Share

Bab 3

Penulis: Zhen Xin Xin
last update Terakhir Diperbarui: 2021-02-27 02:00:58

Keesokan harinya, Raymond memutuskan untuk keluar rumah, merilekskan pikirannya setelah menghabiskan hampir dua bulannya di dalam apartemennya. Semua informasi sudah lengkap, hanya perlu memikirkan cara bagaimana mendekati Amanda Chloe tanpa membuat anak itu curiga padanya. Bukan hanya itu saja alasannya keluar rumah. Ia perlu pekerjaan baru. Tidak mungkin ia bergantung pada tabungannya yang mulai menipis itu untuk bertahan hidup. 

Masalahnya, pekerjaan apa yang harus ia ambil? Ia hanya memiliki pengalaman sebagai detektif polisi selama lima tahun. Hanya itu. Tidak mungkin ia melamar pekerjaan sebagai polisi juga di kota Cirillo, mengingat prosedurnya yang tidak memungkinkan karena ia bukan orang kota Cirillo. Ia tidak bisa memikirkan opsi apa pun sekarang. Tidak mungkin ia melamar pekerjaan di SMA Ignatius, tempat Amanda Chloe bersekolah. Akan terlalu mencurigakan. Lagipula, ini bukan seperti cerita fiksi yang bisa dengan mudahnya menyusup ke dalam sekolah sebagai guru (ataupun murid sekolah, jika ia dianugerahi wajah baby face yang sayangnya ia tidak memilikinya).

Seorang pria mengedipkan sebelah matanya saat ia berjalan menyusuri salah satu area di kota Cirillo, membuatnya mengernyit dan berpura-pura tidak menyadari bahasa tubuh pria itu yang mencoba mendekatinya. Ia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku mantelnya, menyadari bahwa ia lupa membawa sarung tangannya saat keluar rumah. Ia mempercepat langkah kakinya saat pria tadi bergerak mengikutinya.

“Permisi. Apa kamu sendirian?”

Ia tidak menggubris orang itu, terus berjalan sambil mencari tempat yang sekiranya ramai oleh orang. Sialnya, ia malah menarik perhatian beberapa wanita yang berdiri di sisi jalan setapak di area pertokoan modern pusat kota Cirillo. Percakapan mereka terhenti saat melihatnya, dan kini mereka juga mendekatinya. Pria yang tadi tampak kesal saat para wanita itu juga mencoba menarik perhatiannya, dan kini mereka semua sibuk adu mulut meributkan siapa yang berhak mendekatinya. 

Ia memutar bola matanya, mencari jalur lain yang akan membawanya menjauh dari orang-orang aneh itu. Lega menyadari orang-orang itu sudah tidak ada di dekatnya, ia bersenandung memandang ke sekelilingnya. Rasanya jalur tempatnya berada saat ini belum pernah ia lewati sejak ia tinggal di kota Cirillo. Ia terlalu sibuk menghabiskan waktunya untuk menyelidiki Amanda Chloe dan mencari jalan pintas yang bisa membawanya ke rumah Amanda Chloe jika terjadi sesuatu yang buruk, walaupun hingga hari ini belum juga ada, sehinga ia cukup terkejut mendapati ada area pertokoan yang kental nuansa Viktoria di kota yang dijuluki sebagai kota percontohan masa depan ini.

Ponselnya berdering saat ia sedang mengingat jalur ini ke dalam otaknya, membuat konsentrasinya teralih. Tangannya mengeluarkan ponsel yang ada di dalam saku mantelnya. Sebuah pesan masuk dari Hazel.

Maaf, tapi apa kamu sibuk sekarang?

Ia membuka pesan itu, membalasnya. 

Nggak. Ada apa?

Tidak butuh waktu lama baginya untuk mendengar pesan balasan dari Hazel.

Apa kamu bisa ke tempatku sekarang? Akan kukirim alamatnya. 

Ia menepi di depan sebuah toko makanan manis yang tutup hari ini. 

Bisa. Apa terjadi sesuatu?

Ia melihat jam di layar notifikasi ponselnya. Masih pukul sebelas siang. Tidak biasanya Hazel mengirim pesan di jam seperti ini. 

Aku butuh bantuanmu. Apa tidak apa-apa?

Jarang-jarang Hazel mengirimkan pesan seperti ini. Mungkin sebaiknya ia melupakan niatnya untuk melamar pekerjaan. Wanita itu kelihatannya butuh bantuannya sekarang.

Tentu. Aku akan ke sana sekarang.

Selesai membaca pesan balasan Hazel dan memahami peta lokasi alamat tempat Hazel yang ternyata tidak jauh dari tempatnya berada saat ini, ia menjejalkan ponselnya ke dalam saku mantelnya, berlari menuju tempat yang dimaksud Hazel.

***

Begitu ia tiba di tempat yang ternyata adalah kafe, Hazel yang mengenakan seragam kokinya (membuat wanita itu terlihat sangat manis di matanya) sudah menunggu di belakang kafe segera menariknya masuk sebelum ia sempat menanyakan alasan wanita itu mengundangnya ke sana, membawanya menghadap seorang pria tua berseragam koki yang tampak lega melihatnya. Begitu Hazel melepaskan tangannya, wanita itu berdiri di samping pria tua itu. 

“Ini orangnya, Paman. Apa tidak masalah?”

Hm? Apa yang sedang dibicarakan wanita itu?

Pria tua itu memandangnya dari atas ke bawah, membuatnya sedikit tidak nyaman karena seperti tengah diinspeksi, lalu mengangguk puas seraya meletakkan kedua tangannya di balik punggungnya. Hazel tampak lega, menghampirinya.

“Maaf, aku tahu ini mendadak dan aku nggak mengatakannya padamu tadi, tapi apa kamu tidak keberatan bekerja sebagai pelayan di kafe tempatku bekerja? Kebetulan tempatku lagi butuh orang baru, dan kurasa kamu bisa.”

Ia mengulum bibirnya, sedikit keberatan. Memang, ia tadi sedang mencari pekerjaan baru yang sekiranya cocok dengannya, tapi ia tidak menyangka pekerjaan itu akan datang secepat ini. Hanya saja, ia tidak yakin apakah ia harus menerimanya atau tidak. Ini terlalu mendadak. Namun melihat wajah memelas Hazel membuatnya tidak mungkin untuk menolak. 

“Tidak masalah,” ujarnya, setelah melalui perdebatan panjang dalam pikirannya. Ia memang butuh pekerjaan. Mungkin setelah ini ia harus menyesuaikan jadwalnya dengan rencananya untuk mendekati Amanda Chloe.

“Syukurlah. Aku tahu aku bisa mengandalkanmu,” Hazel tersenyum lebar mendengar jawabannya, membuatnya sedikit berdebar. Kelihatannya keputusannya untuk menerima pekerjaan ini sudah tepat. “Beres. Nah, aku harus kembali ke pekerjaanku. Kamu bisa menanyakan detailnya pada pamanku. Oke? Sampai nanti.”

Tahu-tahu saja Hazel sudah menghilang dari hadapannya, meninggalkannya bersama pria tua itu. Dari belakangnya, ia bisa merasakan beberapa pasang mata menatapnya, membuatnya sedikit bergidik. Saat ia menoleh, ia mendapati para pelayan kafe—yang rata-rata adalah wanita—melambaikan tangannya ke arahnya dengan wajah merona. 

Pria tua itu menjulurkan tangannya, dan ia menjabat tangan pria itu. “Aku Rufus Clark. Kupersingkat saja. Kamu diterima di sini. Edward akan membantumu menjelaskan detail pekerjaanmu. Jangan sungkan untuk bertanya padanya, oke? Sebentar, akan kupanggil dia kemari.”

Pria bernama Rufus Clark itu berjalan pergi menuju ke sebuah ruangan yang ada di dekat pria itu. Beberapa saat kemudian, pria itu kembali bersama seorang pria muda berwajah ketus, mengenakan seragam kerja formal.

“Aku tinggal kalian berdua, ya? Masih banyak yang harus kuurus,” ujar pria itu lagi, sebelum akhirnya meninggalkannya bersama pria ketus itu. Kerumunan pelayan yang berdiri agak jauh di belakangnya tadi langsung membubarkan diri secara sukarela begitu pria ketus itu melemparkan tatapan tajam pada mereka semua. 

“Siapa namamu?” 

Nada ketus pria itu membuatnya sedikit tertekan. “Raymond. Raymond Cooper.”

“Oh,” pria itu berbalik, memberi isyarat padanya untuk mengikuti pria itu. “Aku Edward Groningen, tapi kamu bisa memanggilku Edward.”

Aura pria bernama Edward itu begitu menekan, hingga membuatnya merasa tegang, membawanya masuk ke dalam ruang kerja pria itu.

“Kafe ini selalu ramai, jadi pastikan kamu melayani setiap pelanggan dengan baik. Jangan sampai melewatkan pesanan tamu lebih dari lima menit. Itu aturan pertama,” Edward menutup pintu kantornya, berjalan dengan langkah yang menggema di ruangan itu menuju lemari. Mata pria itu memindainya, lalu menggumam pelan, mengeluarkan seragam pelayan pria dan menyerahkannya pada Raymond. “Ada dua jadwal di sini, pagi dan sore. Apa kamu sebelumnya pernah bekerja sebagai pelayan?”

“Tidak,” jawabnya jujur. Mengambil pekerjaan sebagai pelayan di kafe bukan hal yang pernah terlintas di benaknya selama ini. 

Edward terdiam sejenak, lalu tersenyum kecil, mengubah suasana mencekam yang sempat diciptakan pria itu tanpa sadar. Mata pria itu mengarah ke seragam kerja yang ia bawa saat ini. “Bagus. Akan lebih mudah mengarahkanmu. Coba dulu apakah ukurannya sudah cocok apa belum. Ruang gantinya ada di seberang ruangan ini.”

“Kalau begitu saya permisi.”

Begitu ia selesai mengganti pakaiannya dengan seragam kerja dan menghampiri Edward yang sudah menunggunya di depan pintu ruang kerjanya, tangannya ditarik oleh beberapa pegawai kafe yang berada di depan pintu ruang ganti pakaian, mengerubunginya sampai ia harus menahan jengkel. Seragam itu anehnya, sangat sesuai dengan ukurannya. Padahal ia yakin sekali kalau Edward tadi hanya menerka-nerka ukurannya saat melihatnya tadi. Pria itu sendiri kini melipat kedua tangannya di depan dada, bergeming di depan ruang kantornya begitu melihatnya, membiarkan semua pelayan kafe itu mengerubunginya. Apa ia terlihat aneh mengenakan seragam ini?

Seorang pelayan wanita yang dari tag namanya bernama Rachel Felicia, memeluk lengannya hingga ia bisa merasakan dada besar wanita itu menyentuh lengannya. 

“Manajer, biar kita yang jelasin semuanya. Boleh?”

Edward merengut mendengar permintaan Rachel, lalu membuang muka, tidak mengatakan apa pun.

“Kuanggap setuju,” Rachel semakin merangkul erat lengannya, membuatnya semakin gerah. Ia berusaha melepaskan diri dari Rachel, namun sayangnya wanita itu malah membawanya keluar bersama dengan para pegawai lainnya menuju bagian depan kafe yang penuh dengan pengunjung kafe. Wanita itu akhirnya melepaskan tangannya dari lengan Raymond, menunjuk ke sebuah meja yang agak jauh dari tempatnya berada, diisi oleh empat orang pelajar SMA yang tengah mengobrol. “Bisa bantuin kita nggak~?”

“Apa ada masalah?” tanyanya. Mendadak, perasaannya tidak enak saat mendengar suara Rachel yang terkesan dibuat imut.

“Aduh, kamu baik banget, deh! Siapa namamu?”

“Raymond,” ujarnya, singkat. Ia tidak berniat memberitahu pada wanita yang sangat menyebalkan ini nama panjangnya. “Jadi apa yang bisa saya bantu?”

“Kamu tahu kan, tempat kita ini lagi jam sibuk, jadi pasti ramai banget.”

“Lalu?”

“Tolong bantuin kita nanganin meja yang itu. Kita sibuk banget melayani pesanan pelanggan lain. Iya kan, teman-teman?”

Semua mengangguk. Ah, sudah ia duga. Wanita ini mencari kesempatan untuk mengerjainya. Perkataan wanita ini sama sekali kontras dengan apa yang baru saja dilakukan mereka semua saat ia baru selesai mengganti pakaiannya tadi. 

“Saya mengerti. Biar saya yang mengurusnya.”

Rachel melompat senang, membantunya untuk mengambil pesanan dari meja nomor lima—meja tempat keempat orang itu berada, lalu meninggalkannya begitu saja sambil tertawa. Sambil menahan rasa jengkel, ia membawa pesanan tersebut, menghadapi para pelanggan kafe yang mengalihkan perhatian mereka dari kegiatan mereka dan memandangnya tanpa henti sampai membuatnya gerah. Bahkan ada beberapa orang yang melambaikan tangan ke arahnya, dan begitu ia membalas dengan senyum sopan, orang-orang itu tampak merona hebat. Sial. Sepertinya ia tidak bisa melepaskan diri dari orang-orang aneh di kota ini, ya? 

“Permisi. Maaf sudah membuat Anda menunggu. Ini pesanan Anda,” Raymond meletakkan pesanan itu di atas meja nomor lima. Matanya membesar begitu menyadari sosok yang sangat familiar tengah mengobrol dengan teman-temannya sebelum beralih padanya, tampak terkejut. 

Amanda Chloe. 

Kelihatannya takdir berpihak padanya. Baru saja ia memikirkan opsi untuk mencari pekerjaan di tempat yang ia kira akan sering dikunjungi anak perempuan ini dan ternyata ia tidak perlu bersusah payah untuk melakukannya.

“Lama banget! Sudah setengah jam kita nungguin!” 

Seorang anak perempuan berwajah maskulin dengan rambut ekor kuda—Priska Cirillo—duduk berseberangan dengan Amanda mengeluh kesal, begitu juga dengan seorang anak berparas imut berambut pirang keriting dengan warna mata biru muda—Thyme Umberbridge—yang duduk di samping anak perempuan itu sambil terus menatap layar ponselnya. Di samping Amanda, seorang anak laki-laki berkacamata—Gerald Tan—terus menatapnya tajam. 

Ah, ini sebabnya kenapa Rachel tertawa setelah meninggalkannya tadi. Dasar wanita berengsek!

“Sudah, nggak apa-apa. Toh, pesanannya juga sudah datang,” Amanda meminta kedua temannya itu agar tetap tenang. Anak perempuan itu lalu tersipu saat melihatnya. “Te…terima kasih. Maaf sudah merepotkan Anda.”

“Tidak, kami yang seharusnya meminta maaf karena sudah telat membawakan pesanan Anda. Silakan menikmati hidangannya,” Raymond memasang senyum sopan, berusaha menahan jengkel seraya meninggalkan meja itu untuk melayani tamu lain yang baru saja datang.

***

Begitu jam kerjanya telah berakhir, ia mengganti pakaiannya dan berjalan keluar dari kafe itu sambil menghela napas panjang. Sangat melelahkan. Siapa yang menyangka bahwa di hari pertamanya bekerja ia akan dikerjai oleh seniornya? Mengerjakan semua pekerjaannya yang seharusnya dilakukan oleh empat orang itu seorang diri?

“Raymond?”

Ia menoleh ke belakang, mendapati Hazel yang sudah mengganti pakaiannya menjadi pakaian kasual. Sweater rajut berwarna beige dipadu rok midi A-line berwarna hitam dengan hiasan tanaman berwarna emas dan sepatu hak tinggi berwarna merah serta oversized coat berwarna putih sangat cocok dikenakan wanita itu. Ia sampai tidak sadar terus memperhatikan wanita itu sampai tidak menyadari wanita itu terus memanggil namanya, mengagumi sosok Hazel. Bagaimana bisa ia menyia-nyiakan keberadaan wanita semanis Hazel Skylar selama dua bulan ini?

“Raymond?”

Ia tersadar, mengalihkan pandangannya ke arah lain sambil berdehem, melegakan tenggorokannya yang tiba-tiba terasa kering karena kikuk. Tidak, tidak. Ia tidak ada waktu untuk mendekati wanita itu. Ia harus mengingat alasannya berada di sini. 

“Kamu marah, ya? Maaf. Aku nggak maksud—”

“Nggak. Aku nggak marah. Malah sejujurnya aku bersyukur kamu mengenalkanku ke pekerjaan ini karena aku sedang membutuhkannya,” jawabnya setelah berhasil mengendalikan diri. Ia menawarkan diri membawakan tas jinjing berwarna senada dengan sepatu hak tinggi wanita itu.

“Te … terima kasih. Maaf merepotkan.”

“Bukan masalah. Seorang koki harus menjaga baik-baik tangannya, bukan?” ia membawa tas Hazel, mempersilakan wanita itu untuk berjalan terlebih dahulu. Ia lalu mengambil sisi jalan agar wanita itu tidak berjalan di pinggir. Matanya menikmati pemandangan jalan setapak tempat mereka berada saat ini yang tampak cantik. 

“Kamu terlalu berlebihan,” Hazel memandangnya agak ragu. “Kayaknya kamu capek banget.”

“Begitulah,” ia memasukkan tangannya yang bebas ke dalam saku mantelnya, mendongakkan kepalanya ke atas seraya mengembuskan napas, mengeluarkan uap dingin. Kelihatannya sebentar lagi kota ini akan memasuki musim dingin. “Siapa yang menyangka kalau tempatmu bekerja sangat populer?”

“Maaf. Cuma kamu yang bisa kumintai tolong.”

“Tidak perlu meminta maaf. Aku paham.”

“Kayaknya kamu terbiasa melakukannya.”

“Apa kamu tadi melihatku? Kapan?”

“Aku minta izin sebentar untuk memeriksa keadaanmu. Apa dulu kamu pernah bekerja sebagai pelayan?”

“Ini pertama kalinya malah,” Raymond memijat bahunya yang terasa sakit. “Tapi aku capek banget, nggak sanggup buat masak makan malam. Apa kita beli makanan di minimarket dekat sini?”

“Kita masih punya kue buatanku, kan? Mau makan itu aja buat makan malam?”

Ia mengangguk seraya menguap lebar. 

Mereka terus berjalan hingga tiba di apartemen mereka. Begitu masuk, hal yang segera ia lakukan adalah melepaskan mantelnya dan menyalakan penghangat ruangan, merebahkan tubuhnya di atas kursi sofa di ruang tamu hingga membuat wanita itu tertawa melihatnya. Ia membenamkan wajahnya, menikmati empuknya kursi sofa itu. Hidungnya mencium aroma kopi hitam dan cokelat panas, bersama aroma kue yang disimpan Hazel kemarin. 

“Raymond. Aku udah bawa kuenya. Sama kopi hitam panas kesukaanmu.”

Ia merubah posisinya, menerima kue itu dengan senang hati. “Makasih. Kayaknya enak. Kumakan, ya?”

Kelihatannya Hazel menunggu komentarnya untuk kue itu, karena Hazel tampak cemas. Seperti tengah mengikuti acara kontes memasak di mana ia berperan sebagai jurinya. Ia menyendokkan sesuap kue itu perlahan. Matanya membesar begitu mengetahui bahwa kue buatan Hazel sangat enak, sampai ia tanpa sadar menghabiskan kue itu hingga tak bersisa.

“Enak banget!”

Hazel kini terlihat lega, memakan kuenya dengan wajah yang merona. “Baguslah kalau kamu bilang enak. Aku agak khawatir sama rasanya, takut nggak cocok sama kamu.”

“Kuemu enak, kok. Coba deh, kamu lebih percaya diri,” Raymond menyesap kopi hitamnya untuk menghangatkan tubuhnya yang masih kedinginan walaupun pemanas ruangan sudah dinyalakan tadi. “Sayang cuma bisa makan seiris saja malam ini. Aku nggak ahli membuat kue, jadi lain kali bisa tolong buatkan untukku?”

“Tentu.”

Ia menyesap kembali kopi hitamnya sambil memandangi Hazel yang tengah memakan kuenya. Hatinya terasa hangat, karena merindukan interaksi sosial yang sudah lama tidak ia lakukan karena terus memikirkan kematian Arnold. Apa ia boleh bersantai sejenak saja, mendekati teman sekamarnya untuk sementara waktu? Apa ia berhak melakukannya?

***

Bab terkait

  • His Last Wish (Indonesian)   Bab 4

    Baru beberapa hari yang lalu ia mendapat pekerjaan di kafe tempat Hazel bekerja. Mendapat informasi baru bahwa anak perempuan yang tengah ia selidiki berdasarkan petunjuk terakhir yang diciptakan Arnold itu sering mengunjungi kafe itu. Rachel mengatakan semua yang diketahui wanita itu tentang Amanda setelah ia mendapati Edward yang tengah memarahi Rachel dan ketiga temannya itu karena melemparkan tanggung jawab yang seharusnya menjadi tugas mereka padanya. Ia mengambil kesempatan itu untuk menanyakan pada Rachel sebagai ganti karena sudah menyelamatkan mereka dari amukan Edward. Untungnya, Rachel tipe yang bisa diandalkan.Dan sekarang, intuisinya seperti mengatakan padanya kalau nyawa Amanda berada dalam bahaya. Sebenarnya ia enggan untuk mengikuti intuisinya karena itu berarti ia harus mengorbankan waktu istirahat yang

    Terakhir Diperbarui : 2021-02-27
  • His Last Wish (Indonesian)   Bab 5

    Serius?Raymond memandangi anak laki-laki berkacamata yang waktu itu menatapnya tajam di hari pertama ia kerja yang saat ini berdiri di hadapannya setelah beranjak keluar dari toko itu. Itu pun setelah harus beberapa kali menolak ajakan Martha untuk minum teh sambil membicarakan masa lalu. Diam-diam ia mengamati anak ini. Dari penampilannya ia sudah menduga kalau anak ini tipe yang bisa diandalkan, tapi ia tidak menyangka kalau teman yang dihubungi Amanda adalah anak ini. Kenapa di antara semuanya, Amanda malah memilih Gerald Tan? Ia pikir, Amanda akan menghubungi Priskaーanak perempuan berbadan atletis yang jago olahraga itu. Bukan bermaksud meragukan kemampuan Gerald, tapi Raymond merasa kalau Gerald bukan orang yang tepat untuk melindungi Amanda.

    Terakhir Diperbarui : 2021-02-27
  • His Last Wish (Indonesian)   Bab 6

    Raymond membuka kedua matanya. Di depan matanya, ia melihat sosok Hazel dengan rambut cokelat gelap panjangnya yang disampirkan ke samping telinga kirinya, mengamatinya dari jarak yang sangat dekat. Begitu melihatnya siuman, wajah khawatir Hazel sirna, berganti lega. Ia memandang ke sekelilingnya. Hanya ada Hazel. Apa Martha sudah pergi? Atau Martha hanya menghubungi ambulans dan meninggalkannya begitu ambulans tiba menjemputnya?“Sudah siuman?”Tubuhnya masih terasa lemas karena pengaruh obat bius. Ia memandang ke sekelilingnya sebelum perhatiannya tertuju pada Hazel yang duduk di sampingnya. Sejak kapan ia berada di klinik? Dan kenapa Hazel ada di sini?

    Terakhir Diperbarui : 2021-02-27
  • His Last Wish (Indonesian)   Bab 7

    Mereka tiba di depan rumah Amanda Chloe. Tidak terlihat aktivitas di rumah tersebut, menandakan bahwa anak itu benar-benar berada di rumah Gerald Tan. Sambil terus menggenggam tangan Hazel yang tidak ia lepaskan sejak tadi, mereka berjalan melewati tiga rumah sebelum akhirnya tiba di rumah Gerald Tan. Hampir semua rumah yang berada di sini memiliki desain yang mirip karena letaknya yang berada di perumahan, membuat orang sedikit kebingungan jika baru pertama kali mengunjungi tempat ini dan tidak memperhatikan detail lainnya yang menggambarkan profil si pemilik rumah. Seperti contohnya rumah Amanda tadi yang memiliki pintu pagar berwarna hitam, sementara rumah yang sekarang ada di hadapannya ini memiliki pintu pagar berwarna putih dengan ukiran singa emas. Raymond mengeluarkan ponselnya sekilas sebelum memasukkannya kembali ke dalam saku celananya untuk mengecek jam.

    Terakhir Diperbarui : 2021-02-27
  • His Last Wish (Indonesian)   Bab 8

    Raymond memandangi pemandangan pagi di kota Cirillo yang tampak jelas dari balkon apartemennya sambil menikmati aroma rokok yang ia hisap dalam-dalam untuk menenangkan pikirannya. Kelihatannya Hazel tidur di kamarnya, karena ia tidak mendapati Hazel saat ia bangun tadi. Melihat pemandangan kota Cirillo, membuatnya teringat dengan pelajaran Sejarah yang ia pelajari saat ia masih sekolah.Dulu, dunia dihadapi oleh situasi sulit karena perang berkecamuk di beberapa negara Timur Tengah, yang kebanyakan dipicu oleh kaum ekstremis. Akibatnya banyak penduduk negara itu yang memutuskan untuk keluar dari negaranya, mengorbankan harta dan status kewarganegaraan mereka. Mencari tempat yang jauh lebih aman untuk keselamatan mereka dan keluarga mereka, mengungsi ke negara-negara Eropa untuk mendapatkan hal yang tidak bisa mereka dapat

    Terakhir Diperbarui : 2021-02-27
  • His Last Wish (Indonesian)   Bab 9

    Raymond menyesap teh chamomile yang disiapkan Hazel untuk menenangkan pikirannya, bersama dengan roti bakar, telur orak-arik, bacon wortel, memunculkan aroma yang seharusnya mampu membangkitkan selera makannya. Sebaliknya, ia hanya memandang piringnya dengan tatapan lesu dan kembali menyesap tehnya hingga tersisa sedikit.“Apa makananku nggak enak?”Raymond menggeleng.

    Terakhir Diperbarui : 2021-02-27
  • His Last Wish (Indonesian)   Bab 10

    Raymond kembali ke apartemennya, disambut dengan tatapan tajam Hazel yang melihatnya basah kuyup. Setelah ia menangis dan merasa sedikit lebih baik, ia meninggalkan kedai kopi itu tanpa mempedulikan Martha yang bersikeras mengantarkannya pulang ke apartemen karena hujan deras. Ia berjalan menerobos hujan, tidak mempedulikan pakaiannya yang basah.“Masuklah,” Hazel berlari memasuki kamarnya, dan kembali dengan handuk bermotif panda di tangannya, menyodorkan padanya lalu berbalik memunggunginya. “Sebentar lagi buburnya matang.”“O-oke…” jawab Raymond, enggan. Ia ingin mengatakan kalau ia tidak selera makan, tapi ia urungkan karena merasa tidak enak pada Hazel yang pasti sudah susah payah membuatkan bubur untuknya. Hazel sama sek

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-27
  • His Last Wish (Indonesian)   Bab 11

    Surga, ya?Apa saat ini ia sedang bermimpi? Tidur bersama dengan malaikat yang sudah ia incar selama dua bulan? Maksudnya, dengan Hazel yang tengah tertidur lelap dengan wajahnya yang seperti malaikat ini? Bukan, bukan. Hazel bukan seperti malaikat. Dia memang malaikat...Raymond segera menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Ia bisa merasakan wajahnya yang memerah karena teringat apa yang mereka lakukan tadi malam."Raymond..."Teringat akan suara Hazel yang terdengar seksi, setengah mendesah saat memanggil namanya dan menandai seluruh tubuh wanita

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-28

Bab terbaru

  • His Last Wish (Indonesian)   Bab 43

    Thyme Umberbridge memandang bayangan dirinya di kaca mobil, merapikan penampilannya. Hari ini ia sudah memberanikan diri mengajak Priska Cirillo—perempuan yang sudah ia suka sejak ia tahun pertamanya di SMA St. Ignatius. Perempuan kuat yang berhasil mengalihkan dunianya yang selama ini hanya berkutat pada belajar dan latihan mempersiapkan diri untuk menjadi pemimpin organisasi mafia Umberbridge, menggantikan ayahnya. Dari Priska, ia mengenal Amanda Chloe—teman satu angkatannya yang dikenal jenius dalam bermain piano (dan belakangan ia baru tahu bahwa temannya itu adalah adik perempuan dari Arnold Walter, pembunuh bayaran dari keluarga Walter yang ia kagumi sejak lama sampai ia mengikuti jejaknya dengan mengasah kemampuannya menembak secara akurat), dan Gerald Tan—teman sejak kecil Amanda Chloe yang memiliki kepribadian seperti ibu rumah tangga, dan sekarang tengah bersamanya di dalam mobil setelah ia meminta temannya itu untuk menemaninya. Ia terlalu gugup, sampai tidak menyadari ke

  • His Last Wish (Indonesian)   Bab 42

    Suara lima anak-anak yang berlari di lorong membuat Raymond tanpa sadar tersenyum kecil memandangi mereka semua. Keceriaan anak-anak itu seolah memberikan suasana yang jauh lebih menyenangkan di tengah kumpulan para pasien rumah sakit yang rata-rata dihuni oleh orang tua. Hanya sedikit pasien yang seumuran dengannya, itu pun tidak menghabiskan waktu lama sepertinya. Anak-anak itu tertawa keras sebelum akhirnya terdiam saat seorang perawat wanita menegur mereka yang ribut. Wajah bahagia mereka memudar, disusul kepala mereka yang menunduk lesu. Ia yang baru saja menyelesaikan proses administrasi rumah sakit hanya menggeleng pelan, menghampiri anak-anak tadi dan juga perawat wanita yang masih sibuk mengomeli mereka dengan perkataan yang terus diulang-ulang. “Biarkan saja,” tangan kiri Raymond bergerak mengelus salah satu kepala anak-anak berambut panjang lurus berwarna cokelat tua yang digerai. Anak itu mendongak

  • His Last Wish (Indonesian)   Bab 41

    Verdict meletakkan karangan bunga di atas batu nisan kakak angkatnya, memejamkan matanya sambil membentuk tanda salib di depan dada. Di sampingnya, Amanda berdiri terpaku, memandangi batu nisan dengan ukiran nama Arnold Walter. Tidak ada kata-kata khusus yang terukir di batu nisan itu selain nama dan tanggal kematian. Tangannya mencari tangan Amanda dan menggenggamnya erat, menenangkan pacarnya yang mulai menangis.“Kak. Aku nggak tahu Kakak bisa mendengarku atau nggak, tapi aku ingin mengenalkan orang paling spesial dalam hidupku sekarang,” ujarnya sambil melirik ke arah Amanda yang tengah mengusap air matanya sambil sesenggukan. “Ini Amanda Chloe, adik kandungnya Kakak dan juga pacarku. Aku tahu apa yang akan Kakak katakan jika Kakak masih hidup. Kakak pasti tidak akan suka jika tahu ini. Kalau Kakak masih hidup dan bisa bert

  • His Last Wish (Indonesian)   Bab 40

    Dua minggu lebih ia habiskan waktunya untuk berbaring di ranjang rumah sakit yang sangat tidak nyaman, memandangi pemandangan di luar jendela. Terdengar suara decit burung-burung yang bertengger di salah satu jendela kamarnya, seperti tengah mencoba menyapanya dengan wajah polos mereka. Ia terus mengamati burung-burung itu sampai akhirnya burung-burung itu pergi dari jendela itu, menyusul kawanan mereka. Di samping tempat tidurnya, ia mendapati sosok Hazel yang tengah mengiris apel untuknya walaupun ia sudah menolak berkali-kali karena kehilangan selera makan. Begitu selesai mengupas, wanita itu menyuapkan apel itu ke mulutnya. Agak enggan, ia melahap apel itu, mengunyahnya dalam diam.“Aku hormati keputusanmu, Raymond.”Ia mengernyit kebingungan mendengar perkataan Hazel yang tiba-tiba. Sambil mengunyah apelnya, ia

  • His Last Wish (Indonesian)   Bab 39

    Sepertinya, belum saatnya ia mati.Hanya itu kesimpulan yang bisa ia pikirkan begitu ia membuka kedua matanya, memandangi langit-langit kamar yang putih sepenuhnya. Sinar mataharinya yang memasuki ruangan itu melalui jendela kamarnya membuat matanya silau. Ada banyak alat penopang kehidupan terpasang di tubuhnya, menyulitkannya untuk bergerak leluasa. Napasnya sedikit sesak akibat alat bantu pernapasan yang dipasang untuk membantunya bernapas. Matanya tertuju pada seorang wanita berpakaian perawat yang tengah memeriksa selang infusnya.“Tuan Cooper? Sudah siuman?” Wanita itu memutar tubuhnya, menarik napas lega begitu melihatnya. Matanya hanya tertuju pada seragam yang begitu ketat membungkus tubuh wanita itu, memperlihatkan lekuk tubuh w

  • His Last Wish (Indonesian)   Bab 38

    Raymond memandangi Thyme dan Verdict yang masih tetap berada di tempat mereka. Thyme tetap bersikap tenang, walaupun ia menangkap sedikit guratan kegelisahan di wajah kekanakan anak itu. Sementara Verdict sudah kehilangan kendali emosinya setelah melihat salah satu anggotanya dibunuh Simon, meronta sambil terus merutuki Simon yang tampak tidak mempedulikan kemarahan pria itu.Tangannya yang tidak memegang revolver itu mengepal, berusaha tetap tenang menghadapi pria yang masih menunggu jawabannya.“Apa jaminannya?”“Kamu bergabung denganku, semua orang yang ada di tempat ini akan kubebaskan.”

  • His Last Wish (Indonesian)   Bab 37

    “Ed, aku nggak apa. Serius. Jadi bisa nggak, kamu berhenti mengkhawatirkanku?”Edward tidak menghiraukan pertanyaannya, masih terus mengamati seksama seluruh tubuhnya yang sukses membuatnya canggung setengah mati.“Ini salahku. Memang harusnya aku nggak biarin kamu melawan orang itu sendirian,” Edward kini menjauhkan tubuhnya dari Raymond, mengeluarkan tablet hologramnya, lalu menatap layar tablet hologramnya sambil menggumam pada dirinya sendiri.“Boleh aku bertanya sedikit?”“Tentu.”

  • His Last Wish (Indonesian)   Bab 36

    Begitu efek gasnya menghilang, Raymond memberi aba-aba untuk masuk ke dalam, berlari sambil menghindari tembakan orang-orang Simon yang berjaga di sekitar lorong koridor tempat mereka berada saat ini, bersama Edward dan Lucas. Sementara sisanya telah berpencar, mengikuti arahannya. Masing-masing dari orang yang ia tunjuk sebagai pemimpin sudah membawa alat yang diberikan Hazel tadi sebagai tindakan preventif, dan memberi arahan pada mereka untuk mencari anak-anak yang ditawan di ruang bawah tanah sementara ia, Lucas, dan Edward bergerak menuju lantai dua.“Raymond?” Edward berbisik di dekatnya, tampak cemas, begitu mereka tiba di lantai dua, bersembunyi di balik dinding seraya mengisi ulang amunisi senjata mereka yang habis.“Apa?”

  • His Last Wish (Indonesian)   Bab 35

    Raymond mematikan mesin mobilnya, mengawasi Thyme dan Verdict yang sudah masuk ke dalam bangunan itu dari jauh. Thyme memintanya untuk memarkirkan mobilnya agak jauh markas Simon Clive yang kini dipenuhi oleh orang-orang berpakaian mewah yang berbondong masuk ke dalam bangunan tersebut, disambut oleh beberapa orang berpakaian serba hitam dengan aura menakutkan di sekeliling mereka. Ia mengenali beberapa dari mereka yang mengepungnya waktu ia bersama Edward. Berulang kali ia mengetuk jemarinya, merasa frustrasi karena tidak mengetahui rencana anak itu.“Mau?” Hazel yang duduk di belakangnya menyodorkan snack bar yang sedari tadi dikonsumsi wanita itu padanya. “Buatanku sendiri. Rendah kalori, tapi cukup untuk mengisi tenagamu.”“Nggak. Aku

DMCA.com Protection Status