Ranjang itu bergoyang tanpa decitan. Temaram lampu kamar menambah panasnya suasana, sekalipun pendingin ruangan sudah dinyalakan. Dan diatas ranjang, dua sosok manusia bergerak, berpacu, berlomba menuntaskan hasratnya.
Pakaian yang berserakan begitu saja dilantai menjadi bukti ganasnya pertarungan mereka. Tubuh yang nampak basah akibat keringat, tidak membuat aktifitas itu berhenti.
Malah membuat lelaki yang ada disana mempercepat gerakannya, menghajar lawan mainnya tanpa ampun. Hingga tiba masa pelepasannya.
Lelaki itu tidak bergerak, hanya napas memburulah yang menjadi tanda bahwa ia masih hidup. Matanya terpejam, entah ini wanita keberapa yang ia bawa naik ke atas ranjangnya, ia lupa.
"Kenakan pakaianmu dan lekas pergi dari sini."
Suara tegas dan rendah itu tidak bisa membuat siapapun yang mendengarnya untuk berkata tidak.
***
"Tuan Mark, ini dokumen yang harus anda tanda tangani." Pedro menyerahkan selembar kertas yang ia sebut dokumen.
Mata dengan iris sekelam malam itu menatap sekilas dan membaca abjad disana. Menitik setiap poin penting yang dirasa menguntungkannya, sebelum akhirnya ia membubuhkan tanda tangannya disana.
"Kirimkan salinannya ke surelku," perintah Mark yang diangguki oleh Pedro.
Pedro menerima kertas itu dengan hormat. "Hari ini anda ada janji makan siang dengan Nyonya Thalia, Tuan," ucap Pedro mengingatkan.
"Ck! Kau atur saja waktu dan tempatnya," titah Mark kembali setelah berdecak, pertanda sebenarnya ia tidak ingin melakukan pertemuan itu.
Tapi sebagai anak yang baik, ia tidak boleh membangkang ataupun menolak permintaan ibunya bukan?
Miguel Mark Anthony.
Pengusaha muda yang menjadi hot news topik pembicaraan di kalangan pebisnis kelas atas. Sepak terjangnya di dunia bisnis patut diacungi jempol, ia tidak segan melibas lawan bisnisnya tanpa ampun. Salah langkah menghadapi Mark sama arti mereka siap mati di dunia bisnis.
Perusahaan yang Mark kelola tidak hanya berada di satu sektor saja, melainkan bermacam-macam. Real estate adalah yang pertama, lalu berkembang ke sektor pangan, pariwisata, pertambangan dan yang baru-baru ini adalah sektor kesehatan.
Dibawah kepemimpinan tangan dingin Mark, semua sektor itu berhasil mencapai titik tertinggi dalam sebuah kesuksesan. Banyak perusahaan baik asing maupun lokal yang mendekat sekedar mengajak bekerjasama, namun tidak semuanya diterima begitu saja.
Mark tidak mudah meloloskan setiap proposal kerja sama yang masuk. MMA Corp, sangat selektif dalam memilih partner bekerja. Perusahaan yang sudah punya nama pun belum tentu bisa bekerja sama dengan MMA.Corp jika memang tidak memenuhi kualifikasi yang Mark tentukan.
Kecakapan Mark bukan hanya dalam bidang bisnis saja, namun pesonanya sebagai seorang laki-laki tidak bisa diremehkan.
Walaupun Mark berwajah dingin namun itu tidak membuat setiap wanita berhenti meneriakan namanya.
Postur tegapnya menambah nilai tambah kriteria suami idaman, rahang yang tegas, sepasang netra segelap malam, alis tebal yang bertengger disana dan hidung mancungnya.
Tapi, tidak ada manusia yang sempurna bukan?
Tetap saja Mark mempunyai sebuah kekurangan. Diusianya yang menginjak 28 tahun, Mark belum mempunyai kekasih. Padahal Mark tidak pernah kekurangan wanita, jarinya tinggal mengarah saja ke wanita manapun yang ia mau maka Mark akan mendapatkannya tanpa tapi.
Bahkan beberapa dari partner bisnisnya dengan senang hati menyodorkan putri-putri mereka untuk Mark, apalagi jika bukan demi keuntungan bisnis semata.
Namun Mark tetaplah Mark yang tidak akan mencampurkan kehidupan pribadi dengan pekerjaannya. Ada batasan yang dipasangnya menjadi sekat disana. Tidak ada yang tahu bagaimana kehidupan seorang Mark, yang mereka tahu Mark itu sempurna.
"Mobil sudah siap, Tuan," kata Pedro begitu ia mendapat ijin memasuki ruang kerja Mark.
Mark menatap Foleks berlapis emas yang terlingkar di pergelangan tangannya. Jarum menunjukan angka 11.45, masih 15 menit lagi menjelang waktu makan siang. Tapi Thalia tidak suka keterlambatan, maka Mark mengantisipasinya dengan berangkat lebih cepat.
Tangan kekarnya bergerak cepat menutup aplikasi pada laptop didepannya, memastikan semua file tersimpan dengan rapi dan aman di foldernya masing-masing. Lalu, ia menutup benda itu, menyimpannya dilaci meja dan menguncinya.
***
"Hampir telambat dua menit, Anakku."
Kalimat penyapa itu terlontar dari seorang perempuan dengan gincu semerah mawar yang sudah duduk didepan Mark.
"Maaf, Ma. Macet," jawab Mark.
Pedro sudah menyetir semaksimal mungkin agar tidak terlambat, tapi apa mau dikata jika ramainya jalanan tidak bersahabat.
Thalia mendengus. "Alasan klasik. Apa helikoptermu tidak berfungsi dengan baik sampai macet menjadi alasan?" sindir Thalia.
Mark menggaruk pipinya. "Bangunkan dulu helipad di resto ini, Ma," jawab Mark telak.
Napas Thalia terhembus kasar. "Sudahlah. Berdebat denganmu hanya membuat kepalaku semakin pusing." Tangan Thalia terangkat memberi isyarat pada dua orang pelayan yang sudah bersiap disana. "Keluarkan hidangannya," perintah Thalia.
Dengan cepat dan cekatan kedua pelayan itu mengeluarkan Gueridon* yang memang sudah dipersiapkan.
Suara sendok garpu beradu dengan piring menjadi satu-satunya irama yang terdengar disana. Restoran itu sepi, apalagi jika bukan karena Thalia yang mereservasi semuanya. Padahal, di restoran itu terdapat ruang VVIP yang bisa Thalia sewa untuk private lunch.
"Ada apa Mama mengajakku makan siang?"
Mark memasukan sepotong daging kedalam mulutnya setelah berkata seperti itu. Thalia menghentikan kegiatan memotongnya, ia tersenyum tipis. Anaknya cukup pandai dalam membaca situasi ternyata.
"Angela pulang."
Tidak ada reaksi berlebih yang ditampilkan oleh Mark, lelaki itu masih tenang dan tatapannya masih sama. Datar tanpa ekspresi.
"Dia sudah menyelesaikan studynya," lanjut Thalia.
"Good."
Mark mengelap sudut bibirnya lalu meletakan garpu sejajar dengan pisau secara vertikal. Tanda bahwa ia sudah selesai makan.
"Kapan mau menemui dia?"
"Maaf, Ma. Tapi aku rasa pembicaraan ini tidak penting. Aku sudah memberitahu Mama berkali-kali," balas Mark. Itu wujud jawaban penolakan halus yang Mark berikan dari pertanyaan mamanya.
"Berarti rumor itu benar?"
Mark mengangkat alisnya, "rumor?"
Thalia meminum orange juice miliknya terlebih dahulu sebelum menjawab, "impoten?"
"WHAT THE—." Mark langsung berdehem untuk menetralkan emosinya. "Ehm, maaf, Ma. Siapa yang menyebar rumor aneh seperti itu?" tanyanya.
"Tidak ada. Hanya saja asumsi dari orang-orang tentangmu yang masih jomblo padahal usiamu hampir kepala 3."
"Dua puluh delapan tahun, Ma. Itu masih jauh dari kepala 3," jawab Mark mengoreksi ucapan mamanya.
"Terserah. Yang jelas kau sudah tua," sindir Thalia yang membuat Mark mati kutu.
"Baiklah. Aku akan menemui Angela. Tapi jika hubungan kami tidak berjalan baik, berhentilah mencarikan calon untukku seolah aku tidak laku," pinta Mark.
Kali ini Mark harus tegas membuat kesepakatan dengan mamanya, karena jika tidak akan mamanya akan mendatangkan Angela-Angela lain dalam hidup Mark.
"Coba saja dulu. Siapa tahu cocok. Kalau tidak cocok, masih Angela lain yang sudah menunggu."
"Tidak ada Angela lain. Ini yang terakhir. Aku pastikan itu, Ma," pungkas Mark mengakhiri acara makan siangnya.
***
"Pedro?" panggil Mark saat didalam mobil. Ajudan Mark itu melihat tuannya melalui kaca tengah mobil.
"Apa aku terlihat tua?"
Pedro heran dengan pertanyaan yang diajukan oleh Mark, tumben sekali. Biasanya pertanyaan yang keluar dari mulut Mark hanya seputaran bisnis.
"Tentu tidak. Tuan Mark bahkan terlihat lebih muda daripada usia yang sebenarnya."
"Benarkah?"
"Tentu saja. Saya tidak berani berbohong, Tuan."
Pedro adalah karyawan terjujur yang Mark punya, jadi apapun jawaban Pedro maka akan diterima oleh Mark.
Tapi mengapa pertanyaan Thalia mengusik pikiran Mark? Apa ia sudah setua itu seperti yang Thalia katakan?
***
Bersambung...
*Gueridon adalah trolley atau meja samping yang digunakan untuk pelayanan atau mempersiapkan makanan di meja makan.
Dahinya berkeringat, kepalanya bergerak kekiri dan kanan seiring napasnya yang memburu. Seakan-akan dua pendingin ruangan yang dipasang disana tidak ada gunanya.Kakinya mulai bergerak, menjejak apapun yang ada dibawahnya, bahkan selimut ia tendang hingga terjatuh di lantai.Kilatan kejadian masa lampau yang membuatnya mengalami hal buruk ini setiap malam. Mimpi buruk perlakuan seorang gadis yang menjadi pusat lukanya.'Kamu pikir, aku mau menjadi kekasihmu? Dengar, jika bukan karena supercar itu, aku tidak sudi, bahkan berjalan beriringan denganmu saja aku jijik!'Kalimat itu selalu terngiang setiap Mark memejamkan mata, diikuti riuh sorakan dari orang-orang yang menontonnya. Tidak ada satupun dari mereka berniat membantunya, menyelamatkannya dari hinaan dan cacian dari seorang gadis yang berdiri angkuh didepannya."TIDAK!"Mark terbangun, lagi. 
Megan mendapatkannya. Setelah berupaya mencari informasi kesana-sini akhirnya ada juga pekerjaan yang bisa Megan kerjakan dengan upah mingguan.Uang dua juta akan menjadi upahnya minggu depan, Megan hanya bertugas menyebar brosur sebuah perusahaan real estate hingga habis setiap harinya.Sebuah nominal yang fantastis jika disandingkan dengan pekerjaan yang cukup mudah. Megan mengiyakan saja saat dijelaskan tugasnya, ia akan menyebar brosur di dua waktu, pagi dan malam hari. Karena Megan punya pekerjaan tetap sebagai pelayan kafe, yang jam kerjanya dari pukul sembilan pagi hingga lima sore. Megan juga bersyukur karena pekerjaan sampingan itu tidak mengganggu jam kerja utamanya.Megan membawa satu kresek brosur yang harus ia sebar mulai besok.Megan cantik, mungkin itulah yang menjadi point plus mereka mau mengambil Megan sebagai penyebar brosur, body yang Megan miliki juga bagus. Mampu membuat siulan setiap lelaki
Megan melepas tag nama yang menempel didadanya dan menyerahkan pada manajer kafe didepannya."Megan, Megan. Kamu salah mencari lawan. Papa perempuan yang datang bersama pacarnya kesini adalah sahabat dari pemilik kafe ini. Maaf saya tidak bisa membantu kamu," ucap manajer itu.Megan melangkah gontai keluar dari ruangan manajernya. Pacar Tristan benar-benar melaporkan Megan pada pemilik kafe yang membuat Megan dipecat saat itu juga.Galang yang melihat itu mencegat Megan. "Dipecat?""Semangat ya!" Megan mengepalkan tangannya layaknya seorang motivator.Raut wajah Megan dan ucapannya sudah menjadi jawaban atas pertanyaan Galang.Galang memeluk Megan, memberi semangat padanya. Satu tahun menjadi partner bekerjanya membuat Galang menyayangi Megan seperti adiknya sendiri.Megan menatap bangunan ini untuk yang terakhir kalinya. Bangunan yang ba
Perkataan Angela berpengaruh dalam sisa hari Mark. Pernyataan bersedia gadis itu yang artinya mau tidak mau Mark harus mengikuti permainan Angela untuk berpura-pura dan itu membuat mood Mark terjun bebas."Pedro, apa malam ini La Hosta buka?" tanya Mark.Pedro yang sedang berdiri mengamati sekitar, lalu menjawab, "buka, Tuan. Tuan Mark ingin kesana?"Mark berdehem sebagai jawabannya lalu ia kembali mengokang pistolnya, menutup satu matanya dan menekan pelatuk.Menembak adalah salah satu pelampiasan yang Mark lakukan saat pikirannya dan emosinya tidak stabil. Seperti saat ini, ia butuh pelampiasan agar suasana hatinya membaik.Selain menembak ada satu cara pelampiasan lain yang biasa Mark lakukan.***Pintu kamar dibuka dari luar, badan Megan diguncangkan beberapa kali. Begitu matanya terbuka, sebuah pakaian dilemparkan padanya.&nb
"Kenapa tidak sekalian saja kau buka bajumu?" Megan berhenti. Netra hazelnya menatap pada lelaki yang tadi menyebutkan angka satu milyar. Apa maksud perkataan lelaki ini? Ini sudah termasuk pelecehan bukan? "Maaf, anda bilang apa?" tanya Megan. Mark memandang sinis ke arah Megan. Anda katanya? Apa perempuan ini sedang bermain drama? Berpura-pura tidak mengenalinya? Memang tidak salah jika julukan Ratu Drama disematkan padanya semasa kuliah. Baiklah, Mark akan meladeni sampai dimana ia mampu bermain drama. "Kenapa tidak sekalian kau buka bajumu?" tanya Mark. Gelas wine ditangannya sudah berpindah di meja. Mark memutar kursinya menghadap Megan, tangannya bersidekap, kakinya menyilang dan matanya intens terfokus pada Megan yang terlihat kebingungan dengan ucapannya. "Aku sudah membelimu satu milyar, jadi
Megan terbangun di sebuah ruangan yang berbeda, ruangannya tidak sebesar yang sebelumnya. Setelah kejadian semalam, Mark dengan tidak berperasaan mengusir Megan begitu saja keluar dari kamarnya. Ternyata ruangan sebelumnya yang ditempati Megan itu adalah kamar Mark, pantas saja luasnya membuat berdecak kagum. Tapi ruangan yang Megan tempati sekarang pun tidak kalah luas dan mewah untuk ukuran kamar tidur, bahkan lebih luas jika dibandingkan dengan kamar tidur dirumah mewah Megan dulu. Nuansa putih dan krem mendominasi disana, satu lampu gantung raksasa berkilau menancap di plafon tengah ruangan, dua lemari besar ada di sisi ranjang, satu sofa terletak di depan ranjang ditambah tv layar datar yang tiba-tiba muncul dari dalam tembok jika Megan memencet remotenya. Tok... Tok... Tok... Megan belum selesai mengagumi kamar yang ia tempati saat pintu diketuk. Ia mengerjapkan mata beberapa kali untuk
Megan adalah perempuan pertama yang dibawa Mark ke mansion ini selama Paula bekerja untuk Mark. "Pau? Mark itu orangnya seperti apa?" tanya Megan pada Paula yang sedang sibuk merapikan tanaman hias gantung. "Tuan Mark itu tidak bisa dibantah Nona. Tapi sebenarnya dia baik," jawab Paula. Huh, baik? Paula mengatakan itu karena Mark menggajinya. "Dia menakutkan ya?" Paula tertawa, lalu menoleh menatap Megan. "Nada bicara Tuan Mark memang seperti itu." "Boleh aku berkeliling tempat ini?" tanya Megan. Paula mengangguk. "Asal jangan naik ke lantai 3," Paula mengingatkan, jikalau Megan lupa. "Memang ada apa di lantai 3?" Megan ini tipe yang rasa penasarannya tinggi. Jika dilarang maka ia akan semakin penasaran. "Saya juga tidak tahu. Tapi sejak pertama saya bekerj
"Peraturan ketiga segera dimulai." Megan tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya. Ia ingin bergerak namun tubuh Mark mengunci pergerakannya. "Mau melakukan disini atau dikamarku?" tanya Mark. Suara rendah Mark penuh gairah dan tuntutan. Megan mati kutu. Lagipula kenapa ia bisa tertidur disini? Alih-alih masuk kamar dan mengunci pintunya. Tatapan tajam Mark masih setia mengintimidasi Megan yang berada dibawahnya. Mark fokus menelusuri wajah Megan, matanya, hidungnya, bibirnya dan senyum Megan yang dulu membuat Mark merasakan luka. Karena senyum itu yang menjerat Mark dan berakhir menjadi bahan taruhan. "Bangun!" sentak Mark tiba-tiba. Ia menarik bahu Megan kasar sehingga perempuan itu terduduk. Pergelangan tangan Megan di cengkeram Mark, terlihat bahwa Mark berupaya menarik Megan memasuki kamarnya. Megan mati-matian melawa
"Can you feel it?" tanya Mark seraya menekan sesuatu yang sudah mengeras dibawah sana ke tubuh Megan.Mark kembali melumat bibir Megan ketika tahu perempuan itu akan melayangkan protes. Sementara jemarinya bergerak kebawah, mengusap dan membelai inti Megan, membuat perempuan itu melenguh dan menggeliat di tempatnya.Tok... Tok... Tok..."Tuan Mark, meetingnya sudah bisa dimulai."Terdengar panggilan dari luar sana, membuat Mark menggeram tertahan. Mark melihat jam tangannya, sudah jam 1 siang lewat, pantas saja Theo memanggilnya.Gilanya, Mark bukannya berhenti tapi malah semakin gencar melakukan aksinya."No moan, Megan." Mark menyeringai melihat Megan yang panik karena panggilan Theo."Kau ambil alih dulu meetingnya, 15 menit lagi aku kesana," jawab Mark cukup lantang."Baik," balas Theo, kemudian terdengar suara langkah kaki yang menjauh dari sana.Megan menatap nanar Mark, memohon agar lelaki itu berhenti yang tentu saja diabaikan oleh Mark."Kau sudah basah. Aku akan melakukannya
["Bawa laporan yang kuminta ke ruanganku sekarang!"]Rasanya Megan ingin mengumpat setelah menerima telepon. Bukan karena laporannya belum selesai, namun karena Mark langsung mematikan telepon begitu saja tanpa menunggu jawaban Megan.Perempuan itu bergegas mengambil beberapa lembar kertas yang sudah ia cetak, terdapat beberapa angka yang ia tandai dengan stabilo berwarna."Kau mau kemana?"Ah, Megan hampir saja melupakan Luke kalau pria itu tidak buka suara."Mark meminta laporanku, aku harus kedalam," jawab Megan seraya berjalan menjauhi Luke."Aku ikut!" sahut Luke cepat sambil berjalan mengekori Megan.Megan hanya mengangkat bahu acuh dengan permintaan Luke itu.Tangan Megan mengetuk pintu ruangan Mark, ia tidak mau langsung masuk ke ruangan itu. Biar bagaimanapun ia masih bisa menjaga etika saat bekerja, apalagi kesalahan sekecil apapun yang Megan buat selalu dimanfaatkan oleh Mark."Masuk!" Tanpa menunggu perintah dua kali, Megan membuka pintu itu."Sedang apa kau disitu?"Dahi
"Pau!" teriak Mark dari ruang makan.Tergopoh-gopoh, Paula datang menghampiri tuannya yang baru saja selesai menghabiskan sarapan. "Iya,Tuan?""Aku sudah terlambat meeting. Jika Megan keluar dari kamarnya, suruh ia menunggu. Pedro akan menjemputnya."Paula mengangguk. "Baik, Tuan."Setelah mempertimbangkan beberapa hal, Mark mengambil keputusan yang dianggapnya paling baik.Ia tidak mau mengambil resiko Megan kabur lagi jika membiarkan perempuan itu pergi ke kantornya sendiri. Mark juga tidak mau terlambat menghadiri pertemuan pentingnya lantaran harus menunggu Megan.Terkadang Mark berpikir, siapa sebenarnya bos disini? Ia atau Megan? Mark mengemudikan mobilnya sendiri ke sebuah hotel yang dijadikan tempat pertemuan. Ia batal meminta Pedro untuk mengantarnya karena lelaki itu harus menjemput Megan.Beberapa hari belakangan ini sikap Megan sudah melunak, hal itu juga yang membuat Mark sedikit bersikap lembut pada perempuan itu. Tapi tetap saja,
Angela sudah lebih dulu tiba di sebuah kafe dan tidak lama kemudian seorang lelaki setinggi 180 senti masuk ke dalam kafe juga. Lelaki itu tampan, mengenakan kemeja lengan pendek berwarna biru langit, dipadukan dengan celana jins berwarna senada.Saat melangkah masuk pun lelaki itu mencuri atensi sebagian pengunjung perempuan, setiap mata memandang dan mengikuti gerak langkah dari lelaki itu. Namun terlihat gurat kecewa saat pandangan lelaki itu tertuju kepada satu perempuan cantik yang duduk seorang diri.Satu senyuman manis terbit dari bibir lelaki itu saat melihat Angela, dengan cepat ia berjalan menuju kursi Angela. Saat Angela berdiri, lelaki itu langsung menarik Angela masuk dalam pelukannya seraya menghujani keningnya dengan kecupan."Maaf telat," ujar lelaki itu."It's okay, Jo."Angela menarik lelaki bernama Jovan itu agar duduk disampingnya. Dimata Angela, Jovan sempurn
Mark menggeliat karena hangat cahaya matahari yang menembus masuk melalui gorden jendelanya.Lengan kanan Mark rasanya kebas sekali. Tangan kirinya bergerak mengambil gawai dan melihat jam berapa sekarang.Mark terkejut mendapati jam sudah di angka 7 pagi. Lebih terkejut lagi saat ia mendapati Megan masih meringkuk di sampingnya.Perempuan itu menjadikan lengan Mark sebagai bantal dan wajahnya menghadap pada Mark. Bisa Mark rasakan hembusan napas hangat Megan menerpa dada telanjangnya.Wajah Megan terlihat damai dan manis saat terlelap seperti ini. Tangan Mark menggantung didepan wajah Megan, tepat ketika ia ingin mengusap pipinya. Mark takut Megan akan terbangun karena sentuhannya.
"Ehem!" Deheman Mark menghentikan obrolan Megan dan Luke. Dua respon berbeda di tampilkan untuk menyambut Mark. Luke dengan wajah sumringahnya dan Megan dengan wajah terkejutnya. "Oh, kau kesini dengan tunanganmu?" tanya Luke, sepertinya ia sengaja mengeraskan suaranya. Angela tersenyum ramah pada Luke saat melihatnya, kemudian ia mengangguk. "Ayo, duduk! Pesanlah makan. Aku dan Megan sudah memesan duluan tadi, mungkin sebentar lagi pesanan kami datang."
Megan masih berkutat dengan laporan-laporannya kemarin yang salah. Sedangkan Mark, ia pergi bersama dengan Pedro setelah menurunkan Megan di lobi kantor. Sedikit lagi laporannya selesai dan Megan bisa bernafas lega untuk istirahat. Tenggorokan Megan kering, mungkin karena ia terlalu fokus dengan pekerjaannya hingga lupa minum. Megan melakukan peregangan sebentar pada tubuhnya, lalu ia beranjak menuju dispenser air yang terletak tidak jauh dari meja kerjanya. "Ck! Habis," gerutu Megan saat tahu galonnya kosong. Ia menelengkan kepalanya ke pojok ruangan, ternyata juga sama. Cadangan air minum disana habis semua.
Megan diam di kamarnya dan baru keluar saat jam makan malam. Menurut Megan, di mansion ini hanya kamarnya tempat teraman. Walaupun sebenarnya tidak ada tempat yang betul-betul aman disini.Mark tidak nampak di ruang makan saat Megan tiba disana, hanya ada Paula yang sedang menyiapkan makan malam."Pau, ada yang bisa kubantu?"Paula yang mendengar suara Megan menggelengkan kepala. "Tidak ada. Nona duduk saja disana, itu sudah membantu."Berada di mansion ini cukup lama membuat Megan tahu jika mendebat Paula itu percuma. Jadi Megan menuruti Paula dengan mendaratkan bokongnya di salah satu kursi.Di atas meja sudah terdapat beberapa menu seperti Soupe a l'oignon alias sup bawang perancis, Gratin Dauphinois yang berbahan dasar kentang, Carbonara dan Ravioli juga ada disana. Selain itu ada dessert yang membuat Megan tergoda karena bentuknya yang cantik, Creme Brulee atau kue lumpurnya
Megan berjalan dengan cepat menuju ruang VIP di kantin, ia membuka pintu dan segera duduk dikursi yang ada. Mark yang melihat penampilan Megan mengerutkan dahinya. Perempuan ini habis melakukan apa di toilet? "Kenapa lama sekali?" tanya Mark. "Antri," jawab Megan asal. Apa toilet perusahaannya kurang banyak sampai membutuhkan waktu tiga puluh menit untuk disana? "Kenapa bajumu?" "Basah. Terkena cipratan air," jawab Megan, kali ini ia tidak menjawab asal. "Baiklah. Aku akan menghubungi tukang ledeng untuk memeriksanya." "Ini kesalahanku. Tidak ada yang salah dengan toiletnya." Megan mendongak yang otomatis membuat tubuh bagian depannya terekspose. Mark menelan ludah melihatnya. Ia meletakan sendoknya cukup keras hingga membentur piring, lalu berdiri dan meng