Raymond Cooper menghisap rokoknya dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan, menikmati sensasi dari aroma yang dihasilkan dari rokok itu. Matanya yang tersembunyi di balik kacamata hitamnya mengamati suasana di luar bandara. Posisinya yang duduk di area khusus merokok membuatnya sedikit sulit untuk mengamati sekitar, tapi ini jauh lebih baik daripada harus menahan diri untuk tidak merokok sampai tiba di hotel. Kopi espresso yang ia pesan untuk membuatnya tetap terjaga setelah enam jam perjalanan dari Morozov menuju kota Cirillo yang terletak di pulau Andreas itu mulai dingin. Agak enggan, ia meminum kopi itu dalam sekali teguk, lalu mematikan rokoknya yang tinggal sedikit ke asbak rokok yang sudah disiapkan di atas meja seraya menghela napas panjang. Tangannya yang kokoh dan ramping itu mengeluarkan secarik kertas lusuh dari mantel berwarna cokelat yang ia kenakan. Hidungnya yang peka itu masih bisa mencium aroma darah yang tersisa dari kertas lusuh itu.
Amanda Chloe
Kota Cirillo
26 Oktober 20xx
“Amanda, ya?” ujarnya seraya menyangga kepalanya di atas meja. Bahkan di saat terakhirnya, Arnold berjuang keras menggenggam kertas itu sekuat tenaga, seakan ingin melindungi apa yang ada di dalam secarik kertas itu. Napasnya sedikit tercekat. Bayangan akan kematian temannya…
Tangannya mengepal. Ia menggigit bibir bawahnya hingga nyaris berdarah lalu mengetuk jemarinya yang ramping itu ke atas meja agar serangan paniknya tidak muncul. Setelah kepanikannya mereda, matanya kembali tertuju pada kertas itu, memasukkannya kembali ke dalam saku mantelnya. Kepolisian Morozov sudah memutuskan kematian temannya sebagai upaya perampokan yang gagal dan menutup kasus itu dengan cepat, sehingga mustahil baginya untuk menyelidiki kembali kasus kematian temannya itu jika ia terus bergerak sebagai detektif. Karena itu, ia memutuskan untuk mengundurkan diri dari kepolisian, dan menghentikan sesi konseling dengan psikiaternya. Ia sudah lelah untuk terus bersembunyi tanpa mencari kebenaran. Mana mungkin ia yang seorang detektif kepolisian memutuskan untuk berhenti menyelidiki kasus yang jelas-jelas bukan perampokan yang gagal, tapi upaya pembunuhan yang sudah direncanakan?
Harga dirinya pasti lenyap kalau ia ikut berhenti menyelidiki kasus itu. Kata kunci kasus itu hanya pada secarik kertas iniーkertas yang ia ambil diam-diam setelah menghubungi polisi dan ambulans. Raymond tidak mungkin menyadarinya jika bukan karena hidungnya mencium aroma kertas dari tangan Arnold. Kertasnya begitu kecil, sampai nyaris luput dari penglihatannya, sehingga begitu membuka tangan temannya menggunakan sarung tangan yang selalu ia bawa untuk berjaga-jaga seandainya ia mendadak mendapatkan panggilan dari tempat kerjanya, ia segera memasukkannya ke dalam buku catatan kecil yang selalu ia bawa tanpa berpikir panjang. Intuisinya mengatakan padanya untuk tidak memberikan barang bukti itu pada polisi, dan kelihatannya intuisinya tepat. Kalau kertas ini sampai diketahui orang lainーapalagi jika itu adalah kelompok yang telah membunuh Arnold, habislah sudah. Siapa pun orang yang ada di kertas ini, ia akan mencarinya. Bahkan jika perlu, menjaganya dengan nyawanya sendiri. Seperti sumpahnya di depan makam Arnold.
Sepertinya ini akan jadi tugas yang sulit. Ia bahkan bisa mencium adanya bahaya dari kertas ini.
Raymond meraih kopernya seraya memanggil pelayan untuk membayar tagihan, lalu berjalan meninggalkan kafe tersebut menuju hotel.
***
Sudah dua hari sejak ia tiba di kota Cirillo. Udaranya yang hangat begitu menenangkannya, berbeda dengan Morozov yang suhunya relatif dingin karena dekat dengan Rusia. Penduduk kota ini relatif ramah dan santai, sehingga proses adaptasinya di kota ini jauh lebih cepat. Ia bahkan sudah menganggap kota ini sebagai rumah barunya. Tapi ia tidak mungkin tinggal dalam jangka waktu lama di hotel itu. Cepat atau lambat uangnya akan segera menipis, jadi ia harus segera mencari tempat baru. Karena itu, saat ini ia berada di sebuah kantor agen properti yang direkomendasikan oleh staf hotel tadi pagi, duduk sambil membaca brosur yang ditawarkan oleh seorang sales yang segera menyambutnya begitu ia masuk ke dalam kantor ini. Rudolfーnama sales tersebutーbaru saja meminta izin untuk melayani seorang wanita muda kikuk yang masuk ke kantor ini.
Sambil menunggu, ia membalikkan halaman brosur itu hingga matanya tertuju pada salah satu apartemen yang sesuai dengannya. Ruang tamu dan dapur yang luas lengkap dengan furniture sehingga ia tidak perlu repot-repot membeli lagi, memiliki balkon yang bisa ia gunakan nantinya untuk merokok, dengan pemandangan kota Cirillo. Ia sudah senang membayangkan seperti apa nantinya. Namun, begitu ia melihat harga yang terpampang di bawah keterangan apartemen itu, ia mengurungkan niatnya. Harga per bulan apartemen ini sanggup membunuh uang tabungannya dalam waktu enam bulan. Apa sebaiknya ia mencari apartemen lain? Ada beberapa apartemen di brosur yang ia pegang, menawarkan harga yang cukup murah, tapi sebagai kompensasinya, ia tidak bisa merokok dan harus membeli furniture baru yang jelas akan sangat merepotkan. Opsi yang kurang menyenangkan memang, tapi sepertinya jauh lebih baik daripada membiarkan tabungannya hangus dalam enam bulan untuk apartemen impiannya.
Agak enggan, Raymond meletakkan brosur itu di atas meja, mencari Rudolf yang ternyata masih bersama wanita muda yang sejak awal sudah menarik perhatiannya. Bosan, ia mencondongkan sedikit tubuhnya, mencoba untuk mencuri dengar percakapan mereka, sambil tetap berusaha agar terlihat tidak mencolok.
“Jadi, apa ada apartemen yang menarik perhatian Anda, Nona?” Pria itu sengaja mempermanis nada suaranya saat berbicara dengan wanita muda itu, membuatnya tersenyum kecut. Sikap pria tua berkepala telur itu jauh berbeda saat menyambutnya tadi. Agak ketus, dan memandanginya dari atas ke bawah seakan-akan ia pria dekil dengan prospek yang kurang menjanjikan. Ia memandangi pakaian yang ia kenakan. Mantel cokelat yang ia kenakan saat tiba di kota ini, dengan kaos lengan panjang berwarna abu-abu dan celana jins biru tua dan sepatu sneaker berwarna hitam merah. Ia mengambil ponselnya yang ada di saku jins-nya, lalu mendesah panjang setelah melihat bayangannya di layar ponselnya, memahami kenapa pria berkepala telur itu terlihat enggan melayaninya. Rambutnya yang berantakan itulah penyebabnya. Apalagi, ia tidak sempat bercukur pagi ini karena terburu-buru ingin segera mencari apartemen. Ia kembali fokus pada wanita muda itu. Dari gerak-gerik wanita itu, ia tahu kalau wanita itu terlihat tidak nyaman saat Rudolf berdiri di dekatnya.
“Yang sederhana, seperti apartemen ini.” Wanita muda itu menunjuk ke salah satu apartemen yang ada di brosur yang sama dengan yang ia pegang. Sial, jarak mereka yang cukup jauh menyulitkannya untuk mengetahui apartemen mana yang diinginkan wanita itu.
“Tapi Nona, harga per bulannya cukup mahal. Apa Anda yakin?”
Didorong oleh rasa penasarannya, ia beranjak dari kursi sofanya, mendatangi kedua orang itu, berusaha sebisa mungkin untuk tetap terlihat natural saat ia mengintip apartemen mana yang dimaksud oleh wanita muda itu.
Oh. Apartemen yang sama dengannya. Menarik.
“Permisi.” Ia berdehem, sengaja mengambil momen di saat Rudolf mulai kembali berbicara. “Sepertinya kita sedang mencari apartemen yang sama.”
Wanita itu mengernyit, dibarengi dengan wajah masam Rudolf saat mendapati keberadaannya yang dianggap mengganggu. “Maaf, tapi Andaー”
“Maafkan kelancangan saya.” Ia tertawa pelan, berusaha agar tetap terlihat keren. Seenggaknya, ia harus memberikan kesan pertama yang bagus di depan wanita yang mengenakan sweater merah dan rok lipit berwarna cokelat tua dengan sepatu hak tinggi tiga sentimeter itu. “Nama saya Raymond Cooper. Saya baru tiba di kota ini sejak dua hari yang lalu. Dari pengamatan saya, kelihatannya Anda juga orang baru di kota ini.”
Wanita itu terkesiap, lalu tertawa pelan. “Ya, Anda benar. Dari mana Anda bisa tahu soal itu?”
“Observasi. Tapi itu tidak penting. Kalau tidak keberatan, apa Anda bersedia untuk menjadi teman sekamar saya? Yah, kalau Anda tidak masalah satu atap dengan priaー”
“Tidak masalah.”
Jawaban cepat wanita itu mengejutkannya. Ia mengembalikan brosur yang ditawarkan Rudolf padanya, lalu tersenyum puas. “Bagus. Harga sewanya jauh lebih murah ditanggung berdua, bukan? Kalau begitu kami pilih apartemen ini.”
Ia bisa melihat wajah masam Rudolf walau hanya beberapa detik, lalu kembali ke senyum bisnisnya, menuntun mereka ke meja kantornya untuk mengurus berkas-berkasnya.
“Kalau tidak keberatan, saya bisa mengajak Nona untuk melihat apartemen itu. Untuk survei lokasi. Yah, kalau Tuan yang di sebelah Nona itu tidak bisa hari ini juga tidak apa-apa.” Rudolf memutar bola matanya saat menatapnya. Benar-benar menjengkelkan. Ia tarik kesan soal orang-orang di kota ini yang ramah. Rudolf di luar pertimbangannya. Kelihatan sekali kalau pria berkepala telur ini tengah mengincar wanita ini. Memang sih, wanita ini sangat cantik untuk ukuran wanita seusianya. Pemalu, tapi berkemauan keras. Itu kesan yang ia dapatkan saat melihat wanita ini. Dan melihat gelagat mencurigakan Rudolf saat memandang wanita ini membangkitkan instingnya untuk melindungi wanita ini.
“Sama sekali nggak.” Ia tersenyum, menahan jengkel. Kalau diberi kesempatan untuk meninju pria, tentu akan ia lakukan saat ini juga. “Saya sangat luang, terima kasih. Kalau bisa secepatnya, kenapa tidak sekarang?”
***
Sudah dua bulan berlalu sejak ia menginjakkan kakinya di kota Cirillo dan tinggal seatap dengan wanita bernama Hazel Skylar. Itu pun setelah melalui seleksi penyaringan yang ketat dari agen properti sialan itu yang terus mencegah wanita itu tinggal bersamanya. Ia tidak mengerti kenapa agen properti itu mati-matian menghalangi wanita itu untuk tinggal bersamanya, seolah pria itu adalah ayah dari wanita itu. Keputusan itu harusnya ada di tangan wanita itu, walaupun ia berharap banyak wanita itu mau menerima tawarannya, karena akan menghemat biaya sewa apartemennya. Pria itu terus-menerus memberikan citra jelek padanya—ditambah bumbu yang dibuat pria itu sendiri—menggambarkannya sebagai hewan liar buas yang sewaktu-waktu bisa menyerang wanita itu kapan saja. Memang, ia tertarik pada wanita itu sejak pertemuan pertama mereka, tapi bukan berarti ia akan bergerak menyerang wanita itu seperti deskripsi agen sialan itu. Ia m
Keesokan harinya, Raymond memutuskan untuk keluar rumah, merilekskan pikirannya setelah menghabiskan hampir dua bulannya di dalam apartemennya. Semua informasi sudah lengkap, hanya perlu memikirkan cara bagaimana mendekati Amanda Chloe tanpa membuat anak itu curiga padanya. Bukan hanya itu saja alasannya keluar rumah. Ia perlu pekerjaan baru. Tidak mungkin ia bergantung pada tabungannya yang mulai menipis itu untuk bertahan hidup.Masalahnya, pekerjaan apa yang harus ia ambil? Ia hanya memiliki pengalaman sebagai detektif polisi selama lima tahun. Hanya itu. Tidak mungkin ia melamar pekerjaan sebagai polisi juga di kota Cirillo, mengingat prosedurnya yang tidak memungkinkan karena ia bukan orang kota Cirillo. Ia tidak bisa memikirkan opsi apa pun sekarang. Tidak mungkin ia melamar pekerjaan di SMA Ignatius, tempat Amanda
Baru beberapa hari yang lalu ia mendapat pekerjaan di kafe tempat Hazel bekerja. Mendapat informasi baru bahwa anak perempuan yang tengah ia selidiki berdasarkan petunjuk terakhir yang diciptakan Arnold itu sering mengunjungi kafe itu. Rachel mengatakan semua yang diketahui wanita itu tentang Amanda setelah ia mendapati Edward yang tengah memarahi Rachel dan ketiga temannya itu karena melemparkan tanggung jawab yang seharusnya menjadi tugas mereka padanya. Ia mengambil kesempatan itu untuk menanyakan pada Rachel sebagai ganti karena sudah menyelamatkan mereka dari amukan Edward. Untungnya, Rachel tipe yang bisa diandalkan.Dan sekarang, intuisinya seperti mengatakan padanya kalau nyawa Amanda berada dalam bahaya. Sebenarnya ia enggan untuk mengikuti intuisinya karena itu berarti ia harus mengorbankan waktu istirahat yang
Serius?Raymond memandangi anak laki-laki berkacamata yang waktu itu menatapnya tajam di hari pertama ia kerja yang saat ini berdiri di hadapannya setelah beranjak keluar dari toko itu. Itu pun setelah harus beberapa kali menolak ajakan Martha untuk minum teh sambil membicarakan masa lalu. Diam-diam ia mengamati anak ini. Dari penampilannya ia sudah menduga kalau anak ini tipe yang bisa diandalkan, tapi ia tidak menyangka kalau teman yang dihubungi Amanda adalah anak ini. Kenapa di antara semuanya, Amanda malah memilih Gerald Tan? Ia pikir, Amanda akan menghubungi Priskaーanak perempuan berbadan atletis yang jago olahraga itu. Bukan bermaksud meragukan kemampuan Gerald, tapi Raymond merasa kalau Gerald bukan orang yang tepat untuk melindungi Amanda.
Raymond membuka kedua matanya. Di depan matanya, ia melihat sosok Hazel dengan rambut cokelat gelap panjangnya yang disampirkan ke samping telinga kirinya, mengamatinya dari jarak yang sangat dekat. Begitu melihatnya siuman, wajah khawatir Hazel sirna, berganti lega. Ia memandang ke sekelilingnya. Hanya ada Hazel. Apa Martha sudah pergi? Atau Martha hanya menghubungi ambulans dan meninggalkannya begitu ambulans tiba menjemputnya?“Sudah siuman?”Tubuhnya masih terasa lemas karena pengaruh obat bius. Ia memandang ke sekelilingnya sebelum perhatiannya tertuju pada Hazel yang duduk di sampingnya. Sejak kapan ia berada di klinik? Dan kenapa Hazel ada di sini?
Mereka tiba di depan rumah Amanda Chloe. Tidak terlihat aktivitas di rumah tersebut, menandakan bahwa anak itu benar-benar berada di rumah Gerald Tan. Sambil terus menggenggam tangan Hazel yang tidak ia lepaskan sejak tadi, mereka berjalan melewati tiga rumah sebelum akhirnya tiba di rumah Gerald Tan. Hampir semua rumah yang berada di sini memiliki desain yang mirip karena letaknya yang berada di perumahan, membuat orang sedikit kebingungan jika baru pertama kali mengunjungi tempat ini dan tidak memperhatikan detail lainnya yang menggambarkan profil si pemilik rumah. Seperti contohnya rumah Amanda tadi yang memiliki pintu pagar berwarna hitam, sementara rumah yang sekarang ada di hadapannya ini memiliki pintu pagar berwarna putih dengan ukiran singa emas. Raymond mengeluarkan ponselnya sekilas sebelum memasukkannya kembali ke dalam saku celananya untuk mengecek jam.
Raymond memandangi pemandangan pagi di kota Cirillo yang tampak jelas dari balkon apartemennya sambil menikmati aroma rokok yang ia hisap dalam-dalam untuk menenangkan pikirannya. Kelihatannya Hazel tidur di kamarnya, karena ia tidak mendapati Hazel saat ia bangun tadi. Melihat pemandangan kota Cirillo, membuatnya teringat dengan pelajaran Sejarah yang ia pelajari saat ia masih sekolah.Dulu, dunia dihadapi oleh situasi sulit karena perang berkecamuk di beberapa negara Timur Tengah, yang kebanyakan dipicu oleh kaum ekstremis. Akibatnya banyak penduduk negara itu yang memutuskan untuk keluar dari negaranya, mengorbankan harta dan status kewarganegaraan mereka. Mencari tempat yang jauh lebih aman untuk keselamatan mereka dan keluarga mereka, mengungsi ke negara-negara Eropa untuk mendapatkan hal yang tidak bisa mereka dapat
Raymond menyesap teh chamomile yang disiapkan Hazel untuk menenangkan pikirannya, bersama dengan roti bakar, telur orak-arik, bacon wortel, memunculkan aroma yang seharusnya mampu membangkitkan selera makannya. Sebaliknya, ia hanya memandang piringnya dengan tatapan lesu dan kembali menyesap tehnya hingga tersisa sedikit.“Apa makananku nggak enak?”Raymond menggeleng.
Thyme Umberbridge memandang bayangan dirinya di kaca mobil, merapikan penampilannya. Hari ini ia sudah memberanikan diri mengajak Priska Cirillo—perempuan yang sudah ia suka sejak ia tahun pertamanya di SMA St. Ignatius. Perempuan kuat yang berhasil mengalihkan dunianya yang selama ini hanya berkutat pada belajar dan latihan mempersiapkan diri untuk menjadi pemimpin organisasi mafia Umberbridge, menggantikan ayahnya. Dari Priska, ia mengenal Amanda Chloe—teman satu angkatannya yang dikenal jenius dalam bermain piano (dan belakangan ia baru tahu bahwa temannya itu adalah adik perempuan dari Arnold Walter, pembunuh bayaran dari keluarga Walter yang ia kagumi sejak lama sampai ia mengikuti jejaknya dengan mengasah kemampuannya menembak secara akurat), dan Gerald Tan—teman sejak kecil Amanda Chloe yang memiliki kepribadian seperti ibu rumah tangga, dan sekarang tengah bersamanya di dalam mobil setelah ia meminta temannya itu untuk menemaninya. Ia terlalu gugup, sampai tidak menyadari ke
Suara lima anak-anak yang berlari di lorong membuat Raymond tanpa sadar tersenyum kecil memandangi mereka semua. Keceriaan anak-anak itu seolah memberikan suasana yang jauh lebih menyenangkan di tengah kumpulan para pasien rumah sakit yang rata-rata dihuni oleh orang tua. Hanya sedikit pasien yang seumuran dengannya, itu pun tidak menghabiskan waktu lama sepertinya. Anak-anak itu tertawa keras sebelum akhirnya terdiam saat seorang perawat wanita menegur mereka yang ribut. Wajah bahagia mereka memudar, disusul kepala mereka yang menunduk lesu. Ia yang baru saja menyelesaikan proses administrasi rumah sakit hanya menggeleng pelan, menghampiri anak-anak tadi dan juga perawat wanita yang masih sibuk mengomeli mereka dengan perkataan yang terus diulang-ulang. “Biarkan saja,” tangan kiri Raymond bergerak mengelus salah satu kepala anak-anak berambut panjang lurus berwarna cokelat tua yang digerai. Anak itu mendongak
Verdict meletakkan karangan bunga di atas batu nisan kakak angkatnya, memejamkan matanya sambil membentuk tanda salib di depan dada. Di sampingnya, Amanda berdiri terpaku, memandangi batu nisan dengan ukiran nama Arnold Walter. Tidak ada kata-kata khusus yang terukir di batu nisan itu selain nama dan tanggal kematian. Tangannya mencari tangan Amanda dan menggenggamnya erat, menenangkan pacarnya yang mulai menangis.“Kak. Aku nggak tahu Kakak bisa mendengarku atau nggak, tapi aku ingin mengenalkan orang paling spesial dalam hidupku sekarang,” ujarnya sambil melirik ke arah Amanda yang tengah mengusap air matanya sambil sesenggukan. “Ini Amanda Chloe, adik kandungnya Kakak dan juga pacarku. Aku tahu apa yang akan Kakak katakan jika Kakak masih hidup. Kakak pasti tidak akan suka jika tahu ini. Kalau Kakak masih hidup dan bisa bert
Dua minggu lebih ia habiskan waktunya untuk berbaring di ranjang rumah sakit yang sangat tidak nyaman, memandangi pemandangan di luar jendela. Terdengar suara decit burung-burung yang bertengger di salah satu jendela kamarnya, seperti tengah mencoba menyapanya dengan wajah polos mereka. Ia terus mengamati burung-burung itu sampai akhirnya burung-burung itu pergi dari jendela itu, menyusul kawanan mereka. Di samping tempat tidurnya, ia mendapati sosok Hazel yang tengah mengiris apel untuknya walaupun ia sudah menolak berkali-kali karena kehilangan selera makan. Begitu selesai mengupas, wanita itu menyuapkan apel itu ke mulutnya. Agak enggan, ia melahap apel itu, mengunyahnya dalam diam.“Aku hormati keputusanmu, Raymond.”Ia mengernyit kebingungan mendengar perkataan Hazel yang tiba-tiba. Sambil mengunyah apelnya, ia
Sepertinya, belum saatnya ia mati.Hanya itu kesimpulan yang bisa ia pikirkan begitu ia membuka kedua matanya, memandangi langit-langit kamar yang putih sepenuhnya. Sinar mataharinya yang memasuki ruangan itu melalui jendela kamarnya membuat matanya silau. Ada banyak alat penopang kehidupan terpasang di tubuhnya, menyulitkannya untuk bergerak leluasa. Napasnya sedikit sesak akibat alat bantu pernapasan yang dipasang untuk membantunya bernapas. Matanya tertuju pada seorang wanita berpakaian perawat yang tengah memeriksa selang infusnya.“Tuan Cooper? Sudah siuman?” Wanita itu memutar tubuhnya, menarik napas lega begitu melihatnya. Matanya hanya tertuju pada seragam yang begitu ketat membungkus tubuh wanita itu, memperlihatkan lekuk tubuh w
Raymond memandangi Thyme dan Verdict yang masih tetap berada di tempat mereka. Thyme tetap bersikap tenang, walaupun ia menangkap sedikit guratan kegelisahan di wajah kekanakan anak itu. Sementara Verdict sudah kehilangan kendali emosinya setelah melihat salah satu anggotanya dibunuh Simon, meronta sambil terus merutuki Simon yang tampak tidak mempedulikan kemarahan pria itu.Tangannya yang tidak memegang revolver itu mengepal, berusaha tetap tenang menghadapi pria yang masih menunggu jawabannya.“Apa jaminannya?”“Kamu bergabung denganku, semua orang yang ada di tempat ini akan kubebaskan.”
“Ed, aku nggak apa. Serius. Jadi bisa nggak, kamu berhenti mengkhawatirkanku?”Edward tidak menghiraukan pertanyaannya, masih terus mengamati seksama seluruh tubuhnya yang sukses membuatnya canggung setengah mati.“Ini salahku. Memang harusnya aku nggak biarin kamu melawan orang itu sendirian,” Edward kini menjauhkan tubuhnya dari Raymond, mengeluarkan tablet hologramnya, lalu menatap layar tablet hologramnya sambil menggumam pada dirinya sendiri.“Boleh aku bertanya sedikit?”“Tentu.”
Begitu efek gasnya menghilang, Raymond memberi aba-aba untuk masuk ke dalam, berlari sambil menghindari tembakan orang-orang Simon yang berjaga di sekitar lorong koridor tempat mereka berada saat ini, bersama Edward dan Lucas. Sementara sisanya telah berpencar, mengikuti arahannya. Masing-masing dari orang yang ia tunjuk sebagai pemimpin sudah membawa alat yang diberikan Hazel tadi sebagai tindakan preventif, dan memberi arahan pada mereka untuk mencari anak-anak yang ditawan di ruang bawah tanah sementara ia, Lucas, dan Edward bergerak menuju lantai dua.“Raymond?” Edward berbisik di dekatnya, tampak cemas, begitu mereka tiba di lantai dua, bersembunyi di balik dinding seraya mengisi ulang amunisi senjata mereka yang habis.“Apa?”
Raymond mematikan mesin mobilnya, mengawasi Thyme dan Verdict yang sudah masuk ke dalam bangunan itu dari jauh. Thyme memintanya untuk memarkirkan mobilnya agak jauh markas Simon Clive yang kini dipenuhi oleh orang-orang berpakaian mewah yang berbondong masuk ke dalam bangunan tersebut, disambut oleh beberapa orang berpakaian serba hitam dengan aura menakutkan di sekeliling mereka. Ia mengenali beberapa dari mereka yang mengepungnya waktu ia bersama Edward. Berulang kali ia mengetuk jemarinya, merasa frustrasi karena tidak mengetahui rencana anak itu.“Mau?” Hazel yang duduk di belakangnya menyodorkan snack bar yang sedari tadi dikonsumsi wanita itu padanya. “Buatanku sendiri. Rendah kalori, tapi cukup untuk mengisi tenagamu.”“Nggak. Aku