
Megan mendapatkannya. Setelah berupaya mencari informasi kesana-sini akhirnya ada juga pekerjaan yang bisa Megan kerjakan dengan upah mingguan.Uang dua juta akan menjadi upahnya minggu depan, Megan hanya bertugas menyebar brosur sebuah perusahaan real estate hingga habis setiap harinya.Sebuah nominal yang fantastis jika disandingkan dengan pekerjaan yang cukup mudah. Megan mengiyakan saja saat dijelaskan tugasnya, ia akan menyebar brosur di dua waktu, pagi dan malam hari. Karena Megan punya pekerjaan tetap sebagai pelayan kafe, yang jam kerjanya dari pukul sembilan pagi hingga lima sore. Megan juga bersyukur karena pekerjaan sampingan itu tidak mengganggu jam kerja utamanya.Megan membawa satu kresek brosur yang harus ia sebar mulai besok.Megan cantik, mungkin itulah yang menjadi point plus mereka mau mengambil Megan sebagai penyebar brosur, body yang Megan miliki juga bagus. Mampu membuat siulan setiap lelaki
Megan melepas tag nama yang menempel didadanya dan menyerahkan pada manajer kafe didepannya."Megan, Megan. Kamu salah mencari lawan. Papa perempuan yang datang bersama pacarnya kesini adalah sahabat dari pemilik kafe ini. Maaf saya tidak bisa membantu kamu," ucap manajer itu.Megan melangkah gontai keluar dari ruangan manajernya. Pacar Tristan benar-benar melaporkan Megan pada pemilik kafe yang membuat Megan dipecat saat itu juga.Galang yang melihat itu mencegat Megan. "Dipecat?""Semangat ya!" Megan mengepalkan tangannya layaknya seorang motivator.Raut wajah Megan dan ucapannya sudah menjadi jawaban atas pertanyaan Galang.Galang memeluk Megan, memberi semangat padanya. Satu tahun menjadi partner bekerjanya membuat Galang menyayangi Megan seperti adiknya sendiri.Megan menatap bangunan ini untuk yang terakhir kalinya. Bangunan yang ba
Perkataan Angela berpengaruh dalam sisa hari Mark. Pernyataan bersedia gadis itu yang artinya mau tidak mau Mark harus mengikuti permainan Angela untuk berpura-pura dan itu membuat mood Mark terjun bebas."Pedro, apa malam ini La Hosta buka?" tanya Mark.Pedro yang sedang berdiri mengamati sekitar, lalu menjawab, "buka, Tuan. Tuan Mark ingin kesana?"Mark berdehem sebagai jawabannya lalu ia kembali mengokang pistolnya, menutup satu matanya dan menekan pelatuk.Menembak adalah salah satu pelampiasan yang Mark lakukan saat pikirannya dan emosinya tidak stabil. Seperti saat ini, ia butuh pelampiasan agar suasana hatinya membaik.Selain menembak ada satu cara pelampiasan lain yang biasa Mark lakukan.***Pintu kamar dibuka dari luar, badan Megan diguncangkan beberapa kali. Begitu matanya terbuka, sebuah pakaian dilemparkan padanya.&nb