Share

Bab 7

Author: Zhen Xin Xin
last update Last Updated: 2021-02-27 04:34:34

Mereka tiba di depan rumah Amanda Chloe. Tidak terlihat aktivitas di rumah tersebut, menandakan bahwa anak itu benar-benar berada di rumah Gerald Tan. Sambil terus menggenggam tangan Hazel yang tidak ia lepaskan sejak tadi, mereka berjalan melewati tiga rumah sebelum akhirnya tiba di rumah Gerald Tan. Hampir semua rumah yang berada di sini memiliki desain yang mirip karena letaknya yang berada di perumahan, membuat orang sedikit kebingungan jika baru pertama kali mengunjungi tempat ini dan tidak memperhatikan detail lainnya yang menggambarkan profil si pemilik rumah. Seperti contohnya rumah Amanda tadi yang memiliki pintu pagar berwarna hitam, sementara rumah yang sekarang ada di hadapannya ini memiliki pintu pagar berwarna putih dengan ukiran singa emas. Raymond mengeluarkan ponselnya sekilas sebelum memasukkannya kembali ke dalam saku celananya untuk mengecek jam.

Pukul 9 malam. Belum terlalu larut. Harusnya kedua anak itu masih terjaga. Agak ragu, Raymond menekan tombol bel yang ada di dekat pagar rumah.

“Siapa?” Terdengar suara Gerald dari kotak suara yang ada di atas bel rumahnya, menjawab dengan nada ketus.

“Orang yang tadi bersama Amanda.”

“Sebentar.”

Tidak butuh waktu lama untuk menunggu Gerald karena kurang dari semenit, anak itu sudah berlari keluar dari rumahnya, membuka pintu pagarnya.

“Masuklah.” Ia menangkap sedikit nada gusar saat anak itu mengatakannya. Ia menyadari tatapan anak itu yang mengarah pada Hazel yang bersembunyi di balik punggungnya.

“Dia pacarku. Nggak keberatan kan, kubawa juga?”

“Ah. Jadi kasihan sama Amanda.”

“Ada apa memang?” Raymond kebingungan mendengar perkataan Gerald. Tapi anak itu malah mengangkat bahu, tidak berniat untuk menjelaskannya, memberi kode pada mereka berdua untuk segera masuk ke dalam.

Dengan sikap gentleman, Raymond mempersilakan Hazel untuk masuk terlebih dahulu, lalu dia yang menutup pintu rumah itu seraya meletakkan sepatu yang ia kenakan di rak sepatu yang berada di dekat pintu masuk rumah. 

“Permisi,” ujar Hazel sambil membungkuk sedikit. Gerald, menoleh sekilas, menyunggingkan senyum senang karena sikap sopan Hazel, dan melemparkan tatapan tajamnya pada Raymond yang tidak ia gubris. Mengikuti Gerald, mereka melangkah masuk, melewati berbagai ruangan sebelum akhirnya tiba di ruang tamu yang letaknya agak ke belakang. Struktur rumah yang aneh. Kelihatannya pemilik rumah ini bukan tipe yang suka menerima tamu. Raymond melihat wajah Amanda yang awalnya senang saat melihatnya, lalu kecewa begitu melihat sosok Hazel yang berdiri di sampingnya.

Hm, sebentar. Sepertinya ia paham apa yang dimaksud dengan perkataan Gerald di depan rumah tadi.

“Kopi, teh, atau cokelat panas?” Gerald berjalan menuju ruang dapur yang berada di belakang ruang tamu, bersebelahan dengan ruang makan. 

“Kopi,” ujar Raymond sambil duduk di atas kursi, merebahkan kepalanya ke sandaran kursi tersebut, “jangan terlalu manis.”

“Kamu kira ini kedai kopi?” Gerald memutar bola matanya, menahan dongkol. Tapi kelihatannya anak itu tetap membuatkannya karena tercium aroma kopi dari dapur.

“Ng… cokelat panas saja, kalau tidak merepotkan.” Hazel ragu-ragu duduk di sampingnya. Matanya terus mengawasi sekeliling rumah ini, sambil sesekali mengamati benda-benda yang ada di sekitarnya. Untuk ukuran orang yang sering membantu pekerjaan detektif, Hazel itu sangat kaku. Sepertinya Hazel bukan tipe yang sering membantu ayahnya untuk urusan di lapangan, tapi lebih ke pencarian yang menggunakan data. Sebentar, kalau begitu, berarti pacarnya ini juga berasal dari kota yang sama, dong? Setahunya, hanya orang-orang dari Morozov saja yang begitu menggilai data. Mungkin sebaiknya ia tanyakan pada Hazel suatu hari nanti, saat ada kesempatan.

“Sama sekali nggak kalau buat Kakak.” Sikap Gerald jauh lebih ramah saat berbicara dengan Hazel, sehingga membuatnya sedikit jengkel karenanya. Anak sialan…

Sudahlah, lebih baik ia abaikan saja. Tidak ada waktu untuk meributkan hal remeh. Luka akibat tembakan peluru tadi kembali berdenyut, sepertinya karena efek obat biusnya sudah mulai menghilang. Ia butuh obat pereda nyeri, tapi tidak sekarang. Keinginannya untuk meminum kopi hitam yang pekat dan merokok jauh lebih kuat daripada rasa nyerinya, sehingga begitu Gerald kembali dari dapur dengan membawa empat cangkirーsalah satunya adalah kopi hitam yang pekat sesuai keinginannyaーia langsung mengambilnya sebelum Gerald memberikannya padanya dan menyesapnya. Ia tidak mempedulikan Gerald yang memberikan masing-masing cangkir pada Amanda dan Hazel sambil bergumam merutukinya, membuat anak ini semakin mirip dengan ibu-ibu.

Begini lebih baik. Kalau ia bisa merokok, mungkin akan ia lakukan sekarang. Tapi kelihatannya mustahil mengingat ia lupa membawa asbak portable dan di rumah ini tidak menyediakan asbak sama sekali, sehingga terpaksa ia mengurungkan niatnya.

“Maunya nggak ngundang kalian masuk sebenarnya. Tapi kamu berhutang penjelasan padaku,” Gerald membenarkan letak kacamatanya begitu duduk di kursi yang letaknya agak jauh dari Raymond.

Raymond meletakkan cangkirnya yang kini tersisa setengah, lalu menghela napas panjang. Sebenarnya ia tidak siap untuk mengatakannya. Tapi apa yang dikatakan Gerald tadi benar. Ia memang berhutang penjelasan pada dua anak ini. 

“Kalau gitu langsung saja ke poin pentingnya: Aku ke kota ini untuk menyelidiki kasus kematian temanku dua bulan lalu.”

“Lalu? Apa hubungannya dengan kami?” Gerald mencondongkan tubuhnya. Lututnya menghadap ke arahnya, menandakan kalau anak ini tertarik dengan ceritanya.

“Itu dia. Petunjuknya ada pada secarik kertas yang ditinggalkan temanku sebelum ia mati. Dan itu tentang kamu, Amanda Chloe.”

Amanda tampak terkejut mendengarnya. “Aku?”

“Ya. Makanya aku datang ke kota ini. Aku tidak tahu kalau kamu adalah adik temanku sampai hari ini. Yang jelas, aku khawatir kalau orang yang membunuh temanku itu kini bergerak mengincarmu.”

Amanda terlihat syok mendengar penjelasannya, memandangnya dengan tatapan tidak percaya. “Nggak. Aku ingat banget kalau aku ini anak tunggal!”

“Awalnya aku juga mengira seperti itu. Tapi itu baru dugaanku untuk sementara.”

“Sebentar,” sela Gerald, saat ia hendak melanjutkan pembicaraannya, “berarti maksudmu, Amanda sebenarnya punya kakak Pria yang tidak Amanda ketahui, lalu sekarang temanku ini berada dalam bahaya? Kok kayak cerita fiksi yang sering kubaca, sih?”

“Soal cerita fiksi yang sering kamu baca, itu bukan urusanku.” Raymond menahan dongkol. Bisa-bisanya anak ini menyamakan keadaan temannya saat ini dengan cerita fiksi. “Malam ini harusnya aman. Orang-orang itu tidak akan datang malam itu, kujamin. Tapi aku nggak tahu kalau besok. Makanya, hari ini kuminta Amanda untuk menginap di rumahmu.”

“Aku paham.”

“Yah, karena kelihatannya kamu nggak bisa bela diri, jadi besok Amanda akan kubawa ke tempat yang aman untuk sementara waktu sampai keadaan kembali normal. Itu rencana sementara.”

Gerald menimang sejenak perkataannya, lalu menunduk lemas. “Sebel sih, tapi kata-katamu benar.”

“Aku nggak tahu,” Raymond bisa mendengar sedikit keraguan di nada bicara Amanda saat ia mempersilakan anak ini untuk berbicara. “Tentang aku yang ternyata punya kakak. Aku yang diincar oleh orang yang bahkan nggak kuketahui. Aku… aku…”

Raymond menghela napas panjang, sambil memegangi luka bekas tembakannya yang nyerinya bukan main, memandang Gerald yang tengah menenangkan Amanda yang mulai menangis. “Gerald, apa Priska bisa bela diri?”

“Setahuku nggak, sih. Tapi Thyme bisa.”

Apa? Thyme? Anak Pria berparas imut itu? Serius?

“Badannya memang mungil, tapi setahuku ayahnya itu mafia di kota ini, jadi dia bisa bela diri.”

Ia tertawa miris dalam hati. Pantas saja selama ini ia kesulitan mencari tahu latar belakang Thyme selain publikasi tentang kekayaan dan perusahaan kepala keluarga Umberbridge. “Apa kita bisa minta Thyme untuk memperbolehkan Amanda tinggal di rumahnya sementara waktu? Seenggaknya sampai situasinya aman.”

“Akan kucoba.”

“Kalau gitu semuanya sudah beres,” Raymond beranjak dari kursinya setelah meneguk kopi hitamnya yang sudah dingin hingga tak bersisa, “kami pamit dulu. Makasih untuk kopinya.”

***

Raymond meminum obat pereda nyerinya begitu mereka tiba di apartemen, lalu menyandarkan tubuhnya di atas kursi sofa. Nyeri sialan! Kenapa muncul di saat yang tidak tepat, sih?

“Raymond, kan udah kubilang. Obatnya itu diminum setelah makan,” Hazel cemberut begitu tahu ia sudah meminum obatnya tanpa menunggu Hazel yang tadi pergi ke kamar untuk mengganti pakaiannya dengan piyama tidur motif panda berwarna kuning dan cocok dengan Hazel. Tangan wanita itu bersedekap berdiri di depannya, menunggu penjelasannya.

“Maaf.”

“Kali ini kumaafkan,” Hazel mendesah, lalu berjalan menuju dapur, “mau kue yang kemarin?”

“Boleh.”

“Oke. Oh, sampai lupa. Jangan coba-coba untuk merokok, seenggaknya sampai lukamu pulih. Dokter yang bilang.”

“Iya, aku paham Hazel,” jawab Raymond, agak enggan, karena ia baru saja akan beranjak dari kursi sofanya dan mengambil stok rokok yang ada di kamarnya. Sial. Mulutnya gatal karena ingin menghirup asap rokok yang biasanya bisa menenangkan pikirannya yang kalut. Bisa mati dia kalau terus begini.

Tapi, ada untungnya juga ia terkena peluru tadi. Ia jadi tahu sisi lain Hazel yang perhatian. Mungkin kondisinya sekarang nggak buruk-buruk amat. Lebih baik ia nikmati saja. Kesempatan seperti ini kan jarang terjadi. Walaupun harus mengorbankan keinginannya untuk merokok.

Raymond melihat Hazel yang kini kembali ke ruang tamu, menyodorkan piring yang berisi kue kemarin dan air mineral. Lalu setelah meletakkannya di atas meja, Hazel duduk di sampingnya. Menyentuh keningnya dengan punggung tangannya lalu membandingkan dengan suhu tubuhnya sendiri untuk mengecek suhu badannya. Membuka sedikit pakaian Raymond, memeriksa kalau-kalau lukanya kembali terbuka, lalu menutup kembali setelah mendapati bahwa lukanya tidak terbuka. Sebentar. Kok rasanya ia seperti tinggal bersama perawat?

“Hazel?”

“Hm?” Wanita itu merapikan bungkus obat yang berantakan karena ia mengambil obat itu terburu-buru tadi, tidak menoleh padanya. 

“Bisa suapin, nggak?” Raymond tidak bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Sebenarnya bisa saja ia makan kuenya sendiri, tapi ia ingin melihat reaksi Hazel.

“Bentar, ya?” Hazel tertawa melihatnya merajuk, lalu mengambil piring itu, menyendokkan kue itu pada Raymond yang tidak menyangka kalau pacarnya ini benar-benar melakukannya. “Buka mulutmu.”

Raymond menunduk, lalu membuka mulutnya. Rasa manis kue menjalar ke seluruh rongga mulutnya yang terasa pahit, ditambah dengan senyum Hazel yang sangat manis sudah membuatnya melupakan keinginannya untuk merokok.

“Ada yang mau kutanyakan padamu, Raymond.”

“Ya?” Ia kembali membuka mulutnya setelah selesai mengunyah suapan pertama dari Hazel, melahap suapan kedua.

“Jadi, alasanmu datang ke kota Cirillo ini bukan untuk mencari suasana baru, tapi dalam rangka penyelidikan?”

Raymond menggeleng, menelan kuenya lalu menghentikan tangan Hazel yang hendak menyendokkan kue itu untuk ketiga kalinya. “Nggak juga. Aku memang mencari suasana baru selain karena menyelidiki kematian temanku. Tapi bertemu denganmu itu bonus tambahan yang kuambil dengan senang hati.”

Hazel segera memalingkan wajahnya menjauh darinya. “A-a-paan sih?”

Ia tertawa pelan. Melihat tas belanja yang tergeletak manis di atas meja membuatnya teringat kalau ia belum memberikan barang yang ia beli tadi pada Hazel. Ia menjauhkan tangannya dari Hazel, mencondongkan sedikit tubuhnya untuk meraih tas belanja yang terbuat dari kertas berwarna cokelat, memberikannya pada Hazel. “Untukmu.”

Sekarang, tinggal menunggu reaksi Hazel. Wanita ini meletakkan piringnya, terlihat antusias saat membuka tas belanja itu. Matanya berbinar begitu mendapati isi dari tas itu, menatap Raymond tidak percaya.

“Cantik sekali…” Hazel mengamati lekat-lekat cangkir itu. Kelihatannya Hazel menyukainya. Keputusannya untuk membeli set cangkir yang harganya cukup mahal ini sangat tepat. Untung saja pikiran negatif yang sempat melintas di pikirannya soal Hazel yang tidak akan menyukai hadiahnya itu tidak benar.

“Aku tadi membelinya karena kupikir desainnya cocok denganmu. Suka?”

Wanita ini mengangguk, dan langsung berlari meletakkan set cangkir pemberiannya ke dapur sambil melompat kegirangan. Melupakan tugasnya untuk menyuapkan kuenya hingga habis. Sudahlah. Melihat Hazel yang senang karena hadiah pemberiannya sudah membuatnya senang. Ia menatap kue yang tersisa itu agak enggan, menghabiskan kue itu. Lalu tanpa ia sadari, ia sudah tertidur di kursi sofa begitu efek obatnya bekerja.

***

Related chapters

  • His Last Wish (Indonesian)   Bab 8

    Raymond memandangi pemandangan pagi di kota Cirillo yang tampak jelas dari balkon apartemennya sambil menikmati aroma rokok yang ia hisap dalam-dalam untuk menenangkan pikirannya. Kelihatannya Hazel tidur di kamarnya, karena ia tidak mendapati Hazel saat ia bangun tadi. Melihat pemandangan kota Cirillo, membuatnya teringat dengan pelajaran Sejarah yang ia pelajari saat ia masih sekolah.Dulu, dunia dihadapi oleh situasi sulit karena perang berkecamuk di beberapa negara Timur Tengah, yang kebanyakan dipicu oleh kaum ekstremis. Akibatnya banyak penduduk negara itu yang memutuskan untuk keluar dari negaranya, mengorbankan harta dan status kewarganegaraan mereka. Mencari tempat yang jauh lebih aman untuk keselamatan mereka dan keluarga mereka, mengungsi ke negara-negara Eropa untuk mendapatkan hal yang tidak bisa mereka dapat

    Last Updated : 2021-02-27
  • His Last Wish (Indonesian)   Bab 9

    Raymond menyesap teh chamomile yang disiapkan Hazel untuk menenangkan pikirannya, bersama dengan roti bakar, telur orak-arik, bacon wortel, memunculkan aroma yang seharusnya mampu membangkitkan selera makannya. Sebaliknya, ia hanya memandang piringnya dengan tatapan lesu dan kembali menyesap tehnya hingga tersisa sedikit.“Apa makananku nggak enak?”Raymond menggeleng.

    Last Updated : 2021-02-27
  • His Last Wish (Indonesian)   Bab 10

    Raymond kembali ke apartemennya, disambut dengan tatapan tajam Hazel yang melihatnya basah kuyup. Setelah ia menangis dan merasa sedikit lebih baik, ia meninggalkan kedai kopi itu tanpa mempedulikan Martha yang bersikeras mengantarkannya pulang ke apartemen karena hujan deras. Ia berjalan menerobos hujan, tidak mempedulikan pakaiannya yang basah.“Masuklah,” Hazel berlari memasuki kamarnya, dan kembali dengan handuk bermotif panda di tangannya, menyodorkan padanya lalu berbalik memunggunginya. “Sebentar lagi buburnya matang.”“O-oke…” jawab Raymond, enggan. Ia ingin mengatakan kalau ia tidak selera makan, tapi ia urungkan karena merasa tidak enak pada Hazel yang pasti sudah susah payah membuatkan bubur untuknya. Hazel sama sek

    Last Updated : 2021-03-27
  • His Last Wish (Indonesian)   Bab 11

    Surga, ya?Apa saat ini ia sedang bermimpi? Tidur bersama dengan malaikat yang sudah ia incar selama dua bulan? Maksudnya, dengan Hazel yang tengah tertidur lelap dengan wajahnya yang seperti malaikat ini? Bukan, bukan. Hazel bukan seperti malaikat. Dia memang malaikat...Raymond segera menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Ia bisa merasakan wajahnya yang memerah karena teringat apa yang mereka lakukan tadi malam."Raymond..."Teringat akan suara Hazel yang terdengar seksi, setengah mendesah saat memanggil namanya dan menandai seluruh tubuh wanita

    Last Updated : 2021-03-28
  • His Last Wish (Indonesian)   Bab 12

    Begitu Raymond kembali ke apartemen, matahari sudah terbit. Hazel sudah pergi ke tempat kerjanya, karena ia tidak menemukan wanita itu di mana pun. Meninggalkan bubur yang sudah dingin dan beberapa obat yang harus ia minum di atas meja, lengkap dengan catatan di kertas Post It di atas tutup mangkuk bubur.Sudah kusiapkan bubur. Jangan lupa diminum obatnya.HazelIa menarik kertas itu dari tutup mangkuknya, menjejalkannya di dalam saku celananya. Memaksakan diri untuk membuka tutup mangkuk

    Last Updated : 2021-03-29
  • His Last Wish (Indonesian)   Bab 13

    Sudah dua minggu sejak insiden penyerangan itu terjadi. Lukanya sudah pulih seperti semula, dan tidak ada alasan baginya untuk tidak kembali bekerja di kafe Hazel, dan mendatangi rumah Thyme setelah waktu kerjanya di kafe ini selesai. Menjalankan dua pekerjaan sekaligus sangat sulit, sehingga harus ia akui, ia kagum pada Hazel yang bisa bekerja di dua tempat yang berbeda tanpa pernah mengeluh sedikit pun. Kalau dipikirkan lagi, ia sama sekali tidak pernah mendengar Hazel mengeluh soal pekerjaannya. Sulit untuk menggambarkan apakah Hazel benar-benar menikmati pekerjaannya atau tidak, karena wanita itu selalu memasang wajah lesu setiap kali berangkat ke tempat kerja, dan malah terlihat bersemangat setiap kali pulang kerja. Bahkan wanita itu menyempatkan diri untuk membawa pulang makanan-makanan manis yang wanita itu buat di waktu senggangnya saat kafe sepi untuknya. Selalu memastikan untuk memberitahunya bahwa semua ma

    Last Updated : 2021-03-30
  • His Last Wish (Indonesian)   Bab 14

    Raymond meletakkan dokumen terakhir di atas meja kerja Thyme, mendapati Thyme tengah tertidur lelap—entah sejak kapan—meniduri tumpukan dokumen yang seharusnya ditanda tangani anak itu.“Thyme?” Raymond mencoba membangunkan Thyme dengan mengguncangkan sedikit bahu Thyme. Gagal. Sekali lagi ia mencoba membangunkannya, dan syukurnya berhasil. Bisa repot kalau Thyme sampai tidak bangun juga, karena itu berarti ia harus mengorbankan jam pulangnya untuk menunggu hingga anak itu terbangun.“Ah, maaf ketiduran,” kata Thyme.“Tidak apa. Tapi sebaiknya kamu pindah ke kamarmu. Bakal sakit kalau tidur di sini.”

    Last Updated : 2021-03-30
  • His Last Wish (Indonesian)   Bab 15

    Raymond menghentakkan kakinya. Jemarinya mengetuk pahanya, mengenyahkan kegelisahannya sambil melirik ke arah Hazel yang sibuk menonton serial drama yang tidak ia kenal di saluran TV kabel. Wanita ini sengaja mengeraskan volume suaranya setiap kali ia mencoba untuk membuka percakapan, membuat suasananya menjadi lebih canggung dari sebelumnya. Ia tidak mengerti apa yang membuat wanita ini marah padanya. Ia pikir, setelah kemarin malam ia meminta maaf, ia akan dimaafkan. Nyatanya tidak sesederhana itu. Lebih parahnya lagi, Hazel terus merespon singkat semua perkataannya. Semua upayanya agar Hazel tidak marah gagal total. Bukannya membaik, justru semua yang ia lakukan malah semakin memperburuk keadaan.Contohnya pagi ini. Karena hari ini hari libur mereka berdua, ia sengaja bangun lebih awal dari biasanya, meluangkan waktuny

    Last Updated : 2021-03-30

Latest chapter

  • His Last Wish (Indonesian)   Bab 43

    Thyme Umberbridge memandang bayangan dirinya di kaca mobil, merapikan penampilannya. Hari ini ia sudah memberanikan diri mengajak Priska Cirillo—perempuan yang sudah ia suka sejak ia tahun pertamanya di SMA St. Ignatius. Perempuan kuat yang berhasil mengalihkan dunianya yang selama ini hanya berkutat pada belajar dan latihan mempersiapkan diri untuk menjadi pemimpin organisasi mafia Umberbridge, menggantikan ayahnya. Dari Priska, ia mengenal Amanda Chloe—teman satu angkatannya yang dikenal jenius dalam bermain piano (dan belakangan ia baru tahu bahwa temannya itu adalah adik perempuan dari Arnold Walter, pembunuh bayaran dari keluarga Walter yang ia kagumi sejak lama sampai ia mengikuti jejaknya dengan mengasah kemampuannya menembak secara akurat), dan Gerald Tan—teman sejak kecil Amanda Chloe yang memiliki kepribadian seperti ibu rumah tangga, dan sekarang tengah bersamanya di dalam mobil setelah ia meminta temannya itu untuk menemaninya. Ia terlalu gugup, sampai tidak menyadari ke

  • His Last Wish (Indonesian)   Bab 42

    Suara lima anak-anak yang berlari di lorong membuat Raymond tanpa sadar tersenyum kecil memandangi mereka semua. Keceriaan anak-anak itu seolah memberikan suasana yang jauh lebih menyenangkan di tengah kumpulan para pasien rumah sakit yang rata-rata dihuni oleh orang tua. Hanya sedikit pasien yang seumuran dengannya, itu pun tidak menghabiskan waktu lama sepertinya. Anak-anak itu tertawa keras sebelum akhirnya terdiam saat seorang perawat wanita menegur mereka yang ribut. Wajah bahagia mereka memudar, disusul kepala mereka yang menunduk lesu. Ia yang baru saja menyelesaikan proses administrasi rumah sakit hanya menggeleng pelan, menghampiri anak-anak tadi dan juga perawat wanita yang masih sibuk mengomeli mereka dengan perkataan yang terus diulang-ulang. “Biarkan saja,” tangan kiri Raymond bergerak mengelus salah satu kepala anak-anak berambut panjang lurus berwarna cokelat tua yang digerai. Anak itu mendongak

  • His Last Wish (Indonesian)   Bab 41

    Verdict meletakkan karangan bunga di atas batu nisan kakak angkatnya, memejamkan matanya sambil membentuk tanda salib di depan dada. Di sampingnya, Amanda berdiri terpaku, memandangi batu nisan dengan ukiran nama Arnold Walter. Tidak ada kata-kata khusus yang terukir di batu nisan itu selain nama dan tanggal kematian. Tangannya mencari tangan Amanda dan menggenggamnya erat, menenangkan pacarnya yang mulai menangis.“Kak. Aku nggak tahu Kakak bisa mendengarku atau nggak, tapi aku ingin mengenalkan orang paling spesial dalam hidupku sekarang,” ujarnya sambil melirik ke arah Amanda yang tengah mengusap air matanya sambil sesenggukan. “Ini Amanda Chloe, adik kandungnya Kakak dan juga pacarku. Aku tahu apa yang akan Kakak katakan jika Kakak masih hidup. Kakak pasti tidak akan suka jika tahu ini. Kalau Kakak masih hidup dan bisa bert

  • His Last Wish (Indonesian)   Bab 40

    Dua minggu lebih ia habiskan waktunya untuk berbaring di ranjang rumah sakit yang sangat tidak nyaman, memandangi pemandangan di luar jendela. Terdengar suara decit burung-burung yang bertengger di salah satu jendela kamarnya, seperti tengah mencoba menyapanya dengan wajah polos mereka. Ia terus mengamati burung-burung itu sampai akhirnya burung-burung itu pergi dari jendela itu, menyusul kawanan mereka. Di samping tempat tidurnya, ia mendapati sosok Hazel yang tengah mengiris apel untuknya walaupun ia sudah menolak berkali-kali karena kehilangan selera makan. Begitu selesai mengupas, wanita itu menyuapkan apel itu ke mulutnya. Agak enggan, ia melahap apel itu, mengunyahnya dalam diam.“Aku hormati keputusanmu, Raymond.”Ia mengernyit kebingungan mendengar perkataan Hazel yang tiba-tiba. Sambil mengunyah apelnya, ia

  • His Last Wish (Indonesian)   Bab 39

    Sepertinya, belum saatnya ia mati.Hanya itu kesimpulan yang bisa ia pikirkan begitu ia membuka kedua matanya, memandangi langit-langit kamar yang putih sepenuhnya. Sinar mataharinya yang memasuki ruangan itu melalui jendela kamarnya membuat matanya silau. Ada banyak alat penopang kehidupan terpasang di tubuhnya, menyulitkannya untuk bergerak leluasa. Napasnya sedikit sesak akibat alat bantu pernapasan yang dipasang untuk membantunya bernapas. Matanya tertuju pada seorang wanita berpakaian perawat yang tengah memeriksa selang infusnya.“Tuan Cooper? Sudah siuman?” Wanita itu memutar tubuhnya, menarik napas lega begitu melihatnya. Matanya hanya tertuju pada seragam yang begitu ketat membungkus tubuh wanita itu, memperlihatkan lekuk tubuh w

  • His Last Wish (Indonesian)   Bab 38

    Raymond memandangi Thyme dan Verdict yang masih tetap berada di tempat mereka. Thyme tetap bersikap tenang, walaupun ia menangkap sedikit guratan kegelisahan di wajah kekanakan anak itu. Sementara Verdict sudah kehilangan kendali emosinya setelah melihat salah satu anggotanya dibunuh Simon, meronta sambil terus merutuki Simon yang tampak tidak mempedulikan kemarahan pria itu.Tangannya yang tidak memegang revolver itu mengepal, berusaha tetap tenang menghadapi pria yang masih menunggu jawabannya.“Apa jaminannya?”“Kamu bergabung denganku, semua orang yang ada di tempat ini akan kubebaskan.”

  • His Last Wish (Indonesian)   Bab 37

    “Ed, aku nggak apa. Serius. Jadi bisa nggak, kamu berhenti mengkhawatirkanku?”Edward tidak menghiraukan pertanyaannya, masih terus mengamati seksama seluruh tubuhnya yang sukses membuatnya canggung setengah mati.“Ini salahku. Memang harusnya aku nggak biarin kamu melawan orang itu sendirian,” Edward kini menjauhkan tubuhnya dari Raymond, mengeluarkan tablet hologramnya, lalu menatap layar tablet hologramnya sambil menggumam pada dirinya sendiri.“Boleh aku bertanya sedikit?”“Tentu.”

  • His Last Wish (Indonesian)   Bab 36

    Begitu efek gasnya menghilang, Raymond memberi aba-aba untuk masuk ke dalam, berlari sambil menghindari tembakan orang-orang Simon yang berjaga di sekitar lorong koridor tempat mereka berada saat ini, bersama Edward dan Lucas. Sementara sisanya telah berpencar, mengikuti arahannya. Masing-masing dari orang yang ia tunjuk sebagai pemimpin sudah membawa alat yang diberikan Hazel tadi sebagai tindakan preventif, dan memberi arahan pada mereka untuk mencari anak-anak yang ditawan di ruang bawah tanah sementara ia, Lucas, dan Edward bergerak menuju lantai dua.“Raymond?” Edward berbisik di dekatnya, tampak cemas, begitu mereka tiba di lantai dua, bersembunyi di balik dinding seraya mengisi ulang amunisi senjata mereka yang habis.“Apa?”

  • His Last Wish (Indonesian)   Bab 35

    Raymond mematikan mesin mobilnya, mengawasi Thyme dan Verdict yang sudah masuk ke dalam bangunan itu dari jauh. Thyme memintanya untuk memarkirkan mobilnya agak jauh markas Simon Clive yang kini dipenuhi oleh orang-orang berpakaian mewah yang berbondong masuk ke dalam bangunan tersebut, disambut oleh beberapa orang berpakaian serba hitam dengan aura menakutkan di sekeliling mereka. Ia mengenali beberapa dari mereka yang mengepungnya waktu ia bersama Edward. Berulang kali ia mengetuk jemarinya, merasa frustrasi karena tidak mengetahui rencana anak itu.“Mau?” Hazel yang duduk di belakangnya menyodorkan snack bar yang sedari tadi dikonsumsi wanita itu padanya. “Buatanku sendiri. Rendah kalori, tapi cukup untuk mengisi tenagamu.”“Nggak. Aku

DMCA.com Protection Status