Share

Bab 2

Penulis: Zhen Xin Xin
last update Terakhir Diperbarui: 2021-02-26 13:44:38

Sudah dua bulan berlalu sejak ia menginjakkan kakinya di kota Cirillo dan tinggal seatap dengan wanita bernama Hazel Skylar. Itu pun setelah melalui seleksi penyaringan yang ketat dari agen properti sialan itu yang terus mencegah wanita itu tinggal bersamanya. Ia tidak mengerti kenapa agen properti itu mati-matian menghalangi wanita itu untuk tinggal bersamanya, seolah pria itu adalah ayah dari wanita itu. Keputusan itu harusnya ada di tangan wanita itu, walaupun ia berharap banyak wanita itu mau menerima tawarannya, karena akan menghemat biaya sewa apartemennya. Pria itu terus-menerus memberikan citra jelek padanya—ditambah bumbu yang dibuat pria itu sendiri—menggambarkannya sebagai hewan liar buas yang sewaktu-waktu bisa menyerang wanita itu kapan saja. Memang, ia tertarik pada wanita itu sejak pertemuan pertama mereka, tapi bukan berarti ia akan bergerak menyerang wanita itu seperti deskripsi agen sialan itu. Ia masih punya harga diri. Dalam hati ia terus merutuki sikap kurang ajar pria itu. 

“Saya rasa tidak baik Anda mendeskripsikan seseorang yang baru Anda kenal seperti perkataan Anda barusan. Saya rasa dia orang baik. Lagipula, saya bisa menjaga diri saya sendiri, jadi terima kasih karena sudah mencemaskan saya.”

Wanita itu mengatakan dengan menggunakan nada setegas mungkin saat pria itu mencoba untuk meracuni pikiran wanita itu sekali lagi, membuat pria berkepala telur itu akhirnya menyerah. Sikap Hazel sangat membuatnya tersentuh, karena selama pria itu terus mengatakan hal buruk tentangnya dan ia mati-matian menahan diri agar tidak terpancing oleh emosinya, wanita itu membelanya. Ini salah satu hal yang membuatnya keheranan. Apakah semua penduduk kota Cirillo bersikap seperti agen properti itu, suka mengurusi urusan orang lain? Di kota lamanya, ia tidak pernah menemukan hal semacam itu. Penduduk di kota lamanya itu memegang prinsip untuk tidak mencampuri urusan orang lain kecuali jika itu benar-benar diperlukan.

Entahlah. Ia tidak tahu. Lagipula, mendekati Hazel Skylar bukan bagian dari prioritasnya mendatangi kota ini. Ia tidak punya waktu banyak untuk mengurus hal remeh semacam itu. Apa pun itu, ia tidak boleh mendahulukan urusan dan perasaan pribadinya. Ia harus tetap mengingatkan dirinya akan alasannya berada di tempat ini sekarang.

Ia merenggangkan otot tubuhnya yang kaku seraya melepaskan kacamata anti radiasi yang ia gunakan agar ia merasa nyaman menatap layar komputer di kamar selama hampir seharian, berjalan menuju tempat tidurnya. Mengempaskan tubuhnya diiringi suara helaan nalas panjang. Rasa letih menyelimuti tubuhnya yang kelelahan. Ia berbalik, memandang langit-langit kamarnya seraya meletakkan tangannya di dahinya.

Semua yang ia butuhkan sudah lengkap. Penyelidikannya akan pemilik nama Amanda Chloe itu membuahkan hasil—sebanyak yang ia bisa. Seorang anak perempuan berpembawaan anggun dan lembut berusia enam belas tahun. Bersekolah di SMA Saint Ignatius menggunakan jalur beasiswa musik. Keahlian, bermain piano. Lima tahun lalu kehilangan kedua orang tuanya, sehingga kini tinggal sendiri. 

Sama sekali tidak ada yang istimewa dari anak perempuan itu. 

Lalu kenapa mendiang sahabatnya itu mati-matian ingin menjaga identitas anak itu seolah keberadaan anak itu penting untuknya? Ia tidak paham. Perasaan ragu mulai menghinggapinya. Apa semua yang ia lakukan ini sepadan dengan kematian sahabatnya itu? Bagaimana, bagaimana jika seandainya Arnold tidak menginginkan semua yang ia lakukan ini? Bagaimana jika Arnold ingin tetap menyembunyikan identitas anak perempuan itu selamanya? Banyak hal yang tidak ia mengerti dari kasus kematian Arnold. Ia tahu persis seperti apa Arnold. Dengan kemampuan fisik di atas rata-rata, harusnya sahabatnya itu bisa dengan mudah mengalahkan orang-orang yang menyerangnya. Mustahil akan mati tanpa perlawanan. Apalagi, sahabatnya itu hanya pegawai biasa yang baru naik pangkat menjadi manajer di bank nasional Morozov di hari kematiannya itu. 

Arnold tidak pantas mendapatkannya. Hanya itu yang ia tahu.

Pikirannya tiba-tiba membawanya kembali pada ingatannya akan kematian Arnold, membuatnya memejamkan mata seraya menggigit bibir bawahnya. Sayangnya, pikirannya sama sekali tidak mau mendengarkan permintaannya itu, terus memutar kenangan itu sampai membuatnya gila. Napasnya tercekat, bersamaan dengan semua yang ia ingat tentang hari itu. Aroma bubuk mesiu bercampur darah Arnold yang menggenang. Isi apartemen Arnold yang berantakan. Tidak ada bau apa pun dari pembunuhnya, membuatnya kebingungan. Semua pembunuh yang ia tahu pasti meninggalkan jejak, membuatnya mulai memikirkan gagasan akan adanya pembunuh bayaran profesional. 

Ponselnya yang ia letakkan di dekat komputernya berdering, berhasil membawanya keluar dari ingatan buruk itu. Ia meremas spreinya, sebelum beranjak dari tempat tidurnya untuk mengambil ponselnya.

Satu pesan masuk. Dari Hazel.

Hari ini aku pulang telat.

Membaca pesan dari wanita itu membuatnya tertawa pelan. Wanita yang aneh. Sejak mereka resmi menjadi teman sekamar dan bertukar kontak, wanita itu selalu berusaha mengabarinya apa pun yang dilakukannya. Seperti pesan ini. Jujur, ia mendapati sisi Hazel yang ini sangat manis. Rasanya seperti memiliki pacar, walaupun mereka berdua belum menginjak sampai ke tahap itu. Menjadi teman sekamar itu rasanya sudah lebih dari cukup untuknya, untuk sekarang.

Tidak masalah. Mau makan malam apa? Kubuatkan.

Kalau tidak salah, beberapa hari ini Hazel sempat menyinggung keinginannya untuk mencicipi masakan Italia setelah menonton liputan vlogger favorit wanita itu saat mengunjungi kota Sicilly. Apa sebaiknya ia memasak masakan Italia untuk makan malam mereka? Kelihatannya itu gagasan yang bagus. Lagipula, ia sangat membutuhkan makanan berkalori tinggi mengingat beberapa waktu belakangan ini, ia nyaris tidak sempat makan banyak. Tidak sulit baginya untuk memasak masakan Italia, mengingat ia pernah belajar langsung dari nenek pihak ibunya yang merupakan orang Italia. 

Bagaimana jika makan malamnya Fettuccini Alfredo? Tidak keberatan?

Hanya menu itu yang terlintas di pikirannya. Tunggu. Bagaimana jika wanita itu memikirkan kalori sama sepertinya? Gawat. Kenapa ia tidak memikirkan opsi itu?

Tidak butuh waktu lama baginya untuk menerima pesan balasan dari Hazel, disertai stiker anjing berbulu putih dengan mata berbinar. 

Bolehkah? Apa tidak merepotkanmu?

Ia mendapati dirinya kembali tertawa pelan saat membaca pesan Hazel. Sepertinya lebih baik ia menyingkirkan kecemasannya untuk sementara. 

Tidak masalah. Jadi bagaimana dengan tawaranku tadi?

Mau!

Tawanya meledak seketika begitu membaca pesan balasan dari Hazel. 

Oke. Akan kubuatkan.

Raymond mematikan layar ponselnya. Rasa letih yang ia rasakan tadi lenyap seketika. Ia bersiul pelan, berjalan keluar meninggalkan apartemennya menuju supermarket terdekat untuk membeli bahan makanan.

***

Hm? Apa ini?

Ia memandang penuh keheranan pada kue tart putih dengan hiasan buah segar di atasnya yang diletakkan di atas meja oleh Hazel saat ia baru saja selesai menyajikan Fettuccini Alfredo. Matanya mengerjap, memandang bergantian kue tart itu dan menu makan malam mereka yang berkalori tinggi ini, sebelum kembali memandangi Hazel yang kini duduk berhadapan dengannya dengan kedua tangannya menopang dagu, menatapnya dengan wajah super imut.

“Ng, Hazel? Boleh aku nanya sesuatu?”

“Ya?”

Raymond menunjuk ke arah kue tart itu. “Ini apa?”

“Ya kue. Dilihat juga tahu, kan?”

“Bukan itu maksudku,” Raymond mengelus belakang lehernya, tidak tahu bagaimana cara menyampaikan keberatannya akan kue tart yang sudah pasti mengandung kalori yang sangat tinggi, mengingat banyaknya whipped cream yang digunakan di kue itu. “Tapi … yah, gimana ya? Aku yakin banget kalau hari ini bukan hari ulang tahunku.”

“Nggak perlu hari khusus untuk menikmati kue tart, bukan?” Hazel masih menatapnya, membuatnya semakin kikuk. “Memangnya kamu ulang tahun tanggal berapa?”

“5 Februari.”

“Akan kuingat,” wanita itu masih mengunci matanya ke arahnya. “Aku tanggal 8 Mei.”

Eh? Kenapa pembicaraannya mengarah ke sana? Dan tunggu, kenapa ia malah memberitahu ulang tahunnya pada wanita itu? 

“Dan aku yakin banget kalau aku sudah menyiapkan Fettuccini Alfredo untuk makan malam kita hari ini.”

“Justru karena itu aku cepat-cepat pulang setelah tahu kamu bakal masak masakan Italia,” Hazel sepertinya bukan tipe orang yang bisa menyembunyikan rasa senangnya, karena ia bisa melihat dengan jelas ekspresi bahagia wanita itu saat memandangi menu makan malam mereka. “Kamu masih ingat aja soal kata-kataku waktu itu. Aku bahkan nggak tahu kalau kamu bisa masakan Italia.”

“Nenek dari pihak ibuku orang Italia,” ia kembali memandangi kue tart itu, lesu. “Tapi makan malam ini kan sudah berkalori tinggi, nggak bagus buat kesehatan. Kalau ditambah dengan kue ini …”

“Oh, jadi kamu tipe yang khawatir dengan kalori, nih?”

“Yah, begitulah. Karena aku gampang gemuk—” Raymond diam sesaat, menyadari ia baru saja mengatakan rahasia terbesarnya. “Ah, bukan. Maksudku—”

“Kue ini aku yang buat,” Ada perasaan bangga yang tertangkap di telinganya saat Hazel mengatakannya. Wanita itu beranjak dari kursinya sambil bersenandung, tampak senang, mengambil kue tart itu dan menyimpannya ke dalam lemari pendingin. Jujur, ia merasa ketakutan sekarang. Apa wanita itu kecewa padanya karena tidak mau memakan kue yang pasti dibuat wanita itu susah payah dengan alasan kalori? Bagaimana jika Hazel kecewa, lalu mencibirnya dalam hati karena tidak menghargai jerih payah wanita itu? Apa seharusnya ia tadi tidak mengatakan kekhawatirannya akan kalori itu pada Hazel, menawarkan diri mencicipi kue itu sambil merancang daftar latihan yang akan membantunya mengurangi semua kalori jahat itu setelah memakannya?

“Err … Hazel?”

“Hm?”

Ia menelan ludah. Lidahnya terasa kelu, tapi ia harus mengatakannya. Saat ia masih tinggal di Morozov, ia sering kali membuat teman wanitanya tersinggung atau marah karena perkataannya, sehingga ia khawatir Hazel akan merasakan hal yang sama. Berdasarkan pengalamannya selama ini, salah satu hal yang harus ia pahami adalah jangan pernah membuat seorang wanita marah kalau tidak ingin hal mengerikan terjadi. 

“Kuenya … kurasa nggak masalah kalau makan sedikit,”

Hazel yang baru saja menutup pintu lemari pendingin itu menaikkan sebelah alisnya, keheranan. Lalu tertawa seraya mengibaskan tangannya ke udara. “Itu bisa dimakan kapan saja. Aku cuma mau nunjukin sama kamu. Lagian, aku juga yang salah, nggak nanya sama kamu soal preferensimu.”

“Tapi …”

“Lain kali akan kubuat rendah kalori,” kata Hazel lagi, kini kembali duduk di  kursinya. “Harusnya kubuat pas awal-awal kita tinggal bareng, tapi aku sibuk banget, jadi baru bisa sekarang. Nggak perlu sungkan. Lagipula, kueku bisa dimakan kapan pun, tapi nggak sama Fettuccini Alfredo buatanmu ini. Jadi bisa kita makan sekarang?”

“Ya, tentu saja,” ia masih mengerjap, kebingungan. Apa ia salah membaca suasana? 

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Kikiw
Hazel misterius nih
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • His Last Wish (Indonesian)   Bab 3

    Keesokan harinya, Raymond memutuskan untuk keluar rumah, merilekskan pikirannya setelah menghabiskan hampir dua bulannya di dalam apartemennya. Semua informasi sudah lengkap, hanya perlu memikirkan cara bagaimana mendekati Amanda Chloe tanpa membuat anak itu curiga padanya. Bukan hanya itu saja alasannya keluar rumah. Ia perlu pekerjaan baru. Tidak mungkin ia bergantung pada tabungannya yang mulai menipis itu untuk bertahan hidup.Masalahnya, pekerjaan apa yang harus ia ambil? Ia hanya memiliki pengalaman sebagai detektif polisi selama lima tahun. Hanya itu. Tidak mungkin ia melamar pekerjaan sebagai polisi juga di kota Cirillo, mengingat prosedurnya yang tidak memungkinkan karena ia bukan orang kota Cirillo. Ia tidak bisa memikirkan opsi apa pun sekarang. Tidak mungkin ia melamar pekerjaan di SMA Ignatius, tempat Amanda

    Terakhir Diperbarui : 2021-02-27
  • His Last Wish (Indonesian)   Bab 4

    Baru beberapa hari yang lalu ia mendapat pekerjaan di kafe tempat Hazel bekerja. Mendapat informasi baru bahwa anak perempuan yang tengah ia selidiki berdasarkan petunjuk terakhir yang diciptakan Arnold itu sering mengunjungi kafe itu. Rachel mengatakan semua yang diketahui wanita itu tentang Amanda setelah ia mendapati Edward yang tengah memarahi Rachel dan ketiga temannya itu karena melemparkan tanggung jawab yang seharusnya menjadi tugas mereka padanya. Ia mengambil kesempatan itu untuk menanyakan pada Rachel sebagai ganti karena sudah menyelamatkan mereka dari amukan Edward. Untungnya, Rachel tipe yang bisa diandalkan.Dan sekarang, intuisinya seperti mengatakan padanya kalau nyawa Amanda berada dalam bahaya. Sebenarnya ia enggan untuk mengikuti intuisinya karena itu berarti ia harus mengorbankan waktu istirahat yang

    Terakhir Diperbarui : 2021-02-27
  • His Last Wish (Indonesian)   Bab 5

    Serius?Raymond memandangi anak laki-laki berkacamata yang waktu itu menatapnya tajam di hari pertama ia kerja yang saat ini berdiri di hadapannya setelah beranjak keluar dari toko itu. Itu pun setelah harus beberapa kali menolak ajakan Martha untuk minum teh sambil membicarakan masa lalu. Diam-diam ia mengamati anak ini. Dari penampilannya ia sudah menduga kalau anak ini tipe yang bisa diandalkan, tapi ia tidak menyangka kalau teman yang dihubungi Amanda adalah anak ini. Kenapa di antara semuanya, Amanda malah memilih Gerald Tan? Ia pikir, Amanda akan menghubungi Priskaーanak perempuan berbadan atletis yang jago olahraga itu. Bukan bermaksud meragukan kemampuan Gerald, tapi Raymond merasa kalau Gerald bukan orang yang tepat untuk melindungi Amanda.

    Terakhir Diperbarui : 2021-02-27
  • His Last Wish (Indonesian)   Bab 6

    Raymond membuka kedua matanya. Di depan matanya, ia melihat sosok Hazel dengan rambut cokelat gelap panjangnya yang disampirkan ke samping telinga kirinya, mengamatinya dari jarak yang sangat dekat. Begitu melihatnya siuman, wajah khawatir Hazel sirna, berganti lega. Ia memandang ke sekelilingnya. Hanya ada Hazel. Apa Martha sudah pergi? Atau Martha hanya menghubungi ambulans dan meninggalkannya begitu ambulans tiba menjemputnya?“Sudah siuman?”Tubuhnya masih terasa lemas karena pengaruh obat bius. Ia memandang ke sekelilingnya sebelum perhatiannya tertuju pada Hazel yang duduk di sampingnya. Sejak kapan ia berada di klinik? Dan kenapa Hazel ada di sini?

    Terakhir Diperbarui : 2021-02-27
  • His Last Wish (Indonesian)   Bab 7

    Mereka tiba di depan rumah Amanda Chloe. Tidak terlihat aktivitas di rumah tersebut, menandakan bahwa anak itu benar-benar berada di rumah Gerald Tan. Sambil terus menggenggam tangan Hazel yang tidak ia lepaskan sejak tadi, mereka berjalan melewati tiga rumah sebelum akhirnya tiba di rumah Gerald Tan. Hampir semua rumah yang berada di sini memiliki desain yang mirip karena letaknya yang berada di perumahan, membuat orang sedikit kebingungan jika baru pertama kali mengunjungi tempat ini dan tidak memperhatikan detail lainnya yang menggambarkan profil si pemilik rumah. Seperti contohnya rumah Amanda tadi yang memiliki pintu pagar berwarna hitam, sementara rumah yang sekarang ada di hadapannya ini memiliki pintu pagar berwarna putih dengan ukiran singa emas. Raymond mengeluarkan ponselnya sekilas sebelum memasukkannya kembali ke dalam saku celananya untuk mengecek jam.

    Terakhir Diperbarui : 2021-02-27
  • His Last Wish (Indonesian)   Bab 8

    Raymond memandangi pemandangan pagi di kota Cirillo yang tampak jelas dari balkon apartemennya sambil menikmati aroma rokok yang ia hisap dalam-dalam untuk menenangkan pikirannya. Kelihatannya Hazel tidur di kamarnya, karena ia tidak mendapati Hazel saat ia bangun tadi. Melihat pemandangan kota Cirillo, membuatnya teringat dengan pelajaran Sejarah yang ia pelajari saat ia masih sekolah.Dulu, dunia dihadapi oleh situasi sulit karena perang berkecamuk di beberapa negara Timur Tengah, yang kebanyakan dipicu oleh kaum ekstremis. Akibatnya banyak penduduk negara itu yang memutuskan untuk keluar dari negaranya, mengorbankan harta dan status kewarganegaraan mereka. Mencari tempat yang jauh lebih aman untuk keselamatan mereka dan keluarga mereka, mengungsi ke negara-negara Eropa untuk mendapatkan hal yang tidak bisa mereka dapat

    Terakhir Diperbarui : 2021-02-27
  • His Last Wish (Indonesian)   Bab 9

    Raymond menyesap teh chamomile yang disiapkan Hazel untuk menenangkan pikirannya, bersama dengan roti bakar, telur orak-arik, bacon wortel, memunculkan aroma yang seharusnya mampu membangkitkan selera makannya. Sebaliknya, ia hanya memandang piringnya dengan tatapan lesu dan kembali menyesap tehnya hingga tersisa sedikit.“Apa makananku nggak enak?”Raymond menggeleng.

    Terakhir Diperbarui : 2021-02-27
  • His Last Wish (Indonesian)   Bab 10

    Raymond kembali ke apartemennya, disambut dengan tatapan tajam Hazel yang melihatnya basah kuyup. Setelah ia menangis dan merasa sedikit lebih baik, ia meninggalkan kedai kopi itu tanpa mempedulikan Martha yang bersikeras mengantarkannya pulang ke apartemen karena hujan deras. Ia berjalan menerobos hujan, tidak mempedulikan pakaiannya yang basah.“Masuklah,” Hazel berlari memasuki kamarnya, dan kembali dengan handuk bermotif panda di tangannya, menyodorkan padanya lalu berbalik memunggunginya. “Sebentar lagi buburnya matang.”“O-oke…” jawab Raymond, enggan. Ia ingin mengatakan kalau ia tidak selera makan, tapi ia urungkan karena merasa tidak enak pada Hazel yang pasti sudah susah payah membuatkan bubur untuknya. Hazel sama sek

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-27

Bab terbaru

  • His Last Wish (Indonesian)   Bab 43

    Thyme Umberbridge memandang bayangan dirinya di kaca mobil, merapikan penampilannya. Hari ini ia sudah memberanikan diri mengajak Priska Cirillo—perempuan yang sudah ia suka sejak ia tahun pertamanya di SMA St. Ignatius. Perempuan kuat yang berhasil mengalihkan dunianya yang selama ini hanya berkutat pada belajar dan latihan mempersiapkan diri untuk menjadi pemimpin organisasi mafia Umberbridge, menggantikan ayahnya. Dari Priska, ia mengenal Amanda Chloe—teman satu angkatannya yang dikenal jenius dalam bermain piano (dan belakangan ia baru tahu bahwa temannya itu adalah adik perempuan dari Arnold Walter, pembunuh bayaran dari keluarga Walter yang ia kagumi sejak lama sampai ia mengikuti jejaknya dengan mengasah kemampuannya menembak secara akurat), dan Gerald Tan—teman sejak kecil Amanda Chloe yang memiliki kepribadian seperti ibu rumah tangga, dan sekarang tengah bersamanya di dalam mobil setelah ia meminta temannya itu untuk menemaninya. Ia terlalu gugup, sampai tidak menyadari ke

  • His Last Wish (Indonesian)   Bab 42

    Suara lima anak-anak yang berlari di lorong membuat Raymond tanpa sadar tersenyum kecil memandangi mereka semua. Keceriaan anak-anak itu seolah memberikan suasana yang jauh lebih menyenangkan di tengah kumpulan para pasien rumah sakit yang rata-rata dihuni oleh orang tua. Hanya sedikit pasien yang seumuran dengannya, itu pun tidak menghabiskan waktu lama sepertinya. Anak-anak itu tertawa keras sebelum akhirnya terdiam saat seorang perawat wanita menegur mereka yang ribut. Wajah bahagia mereka memudar, disusul kepala mereka yang menunduk lesu. Ia yang baru saja menyelesaikan proses administrasi rumah sakit hanya menggeleng pelan, menghampiri anak-anak tadi dan juga perawat wanita yang masih sibuk mengomeli mereka dengan perkataan yang terus diulang-ulang. “Biarkan saja,” tangan kiri Raymond bergerak mengelus salah satu kepala anak-anak berambut panjang lurus berwarna cokelat tua yang digerai. Anak itu mendongak

  • His Last Wish (Indonesian)   Bab 41

    Verdict meletakkan karangan bunga di atas batu nisan kakak angkatnya, memejamkan matanya sambil membentuk tanda salib di depan dada. Di sampingnya, Amanda berdiri terpaku, memandangi batu nisan dengan ukiran nama Arnold Walter. Tidak ada kata-kata khusus yang terukir di batu nisan itu selain nama dan tanggal kematian. Tangannya mencari tangan Amanda dan menggenggamnya erat, menenangkan pacarnya yang mulai menangis.“Kak. Aku nggak tahu Kakak bisa mendengarku atau nggak, tapi aku ingin mengenalkan orang paling spesial dalam hidupku sekarang,” ujarnya sambil melirik ke arah Amanda yang tengah mengusap air matanya sambil sesenggukan. “Ini Amanda Chloe, adik kandungnya Kakak dan juga pacarku. Aku tahu apa yang akan Kakak katakan jika Kakak masih hidup. Kakak pasti tidak akan suka jika tahu ini. Kalau Kakak masih hidup dan bisa bert

  • His Last Wish (Indonesian)   Bab 40

    Dua minggu lebih ia habiskan waktunya untuk berbaring di ranjang rumah sakit yang sangat tidak nyaman, memandangi pemandangan di luar jendela. Terdengar suara decit burung-burung yang bertengger di salah satu jendela kamarnya, seperti tengah mencoba menyapanya dengan wajah polos mereka. Ia terus mengamati burung-burung itu sampai akhirnya burung-burung itu pergi dari jendela itu, menyusul kawanan mereka. Di samping tempat tidurnya, ia mendapati sosok Hazel yang tengah mengiris apel untuknya walaupun ia sudah menolak berkali-kali karena kehilangan selera makan. Begitu selesai mengupas, wanita itu menyuapkan apel itu ke mulutnya. Agak enggan, ia melahap apel itu, mengunyahnya dalam diam.“Aku hormati keputusanmu, Raymond.”Ia mengernyit kebingungan mendengar perkataan Hazel yang tiba-tiba. Sambil mengunyah apelnya, ia

  • His Last Wish (Indonesian)   Bab 39

    Sepertinya, belum saatnya ia mati.Hanya itu kesimpulan yang bisa ia pikirkan begitu ia membuka kedua matanya, memandangi langit-langit kamar yang putih sepenuhnya. Sinar mataharinya yang memasuki ruangan itu melalui jendela kamarnya membuat matanya silau. Ada banyak alat penopang kehidupan terpasang di tubuhnya, menyulitkannya untuk bergerak leluasa. Napasnya sedikit sesak akibat alat bantu pernapasan yang dipasang untuk membantunya bernapas. Matanya tertuju pada seorang wanita berpakaian perawat yang tengah memeriksa selang infusnya.“Tuan Cooper? Sudah siuman?” Wanita itu memutar tubuhnya, menarik napas lega begitu melihatnya. Matanya hanya tertuju pada seragam yang begitu ketat membungkus tubuh wanita itu, memperlihatkan lekuk tubuh w

  • His Last Wish (Indonesian)   Bab 38

    Raymond memandangi Thyme dan Verdict yang masih tetap berada di tempat mereka. Thyme tetap bersikap tenang, walaupun ia menangkap sedikit guratan kegelisahan di wajah kekanakan anak itu. Sementara Verdict sudah kehilangan kendali emosinya setelah melihat salah satu anggotanya dibunuh Simon, meronta sambil terus merutuki Simon yang tampak tidak mempedulikan kemarahan pria itu.Tangannya yang tidak memegang revolver itu mengepal, berusaha tetap tenang menghadapi pria yang masih menunggu jawabannya.“Apa jaminannya?”“Kamu bergabung denganku, semua orang yang ada di tempat ini akan kubebaskan.”

  • His Last Wish (Indonesian)   Bab 37

    “Ed, aku nggak apa. Serius. Jadi bisa nggak, kamu berhenti mengkhawatirkanku?”Edward tidak menghiraukan pertanyaannya, masih terus mengamati seksama seluruh tubuhnya yang sukses membuatnya canggung setengah mati.“Ini salahku. Memang harusnya aku nggak biarin kamu melawan orang itu sendirian,” Edward kini menjauhkan tubuhnya dari Raymond, mengeluarkan tablet hologramnya, lalu menatap layar tablet hologramnya sambil menggumam pada dirinya sendiri.“Boleh aku bertanya sedikit?”“Tentu.”

  • His Last Wish (Indonesian)   Bab 36

    Begitu efek gasnya menghilang, Raymond memberi aba-aba untuk masuk ke dalam, berlari sambil menghindari tembakan orang-orang Simon yang berjaga di sekitar lorong koridor tempat mereka berada saat ini, bersama Edward dan Lucas. Sementara sisanya telah berpencar, mengikuti arahannya. Masing-masing dari orang yang ia tunjuk sebagai pemimpin sudah membawa alat yang diberikan Hazel tadi sebagai tindakan preventif, dan memberi arahan pada mereka untuk mencari anak-anak yang ditawan di ruang bawah tanah sementara ia, Lucas, dan Edward bergerak menuju lantai dua.“Raymond?” Edward berbisik di dekatnya, tampak cemas, begitu mereka tiba di lantai dua, bersembunyi di balik dinding seraya mengisi ulang amunisi senjata mereka yang habis.“Apa?”

  • His Last Wish (Indonesian)   Bab 35

    Raymond mematikan mesin mobilnya, mengawasi Thyme dan Verdict yang sudah masuk ke dalam bangunan itu dari jauh. Thyme memintanya untuk memarkirkan mobilnya agak jauh markas Simon Clive yang kini dipenuhi oleh orang-orang berpakaian mewah yang berbondong masuk ke dalam bangunan tersebut, disambut oleh beberapa orang berpakaian serba hitam dengan aura menakutkan di sekeliling mereka. Ia mengenali beberapa dari mereka yang mengepungnya waktu ia bersama Edward. Berulang kali ia mengetuk jemarinya, merasa frustrasi karena tidak mengetahui rencana anak itu.“Mau?” Hazel yang duduk di belakangnya menyodorkan snack bar yang sedari tadi dikonsumsi wanita itu padanya. “Buatanku sendiri. Rendah kalori, tapi cukup untuk mengisi tenagamu.”“Nggak. Aku

DMCA.com Protection Status