Raymond menyesap teh chamomile yang disiapkan Hazel untuk menenangkan pikirannya, bersama dengan roti bakar, telur orak-arik, bacon wortel, memunculkan aroma yang seharusnya mampu membangkitkan selera makannya. Sebaliknya, ia hanya memandang piringnya dengan tatapan lesu dan kembali menyesap tehnya hingga tersisa sedikit.
“Apa makananku nggak enak?”
Raymond menggeleng.
“Kalau dibandingkan dengan masakanmu yang biasanya, ini memang tidak ada apa-apanya. Maaf.”
“Bukan itu masalahnya, Hazel…”
“Oh.”
Wanita itu tidak lagi merespon. Ia memandangi Hazel. Wanita ini sibuk menikmati sarapannya dengan wajahnya yang tenang.
“Kasih jarak. Jangan minum obat pereda nyerinya setelah minum teh. Nggak bagus.”
Raymond mengangguk. Dalam hati, ia tidak berniat untuk meminum kembali obat pereda nyerinya. Lebih baik ia biarkan saja rasa nyeri itu tetap ada, untuk mengingatkan alasan yang membuatnya mendatangi kota ini.
“Sampai lupa,” Hazel mengelap bibirnya, sambil meneguk air mineral di gelas kaca yang ada di samping kiri piringnya. Piringnya sudah kosong. “Kamu nggak usah pergi ke kafe hari ini. Aku sudah izin sama Edward.”
Edward? Ah, ia sampai lupa nama manajer berwajah ketus itu.
“Nggak perlu. Aku masih bisaー” Raymond tidak jadi melanjutkan perkataannya begitu melihat Hazel yang mendelik padanya. “Y-ya. Lebih baik aku di rumah. Piringnya biar aku yang cuci.”
“Oke. Aku pamit dulu. Kalau ada apa-apa, telepon. Paham?”
Begitu wanita itu keluar dari apartemen dan terdengar suara pintu yang tertutup, ia menarik napas lega. Ia tidak menyangka kalau Hazel itu tipe perawat yang sangat galak, sampai napasnya tercekat saking takutnya. Dalam hati, ia merasa lega, karena pacarnya itu sama sekali tidak menanyakan alasan di balik serangan cemasnya tadi. Tapi rasanya ia seperti pecundang, membiarkan wanita berusia 18 tahun mengkhawatirkan dirinyaーseorang pria berusia 26 tahun yang baru saja menunjukkan kelemahannya di depan wanita itu. Ia memandang sekilas menu sarapannya. Sebenarnya, ia tidak ingin memakannya. Selera makannya sudah hilang karena melihat kilas balik ingatan yang seharusnya sudah ia
lupakan. Tapi, ia tidak enak dengan Hazel yang sudah capek-capek menyiapkan sarapan yang biasanya menjadi tugasnya. Agak enggan, ia memakannya.
Tidak buruk. Tingkat kematangan telurnya sangat pas, sesuai dengan seleranya. Lalu bacon wortel ini, dari penampilannya tampak menyedihkan, namun begitu lidahnya menyentuh bacon ini, selera makannya mendadak kembali. Perpaduan bumbu dengan tekstur wortelnya sangat cocok. Kapan Hazel membuatnya? Setahunya, bacon wortel itu harus direndam dengan bumbu selama satu jam agar meresap sempurna, lalu dipanggang. Tapi ia tidak melihat Hazel melakukannya tadi. Wanita itu hanya memasukkan bacon itu ke dalam oven, lalu menghidangkannya bersama dengan telur orak-arik dan roti yang baru saja keluar dari pemanggang.
Teleponnya berdering, menghentikan sarapannya. Ia beranjak dari kursinya, mencari ponselnya yang ternyata terselip di sela-sela kursi sofa, sepertinya terjatuh saat ia tertidur tadi malam. Ia melihat nomor yang menghubunginya, menaikkan sebelah alisnya karena kebingungan. Di daftar kontak ponsel yang baru ia beli setibanya di kota ini hanya berisi nama-nama rekan kerjanya di kafe, Hazel, Amanda dan teman-temannya. Sambil tetap bersikap waspada, ia mengangkat panggilan tersebut.
“Akhirnya kamu angkat, Raymond!”
Ia menarik napas lega begitu mengenal suara yang sedang meneleponnya. “Seperti biasa, penuh kejutan, ya? Tahu dari mana nomorku?”
“Kamu itu gimana, sih? Aku kan punya banyak cara buat hubungi adik Priaku.”
Raymond membayangkan Martha mengedipkan sebelah matanya saat mengatakannya. Hal yang biasa dilakukan wanita itu setiap kali menyebutnya sebagai ‘adik Pria’. Ia tertawa, lalu meringis karena luka tembakan itu masih terasa nyeri, membuat Martha cemas.
“Aku nggak apa,” sahutnya seraya berjalan kembali ke ruang makan, menikmati sarapannya yang sempat terganggu. “Jadi, ada yang ingin kamu bicarakan, Martha?”
“Yakin? Udah minum obat pereda nyerinya?”
“Aku masih sarapan, Martha.”
“Coba deh, panggil aku kakak. Kayak dulu. Kak Martha〜” Terdengar suara Martha yang tertawa saat mengatakannya. “Imut loh kamu waktu itu.”
“Udah selesai ngeledeknya? Nyeri di perutku kambuh lagi gara-gara kamu.”
“Dih, serius amat jadi orang.”
“Biar.” Raymond mendesah pelan, menghabiskan sarapannya lalu menjauhkan piring itu dari hadapannya sambil meletakkan tangannya di atas meja. “Itu sudah berlalu. Kalau nggak ngomong juga bakal kututup teleponnya sekarang. Tiga, dua, saー”
“Oke, oke. Aku ngomong sekarang,” sela Martha. “Kamu luang nggak siang ini? Ada yang mau kubicarakan, tapi nggak di telepon. Bisa?”
Ia menimang sejenak tawaran Martha, lalu mengangguk. “Gak masalah. Tempatnya?”
“Nanti kuberitahu. Sampai nanti.”
Ia menutup teleponnya, lalu beranjak dari tempat duduknya. Meletakkan piring-piring kotor dan sisa peralatan yang digunakan Hazel untuk memasak tadi ke dalam mesin pencuci piring.
***
Mata Raymond berkedut. Bukan, ini bukan karena ia menahan nyeri akibat luka tembakan waktu itu. Sama sekali bukan. Penyebab matanya berkedut itu karena melihat wanita berusia 30 tahun yang saat ini duduk berhadapan dengannya di sebuah kedai kopi dekat Sunflower Roadーnama jalan yang berada dekat dengan apartemen yang ia huniーsedang menikmati parfait seorang diri dengan ukuran parfait yang sebenarnya bisa dimakan lebih dari dua orang saking besarnya. Ia melihat papan menu yang tergantung di atas meja kasir.
Menu ekstra besar tersedia
Pantas saja wanita ini mengajaknya makan di kedai kopi ini. Mengingat selera makannya yang sangat besar, jelas jika kedai kopi ini menyediakan hal yang bisa memuaskan nafsu makan Martha yang tidak selaras dengan berat badannya yang tetap stabil. Takdir benar-benar kejam. Padahal ia sendiri harus menjaga asupan kalorinya agar berat badannya stabil karena dia gampang gemuk. Wanita ini, dengan entengnya melanggar kode etik yang selalu dipegang teguh oleh para wanita di seluruh dunia. Melihat temannya makan saja sudah menghilangkan selera makannya. Bahkan tanpa sadar, Raymond terus mengaduk frappuccino-nya hingga esnya meleleh semua dan membiarkan croissant yang dipesannya sejak tadi menjadi tidak sehangat saat disajikan.
“Udah selesai?” tanya Raymond sambil menyangga kepalanya dengan tangannya satunya yang menyandar di atas meja. Sebenarnya ia agak jengkel karena seingatnya, ia datang ke tempat ini bukan untuk melihat temannya makan, tapi untuk mendapatkan informasi-entah-apa-itu. “Aku nggak mau kelihatan kayak kencan sama orang kayak kamu, Martha. Padahal kencan sama Hazel aja belum sempat.”
“Melankolis amat jadi orang,” Martha menunjuk sendoknya ke arah Raymond dengan mulutnya yang penuh dengan es krim, lalu menelannya dalam hitungan detik. “Kamu segitunya benci sama kakak perempuanmu yang paling cantik ini?”
“Cantik, cantik. Ngaca! Makan kayak kuda nil gitu!”
“Ini tipe keanggunan yang berbeda, Raymond. Aku menyebutnya ‘kecantikan alami’.”
“Lebih baik aku minggat dari sini sekarang daripada dengerin omong kosongmu itu, Martha.”
“Jangan!” Martha segera menahan tangannya saat ia pura-pura beranjak dari tempat duduknya.
Sebenarnya ia tidak berniat melakukannya. Mana mungkin ia meninggalkan Martha dengan tangan kosong? Ia berbalik, puas begitu melihat Martha yang akhirnya mulai serius.
“Izinkan aku makan satu sendok lagi.”
Raymond mengangguk dan kembali duduk di bangkunya. Lalu setelah menelan satu sendok es krim dan kini mangkuk itu sudah tersisa setengah, Martha bersendawa di depannya.
“Oh. ‘Kecantikan alami’ ya?” ledeknya begitu Martha menutup kedua mulutnya setelah bersendawa sekeras itu. Sama sekali tidak sesuai dengan kesan anggun dan seksi yang selalu ditampilkan Martha di depan publik.
“Ini beda.”
“Iya deh, beda.” Raymond mencondongkan tubuhnya ke arah Martha. “Jadi, apa yang ingin kamu katakan?”
“Aku baru mencari tahu soal orang-orang yang kemarin kamu serang itu. Yang mengejutkan adalah orang-orang itu merupakan organisasi mafia yang baru tiba di kota ini beberapa bulan yang lalu. Dan jujur saja, keberadaan mereka ini sudah membuatku tertarik sejak aku mendengar informasi tentang mereka, tapi nggak pernah ada kesempatan untuk mengetahui mereka langsung sampai kemarin.”
“Maksudmu, mereka ini masih baru?”
Martha mengangguk. “Karena selama lima tahun aku berada di sini, aku nggak pernah dengar kabar mereka. Menurut informasi yang berhasil kudapatkan, mereka tiba di sini nggak lama setelah kamu, Raymond.”
Benar-benar di luar dugaan, gumam Raymond dalam hati. Lalu ia kembali memandang Martha. “Siapa nama bos mereka.”
“Simon. Simon Clive. Harusnya organisasi mafianya bergerak di Inggris, tapi entah kenapa mereka bisa berada di sini.”
Simon Clive? Nama yang terdengar asing di telinganya. Informasinya cocok dengan yang ia dengar dari mulut wanita yang menyerangnya kemarin. Untuk apa orang itu mengincar Amanda? Apa mereka mengetahui identitas Arnold dan berniat membunuh Amanda juga?
“Untung berhasil kubereskan. Kamu itu dari dulu nggak pernah berubah. Selalu nggak bisa menahan diri untuk tidak membunuh orang. Padahal kamu itu polisi loh! Polisi! Yang harusnya menegakkan keadilan.”
“Mantan.” ralat Raymond sambil menyesap frappuccino-nya. “Yang kubunuh juga selalu orang bejat. Susah kalau mereka diadili dengan hukum Morozov yang longgar. Dan lagi, aku nggak bunuh mereka kemarin. Cuma memberi rasa sakit yang setara dengan kematian, itu saja.”
“Sama saja, Raymond! Kamu itu sama sekali nggak mematuhi kode etik kepolisian.”
“Sejak kapan kamu peduli soal kode etik?”
“Benar juga.” Martha tertawa. “Mematuhi aturan itu bukan aku banget. Yah, pokoknya semua sudah kubereskan, tapi hilangnya anggota mereka pasti akan menimbulkan kecurigaan mereka cepat atau lambat.”
“Ya.” Raymond memandang ke luar jendela kedai kopi. Hujan mulai turun deras. Sepertinya ia akan terjebak lama di sini. “Aku perlu bayar kamu berapa buat jasamu kemarin?”
“Nggak usah. Anggap aja free service. Hitung-hitung sebagai balasan karena sudah memberiku pendonor.”
Raymond sampai lupa kalau saat ini ia bukan hanya berhadapan dengan mantan informan andal di Morozov, tapi juga penjual organ tubuh di pasar gelap. Kalau dipikirkan kembali, bagaimana bisa ia bertemu dengan orang sekelam Martha? Wanita yang dilihat dari penampilannya memang sangat menggoda. Seksi. Selalu bisa membuat orang tertarik untuk mendekat padanya. Bisa dikatakan wanita ini sangat berbahaya, seperti black widow. Tapi wanita inilah yang menyelamatkannya saat orangtuanya meninggalkannya, menganggapnya sebagai adik Prianya sendiri. Dan mungkin, itu juga yang membuatnya tidak pernah merasa takut ataupun waspada dengan Martha. Padahal bisa saja Martha berkhianat padanya sewaktu-waktu. Yah, ia tidak perlu khawatir soal itu, sih. Kalau wanita ini berkhianat, ia hanya perlu mencari jalan keluar untuk terbebas dari bahaya. Semudah itu.
“Lain kali aku nggak akan sungkan deh, bawa kamu ke sarang musuh.”
“Ini kenapa aku suka banget sama kamu, Raymond,” Martha mengusap lembut pipi Raymond. “Cuma adik Priaku ini yang ngerti aku.”
“Iya, iya. Kamu sering banget ngomong gitu sampai telingaku sakit rasanya.”
“Adikku malu-malu banget jadi orang,” Martha tersenyum lembut padanya seraya menjauhkan tangannya dari Raymond, kembali memakan parfait-nya. “Ngomong-ngomong, kapan mau ngenalin Hazel ke aku?”
“Nggak bakal kukenalin.”
“Kok gitu sama kakak?”
“Kayak gini aja baru nyebut dirimu ‘Kakak'.”
“Tapi emang iya, kan? Walaupun nggak ada hubungan darah.”
“Nanti kamu ngapa-ngapain Hazel gimana? Dia masih polos, tahu!”
“Sayang banget sama pacarnya, ya?”
“Bahkan sampai tahu kalau aku udah pacaran.”
“Cuma nebak. Eh, ternyata benar.”
Raymond mendecakkan lidahnya, sebal karena baru menyadari kalau ia jatuh ke perangkap Martha dengan memberitahu fakta ia sudah pacaran dengan Hazel. Ia meneguk frappuccino-nya hingga habis. “Aku yang bayar tagihannya, kan?”
“Nggak. Aku yang bayar. Kan aku yang ngundang kamu ke sini. Ngomong-ngomong croissant-nya nggak dimakan?”
Raymond melirik sekilas croissant-nya, lalu menggeleng pelan. “Buatmu aja. Belum kusentuh.”
“Kamu baik sekali, Raymond!” Tangan wanita ini segera menyambar piring Raymond dan melahap roti itu dengan nikmat, seakan parfait yang kini sudah habis itu belum cukup mengenyangkan. “Kalau Arnold masih ada, mungkin aku bakal kayak kamu, Ray.”
Raymond terkejut. Jarang-jarang Martha memanggilnya ‘Ray’. Ekspresi Martha berubah sendu. Mendengar nama Arnold, tangannya kembali gemetar. Dalam hati, rasa bersalahnya kembali muncul. Ia tahu kalau Martha sebenarnya menyukai Arnold walaupun wanita ini tidak pernah mengatakannya langsung. Jalan pikiran dan prinsip mereka yang tidak suka komitmen itu sangat mirip. Sewaktu Martha tinggal di Morozov, ia sering mendapati Martha dan Arnold kencan sampai ia sempat mengira kalau mereka pacaran.
“Maaf. Ini salahku.”
Martha menggeleng. “Bukan. Aku tahu setelah kematian Arnold, kamu terus mengurung diri di kamar. Menjalani terapi konseling karena PTSD-mu. Berhenti menyalahkan dirimu sendiri. Sebagian besar juga ini salahku. Aku ninggalin dia tanpa kabar. Nggak ada di sampingmu di saat kamu butuh.”
Raymond bisa merasakan tubuhnya mulai menggigil. Kilas balik ingatan tentang kematian Arnold kembali berputar di dalam pikirannya. “Salahku. Semua salahku. Kalau saja waktu itu aku lebih cepat datang, mungkinー”
Martha segera meninggalkan croissant-nya, memeluk tubuh Raymond sebelum ia sempat melanjutkan perkataannya. “Aku sudah bilang, kan? Berhenti menyalahkan dirimu sendiri, Ray. Kamu bukan orang yang serapuh ini. Kamu kuat. Itu yang kutahu.”
Raymond mengangkat tangannya, agak ragu membalas pelukan hangat Martha. Rasanya ia tidak pantas menerima ini semua. Gara-gara dia, Martha tidak akan bisa bertemu Arnold. Gara-gara dia, Amanda tidak akan pernah bisa melihat kakak Prianya. Gara-gara dia…
Tanpa sadar, air matanya mengalir. Menumpahkan semua perasaan yang selama ini ia pendam pada Martha. Raymond membenamkan wajahnya di bahu Martha, menangis tanpa mempedulikan tatapan aneh orang-orang di kedai kopi itu. Tangan Martha mengelus rambut Raymond, membiarkan bahunya basah oleh air matanya.
***
Raymond kembali ke apartemennya, disambut dengan tatapan tajam Hazel yang melihatnya basah kuyup. Setelah ia menangis dan merasa sedikit lebih baik, ia meninggalkan kedai kopi itu tanpa mempedulikan Martha yang bersikeras mengantarkannya pulang ke apartemen karena hujan deras. Ia berjalan menerobos hujan, tidak mempedulikan pakaiannya yang basah.“Masuklah,” Hazel berlari memasuki kamarnya, dan kembali dengan handuk bermotif panda di tangannya, menyodorkan padanya lalu berbalik memunggunginya. “Sebentar lagi buburnya matang.”“O-oke…” jawab Raymond, enggan. Ia ingin mengatakan kalau ia tidak selera makan, tapi ia urungkan karena merasa tidak enak pada Hazel yang pasti sudah susah payah membuatkan bubur untuknya. Hazel sama sek
Surga, ya?Apa saat ini ia sedang bermimpi? Tidur bersama dengan malaikat yang sudah ia incar selama dua bulan? Maksudnya, dengan Hazel yang tengah tertidur lelap dengan wajahnya yang seperti malaikat ini? Bukan, bukan. Hazel bukan seperti malaikat. Dia memang malaikat...Raymond segera menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Ia bisa merasakan wajahnya yang memerah karena teringat apa yang mereka lakukan tadi malam."Raymond..."Teringat akan suara Hazel yang terdengar seksi, setengah mendesah saat memanggil namanya dan menandai seluruh tubuh wanita
Begitu Raymond kembali ke apartemen, matahari sudah terbit. Hazel sudah pergi ke tempat kerjanya, karena ia tidak menemukan wanita itu di mana pun. Meninggalkan bubur yang sudah dingin dan beberapa obat yang harus ia minum di atas meja, lengkap dengan catatan di kertas Post It di atas tutup mangkuk bubur.Sudah kusiapkan bubur. Jangan lupa diminum obatnya.HazelIa menarik kertas itu dari tutup mangkuknya, menjejalkannya di dalam saku celananya. Memaksakan diri untuk membuka tutup mangkuk
Sudah dua minggu sejak insiden penyerangan itu terjadi. Lukanya sudah pulih seperti semula, dan tidak ada alasan baginya untuk tidak kembali bekerja di kafe Hazel, dan mendatangi rumah Thyme setelah waktu kerjanya di kafe ini selesai. Menjalankan dua pekerjaan sekaligus sangat sulit, sehingga harus ia akui, ia kagum pada Hazel yang bisa bekerja di dua tempat yang berbeda tanpa pernah mengeluh sedikit pun. Kalau dipikirkan lagi, ia sama sekali tidak pernah mendengar Hazel mengeluh soal pekerjaannya. Sulit untuk menggambarkan apakah Hazel benar-benar menikmati pekerjaannya atau tidak, karena wanita itu selalu memasang wajah lesu setiap kali berangkat ke tempat kerja, dan malah terlihat bersemangat setiap kali pulang kerja. Bahkan wanita itu menyempatkan diri untuk membawa pulang makanan-makanan manis yang wanita itu buat di waktu senggangnya saat kafe sepi untuknya. Selalu memastikan untuk memberitahunya bahwa semua ma
Raymond meletakkan dokumen terakhir di atas meja kerja Thyme, mendapati Thyme tengah tertidur lelap—entah sejak kapan—meniduri tumpukan dokumen yang seharusnya ditanda tangani anak itu.“Thyme?” Raymond mencoba membangunkan Thyme dengan mengguncangkan sedikit bahu Thyme. Gagal. Sekali lagi ia mencoba membangunkannya, dan syukurnya berhasil. Bisa repot kalau Thyme sampai tidak bangun juga, karena itu berarti ia harus mengorbankan jam pulangnya untuk menunggu hingga anak itu terbangun.“Ah, maaf ketiduran,” kata Thyme.“Tidak apa. Tapi sebaiknya kamu pindah ke kamarmu. Bakal sakit kalau tidur di sini.”
Raymond menghentakkan kakinya. Jemarinya mengetuk pahanya, mengenyahkan kegelisahannya sambil melirik ke arah Hazel yang sibuk menonton serial drama yang tidak ia kenal di saluran TV kabel. Wanita ini sengaja mengeraskan volume suaranya setiap kali ia mencoba untuk membuka percakapan, membuat suasananya menjadi lebih canggung dari sebelumnya. Ia tidak mengerti apa yang membuat wanita ini marah padanya. Ia pikir, setelah kemarin malam ia meminta maaf, ia akan dimaafkan. Nyatanya tidak sesederhana itu. Lebih parahnya lagi, Hazel terus merespon singkat semua perkataannya. Semua upayanya agar Hazel tidak marah gagal total. Bukannya membaik, justru semua yang ia lakukan malah semakin memperburuk keadaan.Contohnya pagi ini. Karena hari ini hari libur mereka berdua, ia sengaja bangun lebih awal dari biasanya, meluangkan waktuny
Raymond berjalan gontai meninggalkan rumah kediaman Umberbridge. Seluruh tubuhnya gemetar akibat kilas balik ingatannya yang masih tidak sanggup ia hadapi. Berada di samping Amanda yang justru mengingatkannya akan Arnold karena kemiripan wajah dan gerak-gerik mereka semakin memperparah gejala PTSD-nya. Ia tahu, cepat atau lambat, keadaannya akan semakin memburuk jika ia terus membiarkannya. Psikiater yang menanganinya dulu juga sudah mengingatkan resiko yang akan ia hadapi jika ia menghentikan sesi terapinya di pertengahan. Tapi, apa dia punya pilihan, sementara kini ia mengetahui bahwa adik mendiang temannya berada dalam bahaya? Kondisinya benar-benar terjepit. Setidaknya, ia menganggap apa yang ia lakukan sekarang bagian dari upayanya untuk menebus kesalahan yang telah ia perbuat. Dadanya terasa nyeri, sampai ia memukul dadanya agar rasa nyerinya hilang. Rasa sakit menghantam nyaris
Raymond bisa merasakan seluruh tubuhnya yang seakan membeku. Ingin rasanya ia berlari menghindari orang-orang berpakaian resmi yang dari perawakannya bukan orang biasa, menghindari semuanya. Serangan panik yang tadi ia alami itu sudah menghabiskan seluruh energinya. Tapi di belakangnya ada Edward, dan ia tidak ingin manajer kafe yang tidak tahu apa-apa itu terlibat dalam urusannya. Ia menelan ludah. Ya, tidak ada cara lain selain menghadapi orang-orang ini, dengan kemungkinan menangnya hanya tiga puluh persen berdasarkan dari observasinya akan kemampuan orang-orang ini. Ia mendekat ke arah Edward yang berdiri di belakangnya, terlihat sedikit cemas.“Dengar. Dalam hitungan ketiga, lari dari tempat ini. Mengerti?”“Terus kamu?”
Thyme Umberbridge memandang bayangan dirinya di kaca mobil, merapikan penampilannya. Hari ini ia sudah memberanikan diri mengajak Priska Cirillo—perempuan yang sudah ia suka sejak ia tahun pertamanya di SMA St. Ignatius. Perempuan kuat yang berhasil mengalihkan dunianya yang selama ini hanya berkutat pada belajar dan latihan mempersiapkan diri untuk menjadi pemimpin organisasi mafia Umberbridge, menggantikan ayahnya. Dari Priska, ia mengenal Amanda Chloe—teman satu angkatannya yang dikenal jenius dalam bermain piano (dan belakangan ia baru tahu bahwa temannya itu adalah adik perempuan dari Arnold Walter, pembunuh bayaran dari keluarga Walter yang ia kagumi sejak lama sampai ia mengikuti jejaknya dengan mengasah kemampuannya menembak secara akurat), dan Gerald Tan—teman sejak kecil Amanda Chloe yang memiliki kepribadian seperti ibu rumah tangga, dan sekarang tengah bersamanya di dalam mobil setelah ia meminta temannya itu untuk menemaninya. Ia terlalu gugup, sampai tidak menyadari ke
Suara lima anak-anak yang berlari di lorong membuat Raymond tanpa sadar tersenyum kecil memandangi mereka semua. Keceriaan anak-anak itu seolah memberikan suasana yang jauh lebih menyenangkan di tengah kumpulan para pasien rumah sakit yang rata-rata dihuni oleh orang tua. Hanya sedikit pasien yang seumuran dengannya, itu pun tidak menghabiskan waktu lama sepertinya. Anak-anak itu tertawa keras sebelum akhirnya terdiam saat seorang perawat wanita menegur mereka yang ribut. Wajah bahagia mereka memudar, disusul kepala mereka yang menunduk lesu. Ia yang baru saja menyelesaikan proses administrasi rumah sakit hanya menggeleng pelan, menghampiri anak-anak tadi dan juga perawat wanita yang masih sibuk mengomeli mereka dengan perkataan yang terus diulang-ulang. “Biarkan saja,” tangan kiri Raymond bergerak mengelus salah satu kepala anak-anak berambut panjang lurus berwarna cokelat tua yang digerai. Anak itu mendongak
Verdict meletakkan karangan bunga di atas batu nisan kakak angkatnya, memejamkan matanya sambil membentuk tanda salib di depan dada. Di sampingnya, Amanda berdiri terpaku, memandangi batu nisan dengan ukiran nama Arnold Walter. Tidak ada kata-kata khusus yang terukir di batu nisan itu selain nama dan tanggal kematian. Tangannya mencari tangan Amanda dan menggenggamnya erat, menenangkan pacarnya yang mulai menangis.“Kak. Aku nggak tahu Kakak bisa mendengarku atau nggak, tapi aku ingin mengenalkan orang paling spesial dalam hidupku sekarang,” ujarnya sambil melirik ke arah Amanda yang tengah mengusap air matanya sambil sesenggukan. “Ini Amanda Chloe, adik kandungnya Kakak dan juga pacarku. Aku tahu apa yang akan Kakak katakan jika Kakak masih hidup. Kakak pasti tidak akan suka jika tahu ini. Kalau Kakak masih hidup dan bisa bert
Dua minggu lebih ia habiskan waktunya untuk berbaring di ranjang rumah sakit yang sangat tidak nyaman, memandangi pemandangan di luar jendela. Terdengar suara decit burung-burung yang bertengger di salah satu jendela kamarnya, seperti tengah mencoba menyapanya dengan wajah polos mereka. Ia terus mengamati burung-burung itu sampai akhirnya burung-burung itu pergi dari jendela itu, menyusul kawanan mereka. Di samping tempat tidurnya, ia mendapati sosok Hazel yang tengah mengiris apel untuknya walaupun ia sudah menolak berkali-kali karena kehilangan selera makan. Begitu selesai mengupas, wanita itu menyuapkan apel itu ke mulutnya. Agak enggan, ia melahap apel itu, mengunyahnya dalam diam.“Aku hormati keputusanmu, Raymond.”Ia mengernyit kebingungan mendengar perkataan Hazel yang tiba-tiba. Sambil mengunyah apelnya, ia
Sepertinya, belum saatnya ia mati.Hanya itu kesimpulan yang bisa ia pikirkan begitu ia membuka kedua matanya, memandangi langit-langit kamar yang putih sepenuhnya. Sinar mataharinya yang memasuki ruangan itu melalui jendela kamarnya membuat matanya silau. Ada banyak alat penopang kehidupan terpasang di tubuhnya, menyulitkannya untuk bergerak leluasa. Napasnya sedikit sesak akibat alat bantu pernapasan yang dipasang untuk membantunya bernapas. Matanya tertuju pada seorang wanita berpakaian perawat yang tengah memeriksa selang infusnya.“Tuan Cooper? Sudah siuman?” Wanita itu memutar tubuhnya, menarik napas lega begitu melihatnya. Matanya hanya tertuju pada seragam yang begitu ketat membungkus tubuh wanita itu, memperlihatkan lekuk tubuh w
Raymond memandangi Thyme dan Verdict yang masih tetap berada di tempat mereka. Thyme tetap bersikap tenang, walaupun ia menangkap sedikit guratan kegelisahan di wajah kekanakan anak itu. Sementara Verdict sudah kehilangan kendali emosinya setelah melihat salah satu anggotanya dibunuh Simon, meronta sambil terus merutuki Simon yang tampak tidak mempedulikan kemarahan pria itu.Tangannya yang tidak memegang revolver itu mengepal, berusaha tetap tenang menghadapi pria yang masih menunggu jawabannya.“Apa jaminannya?”“Kamu bergabung denganku, semua orang yang ada di tempat ini akan kubebaskan.”
“Ed, aku nggak apa. Serius. Jadi bisa nggak, kamu berhenti mengkhawatirkanku?”Edward tidak menghiraukan pertanyaannya, masih terus mengamati seksama seluruh tubuhnya yang sukses membuatnya canggung setengah mati.“Ini salahku. Memang harusnya aku nggak biarin kamu melawan orang itu sendirian,” Edward kini menjauhkan tubuhnya dari Raymond, mengeluarkan tablet hologramnya, lalu menatap layar tablet hologramnya sambil menggumam pada dirinya sendiri.“Boleh aku bertanya sedikit?”“Tentu.”
Begitu efek gasnya menghilang, Raymond memberi aba-aba untuk masuk ke dalam, berlari sambil menghindari tembakan orang-orang Simon yang berjaga di sekitar lorong koridor tempat mereka berada saat ini, bersama Edward dan Lucas. Sementara sisanya telah berpencar, mengikuti arahannya. Masing-masing dari orang yang ia tunjuk sebagai pemimpin sudah membawa alat yang diberikan Hazel tadi sebagai tindakan preventif, dan memberi arahan pada mereka untuk mencari anak-anak yang ditawan di ruang bawah tanah sementara ia, Lucas, dan Edward bergerak menuju lantai dua.“Raymond?” Edward berbisik di dekatnya, tampak cemas, begitu mereka tiba di lantai dua, bersembunyi di balik dinding seraya mengisi ulang amunisi senjata mereka yang habis.“Apa?”
Raymond mematikan mesin mobilnya, mengawasi Thyme dan Verdict yang sudah masuk ke dalam bangunan itu dari jauh. Thyme memintanya untuk memarkirkan mobilnya agak jauh markas Simon Clive yang kini dipenuhi oleh orang-orang berpakaian mewah yang berbondong masuk ke dalam bangunan tersebut, disambut oleh beberapa orang berpakaian serba hitam dengan aura menakutkan di sekeliling mereka. Ia mengenali beberapa dari mereka yang mengepungnya waktu ia bersama Edward. Berulang kali ia mengetuk jemarinya, merasa frustrasi karena tidak mengetahui rencana anak itu.“Mau?” Hazel yang duduk di belakangnya menyodorkan snack bar yang sedari tadi dikonsumsi wanita itu padanya. “Buatanku sendiri. Rendah kalori, tapi cukup untuk mengisi tenagamu.”“Nggak. Aku