Ruangan yang dipenuhi warna hitam dan coklat itu hening. Lima belas orang yang hadir disana, sudah duduk dikursi masing-masing tanpa suara. Fokus mata mereka berada di satu titik, didepan. Theo, asisten dan orang kepercayaan Mark bersuara didepan, memimpin rapat siang ini.
Mark tidak akan bicara jika tidak diperlukan atau ada yang salah. Jadi selama Mark diam itu tandanya laporan yang mereka setorkan baik-baik saja, Mark tidak mentolerir kesalahan dalam laporan yang digunakan untuk bahan evaluasi dalam meeting. Sekecil apapun itu.
45 menit waktu meeting akhirnya selesai juga. Ditutup dengan hasil akhir bahwa proyek salah satu hotel yang ada di Negeri Gajah Putih akan selesai tiga bulan kedepan, setelah itu Mark dan beberapa petinggi perusahaan akan terbang kesana untuk melakukan peresmian.
Mark meninggalkan ruang meeting terlebih dahulu. Sambil berjalan, Mark meraih ponsel didalam saku, ia memencet nomor tele
Tamatlah riwayatmu, Megan! Megan meringis saat Mark menariknya paksa. "Sedang apa disini? Menjual diri pada lelaki lain?" sindir Mark tajam. Perkataan Mark itu membuat Galang geram, kasar sekali laki-laki ini. Galang maju dan mendorong dada Mark namun cekalannya pada Megan tidak terlepas. "Jangan kasar sama cewek!" Mark yang terdorong mundur, maju kembali, dengan tatapan merendahkan ia melihat pada Galang. Biasa saja. Apa selera Megan sudah anjlok? Galang sudah mengepalkan tangan dan hampir melayangkan tinjunya pada Mark, namun Megan secara mendadak berdiri dihadapan Mark. Kedua tangan Megan terentang dan matanya terpejam, menanti tinju yang mendarat di wajahnya namun Megan tidak merasakan apapun. Saat matanya terbuka, Megan melihat kepalan tangan Galang menggantung diudara. "Lo ngapain disitu? Minggir!" bentak Galang.
Dua perempuan itu sama terkejutnya dengan Megan, apalagi melihat bibir Megan yang membengkak dan sedikit mengeluarkan darah."Perempuan liar manalagi yang kau bawa, Mark?"Megan yakin kata-kata itu merujuk padanya, Megan ingin membuka mulut untuk mengeluarkan bantahan bahwa ia tidak seperti itu.Namun perintah Mark lebih dahulu terdengar. "Pedro, bawa dia ke bilik."Pedro yang memang selalu siap untuk menerima perintah apapun dari Mark —bahkan ketika Mark meminta nyawanya, mungkin Pedro akan dengan senang hati memberikan, menunduk patuh.Teriakan Megan menghilang bersamaan dengan pintu ruang meeting yang tertutup, begitu juga gawai Mark yang kembali masuk ke sakunya."Mama, kenapa mendadak kesini bersama Angela?"Angela, yang sedari tadi berdiri tidak jauh dari Thalia, kini berjalan menghampiri Mark. "Memangnya aku tidak boleh
Mark sudah siap untuk menghadiri undangan makan malam dari keluarga Angela. Sebuah alamat dan ancaman sudah Mark terima satu jam lalu dari Thalia. Tadinya, Thalia meminta Mark untuk berangkat bersama-sama dengannya dari rumah, namun Mark menolak.Mark tidak melihat Megan di manapun, padahal saat ini sudah jam makan malam. "Paula!" seru Mark, membuat Pau muncul dengan tergesa dari dapur. "Apa makan malam belum siap?""Sudah siap, Tuan. Nona Megan meminta makan malam diantar ke kamarnya."Mark menggeram marah mengetahui Megan belum juga menyadari posisinya. "Dia pikir dia siapa seenaknya memberi perintah?"
Mark sudah selesai dengan sarapannya saat Megan datang dan bergabung dengannya di meja makan. "Habiskan sarapanmu!" perintah Mark dalam satu tarikan napas. "Aku tidak akan berbelas kasihan padamu jika kau masih membangkang, Megan," ancam Mark membuat Megan bergidik.El —ah, bukan, Mark namanya sekarang, benar-benar menjadi sosok yang tidak ia kenal sekarang. Atau jangan-jangan memang Megan yang tidak benar-benar mengenal El-nya dulu?Enam bulan, enam bulan Megan dekat dengan Mark walau berlandaskan hanya taruhan, membuat Megan paham bagaimana rasanya dihargai, bagaimana rasanya diperhatikan dan dianggap ada. Hingga akhirnya masa taruhan itu selesai dan imbalan yang dijanjikan sudah Megan dapatkan. Berakhir dengan M
Megan mendapati sekeranjang pakaian sudah tersedia didalam kamarnya, mungkin Paula yang meletakannya. Setengah jam yang lalu, Megan sudah selesai mandi. Kini ia sibuk memilih pakaian mana yang akan ia kenakan. Untuk urusan fashion, memang Megan tidak ketinggalan jaman. Selera fashion Megan sangat bagus. Walaupun sudah lama sekali Megan tidak menginjakan kaki di kantor —mungkin terakhir kalinya lima tahun lalu, sebelum perusahaan Bastian bangkrut, Megan masih bisa memilih mana pakaian yang pantas ia gunakan untuk pekerja kantoran. Pilihan Megan jatuh pada blouse berwarna kuning kalem dan rok pensil berwarna putih, tidak lupa blazer warna senada dengan rok yang sudah Megan siapkan, lalu Megan memakai sepatu heels setin
Tangan Megan cekatan menandai setiap paragraf yang salah sambil mulutnya terus menggerutu. Mark memberinya tugas mengecek surat perjanjian antara MMA Corp dan beberapa perusahaan. Yaps. Meja kursi kosong tadi sudah terisi oleh beberapa barang termasuk komputer dan sekarang Megan menempatinya. Jangan lupakan sebuah telepon disana. Membahas telepon, Megan lupa jika Mark menyuruhnya membelikan kopi di kedai depan gedung ini. Hingga dering telepon didepannya menginterupsi keseriusan Megan. "Mana kopiku?" pinta Mark.
Luke beranjak dari kursinya, mengabaikan tatapan penuh tanya dari Mark. Tangan Mark sudah terkepal diatas meja. Mark tidak mau Luke terlalu jauh ikut campur dalam urusannya. Mark tidak mau Megan merasa besar kepala karena ada yang membela dan memperhatikannya. "Apa kakimu sakit?" tanya Luke. Lalu ia berjongkok didekat Megan. Megan terkesiap dan memundurkan badannya, ia teringat kejadian tadi pagi ketika Pedro dipukul oleh Mark hanya karena jarak mereka terlalu dekat. Megan tidak mau Luke mengalami hal yang sama. Tubuh Megan berhasil mundur namun satu kaki Megan berada dalam tangan Luke. Lelaki itu memperha
Megan berjalan dengan cepat menuju ruang VIP di kantin, ia membuka pintu dan segera duduk dikursi yang ada. Mark yang melihat penampilan Megan mengerutkan dahinya. Perempuan ini habis melakukan apa di toilet? "Kenapa lama sekali?" tanya Mark. "Antri," jawab Megan asal. Apa toilet perusahaannya kurang banyak sampai membutuhkan waktu tiga puluh menit untuk disana? "Kenapa bajumu?" "Basah. Terkena cipratan air," jawab Megan, kali ini ia tidak menjawab asal. "Baiklah. Aku akan menghubungi tukang ledeng untuk memeriksanya." "Ini kesalahanku. Tidak ada yang salah dengan toiletnya." Megan mendongak yang otomatis membuat tubuh bagian depannya terekspose. Mark menelan ludah melihatnya. Ia meletakan sendoknya cukup keras hingga membentur piring, lalu berdiri dan meng