Share

Bab 5

Author: Zhen Xin Xin
last update Last Updated: 2021-02-27 03:27:07

Serius?

Raymond memandangi anak laki-laki berkacamata yang waktu itu menatapnya tajam di hari pertama ia kerja yang saat ini berdiri di hadapannya setelah beranjak keluar dari toko itu. Itu pun setelah harus beberapa kali menolak ajakan Martha untuk minum teh sambil membicarakan masa lalu. Diam-diam ia mengamati anak ini. Dari penampilannya ia sudah menduga kalau anak ini tipe yang bisa diandalkan, tapi ia tidak menyangka kalau teman yang dihubungi Amanda adalah anak ini. Kenapa di antara semuanya, Amanda malah memilih Gerald Tan? Ia pikir, Amanda akan menghubungi Priskaーanak perempuan berbadan atletis yang jago olahraga itu. Bukan bermaksud meragukan kemampuan Gerald, tapi Raymond merasa kalau Gerald bukan orang yang tepat untuk melindungi Amanda.

Habis sudah. Tahu begini, seharusnya dari awal ia meminta Amanda untuk menghubungi Priska saja.

Begitu mereka keluar dari toko, anak laki-laki itu langsung menarik Amanda agar menjauh dari Raymond, menatapnya dengan tatapan super galak. Melihat sikap over protective anak itu mengingatkan Raymond pada respon seorang ibu yang menjauhkan anak perempuannya yang masih balita dari orang asing yang berusaha mendekat. Benar-benar sosok ibu sejati. Layak mendapat tepuk tangan darinya dan penghargaan sebagai ‘Sosok Ibu Terbaik Tahun Ini’.

Raymond melirik ke jalan raya, mendapati ada dua mobil sedang bergerak menuju tempat mereka. Aneh. Bagaimana bisa orang-orang ini tahu keberadaan mereka di tempat ini?  Ia mengambil ponselnya, mendapati kalau ternyata sudah 15 menit berlalu sejak mereka meninggalkan kafe tadi. Pantas saja. Pasti mereka juga sudah memperkirakan rute-rute yang sekiranya akan dilewati Amanda, sama sepertinya.

“Kan sudah kubilang, Amanda. Kalau ada apa-apa, langsung hubungi aku. Bukan malah ikut dengan orang asing yang nggak jelas asal-usulnya ini!” Sekali lagi ia mendengarkan omelan Gerald untuk ketiga kalinya, mengacungkan telunjuknya pada Raymond dengan sorot matanya yang memperlihatkan dengan jelas ketidak sukaannya pada fakta bahwa Amanda lebih memilih untuk bergantung pada orang asing daripada teman masa kecilnya. Anak itu mencubit pipi Amanda hingga Amanda menangis. Bahkan cara mengomeli Amanda saja mirip seperti ibu-ibu. Sekilas ia melihat bayangan Gerald yang mengenakan celemek dengan tangannya yang memegang spatula. Ia menggeleng cepat, membuyarkan bayangan itu dalam sekejap. Mengerikan. Tapi ia sendiri tidak bisa mengelak. Apa yang dikatakan anak ini tidak sepenuhnya salah, tapi cara menyampaikannya itu benar-benar tidak sopan. Apa semua anak remaja sekarang seperti ini?

“Udah selesai ngomelnya?” Raymond langsung menyela saat Gerald akan melanjutkan kembali omelannya untuk keempat kalinya. Bisa hancur gendang telinganya kalau terus mendengar omelan anak ini yang tidak ada habisnya. “Waktuku nggak banyー”

“Orang luar diam saja!”

Kata-kata Gerald sukses memancing kemarahannya. Tanpa ampun, Raymond melayangkan tendangan tepat di kaki Gerald hingga anak itu terjerembab di atas trotoar. Ia menggeleng frustrasi. Sudah ia duga. Memanggil Gerald ke sini bukan pilihan yang tepat. Padahal ia hanya mengerahkan 25 persen dari kekuatannya saat menendang Gerald, tapi anak ini sudah mengaduh kesakitan. Payah.

“Itu balasan buat omonganmu yang kasar, Anak Sialan! Apa nggak pernah diajari sopan santun sama ibumu?!”

“Bukan urusanmu ibuku ngajarin atau nggak!”

“Ngomong lagi, dan tendangan kedua akan mendarat mulus di kakimu yang satunya lagi!” Raymond mengacak rambutnya, frustrasi menghadapi Gerald. Hidungnya mengendus aroma orang-orang yang menguntit Amanda. 

“Ayo, sini!” Anak ini berdiri dan kini malah balik menantangnya. 

Dasar anak gila. Sebaiknya ia acuhkan saja. Ia tidak ada waktu meladeni perdebatan Gerald.

“Kalian pergi dari sini. Sekarang.” Raymond menekankan kata terakhirnya sambil menatap Gerald yang terdiam melihatnya, “Gerald, jaga dia.”

“Oi, tahu dari mana namaku?”

“Mereka sudah datang.” Sambil merenggangkan otot lehernya, ia berdiri di hadapan mereka agar menghalangi pandangan orang-orang itu seraya memberikan tas belanja berisi set cangkir yang ia beli tadi. “Aku titip barangku. Amanda?”

“Iya?” Agak takut, Amanda memandangnya di balik Gerald, sambil menghapus air matanya. Pipinya masih merah karena cubitan Gerald, membuat pipi anak ini terlihat seperti buah persik.

Melihat tubuhnya menggigil, ia melepaskan jaket tudungnya, memasangkannya pada Amanda. “Pakai ini. Nah, pergilah. Kususul kalian nanti.”

Gerald hendak kembali protes, tapi mengurungkan niatnya begitu melihat ke belakang, mendapati orang-orang itu sudah turun dari mobil mereka dan berjalan menuju ke arah mereka. “Aku mengerti.”

“Sebagai tambahan, kuberitahu satu hal: aku teman kakakmu, Amanda Chloe.”

Raut wajah Amanda yang kebingungan mendengar perkataannya itu semakin meyakinkan dirinya bahwa Arnold tidak pernah muncul di hadapan anak ini. Orangtua anak ini pasti tidak pernah menceritakan keberadaan Arnold. Ia tidak paham situasi keluarga lama Arnold karena temannya itu jarang mengungkit tentang masalah pribadinya. Tapi mengkhawatirkan soal latar belakang Arnold itu urusan nanti. Sekarang ia harus membereskan masalah yang ini. Setelah memastikan dua anak tadi menghilang dari hadapannya, ia berbalik, menghadapi orang-orang tersebut.

“Cepat kejar anak itu!” Seorang pria berkacamata yang tadi ia lihat saat di kedai teh itu memberi aba-aba pada anak buahnya untuk segera bergerak. Ia menggeleng, menghadang mereka.

“Nggak secepat itu, Bapak-bapak.” Ia mengintip dua orang wanita yang ada dalam kelompok itu. “Dan kakak-kakak cantik yang ada di belakang sana, tentunya.”

“Minggir! Kami nggak ada urusan sama kamu!” Pria itu menyentuh bahunya, hendak mendorongnya agar menjauh dari mereka. Tangannya secara cekatan berbalik mendorong pria itu hingga jatuh terpental di depan anak buahnya.

“Tapi aku ada urusan dengan kalian. Siapa orang yang menyuruh kalian menguntit anak itu?”

“Aku nggak ada kewajiban untuk menjawab pertanyaanmu, Anak Muda.”

Ia memutar bola matanya seraya menyiapkan kuda-kuda, memberi kode pada orang-orang itu untuk menyerangnya. “Kuberi kesempatan sekali lagi untuk menjawab pertanyaanku.”

“Sudah kukatakan, bukan? Kami nggak ada urusan dengan kamu.”

Raymond berjalan cepat menghampiri pria itu sampai pria itu terkejut karenanya, menendang perut pria itu sampai terdengar suara tulang yang patah karena tendangannya. “Mengganggu saja.”

“Ka-kamu! Beraninyaー”

“Apa? Kalian takut?” suaranya yang datar dan dingin saat mengatakannya itu kelihatannya berhasil menakuti orang-orang itu. Matanya menatap tajam pada mereka sambil mengepalkan kedua tangannya, berjalan tenang mendekati mereka yang kini berjalan mundur menghindarinya. Lalu, beberapa orang dari mereka memutuskan untuk mulai menyerangnya dari berbagai sisi yang dengan lincah bisa ia tangkis. Menggunakan kakinya sebagai asetnya setiap kali ia bertarung dan mengukur tingkat kemampuan bertarung orang-orang itu yang berada jauh di bawahnya, rasanya menang bukan hal yang sulit. Tinggal mematahkan masing-masing tulang mereka, pastiー

Matanya membesar seketika begitu melihat apa yang ada di balik pakaian mereka. Gawat. Ia benar-benar tidak memikirkan kemungkinan adanya senjata api dalam pertarungan ini. Ia hanya membawa diri, keputusan yang ia sesali setelahnya. Kalau membawa senjata api, berarti orang-orang yang sedang ia hadapi ini bukan penguntit biasa. Tidak mungkin orang biasa akan membawa senjata api dengan gampangnya seperti mereka.

Kalau begitu, hanya ada satu-satunya cara. Menyelesaikan pertarungan ini dengan cepat dan tidak membiarkan mereka menyentuh senjata mereka. Seolah tidak merasa terancam, ia kembali melancarkan tendangan ke bagian vital orang-orang itu hingga terdengar suara tulang yang patah. Tidak peduli apakah lawannya itu pria atau wanita. Ia bukan orang klise yang berprinsip untuk tidak melawan wanita. Itu konyol. Terlalu dramatis. Tangannya bergerak cepat mengambil salah satu senjata dari seorang wanita yang berhasil ia patahkan tangannya, memuntahkan peluru ke arah orang-orang itu tepat di jantung mereka. Begitu orang-orang itu sudah tidak bisa bergerak, ia tersenyum puas, menginjak senjata api yang ia bawa hingga hancur berkeping-keping. 

Semua sudah selesai. Sekarangー

Raymond menoleh, mendapati salah satu dari orang-orang tadiーseorang wanita berambut cokelat tua yang diikat ekor kudaーbergerak sekuat tenaga, menodongkan pistol yang diselipkan di ikat pinggangnya tepat ke arah jantungnya. Di saat bersamaan, matanya menangkap bayangan Martha yang keluar dari tokonya. Sorot matanya syok, tubuhnya membeku. Ia segera menghindari peluru yang ditembakkan wanita itu dengan cepat, mengikuti arah pistol tersebut. Tiga tembakan pertama berhasil ia hindari. Tapi tembakan keempat langsung mengenai perutnya.

“Hebat juga,” Raymond tersenyum menyeringai begitu berhasil mendekati wanita yang kini melihatnya penuh ketakutan hingga tubuhnya menggigil. Raymond mencekik leher wanita itu, menjatuhkannya hingga tubuh wanita itu menghantam tanah. “Sekarang bilang. Siapa yang menyuruh kalian melakukannya?”

“I...itu… Tua...n...Si...mon….”

“Simon? Akan kuingat.” Raymond menjauhkan tangannya dari wanita itu. 

“Biar aku yang bereskan ini,” kata Martha yang sudah berdiri di sampingnya. “Kamu bisa berdiri?”

“Kurasa…”

Pandangannya mendadak buram. Rasa nyeri yang ia rasakan dari tembakan yang mengenai perut kirinya itu menyebar ke seluruh tubuhnya. Ia tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya. Hanya suara Martha yang seperti menelepon seseorang, dan pandangannya gelap seketika.

***

Related chapters

  • His Last Wish (Indonesian)   Bab 6

    Raymond membuka kedua matanya. Di depan matanya, ia melihat sosok Hazel dengan rambut cokelat gelap panjangnya yang disampirkan ke samping telinga kirinya, mengamatinya dari jarak yang sangat dekat. Begitu melihatnya siuman, wajah khawatir Hazel sirna, berganti lega. Ia memandang ke sekelilingnya. Hanya ada Hazel. Apa Martha sudah pergi? Atau Martha hanya menghubungi ambulans dan meninggalkannya begitu ambulans tiba menjemputnya?“Sudah siuman?”Tubuhnya masih terasa lemas karena pengaruh obat bius. Ia memandang ke sekelilingnya sebelum perhatiannya tertuju pada Hazel yang duduk di sampingnya. Sejak kapan ia berada di klinik? Dan kenapa Hazel ada di sini?

    Last Updated : 2021-02-27
  • His Last Wish (Indonesian)   Bab 7

    Mereka tiba di depan rumah Amanda Chloe. Tidak terlihat aktivitas di rumah tersebut, menandakan bahwa anak itu benar-benar berada di rumah Gerald Tan. Sambil terus menggenggam tangan Hazel yang tidak ia lepaskan sejak tadi, mereka berjalan melewati tiga rumah sebelum akhirnya tiba di rumah Gerald Tan. Hampir semua rumah yang berada di sini memiliki desain yang mirip karena letaknya yang berada di perumahan, membuat orang sedikit kebingungan jika baru pertama kali mengunjungi tempat ini dan tidak memperhatikan detail lainnya yang menggambarkan profil si pemilik rumah. Seperti contohnya rumah Amanda tadi yang memiliki pintu pagar berwarna hitam, sementara rumah yang sekarang ada di hadapannya ini memiliki pintu pagar berwarna putih dengan ukiran singa emas. Raymond mengeluarkan ponselnya sekilas sebelum memasukkannya kembali ke dalam saku celananya untuk mengecek jam.

    Last Updated : 2021-02-27
  • His Last Wish (Indonesian)   Bab 8

    Raymond memandangi pemandangan pagi di kota Cirillo yang tampak jelas dari balkon apartemennya sambil menikmati aroma rokok yang ia hisap dalam-dalam untuk menenangkan pikirannya. Kelihatannya Hazel tidur di kamarnya, karena ia tidak mendapati Hazel saat ia bangun tadi. Melihat pemandangan kota Cirillo, membuatnya teringat dengan pelajaran Sejarah yang ia pelajari saat ia masih sekolah.Dulu, dunia dihadapi oleh situasi sulit karena perang berkecamuk di beberapa negara Timur Tengah, yang kebanyakan dipicu oleh kaum ekstremis. Akibatnya banyak penduduk negara itu yang memutuskan untuk keluar dari negaranya, mengorbankan harta dan status kewarganegaraan mereka. Mencari tempat yang jauh lebih aman untuk keselamatan mereka dan keluarga mereka, mengungsi ke negara-negara Eropa untuk mendapatkan hal yang tidak bisa mereka dapat

    Last Updated : 2021-02-27
  • His Last Wish (Indonesian)   Bab 9

    Raymond menyesap teh chamomile yang disiapkan Hazel untuk menenangkan pikirannya, bersama dengan roti bakar, telur orak-arik, bacon wortel, memunculkan aroma yang seharusnya mampu membangkitkan selera makannya. Sebaliknya, ia hanya memandang piringnya dengan tatapan lesu dan kembali menyesap tehnya hingga tersisa sedikit.“Apa makananku nggak enak?”Raymond menggeleng.

    Last Updated : 2021-02-27
  • His Last Wish (Indonesian)   Bab 10

    Raymond kembali ke apartemennya, disambut dengan tatapan tajam Hazel yang melihatnya basah kuyup. Setelah ia menangis dan merasa sedikit lebih baik, ia meninggalkan kedai kopi itu tanpa mempedulikan Martha yang bersikeras mengantarkannya pulang ke apartemen karena hujan deras. Ia berjalan menerobos hujan, tidak mempedulikan pakaiannya yang basah.“Masuklah,” Hazel berlari memasuki kamarnya, dan kembali dengan handuk bermotif panda di tangannya, menyodorkan padanya lalu berbalik memunggunginya. “Sebentar lagi buburnya matang.”“O-oke…” jawab Raymond, enggan. Ia ingin mengatakan kalau ia tidak selera makan, tapi ia urungkan karena merasa tidak enak pada Hazel yang pasti sudah susah payah membuatkan bubur untuknya. Hazel sama sek

    Last Updated : 2021-03-27
  • His Last Wish (Indonesian)   Bab 11

    Surga, ya?Apa saat ini ia sedang bermimpi? Tidur bersama dengan malaikat yang sudah ia incar selama dua bulan? Maksudnya, dengan Hazel yang tengah tertidur lelap dengan wajahnya yang seperti malaikat ini? Bukan, bukan. Hazel bukan seperti malaikat. Dia memang malaikat...Raymond segera menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Ia bisa merasakan wajahnya yang memerah karena teringat apa yang mereka lakukan tadi malam."Raymond..."Teringat akan suara Hazel yang terdengar seksi, setengah mendesah saat memanggil namanya dan menandai seluruh tubuh wanita

    Last Updated : 2021-03-28
  • His Last Wish (Indonesian)   Bab 12

    Begitu Raymond kembali ke apartemen, matahari sudah terbit. Hazel sudah pergi ke tempat kerjanya, karena ia tidak menemukan wanita itu di mana pun. Meninggalkan bubur yang sudah dingin dan beberapa obat yang harus ia minum di atas meja, lengkap dengan catatan di kertas Post It di atas tutup mangkuk bubur.Sudah kusiapkan bubur. Jangan lupa diminum obatnya.HazelIa menarik kertas itu dari tutup mangkuknya, menjejalkannya di dalam saku celananya. Memaksakan diri untuk membuka tutup mangkuk

    Last Updated : 2021-03-29
  • His Last Wish (Indonesian)   Bab 13

    Sudah dua minggu sejak insiden penyerangan itu terjadi. Lukanya sudah pulih seperti semula, dan tidak ada alasan baginya untuk tidak kembali bekerja di kafe Hazel, dan mendatangi rumah Thyme setelah waktu kerjanya di kafe ini selesai. Menjalankan dua pekerjaan sekaligus sangat sulit, sehingga harus ia akui, ia kagum pada Hazel yang bisa bekerja di dua tempat yang berbeda tanpa pernah mengeluh sedikit pun. Kalau dipikirkan lagi, ia sama sekali tidak pernah mendengar Hazel mengeluh soal pekerjaannya. Sulit untuk menggambarkan apakah Hazel benar-benar menikmati pekerjaannya atau tidak, karena wanita itu selalu memasang wajah lesu setiap kali berangkat ke tempat kerja, dan malah terlihat bersemangat setiap kali pulang kerja. Bahkan wanita itu menyempatkan diri untuk membawa pulang makanan-makanan manis yang wanita itu buat di waktu senggangnya saat kafe sepi untuknya. Selalu memastikan untuk memberitahunya bahwa semua ma

    Last Updated : 2021-03-30

Latest chapter

  • His Last Wish (Indonesian)   Bab 43

    Thyme Umberbridge memandang bayangan dirinya di kaca mobil, merapikan penampilannya. Hari ini ia sudah memberanikan diri mengajak Priska Cirillo—perempuan yang sudah ia suka sejak ia tahun pertamanya di SMA St. Ignatius. Perempuan kuat yang berhasil mengalihkan dunianya yang selama ini hanya berkutat pada belajar dan latihan mempersiapkan diri untuk menjadi pemimpin organisasi mafia Umberbridge, menggantikan ayahnya. Dari Priska, ia mengenal Amanda Chloe—teman satu angkatannya yang dikenal jenius dalam bermain piano (dan belakangan ia baru tahu bahwa temannya itu adalah adik perempuan dari Arnold Walter, pembunuh bayaran dari keluarga Walter yang ia kagumi sejak lama sampai ia mengikuti jejaknya dengan mengasah kemampuannya menembak secara akurat), dan Gerald Tan—teman sejak kecil Amanda Chloe yang memiliki kepribadian seperti ibu rumah tangga, dan sekarang tengah bersamanya di dalam mobil setelah ia meminta temannya itu untuk menemaninya. Ia terlalu gugup, sampai tidak menyadari ke

  • His Last Wish (Indonesian)   Bab 42

    Suara lima anak-anak yang berlari di lorong membuat Raymond tanpa sadar tersenyum kecil memandangi mereka semua. Keceriaan anak-anak itu seolah memberikan suasana yang jauh lebih menyenangkan di tengah kumpulan para pasien rumah sakit yang rata-rata dihuni oleh orang tua. Hanya sedikit pasien yang seumuran dengannya, itu pun tidak menghabiskan waktu lama sepertinya. Anak-anak itu tertawa keras sebelum akhirnya terdiam saat seorang perawat wanita menegur mereka yang ribut. Wajah bahagia mereka memudar, disusul kepala mereka yang menunduk lesu. Ia yang baru saja menyelesaikan proses administrasi rumah sakit hanya menggeleng pelan, menghampiri anak-anak tadi dan juga perawat wanita yang masih sibuk mengomeli mereka dengan perkataan yang terus diulang-ulang. “Biarkan saja,” tangan kiri Raymond bergerak mengelus salah satu kepala anak-anak berambut panjang lurus berwarna cokelat tua yang digerai. Anak itu mendongak

  • His Last Wish (Indonesian)   Bab 41

    Verdict meletakkan karangan bunga di atas batu nisan kakak angkatnya, memejamkan matanya sambil membentuk tanda salib di depan dada. Di sampingnya, Amanda berdiri terpaku, memandangi batu nisan dengan ukiran nama Arnold Walter. Tidak ada kata-kata khusus yang terukir di batu nisan itu selain nama dan tanggal kematian. Tangannya mencari tangan Amanda dan menggenggamnya erat, menenangkan pacarnya yang mulai menangis.“Kak. Aku nggak tahu Kakak bisa mendengarku atau nggak, tapi aku ingin mengenalkan orang paling spesial dalam hidupku sekarang,” ujarnya sambil melirik ke arah Amanda yang tengah mengusap air matanya sambil sesenggukan. “Ini Amanda Chloe, adik kandungnya Kakak dan juga pacarku. Aku tahu apa yang akan Kakak katakan jika Kakak masih hidup. Kakak pasti tidak akan suka jika tahu ini. Kalau Kakak masih hidup dan bisa bert

  • His Last Wish (Indonesian)   Bab 40

    Dua minggu lebih ia habiskan waktunya untuk berbaring di ranjang rumah sakit yang sangat tidak nyaman, memandangi pemandangan di luar jendela. Terdengar suara decit burung-burung yang bertengger di salah satu jendela kamarnya, seperti tengah mencoba menyapanya dengan wajah polos mereka. Ia terus mengamati burung-burung itu sampai akhirnya burung-burung itu pergi dari jendela itu, menyusul kawanan mereka. Di samping tempat tidurnya, ia mendapati sosok Hazel yang tengah mengiris apel untuknya walaupun ia sudah menolak berkali-kali karena kehilangan selera makan. Begitu selesai mengupas, wanita itu menyuapkan apel itu ke mulutnya. Agak enggan, ia melahap apel itu, mengunyahnya dalam diam.“Aku hormati keputusanmu, Raymond.”Ia mengernyit kebingungan mendengar perkataan Hazel yang tiba-tiba. Sambil mengunyah apelnya, ia

  • His Last Wish (Indonesian)   Bab 39

    Sepertinya, belum saatnya ia mati.Hanya itu kesimpulan yang bisa ia pikirkan begitu ia membuka kedua matanya, memandangi langit-langit kamar yang putih sepenuhnya. Sinar mataharinya yang memasuki ruangan itu melalui jendela kamarnya membuat matanya silau. Ada banyak alat penopang kehidupan terpasang di tubuhnya, menyulitkannya untuk bergerak leluasa. Napasnya sedikit sesak akibat alat bantu pernapasan yang dipasang untuk membantunya bernapas. Matanya tertuju pada seorang wanita berpakaian perawat yang tengah memeriksa selang infusnya.“Tuan Cooper? Sudah siuman?” Wanita itu memutar tubuhnya, menarik napas lega begitu melihatnya. Matanya hanya tertuju pada seragam yang begitu ketat membungkus tubuh wanita itu, memperlihatkan lekuk tubuh w

  • His Last Wish (Indonesian)   Bab 38

    Raymond memandangi Thyme dan Verdict yang masih tetap berada di tempat mereka. Thyme tetap bersikap tenang, walaupun ia menangkap sedikit guratan kegelisahan di wajah kekanakan anak itu. Sementara Verdict sudah kehilangan kendali emosinya setelah melihat salah satu anggotanya dibunuh Simon, meronta sambil terus merutuki Simon yang tampak tidak mempedulikan kemarahan pria itu.Tangannya yang tidak memegang revolver itu mengepal, berusaha tetap tenang menghadapi pria yang masih menunggu jawabannya.“Apa jaminannya?”“Kamu bergabung denganku, semua orang yang ada di tempat ini akan kubebaskan.”

  • His Last Wish (Indonesian)   Bab 37

    “Ed, aku nggak apa. Serius. Jadi bisa nggak, kamu berhenti mengkhawatirkanku?”Edward tidak menghiraukan pertanyaannya, masih terus mengamati seksama seluruh tubuhnya yang sukses membuatnya canggung setengah mati.“Ini salahku. Memang harusnya aku nggak biarin kamu melawan orang itu sendirian,” Edward kini menjauhkan tubuhnya dari Raymond, mengeluarkan tablet hologramnya, lalu menatap layar tablet hologramnya sambil menggumam pada dirinya sendiri.“Boleh aku bertanya sedikit?”“Tentu.”

  • His Last Wish (Indonesian)   Bab 36

    Begitu efek gasnya menghilang, Raymond memberi aba-aba untuk masuk ke dalam, berlari sambil menghindari tembakan orang-orang Simon yang berjaga di sekitar lorong koridor tempat mereka berada saat ini, bersama Edward dan Lucas. Sementara sisanya telah berpencar, mengikuti arahannya. Masing-masing dari orang yang ia tunjuk sebagai pemimpin sudah membawa alat yang diberikan Hazel tadi sebagai tindakan preventif, dan memberi arahan pada mereka untuk mencari anak-anak yang ditawan di ruang bawah tanah sementara ia, Lucas, dan Edward bergerak menuju lantai dua.“Raymond?” Edward berbisik di dekatnya, tampak cemas, begitu mereka tiba di lantai dua, bersembunyi di balik dinding seraya mengisi ulang amunisi senjata mereka yang habis.“Apa?”

  • His Last Wish (Indonesian)   Bab 35

    Raymond mematikan mesin mobilnya, mengawasi Thyme dan Verdict yang sudah masuk ke dalam bangunan itu dari jauh. Thyme memintanya untuk memarkirkan mobilnya agak jauh markas Simon Clive yang kini dipenuhi oleh orang-orang berpakaian mewah yang berbondong masuk ke dalam bangunan tersebut, disambut oleh beberapa orang berpakaian serba hitam dengan aura menakutkan di sekeliling mereka. Ia mengenali beberapa dari mereka yang mengepungnya waktu ia bersama Edward. Berulang kali ia mengetuk jemarinya, merasa frustrasi karena tidak mengetahui rencana anak itu.“Mau?” Hazel yang duduk di belakangnya menyodorkan snack bar yang sedari tadi dikonsumsi wanita itu padanya. “Buatanku sendiri. Rendah kalori, tapi cukup untuk mengisi tenagamu.”“Nggak. Aku

DMCA.com Protection Status